PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Segala puji
bagi Allah SWT yang selalu memberikan rahmat, taufik, serta
hidayat-Nya.Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu
dengan judul “Ulumul Hadits”.
Sholawat serta
salam semoga tetap dilimpahkan pada Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing
kita semua dari zaman jahiliah menuju ke zaman yang terang benderang seperti
sekarang ini yaitu dibawah naungan agama Islam yang kita cintai.
Dalam makalah ini penulis diberi tugas studi Ulumul Al-qur’an untuk
membahas Tafsir Al-qur’an dengan metode Maudhu’i. Tak terlepas dalam proses
belajar, penulisan ini masih banyak
kekurangan baik dari pendekatan penelitian, bahasa penulisan, karna penulis
menyadari masih dalam obyektifitas batas kemampuan penulis yang banyak
membutuhkan penyempurnaan. Setiap manusia, menurut Al-Qur’an, diperintahkan untuk berfikir
,menelaah ,serta memahami isi Al-qur’an(QS. Muhammad:24danQS.Shad:29).
xsùr&tbrã/ytGtc#uäöà)ø9$#ôQr&4n?tãA>qè=è%!$ygä9$xÿø%r&ÇËÍÈ
“Maka
apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?”
ë=»tGÏ.çm»oYø9tRr&y7øs9Î)Ô8t»t6ãB(#ÿrã/£uÏj9¾ÏmÏG»t#uät©.xtFuÏ9ur(#qä9'ré&É=»t6ø9F{$#ÇËÒÈ
“Ini
adalah sebuah Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya
mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang
yang mempunyai fikiran.”
Upaya untuk
memahami dan mengkaji isi kandungan Al-Qur’an dikenal dengan empat bentuk
metode tafsir, yaitu metode tahliliy,metode ijmaly, metode muqoran, dan metode
mawdhu’i. Metode mawdhu’i merupakan metode relatif baru dan mendapat perhatian
khusus pada zaman sekarang .
Kata maudhu’i berasal dari bahasa arab yaitu maudhu’ yang
merupakan isim maf’ul dari fi’il madhi wadha’a yang berarti meletakkan,
menjadikan, mendustakan dan membuat-buat.[1] Arti maudhu’i yang dimaksud di sini ialah yang
dibicarakan atau judul atau topik atu sektor, sehingga tafsir maudhu’i berarti
penjelasan ayat-ayat Alquran yang mengenai satu judul/topik/sektor pembicaraan
tertentu. Dan bukan maudhu’i yang berarti yang didustakan
atau dibuat-buat,seperti arti kata
hadis maudhu’ yang berarti hadis yangdidustakan/dipalsukan/dibuat-buat.[2]
Adapun
pengertian tafsir maudhu’i (tematik) ialah mengumpulkan ayat-ayat al-qur’an
yang mempunyai tujuan yang satu yang bersama-sama membahas judul/topik/sektor
tertentu dan menertibkannya sedapat mungkin sesuai dengan masa turunnya selaras
dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan
penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan
ayat-ayat lain, kemudian mengistimbatkan hukum-hukum.[3]
Menurut
al-Sadr bahwa istilah tematik digunakan untuk menerangkan ciri pertama bentuk
tafsir ini, yaitu ia mulai dari sebuah terma yang berasal dari kenyataan
eksternal dan kembali ke Alquran. la juga disebut sintesis karena merupakan
upaya menyatukan pengalaman manusia dengan alqur’an.[4]Namun
ini bukan berarti metode ini berusaha untuk memaksakan pengalaman ini kepada Alquran
dan menundukkan Alquran kepadanya.Melainkan menyatukan keduanya di dalam
komteks suatu pencarian tunggal yang ditunjukkan untuk sebuah pandangan Ialam
mengenai suatu pengalaman manusia tertentu atau suatu gagasan khusus yang
dibawa oleh si mufassir ke dalam konteks pencariannya. Bentuk tafsir ini
disebut tematik atas dasar keduanya, yaitu karena ia memilih sekelompok ayat
yang berhubungan dengan sebuah tema tunggal. Ia disebut sistetis, atas dasar
ciri kedua ini karena ia melakukan sintesa terhadap ayat-ayat berikut artinya
ke dalam sebuah pandangan yang tersusun.
Menurut
al Farmawi bahwa dalam membahas suatu tema, diharuskan untuk mengumpulkan
seluruh ayat yang menyangkut terma itu.Namun demikian, bila hal itu sulit
dilakukan, dipandang memadai dengan menyeleksi ayat-ayat yang mewakili
(representatif).[5]
Dari
beberapa gambaran di atas dapat dirumuskan bahwa tafsir maudhu’i ialah upaya
menafsirkan ayat-ayat Alquran mengenai suatu terma tertentu, dengan
mengumpulkam semua ayat atau sejumlah ayat yang dapat mewakili dan
menjelaskannya sebagai suatu kesatuan untuk memperoleh jawaban atau pandangan
Alquran secara utuh tentang terma tertentu, dengan memperhatikan tertib
turunnya masing-masing ayat dan sesuai dengan asbabun nuzul kalau perlu.
1.2
Rumusan Masalah
a. Apa makna surat al – baqarah ayat : 228 – 231 secara lafdzi?
b. Bagaimana azbabun nuzul surat al – baqarah ayat : 228 – 231?
c. Apa makna secara ijmali surat al – baqarah ayat : 228 – 231?
d. Bagaiman hukum – hukumnya?
e. Apa hikmah diturunkan ayat tersebut?
1.3
Tujuan
Tujuan dari
penulisan makalah ini tidak lain untuk mengetahui makna – makna yang terkandung
dalam al – qur’an khususnya dalam surat al – baqarah ayat 228 – 231. Yang mana
dalam ayat tersebut menceritakan tentang hukum – hukum talak, serta dapat mengetahui
sebab – sebab diturunkannya ayat tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
قرؤ: جمع قرءبالفتح والضم, ويطلق في كلام العرب على [الحيض] وعلى
[الطهر] فهو من الأضداد.
قال في قاموس :[ والقرء بالفتح ويضم:
الحيض, والطهر, والقت, وأقرأت حاضت وطهرت, وجمع الطهر: قرؤ,وجمع الحيض:اقراء].
وأصل القرء: الاجتماع وسمي الحيض قرءا
لاجتماع الدم في رالرحم.[7]
قال الاخفش : [أقرأت المراة اذا صارت
صاحبة حيض, فاذا حاضت قالت: قرأت] ومن مجيء القرء بمعنى "الحيض" قوله
النبي صم. لفاطمة بنت ابي حبيش "دعي الصلاة ايام أقراءك". أي أيام حيضك,
وقوله اشاعر:
ومن مجيءة بمعنى " الطهر" قول
الأعشى:
مورثة
عزّا وفي الحي رفعة ↔ لما ضاع فيها من
قروء نساءكا.
وبعولتهن: اي أزواجهن جمع بعل بمعنى
الزوج قال الله تعالى: #x»ydurÍ?÷èt/$¸øx©(
{هود:72} والمراة بعلة ويقال لها : بعل ايضا أفاده صاحب القموس.
وأصل البعل : السيد المالك, يقال :من
بعل هذه الناقة؟ اي من ربها ؟ ومن سيدها؟
والمعنى: أزواج المطلقات أحق برجعتهنّ
في مدة التربص بالعدة.
درجة
: الدرجة في الغة المنزلة الرفيعة قال تعالى:" öNèdìM»y_uyyYÏã«!$#3
"[آل عمران: [167وسميت درجة تشبيها لها بالدرج الذي يرتقى به الى السطح, ويقال لقارعة
الطريق مدرجة لانها تطوى منزلا بعد منزل, واصل "درج" بمعنى طوى يقال :
درج القوم أي طووا عمرهم وفنوا وفي الأمثال [ هو أكذب من دبّ ودرج] أي أكذب
الأحياء والأموات.
عزيز حكيم : اي منيع السلطان غالب
لايغلب, حكيم في احكامه وافعاله.
الطلاق : الطلاق حلّ عقدة النكح, واصله
الاطلاق والتخلية, يقال: ناقة طالق اي مهملة قد تركت في المرعى بلا قيّد ولا راعي,
فسميت المراة المخلّى سبيلها طالقا لهاذا المعنى.قال الراغب: اصل الطلاق التخليةُ
من الوثاق يقال: أطلقت البعير من عقاله وطلقته اذا تركته بلاقيد, ومنه استعير:طلقت
المراة نحو خليّته فهي طالق أي مخلاة عن جِبالة النكاح, وطلقه المرض أي خلاه قال
الشاعر:
"تطلقه
طورا وطورا تراجع"[8]
تسريح
: التسريح: ارسل الشيء, ومنه التسريح الشعر ليخص البعض من البعض, وسرّح الماشية:
أرسلها لترعى السرح وهو شجر له ثمر, ثم جعل لكل ارسال في الرعي.
قال الراغب: "والتسريح في الطلاق
مستعار من تسريح الاءبل كالطلاق في كونه مستعارامن اطلاق الابل."
فبلغن أجلهنّ اي قاربن انهاءالعدة, لأنه
بعد انقضاء العدة لاسلطان للرجال عليها, والعرب تقول: بلغ البلد اذا شارف الوصول
اليها.
قال الشوكان: "البلوغ الى الشيء:
معناه الحقيقي الوصول اليه, ولا يستعمل البلوغ بمعنى المقربة الامجازا لعلاقة مع
القرينة كما هنا, لاان المرأة اذا خرجت من العدة لم يبقَ للزوج عليها سبيل".
ضرارا : اي بقصد الإضرار, قال القفال :
الضرار هو المضارة قال تعالى: úïÏ%©!$#ur(#räsªB$##YÉfó¡tB#Y#uÅÑ
[التوبة ÇÊÉÐÈ
]. أي ليضارّوا المؤمنين, ومعنى المضارة الرجوع الى اثارة العداوة, وازالة الفة.
تعضلوهنّ : العضل: المنع والتضييق,
يقال: أعضل الأمر: ادا ضاقت عليك فيه الحيل, وداء غضال اي شديد عسير البرء أعيا
الأطباء, وكل مشكل عندالعرب فهو معضل, ومنه قول الشافعي رضي الله عنه:
اذا
العمضلات تصدّينني كشفت حقائقها
بالنظر
قال
الأزهري : أصل العضل من قولهم : عضلة الناقة اذا نشب ولدها فلم يسهل حروجه, وعضلت
الدجاجة اذا نشب بيضها فلم يخروج.
والمعنى
: فلاتمنعوهنّ من الزواج بمن اردن من الأزواج بعد انقضاء عدتهن.
أزكى
لكم : أي أنمى وأنفع يقال : زكا الزرع اذانما بكثرة وبركة.
طهر
: من الطهارة وهي التنزه عن الدنس وعن الذنوب والمعاصي.
2.2 Asbabun Nuzul
Menurut At
Thurmudzi Al Hakim, siti Aisyah menerangkan bahwa dahulu orang laki-laki boleh
mentalak istrinya dengan semaunya. Sedangkan perempuan yang ditalak tersebut
tetap istrinya jika dirujuk diwaktu iddah.Walaupun dia ditalak sampai seratus
kali. Sampai orang laki-laki bertanya kepada istrinya: “Demi Allah saya tidak
akan mentalak engkau lagi. Tolonglah carikan keterangan dan saya tidak akan
mendekatimu untuk selamanya.” Istrinya bertanya: “Bagaimana itu?” suami: “saya
telah berkali-kali menealak engkau tapi setiap kali akan habis masa iddahmu,
saya rujuk padamu.” Maka pergilah perempuan itu kepada Rosulullah. Beliau tidak
menjawab sampai akhirnya turun ayat Al Baqarah :229.[9]
Ditakhrij oleh Ibnu Jarir dari Ibnu Abbas r.a, berkata: ada seorang
laki-laki yang menceraikan istrinya kemudian merujuknya sebelum habis masa
iddahnya kemudian menalaknya lagi. Dia melakukan hal tersebut dengan maksud
menyakiti dan mempersulit istrinya sehingga turunlah ayat 231 dari QS.
Albaqarah.[10]
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Tirmidzi, dari ma’qil bin yasar ra.
Seesungguhnya saudaranya dilamar oleh seorang laki-laki dari kaum muslim
dihadapan Rosulullah SAW, kemudian dinikahkannya dengan saudarnya. Selang
beberapa waktu ia menceraikannya dan tidak merujuknya sampai masa iddahnya
habis. Tetapi ia masih mencintai mantan istrinya begitupun istrinya masih
mencintainya. Kemudian ia melamar kembali mantan istrinya. Ma’qil berkata
kepadanya: hai laknat! Aku muliakan engkau karenanya, aku kawinkan kau
dengannya dan kamu menceraikannya. Demi Allah dia tidak akan kembali kepadamu
selamaya. Rosul berkata: sesungguhnya Allah mengetahui keinginannya kepada
istrinya dan keinginan istri kepada suaminya. Kemudian turun QS. A Baqarah ayat
232. Setelah itu ma’qil mengawinkannya karena ta’at kepada Tuhannya.
Diriwayatkan,
bahwa orang – orang jahiliyah tidak mempunyai bilanagan talak.Mereka mentalak
istrinya dengan sesuka hati.Jika masa iddah wanita itu sudah hampir habis,
dirujuknya. Dizaman Nabi SAW.sendiri sudah pernah terjadi seorang suami yang sengaja
hendak mentalak istrinya dengan mengatakan pada istrinya itu: akau tidak akan
tidur bersamamutetapai aku juga tidak akan membiarkan kamu lepas. Wanita itu kemudian bertanya? Apa maksudmu? Ia menjawab, engkau ku talak,
tetapi kalau masa iddah hampir habis, engakau kurujuk. Begitulah, kemudian
wanita itu melaporkan kepada Nabi SAW. Maka turunlah surat al-baqarah ayat 229.[11]
Ibnu jarir meriwayatkan dari jalan Ibnu Abbas r.a., ia berkata: pernah
terjadi seorang suami mentalak istrinya, kemudian merujuk sebelum masa iddahnya
habis, kemudian ditalak lagi. Ia berbuat demikian dengan maksud hendak menyusahkan istrinya dan
menghalang halangi istri itu. Begitulah lalu Allah menurunkan ayat 231 ini.[12]
Imam Bukhari
dan Tirmidzi meriwayatkan dari jalan Ma’qil bin Yasar r.a., bahwa dia pernah
mengawinkan saudara perempuannya dengan seorang laki – laki, padahal perempuan itu sebagaimana layaknya
perempuan – perempuan lainnya. Lalu dia ditalak sekali, dan tidak dirujukinya
sampai hampir habis masa iddahnya.Dia masih suka pada istrinya itu dan begitu
juga dengan istrinya.Kemudian dia dipinang lagi. Maka ketika itu Ma’qil berkata
kepadanya: kurang ajar! Sudah kuhormat engkau, dan kukawinkan saudaraku
denganmu, tetapi kemudian engkau cerai dia. Demi Allah dia tidak akan kembali
kepadamu untuk selama-lamanya.
Begitulah, oleh karena Allah mengetahui hajat suami kepada istrinya dan
hajat istri kepada suaminya, maka Allah menurunkan ayat 232. Setelah Ma’qil
mendengar ayat tersebut dai Nabi SAW., sontak ia mengatakan: sungguh kudengarkan
kalam tuhanku itu dan kuta’ati. Lalu laki – laki itu dipanggilnya, seraya
mengatakan: kukawinkan engkau dan kuhormati engkau.[13]
2.3 MAKNA IJMALI
Makna ijmali dari surat al baqorah ayat 228
Setelah
menjelaskan perihal orang yang melakukan ilapada ayat-ayat yang telah
lalu, di mana ia di perbolehkan menggauli istrinya kembali atau bertekad dan
berniat mentalaknya dengan menjauhinya dan tidak menggaulinnya, pada ayat ini
allah menjelaskan tentang masalah hukum-hukum sebagai kelanjutan pembahasan ayat
ayat yang telah lalu.[14]
PENJELASANNYA
àM»s)¯=sÜßJø9$#urÆóÁ/utIt£`ÎgÅ¡àÿRr'Î/spsW»n=rO&äÿrãè%4
“Wanita-wanita
yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.”
Wanita-wanita yang
telah di talak dan sudah mengalami haid bukan wanita yang sudah putus haidnya
dan bukan wanita di bawah umur yang belum pernah mengalami haid mereka harus
menunggu tiga kali haidh sejak talak jatuhnya untuk bisa kawin lagi.Hikmah yang
terkandung dalam perintah ini ialah, untuk mengetahui bahwa mereka tidak dalam
keadaan hamil (dengan suaminya terdahulu).[15]
Dalam firman Allah (`ÎgÅ¡àÿRr'Î/) terkandung
isyarat yang menyatakan bahwa wanita yang berada dalam masa iddah wajib
mengekang keinginannya untuk menikah lagi dan menahan nafsu syahwatnya sampai
berakhir masa tersebut. Dan dalam masa ini mereka di agungkan dan di mulyakan,
sehingga wali – wali mereka tidak boleh memerintah mereka untuk kawin lagi
dengan cara terang terangan.[16]
Sedangkan makna ijmali dari surat Al baqoroh ayat 229 – 230 adalah:
Talak pada zaman jahiliyah.
Orang-orang Arab
pada zaman jahiliyah sudah mengenal talak ‘iddah dan ruju’ dalam
masa ‘iddah. Tetapi, talak pada masa itu tidak mempunyai batasan dan
juga dan tidak ada bilangannya .apabila talak tersebut di sebabkan kemarahan
atau pertengkaran, maka seorang suami dapat kembali pada istrinya dan kehidupan
rumah tangga seperti biasanya. Dan apabila talak tersebut di maksutkan untuk
menyakiti istrinya, maka ia akan kembali kepada istrinya sebelum habis mas
iddah dan siap untuk menjatuhkan talak yang baru, demikianlah seterusnya.
Sehingga keadaan kaum wanita pada masa itu tidak lebih sebagai barang mainan
seorang laki-laki. Mereka akan mentalak istri-istri mereka kapan saja mereka
suka.[17]
Kemudian Islam
datang memperbaiki urusan kemasyarakatan mereka dalam masalah perkawinan, talak
dan ruju’[18]
Imam turmudzi dan
hakim mengeluarkan sebuah riwayat dan siti aisyah yang mengatakan. “pernah
terjadi lelaki mentalak istrinya kapan saja ia suka”. Ia masih tetap menjadi
istrinya kapan saja suaminya kembali kepadanya dalam masa iddah
sekalipun ia mentalaknya seratus kali atau lebih. Sampai lelaki tadi berkata
kepadanya “Demi Allah aku tidak akan mentalak kamu, tapi menyingkirlah dari
saya dan aku tidak menaungi kamu selamanya. Istrinya berkata, “Bagaimana bisa
begitu ?.suaminya melanjutkan perkataanya , “saya mentalakmu, tetapi begitu
iddahmu hampir habis saya ruju’ kepadamu, demikianlah seterusnya.[19]
Kemudian Allah
menurunkan ayat ini:
ß,»n=©Ü9$#Èb$s?§sD(
Sesunggunya tathliq syar’i yang
telah ditetapkan oleh Allah dalam
masalah talak ini dan masih berada dalam kekuasaan suami, ialah dua kali
talak.pada setiap talak dari dua kali talak ini seorang suami tetap boleh
memlihara istrinya dalam kekuasaannya, kemudian bisa kembali lagi. Adapun
menjatuhkan talak dua kali atau tiga kali sekaligus, haram hukumnya sebagai
mana pendapat sebagian para ulama’. Diantara mereka adalah Umar. Utsman, Ali,
Abdullah Ibnu Masud, dan Abu Musa al – asy’ari.[20]
Adapun talak yang masih
diperbolehkan untuk kembali pada istrinya hanyalah talak yang dilakukan dua
kali saja. Jika talak dijatuhkan untuk yang ketiga kalinya, maka suami tidak
diperbolehkan untuk rujuk kecuali istrinya sudah kawin lagi dengan orang lain.[21]
(88$|¡øBÎ*sù>$rá÷èoÿÏ3÷rr&7xÎô£s?9`»|¡ômÎ*Î/3
Tidak ada pilahan lagi bagi kalian
setelah dua kali talak, kecuali memilih satu dari dua kemungkinan, yaitu tetap
memegangnya atau mentalaknya dengan baik.
Kemudian firman
Allah sebagi lanjutannya:
bÎ*sù$ygs)¯=sÛxsù@ÏtrB¼ã&s!.`ÏBß÷èt/4Ó®LymyxÅ3Ys?%¹`÷ry¼çnuöxî3
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak
yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin
dengan suami yang lain.”
Apabila seorang suami memilih
melepaskan istrinya, maka jatuh talaknya sebagai talak bain, dan tidak boleh
dikawin lagi oleh bekas suaminya kecuali jika ia pernah kawin dengan orang lain
dan sudah di campuri.[22]
Makna ijmali dari surat albaqarah ayat 231
Pada ayat ayat
yang telah lalu, allah telah menjelaskan masalah talak yang telah di akui oleh
syariat beserta iddahnya melalui firmannyaAth-Thalaqu marratani fa imsakun bima’rufin, au tasri-hun bi ihsanin, yang pada asalnya talak ini tidak memakai imbalan sebagai mana yang
difirmakan oleh nya. Wa la ya hillu lakum an takhuduzu mimma at taytumuhunna
syaian,kemudian diperbolehkan mengambil pengganti dengan syarat yang
dijelaskan oleh firmannya berikut ini, fain khiftum alla yuqima hududa
‘l-lah fala junaha alaiha fiyma ftadat bihi.[23]
Pada ayat selanjutnya, allah
menjelaskan kewajiban yang harus dilaksanakan dalam memperlakukan wanita-wanita
yang di talaq. Dan pada ayat ini allah melarang seseorang melakukan
kebalikannya, serta mengancam siapapun yang melakukannya. Selanjutnya, allah menjelaskan
hikmah dan maslahat yang terkandung dalam menjalankan perintah-perintah nya
serta dalam meninggalkan larangan-larangan nya.[24]
Dimakruhkan
menjatuhkan talak ketika hubungan pergaulan suami istri sedang rukun, damai,
dan tentram.Demikian menurut kesepakatan para ulama’.Namun, Hanafi yang
mengharamkannya.
Dalam hal yang menjatuhkan talak
laki-laki atau perempuan menurut Maliki, Syafi’I, dan Hambali mengatakan
bahwa yang menjatuhkan talak adalah laki-laki, sedangkan Hanafi berpendapat
yang menjatuhkan talak adalah perempuan. Adapun bentuknya, menurut pendapat
jamaah, adalah bagi laki-laki merdeka mempunyai tiga talak, sedangkan bagi
budak dua kali talak. Hanafi berpendapat perempuan merdeka mempunyai tiga
talak, sedangkan budak perempuan mempunyai dua kali talak, baik suaminya
seorang yang merdeka maupun budak.
Seseorang
mentalak istrinya dengan suatu sifat, seperti seseorang berkata, “Jika kamu
memasuki rumah itu maka tertalak.” Kemudian ia menceraikan istrinya, padahal
istrinya tidak melanggar ta’liq tersebut dalam keadaan sudah diceraikan. Lalu,
suaminya menikahinya lagi, dan istri tersebut memasuki rumah yang pernah
dijadikan ta’liq talak oloeh suaminya.Dalam hal ini, jika talak tersebut bukan
talak tiga maka ta’liq nya tidak berlaku lagi.Demikian menurut Hanafi dan
Maliki.
Sementara itu,
Syafi’I mempunyai tiga pendapat: pertama, seperti pendapat Hanafi,
Kedua, jika talak tersebut adalah talak tiga maka ta’liq tersebut tidak ada
gunanya. Ketiga, jika talak tersebut adalah talak ba’in, kemudian suaminya
menikahinya lagi dan lalu menyetubuhinya maka ta’liq nya yang dahulu tidak
berlaku lagi.Inilah pendapat yang paling shahih dari Syafi’i.
Hambali
berpendapat ta’liq talak itu tidak berlaku, baik istri sudah terlepas dengan
talak tiga maupun dengan kurang dari talak tiga.Adapun jika perempuan tersebut
memasuki rumah itu dalam keadaan telah ditalak maka tidak berulang ta’liq atau
sumpah tersebut.Demikian menurut pendapat Hanafi, Syafi’I, dan Maliki.Hambali
berpendapat ta’liq tersebut tetap berulang dengan berulangnya pernikahan.
Para imam
mazhab sepakat bahwa talak yang dijatuhkan pada masa haid setelah disetubuhi
atau pada masa suci setelah disetubuhi hukumnya adalah haram, tetapi talaknya
tetap sah.Demikian pula, mengumpulkan tiga talak sekaligus dengan sekali ucapan
hukumnya adalah haram, tetapi talaknya tetap sah.
Imam Syafi’I
mengatakan bahwa teman-teman kami berselisih pendapat dalam masalah khulu’.
Telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Amr ibnu Dinar, dari Tawus, dari
Ibnu Abbas mengenai massalah seorang lelaki yang menceraikan istrinya dua kali
talak, sesudah itu istri meminta khulu’ darinya. Imam syafi’imengatakan, telah
menceritakan pula kepada kami Sufyan, dari Amr, dari Ikrimah yang mengatakan
bahw asegala sesuatu yang diperbolehkan melalui imbalan harta bukan talak
namanya.
Mazhab Hanafi
mengatakan, “Manakala Mukhali’ berniat dengan khulu’nya itu menjatuhkan sekali
talak atau dua kali atau mutlaknya, maka yang terjadi adalah talak satu
ba’inah.Jika pihak suami berniat menjatuhkan tiga talak, maka yang jatuh adalah
tiga talak.”
Imam syafi’I
mempunyai pendapat lain dalam masalah khulu’, yaitu manakala khulu’ terjadi
bukan dengan lafaz talak dan lagi tidak ada bayyinah (bukti/saksi), maka hal
tersebut bukan dinamakan sebagai suatu masalah sama sekali.
Imam Malik,
Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I, Imam Ahmad, Ishaq ibnu Rahawiyah dalam salah
satu riwayat darinya yang terkenal mengatakan, wanita yang meminta khulu’
mempunyai iddah sama dengan iddah wanita yang ditalak, yaitu tiga quru’ jika ia
termasuk wanita yang berhaid.
Adapun dasar hukum perempuan yang ditalak tiga kali quru’ sebagai berikut,
Perempuan yang dimaksud ialah :yang sudah sudah pernah dicampuri dan tidak
dalam keadaan hamil. Sebab perempuan yang belum pernah dicampuri tidak ada
iddahnya, sebagaimana firman Allah:[26]
$pkr'¯»ttûïÏ%©!$#(#þqãZtB#uä#sÎ)ÞOçFóss3tRÏM»oYÏB÷sßJø9$#¢OèO£`èdqßJçGø)¯=sÛ`ÏBÈ@ö6s%br& Æèdq¡yJs?$yJsùöNä3s9£`Îgøn=tæô`ÏB;o£Ïã$pktXrtF÷ès?(£`èdqãèÏnGyJsù£`èdqãmÎh| ur%[n#u| WxÏHsdÇÍÒÈ
Artinya “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
menikahi perempuan- perempuan yang beriman, Kemudian kamu ceraikan mereka
sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah
bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah[27]
dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.”(QS.Al-Ahzab : 49)
Sedang iddah perempuan yang hamil, ialah sampai melahirkan,
sebagaimana firman Allah:
£`èdqãZÅ3ór&ô`ÏBß]øymOçGYs3y`ÏiBöNä.Ï÷`ãrwur£`èdr!$Òè?(#qà)ÍhÒçGÏ9£`Íkön=tã4bÎ)ur£`ä.ÏM»s9'ré&9@÷Hxq(#qà)ÏÿRr'sù£`Íkön=tã4Ó®Lymz`÷èÒt£`ßgn=÷Hxq4÷bÎ*sùz`÷è|Êör&ö/ä3s9£`èdqè?$t«sù£`èduqã_é&((#rãÏJs?ù&ur/ä3uZ÷t/7$rã÷èoÿÏ3(bÎ)ur÷Län÷| $yès?ßìÅÊ÷äI|¡sùÿ¼ã&s!3t÷zé&ÇÏÈ
Artinya“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu
bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka
untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah
ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga
mereka bersalin, Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka
berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala
sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh
menyusukan (anak itu) untuknya.”(QS. At-Thalaq : 6).
Adapun perempuan yang tidak pernah haid atau yang memang
sudah putus dari haid, iddahnya tiga bulan, sebagaiman firman Allah:
Ï«¯»©9$#urz`ó¡Í³tz`ÏBÇÙÅsyJø9$#`ÏBö/ä3ͬ!$|¡ÎpSÈbÎ)óOçFö;s?ö$#£`åkèE£ÏèsùèpsW»n=rO9ßgô©r&Ï«¯»©9$#uróOs9z`ôÒÏts4àM»s9'ré&urÉA$uH÷qF{$#£`ßgè=y_r&br&z`÷èÒt£`ßgn=÷Hxq4`tBurÈ,Gt©!$#@yèøgs¼ã&©!ô`ÏB¾ÍnÍöDr&#Zô£çÇÍÈ
Artinya“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi
(monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa
iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula)
perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu
iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa
yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam
urusannya.”(QS. At-Thalaq : 4).
Ini
semua sebagai takhshish (pengecualian) dari ayat diatas.Jadi iddah tiga kali
quru’ yang dimaksud ialah bagi perempuan yang sudah bukan anak-anak, bukan yang
sudah putus dari haid dan bukan dalam keadaan hamil.
Maksud kata “Quru’”[28]
Quru;
menurut bahasa berarti haid atau suci.Tetapi para ulama fiqih berbeda pendapat
mengenai pengertian quru’. Dimana terdapat dua pendapat :
a.
Imam Malik dan Syafi’I berpendapat bahwa yang dimaksud quru’
diatas ialah suci. Pendapat ini juga yang diriwayatkan dari Ibnu Umar, Aisyah,
Zaid bin Tsabit dan juga salah satu dari dua pendapat Imam Ahmad.
b.
Abu Hanifah dan Ahmad mengatakan bahwa, yang dimaksud quru’ diatas
ialah haid. Dan ini pula yang diriwayatkan dari Umar, Ibnu Mas’ud, Abu Musa,
Abu Darda’, dan lain-lain.
Alasan-Alasan[29]
1. Alasan Imam Malik dan Syafi’i
a.
Adanya “ta” dalam kata bilangan “tslatsata quru” yang menunjukkan
bahwa itu mudzakar. Sedang kata quru’ dalam arti mudzakar adalah suci.
b.
Diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata :
اتدرون
ما الاقراء ؟ الاقراء الاطهار
“Tahukah kamu, apakah aqra’ itu?Aqra’ ialah suci”.
Imam
Syafi’i mengatakan bahwa perempuan dalam hal ini lebih tahu.Sebab peristiwa itu
hanya terjadi pada diri perempuan.
c.
Firman Allah mengatakan “Talaklah mereka itu untuk menghadapi
iddah mereka” (QS. At-Thalaq : 1), dimana sudah jelas, bahwa talak di waktu
haid itu dilarang. Maka yang dimaksud ayat ini yaitu talak mereka dalam keadaan
suci. Jadi quru’ yang dimaksud dalam ayat diatas adalah suci.[30]
2. Alasan Imam Hanifah dan Ahmad[31]
a.
Iddah itu ditetapkan gunanya untuk mengetahui kebersihan rahim.
Sedang untuk mengetahui kebersihan rahim ialah haid. Imam Ahmad mengatakan “Dulu
aku berpendapat, quru’ itu berarti suci. Tetapi kini aku berpendapat quru’
ialah haid”.
b.
Sabda Nabi SAW, kepada Fatimah binti Abi Hubaisy
دعئ
الصلاة ايام اقراىك
“Tinggalkanlah sholatmu pada hari-hari haidmu”
(HR. Daruquthni)
c.
Sabda Nabi SAW, yang mengatakan :
لا
توطا حامل حتئ تضع ولا حا ىل حتئ تستبرا بحيضة
Perempuan
hamil tidak dicampuri hingga ia melahirkan dan jariyah tidak (boleh dicampuri),
hingga ia haid satu kali”.
Para
ulama’ fiqih sepakat, bahwa istibra’ untuk hamba sahaya itu satu kali
haid.Begitu jugalah halnya iddah ini adalah juga haid, karena haid itulah
satu-satunya motif untuk kebersihan rahim.[32]
d.
Allah menetapkan iddah bulan bagi perempuan yang sudah tidak haid
atau yang memang tidak pernah haid, sebagai gantiiddah haid (QS. At-Thalaq :4).
Ini jelas menunjukan bahwa iddah itu dinilai dengan haid, bukan dengan suci.
Dan inilah dalai yang dinilai paling kuat oleh golongan Hanafiyah.
e.
Jika iddah itu kita hitung dengan haid, maka kemungkinan besar
akan terjadi terpenuhinya tiga kali quru’ itu secra sempurna Sebab perempuan yang
ditalak itu hanya bisa keluar dari iddah dengan hilangnya haid yang ketiga itu.
Berbeda dengan hitungan suci, maka akan terjadi iddah itu hanya berlaku pada
dua kali suci, ditambah dengan sebagian suci, jika perempuan itu di talak di
akhir suci.
2.5 Lathaif surat
al-baqarah ayat:228 – 231
1.
Perkataan”perempuan
– perempuan menuggu... ...“ itu, adalah kalimat berita (kalam khabar), tetapi
mengandung arti perintah. Maksudnya : tunggulah. Gunannya untuk menyentuh hati
supaya mereka diterima dan melaksanakannya.Zamakhsyari berkata dalam tafsirnya al-khayaf.
Ta’bir perintah dengan kalimat khabar itu memberikan arti yang lebih keras,
dengan menggunakan arti perintah itu hendaknya segera dilaksanakan. Jadi seoalah – olah wanita – wanita itu melaksanakan peritah, dan
perintah itu dinyatakan kini sudah ada.
Ta’bir itu diucapkan dalam bentuk berita, untuk memberikan suatu keyakinan,
bahwa doanya itu pasti dikabulkan. Seolah – olah rahmat itu sidah ada, dan ia
memberitakan tentang adanya rahmat tersebut.[34]
2. Kata “menanti” dalam ayat diatas diikat denagn “ diri – diri” tiak cukup
dengan diucapkan “ menanti empat bulan”, ada suatu hikmah, apakah hikmah itu?
Jawabanya: bahwa menyebut anfus ( jiwa ) untuk
lebih dapat membangkitkan perasaan supaya mereka dapat mengekang hawa nafsu dan
siap untuk menanti. Sebab diri perempuan itu dapat membangkitkan perasaan laki
– laki, maka Allah menghendaki kiranya perempuan - perempuan itu dapat kiranya menguasai
dirinya dan ajakan dari hawa nafsunya, yaitu dengan cara memperturutkan
perintah Allah untuk menanti itu. Khithab dari ayat ini ditujukan kepada laki –
laki dan tidak terdapat qoyyidnya.perhatikanlah rahasianya.[35]
3. Perkataan” jika mereka itu beriman kepada Allah dan hari akhir” ini
merupakan syarat, sedang jawabnya dibuang. Ini tidak berati perempuan ahli
kitab tidak termasuk didalamnya. Bahkan perintah menunggu sampai habis masa
iddah itu tetap berlaku bagi mereka. Gaya bahasa seperti itu sudah biasa.
Misalnya orang mengatakan: “ kalau engkau beriman, janganlah engaku menyakiti
ayahmu”, “ jika kamu muslim janganlah engkau meniru orang lain”. Ini tidak
berati kalau tidak beriman, tidak muslim, boleh menyakiti dan boleh menipu.[36]
4. Perkataan” suami – suami mereka lebih berhak untuk merujukinya”itu, oleh
Imam Fakhurazzi dikatakan: bahwa hikmah ditetapkannya merujuk itu, karena
manusia itu selama masih ada bersama temannya, tidak tahu apakah perpisahannya
itu akan memberatkan dirinya atau tidak. Karena itu, jika Allah menetapkan perceraian
sekali itu menghjalang kembali untuk selamanya, berarti semakin besar kesusahan
manusia. Sebab kadang – kadang mahabbah itu timbul sesudah perpisahan.
5. Perkataan “ dan wanita mempunyai hak sebanding dengan kewajiban mereka
dengan cara yang baik” itu, adalah omongan singkat (ijaz) dan indah (ibda’),
yang sudah dikenal oleh ahli ilmu Bayan, dengan dibuang yang pertama dengan
qarinah kedua, dan dibuang yang kedua dengan qarinah yang pertama. Yakni seolah
– olah allah mengatakan : perempuan mempunyai hak atas laki – laki, sebanding
dengan hak laki – laki atas perempuan. Susunan seperti ini dalam ilmu badi’
dinamakn ilmu “thibaq” (persesuaian) antara dua lafal “ lahunna” dan “
alaihinna”.[37]
6.
Derajat yang dimaksud dalam ayat diatas, bukan
derajat kemulyaan; tetapi derajat tanggung jawab. Hal ini di[perjelas dalam
surat an-nisa’ yang mengatakan:laki laki adalah pengurus atas perempuan.
Pengurus yang dimaksud ialah tentang
penyantunan, pertanggungan jawab dan nafaqah. Sedang untuk maslah kemulyaan,
Allah telah menetapkan neraca tersendiri, yaitu taqwa dan amal shaleh. Seperti
firman Allah:
$pkr'¯»tâ¨$¨Z9$#$¯RÎ)/ä3»oYø)n=yz`ÏiB9x.s4Ós\Ré&uröNä3»oYù=yèy_ur$\/qãèä©@ͬ!$t7s%ur(#þqèùu$yètGÏ94¨bÎ)ö/ä3tBtò2r&yYÏã«!$#öNä39s)ø?r&4¨bÎ)©!$#îLìÎ=tã×Î7yzÇÊÌÈ
Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa
- bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal.(QS.hujarat:13)[38]
7.
Ibnu Abbas berkata ; pertam terjadinya khulu’:
dalam islam ialah istri Tsabit Bin Qais, ia datang ketempat Rasul seraya
berkata: yarasulullah sesungguhnya kepalaku dan kepala Tsabit tidak pernah bisa
bertemu untuk selam – lamanya, tetapi aku takut berlaku kufur sesudah aku
islam, aku tidak kuat untuk menahan kebencian. “ kata Ibnu Abbas: memang saya
lihat dia sngat hitam, pendaek dan wajahnya snagat jelek. Kemudian Tsabit
berkata pada Rasul: Ya Rasulullah, dia pernah saya beri harta milikku yang
paling berharga yaitu kebun. Kalu memang dia sanggup untuk mengembalikan kebun
itu kepadaku, baiklah aku akan bersedia untuk menceraikannya. Begitulah, lalu
Rasul bertanya kepada sang istri: Bagaiman? Ia menjawab: baiklah dan insyaallah
akan saya tambah. Lalu kedua suami istri itu diceraikannya.[39]
8.
Al – alamah Abu Su’ud berkata: kalimat “
Hududullah” ( hukum – hukm Allah) disebut dalam tiga tempat, yang sebenarnya
cukup menggunakan dhomir, adalah yang dimaksud untuk mendidik persaan takut dan
perasaan dalam hati. Serta disertakannya dengan ancaman, disitu adalah ilmu
balaghah (menguatkan) hukumya itu.[40]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Al Quran Ayat 228-231 suarah Al Baqarah menjelaskan tentang talak sebagai
hak seorang laki-laki kepada perempuan. Talak terbagi menjadi talak raj’i dan
bain. Adapun talak raj’i adalah talak yang dapat dirujuk kembali yang mana telah
diterangkan pada QS. Al Baqarah;228 bahwa talak yang boleh dirujuk hanya dua
kali dengan artian jika sudah tertalak tiga kali maka tidak bisa dirujuk
kembali. Jika seorang istri mendapatkan talak raj’i maka istri tersebut
memasuki masa iddah yakni selama 3 kali suci (menurut imam maliki dan syafii)
atau selama 3 kali haid (imam ahmad dan imam hanafi). Pada masa iddah suami
boleh merujuk atau menceraikan istrinya dengan cara yang baik. Jika masa iddah
sudah selesai maka istri tidak bisa dirujuk kembali kecuali sudah menikah
dengan laki-laki lain.
DAFTAR PUSTAKA
Al-maraghi, ahmad
musthafa. 1984. Terjemah Tafsir Al – Maraghi. Semarang: Toha Putra
Hamidy, Muammal dan Imron A.Manan. 2008. Terjemah
Ayat Ahkam Ash – Shabuni. Surabaya: Bina Ilmu
Ash – Shabuni, Muhammad Ali. Tafsir
Ayat Ahkam Minal Qur’an.
[1] Luia Ma’luf, Al Mun
jid fr al-Lughah wa al-A ‘lam, Dar al-Masyriq, Beirut, 1987, hal.
905.
[2] Abdul Djalal, Urgensi
Tafsir Maudlin’i Pada Masa Kini, Kalam Mulia, Jakarta, 1990, hal.
83-84.
[3] Farmawi al, Abd al-Hayy, Mu jam
al-Alfaz wa al-a’lam al-Our’aniyah, Dar al-`ulum, Kairo, 1968, hal.
52.
[4] Sadr at, Muhammad Baqir, “Pendekaian
Temalik Terhadap Tafsir AI-Qur’an “, dalam Ulumul Quan, Vol I, No.
4, 1990, hal. 34.
[5]Farmawi al, Abd al-Hayy, AI-Bidayah.fi
al-Tafsir al-Maudhu’i, Matba’ah al-Hadarah al`Arabiyah, Kairo,
1977, hal. 62.
[6]التفسير الاية الاحكام عصابونى. ص.224
[7]Ibid hal. 225
[8]Ibid.hal. 226
[9] Bachtiar effendi, hikmah
wahyu ilahi, hal.119
[10]Terjemah Tafsir ayat ahkam
Ash – Shabuni, Hamdi Muammal. Hal.224
[11]Ibid.223-224
[12]Ibid.hal 224
[13]Tafsir ayat ahkam Ash –
Shabuni, Hamdi Muammal. Hal.224
[14]Tafsir al – maraghi. Ahmad Musthafa hal. 306
[15]Ibid hal 306
[16]Ibid hal.307
[17]Ibid hal 316.
[18]ibid
[19]ibid
[20]Ibid hal. 317.
[21]Ibid hal.317
[22]Ibid hal 318
[23]Ibid hal 330
[24]Ibid.
[25] Syaikh al-‘Allamah
Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi,Fikih empat madzhab, Hasyim Press, hlm.
366-367
[27]yang dimaksud
dengan mut'ah di sini pemberian untuk menyenangkan hati isteri yang diceraikan
sebelum dicampuri.
[28]Terjemah Tafsir Ahkam ash – shabuni. Muammal. Hal
228.
[29]Ibid hal.228
[30]Ibid hal 229
[31]Ibid
[32]Ibid.230
[35]Ibid hal. 225
[36]Ibid
[37]Ibid hal 226
[38]Ibid hal 227
[39]Ibid
jazakumullah khair. alhamdulillah membantu...
BalasHapus