PERIODE PERTAMA
Masa Rasulullah SAW. Pada periode ini, kekuasaan pembentukan hukum berada di
tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum Islam ketika itu adalah Al-Qur’an. Apabila
ayat Al-Qur’an tidak turun ketika ia menghadapi suatu masalah, maka ia, dengan
bimbingan Allah SWT menentukan hukum sendiri. Yang disebut terakhir ini
dinamakan sunnah Rasulullah SAW. Istilah “fiqh” dalam pengertian yang
dikemukakan ulama fiqh klasik maupun modern belum dikenal ketika itu. ilmu
dan fiqh pada masa Rasulullah SAW mengandung pengertian yang sama,
yaitu mengetahui dan memahami dalil berupa Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.
Pengertian fiqh di zaman Rasulullah SAW adalah seluruh yang dapat
dipahami dari nash (ayat atau hadits), baik yang berkaitan dengan
masalah aqidah, hukum, maupun kebudayaan. Disamping itu, fiqh pada
periode ini bersifat aktual, bukan bersifat teori. Penentuan hukum terhadap
suatu masalah baru ditentukan setelah kasus tersebut terjadi, dan hukum yang
ditentukan hanya menyangkut kasus itu. Dengan demikian, menurut
Mustafa Ahmad az-Zarqa, pada periode Rasulullah SAW belum muncul teori hukum
seperti yang dikenal pada beberapa periode sesudahnya. Sekalipun demikian,
Rasulullah SAW telah mengemukakan kaidah-kaidah umum dalam pembentukan hukum
Islam, baik yang berasal dari Al-Qur’an maupun dari sunnahnya sendiri.
PERIODE KEDUA
Masa al-Khulafa’ ar-Rasyidin (Empat Khalifah Besar) sampai pertengahan abad
ke-1 H. Pada zaman Rasulullah SAW para sahabat dalam menghadapi berbagai
masalah yang menyangkut hukum senantiasa bertanya kepada Rasulullah SAW.
setelah ia wafat, rujukan untuk tempat bertanya tidak ada lagi. Oleh sebab itu,
para sahabat besar melihat bahwa perlu dilakukan ijtihad apabila hukum
untuk suatu persoalan yang muncul dalam masyarakat tidak ditemukan di dalam
Al-Qur’an atau sunnah Rasulullah SAW. Ditambah lagi, bertambah luasnya wilayah
kekuasaan Islam membuat persoalan hukum semakin berkembang karena perbedaan
budaya di masing-masing daerah. Dalam keadaan seperti ini, para
sahabat berupaya untuk melakukan ijtihad dan menjawab persoalan yang
dipertanyakan tersebut dengan hasil ijtihad mereka. Ketika itu para sahabat
melakukan ijtihad dengan berkumpul dan memusyawarahkan persoalan itu. Apabila
sahabat yang menghadapi persoalan itu tidak memiliki teman musyawarah atau
sendiri, maka ia melakukan ijtihad sesuai dengan prinsip-prinsip umum yang
telah ditinggalkan Rasulullah SAW. Pengertian fiqh dalam
periode ini masih sama dengan fiqh di zaman
Rasulullah SAW, yaitu bersifat aktual, bukan teori. Artinya, ketentuan
hukum bagi suatu masalah terbatas pada kasus itu saja, tidak merambat kepada
kasus lain secara teoretis.
PERIODE KETIGA
Pertengahan abad ke-1 H sampai awal abad ke-2 H. Periode ini
merupakan awal pembentukan fiqh Islam. Sejak zaman Usman bin Affan
(576-656), khalifah ketiga, para sahabat sudah banyak yang bertebaran di
berbagai daerah yang ditaklukkan Islam. Masing-masing sahabat mengajarkan
Al-Qur’an dan hadits Rasulullah SAW kepada penduduk setempat. Di Irak
dikenal sebagai pengembang hukum Islam adalah Abdullah bin Mas’ud (Ibnu
Mas’ud), Zaid bin Sabit (11 SH/611 M-45 H/665 M) dan Abdullah
bin Umar (Ibnu Umar) di Madinah dan Ibnu Abbas di Makkah.
Masing-masing sahabat ini menghadapi persoalan yang berbeda, sesuai dengan
keadaan masyarakat setempat. Pada periode ketiga ini, pengertian fiqh sudah beranjak dan tidak sama lagi dengan pengertian ilmu, sebagaimana yang dipahami pada periode pertama dan kedua, karena fiqh sudah menjelma sebagai salah satu cabang ilmu keislaman yang mengandung pengertian mengetahui hukum-hukum syara’ yang bersifat amali (praktis) dari dalil-dalilnya yang terperinci. Di samping fiqh, pada periode ketiga ini pun ushul fiqh telah matang menjadi salah satu cabang ilmu keislaman. Berbagai metode ijtihad, seperti qiyas, istihsan dan istislah, telah dikembangkan oleh ulama fiqh. Dalam perkembangannya, fiqh tidak saja membahas persoalan aktual, tetapi juga menjawab persoalan yang akan terjadi, sehingga bermunculanlah fiqh iftirâdî (fiqh berdasarkan pengandaian tentang persoalan yang akan terjadi di masa datang).
Pada periode ketiga ini pengaruh ra’yu (ar-ra’yu; pemikiran tanpa berpedoman kepada Al-Qur’an dan sunnah secara langsung) dalam fiqh semakin berkembang karena ulama Madrasah al-hadits juga mempergunakan ra’yu dalam fiqh mereka. Di samping itu, di Irak muncul pula fiqh Syi’ah yang dalam beberapa hal berbeda dari fiqh Ahlusunnah wal Jama’ah (imam yang empat).
PERIODE KEEMPAT
Pertengahan abad ke-2 sampai pertengahan abad ke-4 H. Periode ini
disebut sebagai periode gemilang karena fiqh dan ijtihad ulama semakin
berkembang. Pada periode inilah muncul berbagai mazhab, khususnya mazhab yang
empat, yaitu Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali.
Pertentangan antara Madrasah al-hadits dengan Madrasah ar-ra’yu
semakin menipis sehingga masing-masing pihak mengakui peranan ra’yu dalam
berijtihad, seperti yang diungkapkan oleh Imam Muhammad Abu Zahrah, guru besar
fiqh di Universitas al-Azhar, Mesir, bahwa pertentangan ini tidak berlangsung
lama, karena ternyata kemudian masing-masing kelompok saling mempelajari kitab
fiqh kelompok lain. Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, ulama dari Mazhab
Hanafi yang dikenal sebagai Ahlurra’yu (Ahlulhadits dan Ahlurra’yu),
datang ke Madinah berguru kepada Imam Malik dan mempelajari kitabnya, al-Muwaththa’
(buku hadits dan fiqh). Imam asy-Syafi’i, salah seorang tokoh ahlulhadits,
datang belajar kepada Muhammad bin Hasan asy-Syaibani. Imam Abu Yusuf, tokoh
ahlurra’yu, banyak mendukung pendapat ahli hadits dengan mempergunakan
hadits-hadits Rasulullah SAW. Oleh sebab itu, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah.
kitab-kitab fiqh banyak berisi ra’yu dan hadits. Hal ini menunjukkan adanya
titik temu antara masing-masing kelompok.Kitab-kitab fiqh pun mulai disusun pada periode ini, dan pemerintah pun mulai menganut salah satu mazhab fiqh resmi negara, seperti dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah yang menjadikan fiqh Mazhab Hanafi sebagai pegangan para hakim di pengadilan. Disamping sempurnanya penyusunan kitab fiqh dalam berbagai mazhab, dalam periode ini juga disusun kitab-kitab ushul fiqh, seperti kitab ar-Risalah yang disusun oleh Imam Syafi’i. Sebagaimana pada periode ketiga, pada periode ini fiqh iftirâdî semakin berkembang karena pendekatan yang dilakukan dalam fiqh tidak lagi pendekatan aktual di kala itu, tetapi mulai bergeser pada pendekatan teoritis. Oleh sebab itu, hukum untuk permasalahan yang mungkin akan terjadi pun sudah ditentukan.
PERIODE KELIMA
Pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Periode ini
ditandai dengan menurunnya semangat ijtihad di kalangan ulama fiqh, bahkan
mereka cukup puas dengan fiqh yang telah disusun dalam berbagai mazhab. Ulama
lebih banyak mencurahkan perhatian dalam mengomentari, memperluas atau
meringkas masalah yang ada dalam kitab fiqh mazhab masing-masing. Lebih
jauh, Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa pada periode ini muncullah
anggapan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup. Imam Muhammad Abu Zahrah
menyatakan beberapa penyebab yang menjadikan tertutupnya pintu ijtihad pada
periode ini, yaitu sebagai berikut:- Munculnya sikap ta’assub madzhab (fanatisme mazhab imamnya) di kalangan pengikut mazhab. Ulama ketika itu merasa lebih baik mengikuti pendapat yang ada dalam mazhab daripada mengikuti metode yang dikembangkan imam mazhabnya untuk melakukan ijtihad;
- Dipilihnya para hakim yang hanya bertaqlid kepada suatu mazhab oleh pihak penguasa untuk menyelesaikan persoalan, sehingga hukum fiqh yang diterapkan hanyalah hukum fiqh mazhabnya; sedangkan sebelum periode ini, para hakim yang ditunjuk oleh penguasa adalah ulama mujtahid yang tidak terikat sama sekali pada suatu mazhab; dan
- Munculnya buku fiqh yang disusun oleh masing-masing mazhab; hal ini pun, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah, membuat umat Islam mencukupkan diri mengikuti yang tertulis dalam buku-buku tersebut.
PERIODE KEENAM
Pertengahan abad ke-7 H sampai munculnya Majallah al-Ahkam
al-’Adliyyah pada tahun 1286 H. Periode ini diawali dengan
kelemahan semangat ijtihad dan berkembangnya taklid serta
ta’assub (fanatisme) mazhab. Penyelesaian
masalah fiqh tidak lagi mengacu pada Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW serta
pertimbangan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum, tetapi telah beralih pada
sikap mempertahankan pendapat mazhab secara jumud
(konservatif). Upaya mentakhrij (mengembangkan
fiqh melalui metode yang dikembangkan imam mazhab) dan mentarjih pun sudah
mulai memudar. Ulama merasa sudah cukup dengan mempelajari sebuah kitab fiqh
dari kalangan mazhabnya, sehingga penyusunan kitab fiqh pada periode ini pun
hanya terbatas pada meringkas dan mengomentari kitab fiqh tertentu. Di
akhir periode ini pemikiran ilmiah berubah menjadi hal yang langka. Di samping
itu, keinginan penguasa pun sudah masuk ke dalam masalah-masalah fiqh. Pada
akhir periode ini dimulai upaya kodifikasi fiqh (hukum) Islam yang seluruhnya
diambilkan dari mazhab resmi pemerintah Turki Usmani (Kerajaan Ottoman;
1300-1922), yaitu Mazhab Hanafi, yang dikenal dengan Majallah al-Ahkam
al-’Adliyyah.
PERIODE KETUJUH
Sejak munculnya Majallah al-Ahkam al- ‘Adliyyah sampai
sekarang. Ada tiga ciri pembentukan fiqh Islam pada periode ini, yaitu:1. Munculnya Majallah al-Ahkam al-’Adliyyah sebagai hukum perdata umum yang diambilkan dari fiqh Mazhab Hanafi;
2. Berkembangnya upaya kodifikasi hukum Islam; dan
3. Munculnya pemikiran untuk memanfaatkan berbagai pendapat yang ada di seluruh mazhab, sesuai dengan kebutuhan zaman.
Munculnya kodifikasi hukum Islam dalam bentuk Majallah al-Ahkam al-’Adliyyah dilatarbelakangi oleh kesulitan para hakim dalam menentukan hukum yang akan diterapkan di pengadilan, sementara kitab-kitab fiqh muncul dari berbagai mazhab dan sering dalam satu masalah terdapat beberapa pendapat. Memilih pendapat terkuat dari berbagai kitab fiqh merupakan kesulitan bagi para hakim di pengadilan, di samping memerlukan waktu yang lama. Oleh sebab itu, pemerintah Turki Usmani berpendapat bahwa harus ada satu kitab fiqh/hukum yang bisa dirujuk dan diterapkan di pengadilan. Untuk mencapai tujuan ini dibentuklah sebuah panitia kodifikasi hukum perdata. Pada tahun 1286 H panitia ini berhasil menyusun hukum perdata Turki Usmani yang dinamai dengan Majallah al-Ahkam al-’Adliyyah yang terdiri atas 1.851 pasal. Setelah berhasil dengan penyusunan Majallah al-Ahkam al-’Adliyyah, para penguasa di negeri-negeri Islam yang tidak tunduk di bawah kekuasaan Turki Usmani mulai pula menyusun kodifikasi hukum secara terbatas, baik bidang perdata, pidana, maupun ketatanegaraan. Pada abad ke-19 muncul berbagai pemikiran di kalangan ulama dari berbagai negara Islam untuk mengambil pendapat-pendapat dari berbagai mazhab serta menimbang dalil yang paling kuat diantara semua pendapat itu. Pengambilan pendapat dilakukan tidak saja dari mazhab yang empat, tetapi juga dari para sahabat dan tabi’in, dengan syarat bahwa pendapat itu lebih tepat dan sesuai. Bersumber dari berbagai pendapat atas pendapat terkuat dari berbagai mazhab, maka pada tahun 1333 H pemerintah Turki Usmani menyusun kitab hukum keluarga (al-Ahwal asy-Syakhsiyyah) yang merupakan gabungan dari berbagai pendapat mazhab. Di dalam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah ini terdapat berbagai pemikiran mazhab yang dianggap lebih sesuai diterapkan. Sejak saat itu bermunculanlah kodifikasi hukum Islam dalam berbagai bidang hukum. Pada tahun 1920 dan 1925 pemerintah Mesir menyusun kitab hukum perdata dan hukum keluarga yang disaring dari pendapat yang ada dalam berbagai kitab fiqh. Dengan demikian, seluruh pendapat dalam mazhab fiqh merupakan suatu kumpulan hukum dan boleh dipilih untuk diterapkan di berbagai daerah sesuai dengan kebutuhan.
Semangat kodifikasi hukum (fiqh) Islam di berbagai negara Islam ikut didorong oleh pengaruh hukum Barat yang mulai merambat ke berbagai dunia Islam. Pengaruh hukum Barat ini menyadarkan ulama untuk merujuk kembali khazanah intelektual mereka dan memilih pendapat mazhab yang tepat diterapkan saat ini. Lebih jauh lagi, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, di daerah yang berpenduduk mayoritas Islam, upaya penerapan hukum Islam dengan beberapa penyesuaian dengan kondisi setempat mulai berkembang. Di banyak negara Islam telah bermunculan hukum keluarga yang diambil dari berbagai pendapat mazhab, seperti di Yordania,
Ali Hasaballah, ahli fiqh dari Mesir, mengatakan bahwa upaya penerapan hukum Islam di berbagai neqara Islam semakin tampak. Akan tetapi, pembentukan dan pengembangan hukum Islam tersebut, menurutnya, tidak harus mengacu kepada kitab-kitab fiqh yang ada, tetapi dengan melakukan ijtihad kembali ke sumber aslinya, yaitu Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Menurutnya, ijtihad jama’i (kolektif) harus dikembangkan dengan melibatkan berbagai ulama dari berbagai disiplin ilmu, tidak hanya ulama fiqh, tetapi juga ulama dari disiplin ilmu lainnya, seperti bidang kedokteran dan sosiologi. Dengan demikian, hukum fiqh menjadi lebih akomodatif jika dibandingkan dengan hukum fiqh dalam kitab berbagai mazhab. ? LH
SUMBER: http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/6/1/pustaka-115.html
http://www.dakwatuna.com/2006/tarikh-tasyri-bagian-pertama/
Muhammad Ali Sayis, Tarikh fal-Fiqh Islamy (Beirut:Dar al-kutub al-Ilmiyah,1990)
Muhammad Salam Madkur, Al Madkhal Li al fiqh al Islam (
Umar Sulaiman al-Asygar, Tarikh al-Fiqh al- Islamy, (Amman: Dar al-Nafais,1991)
periode pembentukan hukum islam