DALALAH
LAFZHIYYAH DAN GHAIRU LAFZHIYYAH
(Komparatif
Ulama Hanafiyyah dan Syafi’iyyah)
MAKALAH
MUQARANAH MAZAHIB FIL USHUL II
“Diseminarkan
Dalam Diskusi Lokal PMH Semester VII pada Mata Kuliah Muqaranah Mazahib fil Ushul
II”
Oleh
HANDAYANI
310.006
Dosen Pembimbing:
ZAINAL AZWAR, M.Ag
PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM (PMH)
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
1434 H / 2013 M
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Nash-nash Al-Qur’an dan as-Sunnah
menggunakan bahasa Arab, yang mana pemahaman hukum dari nash-nash tersebut
hanya akan benar apabila dilihat dari ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi
bahasa Arab. Singkatnya, pemahaman makna dan hukum-hukum daripada nash-nash
tersebut bisa dimengerti apabila kita mengetahui dan menggunakan cara-cara
pemahaman masyarakat Arab dalam memahami lafazh-lafazh terkait.
Sehingga dalam makalah ini, penulis
akan memaparkan metode tekstual (pendekatan kebahasaan), yaitu dari segi dilâlah yang
dapat digunakan untuk memahami hukum-hukum yang ada dalam nash-nash Al Qur’an
dan as Sunnah.
B.
Tujuan
Pembuatan Makalah
Makalah
ini penulis buat dengan tujuan untuk mengembangkan dan menambah pengetahuan dan
untuk memenuhi tugas pada mata kuliah “Muqaranah Mazahib fil Ushul II”
yang dibimbing oleh Bapak Zainal Azwar. M.Ag
C.
Batasan Makalah
Makalah
Muqaran Mazahib fil Ushul II ini penulis batasi supaya tidak melenceng
kepada pembahsan berikutnya. Penulis membahas tentang “dalalah
lafziyah dan dalalah Ghairu lafziyyah di kalangan hanafiyyah dan Syafi’iyyah”
a.
Pengertian dalalah
b.
Dalalah Lafziyah menurut Ushul Fiqh
Hanafiyyah dan Jumhur Mutakalimin
c.
Dalalah ghairu Lafziyah menurut Ushul Fiqh Hanafiyah
dan Jumhur Mutakilimin
BAB
II
PEMBAHASAN
DALALAH LAFZHIYAH DAN GHAIRU LAFZHIYYAH
A.
Pengertian Dalalah
Dalalah atau dalalah secara bahasa berarti
petunjuk. Sedangkan secara istilah ulama ushul al-Fiqh[1]
الدلالة هى مايدل اللفظ من معنى
Artinya: “Dalalah adalah suatu pengertian yag
ditunjuki oleh lafazh.”
الدلالة هى مايقتضيه اللفظ عند الإطلاق
Menurut Ulama Hanafiyah, sebagai
pedoman untuk menggali dan memahami lafazh-lafazh al-nash tersebut
dapat dilakukan dengan melalui pemahaman dalalah lafzhiyah dan dilâlah
ghairu lafzhiyah.[2]
B. Dalalah Lafziyah dan Pembagianya
Dalalah
lafzhiyah/الدلالة اللفظيه (penunjukan bentuk lafaz) yaitu dalalah
dengan dalil yang digunakan untuk memberi petunjuk kepada sesuatu dalam bentuk
lafaz, suara atau kata. Dengan demikian, lafaz, suara dan kata, menujukkan
kepada maksud tertentu itu diketahui melalui tiga hal:
1.
Melalui hal-hal yang bersifat alami yang
menujukan kepada maksud tertentu yang dapat diketahui oleh setiap orang
diseluruh alam. Umpamanya ‘rintihan” yang keluar dari mulut seseorang adalah
memberi petunjuk bahwa orang yang mengeluarkan suara rintihan itu berada dalam
kesakitan. Dengan adanya rintihan, maka semua orang mengetahui bahwa itu sakit,
meskipun tidak pernah menyatakan bahwa ia sedang kesakitan. Petunjukan dalalah
seperti disebut “thabi ‘yyah (طبيعيه), secara lengkap biasa disebut dalalah
lafzhiyyah thabi ‘yyah (الدلالة اللفظية الطبعيه)
2.
Melalui Akal
Maksudnya adalah dengan perantaraan akal pikiran, seseorang
dapat mengetahui bahwa suara atau kata yang didengarnya memberi petunjuk kepada
maksud tertentu. Umpamanya suara kendaraan dibelakang rumah itu. Dengan adanya
“suara” itu dapat dicerna oleh akal bahwa suara itu adalah suara kendaraan
jenis tertetu, meskipun kendaraan tersebut belum dilihat secara nyata.
Penunjukan sacara suara tersebut dinamai “aqliyah” (عقليه) secara lengkap
biasa disebut dalalah lafzhiyah
‘aqliyah” (دلالة لفظية عقلية)
3.
Melalui Istilah
Dapat dipahami
bersama untuk maksud tertentu. Umpamanya kalau kita mendengar ucapan, “Binatang
yang mengeong” kita akan mengetahui apa maksud ucapan itu, yaitu ‘kucing”. Hal
ini dimungkinkan kita sudah memahami dan menggunakan ungkapan “binatang yang
mengeong” itu untuk memberi istilah kepada ‘kucing”. Penunjukan bentuk ini
disebut “wadhi’yah (وضعية),
secara lengkap
biasa disebut dalalah lafdhiyyah wadhi’yyah (الدلالة اللفظية
الو ضعية).[3]
Ada dua kelompok pendapat
tentang tingkat dilalah Lafazh dari segi kejelasan, Golongan Hanafiyah dan
Golongan Mutakalimin. Dalalah lafzhiyah merupakan dalalah yang
ditunjukkan secara jelas oleh lafazhnya. Ulama Hanafiyah membagi dalalah lafzhiyah ini
menjadi empat bagian, yakni:[4]
a. Ibarah
Nash
Ulama ushul fikih mendefinisikan ‘ibarah nash ini
bermacam-macam. Definisi-definisi tersebut dapat dikemukakan disini antara
lain:
1) Menurut
Abu Zahrah:
‘‘Ibarah
Nash adalah makna yang dapat dipahami dari lafazh, baik itu lafazh zharir atau
lafazh nash, atau baik itu lafazh muhkam atau bukan muhkam.”
2). Menurut Syaykh al-Khudlariy:
“Ibarah Nash itu lafazh dan artinya
adalah petunjuk lafazh atas makna yang dimaksudkan, baik yang dimaksudkan itu
makna asli atau bukan asli.”
Dapat disimpulkan bahwa ‘ibarah
nash mengandung lafazh yang tersusun dari dua maksud hukum, yakni
maksud hukum yang asli (hukum yang mula-mula dipakai) dan maksud hukum bukan
asli (taba’iy = ikutan). ‘Ibarah nash mengandung makna yang segera
dapat dipahami dari susunan lafazhnya.
Contoh lafazh ‘ibarah nash:
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz wr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz wr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷r& 4 y7Ï9ºs #oT÷r& wr& (#qä9qãès? ÇÌÈ
Artinya: Dan jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana
kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi :
dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,[5]
Maka (kawinilah) seorang saja[6],
atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya.
Pengertian asli dari nash ini
adalah pembatasan jumlah maksimal wanita yang boleh dikawini, yaitu empat
orang. Adapun pengertian tidak asli disini bahwa adanya anjuran/ pembolehan
kawin dengan wanita yang disenangi.[7]
b.
Isyarat Nash
Dalalah
isyarat nash atau isyarat al-Nash adapun yang dimaksud dengan dalalah isyarat
nash adalah petunjuk lafazh yang diperbolehkan dari apa yang tersirat dalam
nash.
Contoh:
w yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ bÎ) ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# $tB öNs9 £`èdq¡yJs? ÷rr& (#qàÊÌøÿs? £`ßgs9 ZpÒÌsù 4 £`èdqãèÏnFtBur n?tã ÆìÅqçRùQ$# ¼çnâys% n?tãur ÎÏIø)ßJø9$# ¼çnâys% $Jè»tGtB Å$râ÷êyJø9$$Î/ ( $)ym n?tã tûüÏZÅ¡ósçRùQ$# ÇËÌÏÈ
Artinya: Tidak ada kewajiban
membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum
kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan
hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu
menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu
pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi
orang-orang yang berbuat kebajikan.
Dari ayat
ini, bahwa berdasarkan ibarah nash, boleh menceraikan istri sebelum bercampur
dan sebelum menentukan maharnya. Akan tetapi, arti yang lazim dan tidak bisa
dipisahkan dari nash ialah sah mengadakan aqad perkawinan tanpa menentukan
maharnya lebih dahulu. Sebab talak (perceraian) tidak akan terjadi (tidak
pernah ada) sebelum adanya akad nikah. Inilah yang disebut dalalah nash.[8]
c.
Dalalah Nash (Petunjuk Nash)
Dalalah nash (Petunjuk Nash) adalah
petunjuk lafazh nash atau suatu ketentuan hukum juga berlaku sama atas sesuatu
yang tidak disebutkan kerena terdapat persamaan illat keduanya.[9]
Jika nash itu ungkapannya
menunjukkan pada hukum suatu kejadian karena ‘illat yang
menjadi dasar hukum itu, kemudian didapati kejadian yang sama ‘illat hukumnya
atau lebih utama daripadanya, maka secara bahasa dapat dipahami bahwa nash itu
mencakup dua kejadian tersebut.[10]
Contoh lafazh:
xsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& wur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJÌ2 ÇËÌÈ
Artinya: Maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia[11]
(Q.S. al-Isra’ 23)
Pengertian secara dalalah nash bahwa
semua perkataan atau perbuatan
yang menyakitkan kedua hati orang tua itu dilarang.[12]
Contoh lain:
¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbqè=à2ù't tAºuqøBr& 4yJ»tGuø9$# $¸Jù=àß $yJ¯RÎ) tbqè=à2ù't Îû öNÎgÏRqäÜç/ #Y$tR ( ÇÊÉÈ
Artinya: “Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya.” (Q.S. An Nisa’ [4]: 10)
Pengertian secara dalalah nash bahwa
membakar, membuang harta anak yatim, serta memberikannya kepada orang lain juga
dilarang.[13]
d.
Iqtidha Nash (Kehendak Nash)
Kehendak nash adalah makna atau pengertian yang mana kalimat itu
tidak dapat dimengerti kecuali dengan memperkirakan adanya pengertian tersebut.
Jadi lafazhnya tidak ada, akan tetapi kebenaran kalimat dan maknanya
membutuhkan pengertian itu.[14]
Seperti
dalam firman Allah SWT:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ اُمَّهاَ تُكُمْ وَبَناَتُكُمْ
Artinya: “Diharamkan atas
kamu (mengawini) ibu-ibumu, dan anak-anakmu yang perempuan.” (Q.S. An
Nisa’: 23)
Pengertian secara iqtidha
nash pada ayat ini adalah “mengawini mereka”, karena menyandarkan
keharaman kepada pribadi ibu dan anak adalah tidak tepat. Maka diperkirakanlah
lafazh yang sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh nash tersebut yakni kata
mengawini.
C. Dalalah Gahiru Lafziyah dan Pembagianya
Dalalah ghairu lafzhiyah merupakan dalalah yang
ditunjukkan secara tidak jelas oleh lafazhnya. Hanafiyah membagi dalalah ghairu lafzhiyah menjadi
empat macam. Mereka menamakan dengan Bayan Dharurah (penjelasan
secara darurat). Keempat macam dalalah itu memberi petunjuk dengan
cara sukut/diam.[15]
Pertama:
اَنْ يَلْزَمَ عَنْ مَذْكُوْرٍ مَسْكُوْتٍ عَنْهُ
Artinya: “Jika
lafazh yang disebut menimbulkan pengertian pada sesuatu yang didiamkan (yang
tidak disebut dalam kalimat itu).”
Sebagaimana firman Allah Swt. dalam
menjelaskan bagian waris kedua orang tua:
4 Ïm÷uqt/L{ur Èe@ä3Ï9 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB â¨ß¡9$# $£JÏB x8ts? bÎ) tb%x. ¼çms9 Ó$s!ur 4 bÎ*sù óO©9 `ä3t ¼ã&©! Ó$s!ur ÿ¼çmrOÍurur çn#uqt/r& ÏmÏiBT|sù ß]è=W9$# 4 ÇÊÊÈ
Artinya: “Dan untuk dua
orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan,
jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak
memiliki anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat
sepertiga.” (Q.S. An Nisa’: 11)
Bentuk kalimat seperti ini
menunjukkan terbatasnya pembagian waris hanya kepada kedua orang tua saja. Dan
khusus ibu mendapat sepertiga bagian, maka sudah pasti bagian yang didiamkan,
yaitu bagian bapak adalah dua pertiga.[16]
Kedua:
دَلاَلَةُ حاَلِ السَّاكِتِ الَّذِى وَظِيْفَتُهُ
الْبَياَنُ مُطْلَقاً
Artinya: “Diamnya
seseorang, padahal tugas orang tersebut harus menjelaskan secara mutlak
kejadian itu.”
Seperti diamnya Rasulullah Saw.,
ketika menyaksikan suatu peristiwa baik berupa perkataan maupun perbuatan.
Selama beliau tidak mengingkari, maka diamnya itu menunjukkan izinnya. Oleh
karena itu penetapan/ taqrir Nabi Saw. merupakan salah satu sunnah, sebagaimana
perkataan atau perbuatannya. Seperti dalam satu riwayat:
عِنْ اَسْمَاءَ بِنْتِ اَبِى بَكْرٍ رَضِ اللهُ عَنْهُماَ قاَلَتْ:
نَحَرْناَ عَلىَ عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ فَرَساً فَأَكَلْناَهُ.
Artinya: “Diriwayatkan dari ‘Asma
putri Abu Bakar ra. ia berkata: Pada masa Rasulullah Saw. kami menyembelih
kuda, kemudian kami memakannya.” (Hadits Muttafaq
‘alaih)
Ketiga:
إِعْتِباَرُ سُكُوْتِ
السَّاكِتِ دَلاَلَةً كاَلنَّطْقِ لِدَفْعِ التَّغْدِيرِ
Artinya: “Diamnya
seseorang dianggap sama dengan perkataannya, untuk mencegah terjadinya
penipuan/ kesamaran.”
Seperti diamnya seorang wali dikala
melihat orang yang berada di bawah perwaliannya melakukan jual beli, sedang ia
tidak melarang. Hal ini menunjukkan bahwa ia memberi izin, sebab kalau tidak
dianggap sebagai izin, maka akan menimbulkan bahaya bagi orang lain. Sedang
menolak bahaya adalah wajib, berdasarkan sabda Rasulullah Saw., yang
diriwayatkan oleh Abi Sa’id al-Khudri:[17]
لاَضَرَرَ وَلاَضِرَارَ .
رواه ابن ماجه
Artinya: “Tidak boleh menimbulkan
bahaya kepada orang lain dan tidak boleh membalas bahaya yang dilakukan oleh
orang lain.” (HR. Ibnu Majah)
Keempat:
دَلاَلَةُ السُّكُوتِ
عَلىَ تَعَيُّنِ مَعْدُودٍ تُعُرِفَ حَذْفُهُ ضَرُوْرَةَ طُوْلِ الْكَلاَمِ
بِذِكْرِهِ
Artinya: “Didiamkan atau tidak
disebutkan jumlah bilangan tertentu karena sudah menjadi kebiasaan agar
pembicaraan/ kalimat tidak terlalu panjang.”
Seperti kata-kata pembeli kepada
penjual: ‘Saya beli seratus potong celana, baju dan kaos’.
Sedangkan yang dimaksud adalah seratus potong celana, seratus potong baju dan
seratus potong kaos.[18]
Dalalah Ghairu Lafziyah menurut Jumhur Sebagaimana
yang akan diabahas berikut ini tentang metode jumhur dalam penggunaan gairu
lafzhiyah. Menurut pandangan
Ulama Syafi’iyyah dalalah Ghairu Lafzhiyah itu ada 2 macam, yiatu dalalah
Manthuq, dan dalalah Mafhum.
1. Dalalah Manthuq (المنطوق)
Secara
bahasa المنطوق
isim maf’ul dari kata نَطَقَ
fa’il dari kata الَنَا طِقُ
fi’il mudhari’nya dari kata يَنْطِقُ masdar dari
kata نُطقًا
yang berarti تكلم (sesuatu yang
diucapkan). Sedangkan menurut istilah ushul fiqh mantuq berarti pengertian
harfiyah dari suatu lafaz yang diucapkan. Adapun dilalah mantuq dalam pandangan
ulama Syafi’iyyah yang dikutip
dalam bukunya Amir Syarifuddin adalah:
دَلاَلَةُ
الّلفْظِ فِىْ مَحَلِّ اْ لنُّطْقِ عَلَى حُكْمِ اْ لمَذْ كُوْرِ
Artinya: Penujukan lafaz menurut apa yang diucapkan atas
hukum menurut apa yang disebut dalam lafaz itu.
Defenisi ini mengadung pengertian bahwa bila
kita memahami “suatu hukum” dari apa yang langsung tersurat dalam lafazh itu
maka disebut pemahaman secara “manthuq”
Sebagaimana firman
Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 23
ãNà6ç6Í´¯»t/uur ÓÉL»©9$# Îû Nà2Íqàfãm `ÏiB ãNä3ͬ!$|¡ÎpS ÓÉL»©9$# OçFù=yzy
Artinya: (Diharamkan atasmu mengawini) anak-anak tiri yang berada
dalam asuhanmu dari istri-istri yang telah kamu gauli.
Ayat
ini menurut manthuqnya menunjukan haramnya menikahi anak tiri yang berada
dibawah asuhan suami dari istri yang telah digauli. Apa yang ditunjuk di sini
memang jelas terbaca dalam apa yang tersurat dalam ayat tersebut. Penunjukannya
begitu jelas dan tidak memerlukan penjelasan tidak memerlukan penjelasan
dibalik yang tersurat ini.
Musthafa Sa’id
al-Khin mendefinisikan manthuq itu dengan sesuatu yang menunjukkan lafazh
ketika di ucapkan, baik mengenai hukum terhadap lafazh yang disebutkan atau
keadaan lafazh itu sendiri, baik hukum itu disebutkan dan diungkapkan ataupun
tidak disebut dan diungkapkan. Jumhur ulama membagi manthuq ini
menjadi dua:
a. Manthuq
al-Sharih
Manthuq al-sharih adalah
dalalahnya itu muncul dari wadh’iyah al-muthabaqiyah dan dalalah
al-wadh’iyah al-tadhammuniyah atau dengan kata lain petunjuk lafazh
kepada seluruh pengertian yang dikehendaki atau sebagiannya saja[19].
Jadi manthuq sharih dalam pengertian Syafi’iyah sama
dengan dalalah al-ibarah dalam pengertian Hanafiyah. Contohnya, firman
Allah yang berbunyi Surat
al-Baqarah 275:
¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$#
Artinya: “Dan Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
Dalam
ayat ini dari segi manthuqnya secara jelas dan tegas dapat dipahami bahwa jual
beli itu halal dan riba itu diharamkan.
b. Manthuq ghairu al-Sharih (tidak Jelas)
Manthuq
ghairu al-sharih adalah
penunjukan lafazh terhadap hukum dengan cara kelaziman bukan dengan cara
keseluruhan atau sebahagian9. Contohnya, firman Allah yang berbunyi :
Artinya:
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara
yang ma’ruf”.
Ayat
ini mengisyaratkan kepada kita bahwa anak itu dinisbahkan kepada ayahnya. Yang
kedua, bahwa nafkah anak adalah kewajiban ayah.
Manthuq
ghairu al-sharih terbagi kepada tiga macam,
yaitu dalalah al-Iqtidha’ , dalalah al-Ima’ dan dalalah
al-Isyarah. Dua macam dalalah, yaitu dalalah al-Iqtidha’
dan dalalah al-Isyarah sudah dibahas ketika membicarakan pembagian
dalalah menurut Hanafiyah, sebab kedua dalalah ini sama penamaannya dikalangan
Syafi’iyah. Adapun dalalah al-Ima’ adalah bahwa lafazh itu
menyertai hukum, seandainya tidak ada lafazh itu, niscaya jauh dari hukum
(hukum itu tidak diterima). Penjelasan tentang dalalah al-Ima’
dapat anda lihat dalam bab al-Qiyas. Jadi kalau kita klasifikasikan,
maka dalalah al-Ibarah yang disebut oleh Hanafiyah sama dengan dalalah
al-Manthuq sharih atau dalalah al-Ima’ menurut
Syafi’iyah, dalalah al-Iqtidha’ dandalalah al-Isyarah yang
disebut oleh Hanafiyah sama penamaannya dikalangan Syafi’iyah, dan dalalah
al-Nash yang disebut Hanafiyah sama dengan Mafhūm al-Muwāfaqah dikalangan
Syafi’iyah. Dan ini akan datang penjelasannya dalam membicarakan
tentang dalalah al-mafhum.
2. Dalalah Mafhum
Secara
bahasa kata
مَفْهُوْمْ
berasal dari kata فَهِمَ
isim masdar dari kata اَلْفَهْمُ
yang berarti
“tersirat” atau sesuatu yang dipahami dari suatu teks.
Sedangkan menurut
istilah adalah apa yang dapat dipahami dari lafazh bukan yang bukan
dibicarakan.
Contoh firman Allah
dalam suart al-Isra’ ayat 23
xsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& wur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJÌ2 ÇËÌÈ
Artinya: “Janganlah
kamu mengucapkan kepada orang tuamu ucapan “ah” dan janganlah kamu membentak
keduanya[20]”
(Q.S. al-Isra’ 23)
Mafhum terbagi 2 macam
yaitu:
a. Mafhum Muwafaqah
Mafhum muwafakah adalah mafhum
yang lafalnya menujukkan bahwa hukum yang tidak disebutkan sama dengan hukum
yang disebutkan lafal.
Mafhum muwafaqah terbagi dua, yaitu:
1) Mafhum aulawi ( مفهوم الاولوي) atau disebut
juga فحوى الخطاب
Yaitu berlakunya
hukum pada peristiwa yang tidak disebutkan itu lebih kuat lebih pantas
dibandingkan dengan berlakunya hukum pada apa yang disebutkan dalam lafal.
Kekuatan hukum itu ditinjau dari segi alasan berlakunya hukum pada mantuqnya.
Umpamanya firman Allah QS. al-Isra’ ayat
23
xsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& wur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJÌ2 ÇËÌÈ
Memukul orang tua hukumnya haram sebagaimana haramnya mengucapkan kata
“ah”, karena sifat menyakiti dalam “memukul” lebih kuat dari sifat menyakiti
dalam ucapan kasar “ah”.[21]
2). Mafhum Musawi (مفهم المسوي)
atau disebut juga لحن الخطاب
Yaitu berlakunya
hukum pada peristiwa yang tidak disebutkan pada manthuq. Contohnya firman Allah
QS. an-Nisa ayat 10.
¨bÎ)
tûïÏ%©!$# tbqè=à2ù't
tAºuqøBr& 4yJ»tGuø9$#
$¸Jù=àß $yJ¯RÎ)
tbqè=à2ù't Îû
öNÎgÏRqäÜç/ #Y$tR (
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang
memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api
sepenuh perutnya. (Q.S. an-Nisa’ ayat 10).
Mantuq dari
ayat tersebut menujukkan haram memakan harta anak yatim di luar ketentuan hukumnya.
Segera dapat diketahui bahwa alasan larangan tersebut adalah karena tindakan
itu mengakibatkan lenyap atau rusaknya harta anak yatim. Melalui mafhum
muwafaqah-nya tampa memerlukan ijtihad diketahui bahwa setiap tindakan yang
bisa melenyapkan atau merusak harta anak yatim, seperti menipu, membakar dan
sebagainya, adalah haram hukumnya.
Para
ulama sependapat tentang sahnya berhujjah (menjadikan sebagai cara dalam
menetapkan hukum) dengan mafhum muwafaqah. Hanya kalangan Zhahiri yang menolak menetapkan
hukum menurut mafhum sebagaimana juga menolak menggunakan qiyas, karena menurut
mereka mafhum muwafaqah dalam hal ini sama dengan qiyas.
b.
Mafhum Mukhalafah
Mafhum
mukhalafah adalah mafhum yang lafazhnya menunjukan bahwa hukum yang tidak
disebutkan berbeda dengan hukum yang disebutkan. Atau diartikan hukum yang berlaku berdasarkan mafhum dengan hukum yang
berlaku pada manthuq.[22]
Contoh terdapat dalam firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 25
`tBur öN©9 ôìÏÜtGó¡o öNä3ZÏB »wöqsÛ br& yxÅ6Zt ÏM»oY|ÁósßJø9$# ÏM»oYÏB÷sßJø9$# `ÏJsù $¨B ôMs3n=tB Nä3ãZ»yJ÷r& `ÏiB ãNä3ÏG»utGsù ÏM»oYÏB÷sßJø9$# 4
Artinya: Dan siapa di antara kamu yang tidak cukup belanja untuk
mengawinni wanita merdeka, maka ia boleh mengawini wanita yang beriman dari
budak-budak yang dimiliki. (QS. An-Nisa’ 25)[23]
Dengan membandingkan pemikiran aliran Hanafiyyah dan
Mutakilimin di atas mengenai deskriktif dalalah al-Nas terhadap hukum, dapat
disimpulkan sebagai berikut:
a) Bagi aliran Hanafiyyah terdapat empat dalalah, yaitu Ibarah
al-Nas, Isyarah al-Nas, dalalah al-Nas, dan Iqtida’ al-Nas.
b) Bagi aliran Mutakalimin, terdapat dua pokok dalalah, yaitu
dalalah Mantuq dan dalalah Mafhum
c) Apa yang disebut sebagai ibarah al-Nas, Isyarah
al-Nas, dan Iqtida’ al-Nas dalam pemikiran
aliran Hanafiyyah adalah secara maknawi tercakup oleh dalalah Mantuq
dalam pemikiran Mutakalimin.
d) Apa yang disebut sebagai dalalah al-Nas dalam
pemikiran aliran Hanafiyyah secara maknawi sejalan dengan dalalah Mafhum
Muwafaqah dalam pemikiran aliran Mutakalimin.
e) Dalam pemikiran aliran Hanafiyyah tidak dikenal dengan dalalah Mafhum
Mukhalafah bahkan, mereka menolak dalalah ini sebagai hujjah Syar’iyyah.[24]
Dapat dikemukakan pula bahwa bahwa para ulama dari kedua
aliran tersebut memiliki titik kesepakatan dan titik perbedaan dalam pemikiran
mereka tentang konsep-konsep dalalah al-Nas. Dan titik
kesepakatan mereka tersebut adalaha:
a) Ibarah Nas atau Mantuq
Sarih merupakan dalalah al-Nas yang peringkatnya
yang paling kuat.
b) Mengiringi Ibarah al-Nas atau Mantuq Sarih
dalam hal kekuatan illat adalah secara berurutan, Isyarah al-Nas
atau Mantuq Ghairu Sarih, lalu dalalah Nas
atau Mafhum Muwafaqah, lalu dalalah Iqtida’ atau Mantuq
Ghairu Sarih
c) Apabila terjadi pertentangan maknawi antara dalalah-dalalah
tersebut, yang harus diutamakan dan dipedomani adalah dalalah yang
peringkatnya lebih kuat.[25]
Namun dalam kasus pertentangan makanawi ini, aliran
Mutakalimin lebih mengutamakan dalalah al-Nas dari pada Isyarah al-Nas
ketika terjadi pertentangan maknawi tersebut, sedangkan aliran Hanafiyyah
sebaliknya lebih mengutamakan Isyarah al-Nas dari pada dalalah
al-Nas.
Aliran Hanafiyyah beragumentasi bahwa Isyarah al-Nas
merupakan unsur dari tata kalimat, sedangakan dalalah al-Nas itu tidak
diperoleh dari Mantuq Nas melainkan dari Mafhum Nas, padahal
makna yang diperoleh lewat Mantuq lebih kuat bobot dalalahnya
dari pada yang diperoleh lewat Mafhum.
Aliran Mutakalimin beragumentasi bahwa dalalah Nas
itu bersumber dari pemahaman kebahasaan terhadap Nas sehingga ia lebih
dekat kepada Ibarah al-Nas, sedangkan Isyarah al-Nas diperoleh
melalui pemahaman kebahasaan terhadap Nas.[26]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dalalah atau dalalah secara bahasa berarti
petunjuk. Sedangkan secara istilah ulama ushul al-Fiqh.
الدلالة هى مايدل اللفظ من معنى
Artinya: “Dalalah adalah suatu pengertian yag
ditunjuki oleh lafazh.”
Dalalah
lafzhiyah/الدلالة اللفظيه (penunjukan bentuk lafaz) yaitu dalalah
dengan dalil yang digunakan untuk memberi petunjuk kepada sesuatu dalam bentuk
lafaz, suara atau kata. Dengan demikian, lafaz, suara dan kata, menujukkan
kepada maksud tertentu.
Dalalah ghairu lafzhiyah merupakan dilalah yang
ditunjukkan secara tidak jelas oleh lafazhnya. Hanafiyah membagi dalalah ghairu lafzhiyah menjadi
empat macam. Mereka menamakan dengan Bayan Dharurah (penjelasan
secara darurat). Keempat macam dilâlah itu memberi petunjuk dengan cara
sukut/diam.
B. KRITIK DAN SARAN
Kami dari penulis, menyadari sepenuhnya
bahwa makalah kami ini jauh dari kesempurnaan, dan keterbatasan referensi untuk
itu kami berharap kepada pembaca,
terutama dosen pembimbing mata kuliah ini berupa kritik dan sarannya terhadap
makalah ini yang bersifat membangun.
DAFTAR PUSTAKA
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh,
Jakarta: Amzah, 2011
Arifin, Miftahul, Ushul Fiqh:
Kaidah-kaidah Penetapan Hukum Islam, cet. I, Surabaya: Citra Media, 1997
Biek, Muhammad Al-Khudhori Terjemah
Ushul Fiqh, alih bahasa: Zaid H. Alhamid, Pekalongan: Raja Murah, tt
Jazuli. A, Ushul Fiqh: Metodologi
Hukum Islam, Ed. 1, cet. I,
Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2000
Rahman, Asjmuni. A, Metoda Penetapan Hukum
Islam, cet. I, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1986
Romli, Muqaranah Mazahib Fil Ushul,
Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jilid
II, Jakarta: Kencana, 2009
[1]A. Jazuli, Ushul Fiqh:
Metodologi Hukum Islam, Ed. 1, cet. I, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 279
[5]
Berlaku adil ialah perlakuan yang adil
dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang
bersifat lahiriyah.
[6]
Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu.
sebelum turun ayat Ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para
nabi sebelum nabi Muhammad s.a.w. ayat Ini membatasi poligami sampai empat
orang saja.
[7]Miftahul
Arifin, Ushul Fiqh: Kaidah-kaidah Penetapan Hukum Islam, cet. I, (Surabaya: Citra Media, 1997), hal. 175
[10]Asjmuni A. Rahman, Metoda
Penetapan Hukum Islam, cet. I, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1986), Hal. 98
[11] Mengucapkan kata ah kepada orang
tua tidak dibolehkan oleh agama apalagi mengucapkan kata-kata atau
memperlakukan mereka dengan lebih kasar dari pada itu.
[15]Syekh Muhammad Al-Khudhori
Biek, Terjemah Ushul Fiqh, alih bahasa: Zaid H. Alhamid,
(Pekalongan: Raja Murah, tt), hal. 141
[20]
Mengucapkan kata ah
kepada orang tua tidak dlbolehkan oleh agama apalagi mengucapkan kata-kata atau
memperlakukan mereka dengan lebih kasar daripada itu.
DALALAH LAFZHIYYAH DAN GHAIRU LAFZHIYYAH (Komparatif Ulama Hanafiyyah dan Syafi’iyyah)