TUGAS
TARIKH TASYRI’
Diajukan
untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Tarikh Tasyri’
Oleh :
HANDAYANI
310.006
Dosen Pembimbing :
Drs. ADITIAWARMAN M.Ag
JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
IAIN IMAM BONJOL PADANG
1432 H / 2011 M
SEJARAH PERTUMBUHAN
DAN PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM
1.PERTUMBUHAN HUKUM ISLAM DI MASA
RASUL
1.Situasi masyarakat arab pra islam
Sebelum
nabi SAW diutus, orang-orang rab adalah umat yang tidak memiliki aturan dan
mereka di kendalikan oleh kebiadaban, dianungi oleh kegelapan dan kejahilan,
serta tidak ada agama yang mengikat dan undang-undang yang harus mereka patuhi.
Akibat dari ini penuhnya jiwa mereka dengan akidah yang batil. Setiap kelompok
dari mereka melihat kebenaran dari apa yang tumbuh dan di wariskan baak-bapak
mereka, dan melihat keagungan dari apa yang tersebar dan dikenal diantara
kabilahnya. Hanya sedikit dari mereka yang berjalan dengan aturan yang dapat
mengelesaikan perselisihan mereka, adap yang dianggap baik serta langkah yang
mulia.
Namun demikian, ketetapan itu bukan
merupakan undang-undang yang tertulis yang di jiadikan rujukan dalam
mengelesaikan perselisihan dan menjaga hak-hak mereka, tapi hanya merupakan
ketetapan yang sedikit sekali pemmfaatanya. tidak cukup merealisasikan aturan
dan mencegah sipembuat kerusakan. [1]
2. Kondisi Hukum Islam Pada Masa
Kenabian
Islam
datang untuk seluruh umat manusia, akan
tetapi di mulai dengan perbaikan orang-orang arab yang Allah pilih
sebagai penolong agama dan pengerunya. keadaan orang-orang arab pada masa itu,
sebagaimana telah kita ketahui dua
perkara: Behalaisme dalam agama kekacauan dalam tatahanan masyarakat. keaadaan
seperti ini mengharuskan adanya pengelamatan dari kebiadaban dan pembebasan mereka untuk ,mengokong agama
Allah, dengan menanamkan kaidah tauhid pada hati mereka, mengarahkan mereka
untuk mengiklasakn ibadah kepada dzat yang maha tinggi dan melepaskandari jiwa mereka
akhlak yang tercela, menghapuskan adat yang buruk serta mencetak mereka
berahklak mulia, berperangai terpuji, serta meletakan aturan yang jitu yang
mencakup seluruh permasalahan mereka, agar mereka berjalan di atas petunjuk Allah dalam segala aspek
kehidupan.[2]
A. PEMBENTUKAN
HUKUM DI MEKKAH
Pada awal mulanya, islam berorientasi memperbaiki akidah yang merupakan fondasi
tempat berdiri hal-hal yang lain. Setelah selesai tujuan pertama ini , ia
melanjutkan oreantasi berikutnya yaitu meletakkan aturan kehidupan.
Oleh karena itu, pada surat makkiyah dalam Al qur’an
seperti surat Yunus, Ar Ra’du, Furqan dan lain-lain tidak terdapat ayat-ayat
yang membahas tentang hukum aktual(amaliyah). Akan tetapi, justru yang banyak
pembahasannya adalah seputar aqidah, akhlak, dan kisah-kisah umat terdahulu.[3]
B. PEMBENTUKAN
HUKUM DI MADINAH
Mulai
setelah hijrah, tasyri islam beroreantasi pada tujuan kedua, maka disyariatkan
hokum hokum yang meliputi segala aspek
kehidupan individu dan kelompok, baik dalam ibadat, jihad, pidana, kewarisan,
wasiat, pernikahan, thalak, sumpah, peradilan dan segala hal yang mencakup ilmu
fiqih.
Jadi, pada masa Rasul pertumbuhan hukum Islam dapat
disimpulkan, bahwa:
1.
Kekuasaan
pembentukan hukum pada masa ini dipegang oleh Nabi sendiri, tanpa campur tangan
orang lain. Sumbernya adalah Alqur’an dan Sunnah, karena itu tidak ada tempat
untuk berselisih dalam hukum.
2.
Bahwasanya
ayat-ayat hukum itu turun berkenaan dengan suatu peristiwa atau jawaban dari
suatu pertanyaan.
3.
Bahwasanya
hukum islam tidak ditetapkan sekaligus, akan tetapi ditetapkan
sebagian-sebagian dan berturut-turut didasari ayat atau hadis.[4]
2.
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN IJTIHAD
Ijtihad bukanlah sumber hukum pada masa nabi, sumber
hukum pada masa nabi hanyalah Al qur’an dan Sunnah, tetapi Rasulullah pernah
melakukan ijtihad dalam sebagian hukum dan mengakui ijtihad sahabat dalam
sebagian yang lainnya. Seperti izin beliau pada perang tabuk bagi orang-orang
yang punya udzur berjihad dari kalangan orang-orang munafik untuk tidak ikut
perang dan persetujuan beliau tehadap pendapat Abu Bakar yakni menerima tebusan
tawanan perang badar. Pada masa Rasul ini, ijtihad dianggap sebagai salah satu
sumber hukum disamping Alqur’an dan sunnah.
Nabi
berijtihad ketika kebutuhan mendesak dan terlambat datangnya wahyu, kemudian
setelah itu turun wahyu yang menguatkan ijtihadnya atau mengingatkan bila ada
kesalahan, karenanya wahyu merupakan rujukan dalam ijtihadnya. Adapun ijtihad
sahabat, juga dilakukan ketika terjadi kesulitan Nabi atau ketika khawatir
hilangnya suatu kesempatan. Ketika mereka kembali kepada Rasulullah, mereka
menjelaskan hukum yang mereka ijtihadkan, benar atau salah. Bila demikian
rujukan mereka adalah sunnah.[5]
Sebagian
sahabat pernah berijtihad pada masa Rasulullah, ketika memvonis suatu masalah
persengketaan yang terjadi dan ketika menetapkan suatu hukum terhadap suatu
permasalahan. Seperti:
“Ali Bin Abi Thalib ketika diutus Rasulullah ke Yaman
dalam rangka sebagai seorang qadhi atau hakim. Rasulullah menitipkan sabda
kepadanya: Sesungguhnya Allah menunjuki hatimu dan mengokohkan lidahmu. Kalau
ada 2 orang bersengketa dihadapanmu, janganlah engkau memvonis atau menetapkan
suatu hukum untuk keduanya sebelum engkau mendengar penjelasan dari pihak kedua
sebagaimana engkau mendengar penjelasan dari pihak pertama, karena hal ini akan
lebih memperjelas bagimu dalam memutuskan hukum”.[6]
Pada masa
sahabat, mereka telah menyebarkan kewajiban tasyri ini dengan cara menjelaskan
dan menyebarluaskan serta memberi fatwa hukum tentang sesuatu yang belum ada
ketetapan hkum nya. Merekalah pemegang tasyri’ pada periode ini selaku
pengganti Rasulullah. Mereka adalah orang yang dekat dengan Rasul, bahkan
banyak dari kalangan sahabat sebagai Dewan Pertimbangan bagi Nabi dalam
mengaktualkan ijtihadnya. Mereka mampu menjelaskan nash-nash dan berijtihad
tentang permasalahan dari peristiwa yang tidak ada ketetapannya menurut konteks
nash.[7]
Pada masa
sighar sahabat dan tabi’in, awalnya para mufti kebanyakan bertempat tinggal di
Madinah. Setelah kekuasaan islam bertambah luas, mereka tinggal berpencar di
berbagai kota dan tempat. Oleh karena itu, pembentukan hukum pada awal masa ini
dengan ijma’, kemudian mereka mengadakan ijtihad perorangan. Masing-masing
sahabat menghadapi persoalan yang berbeda-beda, sesuai dengan keadan masyarakat
setempat, sehingga muncullah hasil ijtihad yang berbeda pula.[8]
Periode
kesempurnaan fiqh, periode ini disebut juga dengan periode pembukuan dan
munculnya para Imam Mujtahid. Dinamakan demikian karena, pada masa ini timbul
gerakan penulisan dan usaha-usaha pembukuan terhadap tafsir Alqur’an, Sunnah
Nabi, Fatwa-fatwa sahabat, Tabi’in, Tabi’tabi’in, fiqh para Imam Mujtahid, dan
Ilmu ushul Fiqh. Dalam periode ini, muncul tokoh-tokoh besar yang berpengaruh
besar terhadap pembentukan undang-undang dan meng-istinbat-kan hukum-hukum bagi
peristiwa yang terjadi dan yang akan terjadi.[9]
SUMBER
HUKUM MASA: RASUL, SAHABAT, TABI’IN DAN KEEMASAN
Ø
Masa Rasul
Pada
periode Rasulullah SAW hanya ada dua sumber yaitu: wahyu ilahi(Al qur’an) dan
ijtihad Rasulullah sendiri. Al qur’an merupakan sumber pokok agama dan asasnya.
Di dalamnya Allah menerangkan ilmu segala sesuatu dan menjelaskan hal-hal
kebenaran dan kebatilan. Kalau terjadi suatu peristiwa yang memerlukan adanya
ketetapan hukum, karena terjadi perselisihan, ada pertanyaan, atau permintaan
fatwa maka Allah menurunkan wahyu kepada Rasulullah satu atau beberapa ayat
yang menerangkan tentang hukum-hukumnya. Kemudian Rasulullah menyampaikan wahyu
tersebut kepada umat islam. Dan wahyu inilah yang menjadi hukum yang wajib
diikuti.
Kalau
terjadi masalah yang memerlukan ketetapan hukum sedangkan Allah tidak
menurunkan wahyu tentang hal tersebut, maka Rasulullah berijtihad untuk
menetapkan hukum suatu masalah, atau menjawab suatu pertanyaan atau memenuhi
permintaan fatwa hukum. Hasil ijtihad Rasulullah inilah yang menjadi hukum atau
undang-undang yang wajib diikuti.[10]
Ø
Masa Sahabat
Setelah
wafatnya Rasulullah, para sahabat besarlah yang memikul beban perjuangan islam.
Memreka menghadapi tugas yang sulit dan perkara yang besar, karena meluasnya
wilayah islam keluar jazirah Arab. Karena hal inilah orang-orang muslim
mendapatkan dirinya dihadapkan kepada peristiwa yang belum pernah dialami dalam
sepanjang hidupnya.
Peristiwa dan kejadian itu semua sibuk
mencari penyelesain hukum-hukumnya dalam Alqur’an dan Sunnah. Tampak jelas
bahwa kedua sumber tersebut belum menetapkan hukum masalah-masalah yang
menlanda kaum muslimin itu, sehingga menjadi tali kekang bagi mereka untuk
berijtihad dan menerapkan kaidah-kaidah umum yang ditetapkan dalm Alqur’an dan
Sunnah terhadap peristiwa tersebut. Untungnya Rasulullah telah menyiapkan bagi
mereka jalan berijtihad, melatih dan meridhai mereka serta menetapkan pahala
bagi ijtihad mereka, benar atau salah. Karenanya, mereka semangat mencurahkan
kemampuannya mengeluarkan hukum-hukum masalah yang mereka hadapi.[11]
Jadi, dapat
disimpulkan bahwa yang menjadi sumber hukum pada masa ini adalah:
1.
Alqur’anul
Karim
2.
Sunnah
Rasulullah
3.
Ijtihad
Sahabat.
Ø
Masa Tabi’in
Sumber
tasyri’ pada masa ini adalah Alqur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Mereka
sependapat bahwa semua sumber atau dasar syari’at adalah Al qur’an dan Sunnah.
Senua hukum yang berlawanan dengan kedua sumber hukum tersebut ditolak. Pada
masa ini muncul Madrasah Al Hadis dan
Madrasah Ra’yu, kedua aliran tersebut berbeda dalam metode ijtihad.
Madrasah hadis yang bermukim di Madinah dikenal sangat kuat berpegang pada
hadis karena mereka banyak mengetahui hadis Rasulullah. Sedangkan, madrasah
ra’yu yang bermukim di Iraq dalm menjawab permasalahan hukum lebih banyak
menggunakan logika dalm berijtihad, karena hadis-hadis Rasulullah yang sampai
kepada mereka terbatas, sedangkan kasus yang mereka hadapi sangat berat dan
beragam.[12]
Ø
Masa Keemasan
Sumber
hukum pada masa keemasan ini, diantaranya:
1.
Al
qur’an
2.
Sunnah
3.
Ijma’
4.
Ijtihad
dengan metode qiyas atau ijtihad dengan salah satu metode istinbat yaitu: istihsan, istishab, fatwa sahabat, Al’urf,
Maslahah Mursalah, Sadduz Zar’iyyah, Syar’u man qoblana.
Kalau
seorang mufti mendapatkan ktetapan hukum hukum suatu masalah dalam Alqur’an
atau Sunnah, maka dia harus berpedoman kepada ketetapan nash tersebut. Dan
kalau tidak mendapatkan ketetapan hukumnya dalam Alqur’an dan sunnah, namun dia
mengetahui ketetapan hukumnya berdasarkan ijma’ para mujtahid, maka dia harus
berpegang fatwa hukum berdasarkan ijma’ tersebut. Selanjutnya, kalau tidak
mendapatkan ketetapan hukum suatu masalah dalam Alqur’an dan Sunnah dan tidak
ada juga ketetapan ijma’ ulama, maka barulah ia berijtihad dan beristinbat dan
beristinbat dengan metode istinbat yan ditunjukkan syari’at.[13]
PERKEMBANGAN
HUKUM ISLAM MASA KEEMASAN
Periode
ini juga dikenal sebagai orde kodifikasi ilmu pengetahuan dan secara lebih
spesifik, kodifikasi fiqh, dan kaidah-kaidahnya (ushul fiqh dan sumber-sumber fiqh),
penulisan sunnah, metode penulisan fiqh, ushul fiqh, dan tafsir Qur’an.[14]
Faktor
yang melatarbelakangi berkembangnya hukum islam dan gerakan ijtihad pada
periode ini cukup banyak, diantaranya:
1.
Wilayah
kekuasaan pemerintahan Islam pada periode ini sudah sangat luas.
2.
Fiqh
islam mencapai puncak kematangan dan kesempurnaan, mencakup semua lini
kehidupan, prinsip-prinsip dasarnya menyentuh semua aspek humanity, religi, dan
duniawi.
3.
pada
periode ini, para ulama dalam menetapkan hukum dan perundang-undangan dan
memberi fatwa telah menguasai metode tasyri’ secara luas dan mudah.
4.
Pada
periode ini umat islam sangat bersemangat dalam seluruh aktivitasnya, baik
dalam hal ibadah, muamalah agar penerapannya sesuai dengan hukum islam.
5.
Periode
ini muncul tokoh-tokoh yang mempunyai bakat dan kemampuan yang didukung oleh
faktor situasi dan kondisi yang ada, sehingga hukum islam semakin berkembang,
seperti, Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad Bin Hanbal.[15]
6.
Terjadinya
perbedaan yang tajam di antara para ulama terhadap sebagian sumber tasyri’,
seperti berhujjah dengan perbuatan penduduk madinah dan ucapan sahabat selain
itu mereka juga berselisih tentang cara memakai dalil sunnah, ijma’ dan qiyas.
7.
Ilmu
pengetahuan dengan berbagai macam jenisnya sudah dibukukan, terutama Al qur’an
dan As sunnah serta Ushul Fiqh.
8.
Munculnya
beberapa istilah fiqh untuk memberikan identitas terhadap dalil-dalil tertentu
untuk lebih mudah dipahami, seperti nama, rukun, syarat, sah, batal, dan
beberapa istilah lain yang tidak familiar sebelumnya.
9.
Ruang
perbedaan pendapat diantara fuqaha’ semakin meluas sehingga berdampak pada
banyaknya masalah-masalah fiqh yang muncul disebabkan jumlah mujtahid yang
memadai di setiap negeri. Dan setiap negeri mempunyai masalah tersendiri
sehingga sulit bagi fuqaha untuk bertemu di satu tempat untuk membahasnya. Akan
tetapi, perbedaan yang terjadi di antara mereka tidak menimbulkan rasa benci,
bahkan setiap orang meyakini pendapatnya benar, tetapi ada kemungkinan salah
dan pendapat orang lain salah tetapi ada kemungkinan benar.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahhab Khallaf, Sejarah
Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta, PT
RAJA GRAFINDO PERSADA, 2002)
Dedi Supriyadi, Sejarah
Hukum Islam, (Bandung, Pustaka Setia, 2007)
Muhammad Ali As Sayis, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta,
AKADEMIKA PRESSINDO, 1996)
[1] Muhammad
Ali As Sayis, Sejarah Pembentukan dan
Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta, AKADEMIKA PRESSINDO, 1996), hlm., 13-14
[3] Abdul
Wahhab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan
Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta, PT RAJA GRAFINDO PERSADA, 2002), hlm. 9
[4] Muhammad Ali As Sayis, Op. Cit., hlm. 16-17
[6] Abdul Wahhab Khallaf, Op. Cit., hlm. 11
[8] Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, (Bandung, Pustaka Setia, 2007), hlm. 70
[10] Abdul Wahhab Khallaf, Op. Cit., hlm. 13
[11] Muhammad Ali Sayis, Op. Cit., hlm. 58-59
[12] Dedi Supriyadi, Op. Cit., hlm. 87
[13] Abdul Wahhab Khallaf, Op. Cit., hlm. 81-82
[14]
Dedi Supriyadi, Op. Cit., hlm. 110
[15]
Abdul Wahhab Khallaf, Op. Cit., hlm. 71-73
SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM