PENDAHULUAN
Tarikh tasyri Islam seperti
dikemukakan Ali Al-Ayafi’I adalah ilmu yang membahas keadaan hukum-hukum pada
masa nabi dan sesudahnya termasuk penjelasan dan periodesasinya. Yang pada
perkembangannya hukum itu menjelaskan karakteristiknya.
Menurut batasan diatas tampak
bahwa tarikh tasyri Islam merupakan pembahasan tentang segala aktifitas manusia
dalam pembentukan perundang-undangan Islam dimasa lampau, baik masa nabi,
sahabat maupun tabi’in.
Pada periode ini Islam tumbuh
dan berkembang menjadi pesat serta membuahkan khazanah hukum Islam. Sehingga
periode ini dikenal dengan periode keemasan bagi perundang-undangan Hukum
Islam. Para ulama’ mempunyai ilmu pengetahuan dan semangat yang tinggi, juga
kemantapan iman yang kuat dengan dibantu oleh para tokoh masyarakat atau
disebut juga para imam madzhab dan sahabat-sahabatnya.
Dinamakan periode pembukuan
karena usaha atau gerakan untuk membukukan serta menulis terhadap Hukum Islam
ini mengalami kemajuan yang sangat pesat. Yang sempat dibukukan pada kesempatan
itu adalah fatwa-fatwa dari kalangan para sahabat , tabi’in , as-Sunnah serta
berbagai komentar secara mendalam tentang tafsir al-Qur’an dan lainnya.
Disini akan dibahas masalah pembentukan hukum
Islam pada masa tabi’in (muawiyah) karena muai terjadinya
perkembangan-perkembangan hukum Islam yang semakin pesat.
II. PEMBAHASAN
A.
Faktor Yang Mempengruhi Perkembangan Tasyri’
Sejak masa khulafaur rasyidin
berakhir, fase selanjutnya dikenal dengan tabi’in atau sahabat yang
pemerintahannya dipimpin oleh Bani Umayah. Pemerintahan Bani Umayah menggunakan
sistem monarki yang menggantikan sistem pemerintahan sebelumnya, yang bersifat
kekholifahan.
Umat Islam pada saat itu
terpecah menjadi tiga kelompok; Khowarij sebagai penentang Ali, Syi’ah sebagai
pendukung Ali, dan kelompok mayoritas (jumhur). Munculnya keompok-kelompok itu
berpengaruh besar dalam mewarnai proses perkembangan hukum Islam.
Pada fase ini perkembangan
hukum Islam ditandai dengan munculnya aliran-aliran politik yang secara
implisit mendorong terbentuknya aliran hukum. Walaupun panasnya suasana politik
yang dipengaruhi oleh golongan-golongan pemberontak yakni golongan Khawarij dan
Syi’ah mewarnai pada periode ini, akan tetapi fase-fase ini disebut juga masa
keemasan Islam yang mana tumbuh banyak perkembangan-perkembangan keilmuan,
adapun faktor-faktor yang mempengaruhi diantaranya:
1. Bidang politik
Pada fase ini
perkembangan hukum Islam ditandai dengan munculnya aliran-aliran politik yang
secara implisit mendorong terbentuknya aliran hukum. Pada bidang ini timbul
tiga golongan politik, yaitu: Khawarij, Syiah dan Jumhur Ulama. Masing-masing
kelompok tersebut berpegang kepada prinsip mereka sendiri[1].
2. Perluasan Wilayah
Sebagimana yang kita ketahui perluasan wilayah Islam sudah berjalan pada
periode khalifah (Sahabat) yang kemudian berlanjut pada periode Tabiin
mengalami perluasan wilayah yang sangat pesat[2] dengan demikian telah banyak
daerah-daerah yang telah ditaklukan oleh Islam, sehubungan dengan itu semangat
dari para ulama untuk mengembalikan segala sesuatunya terhadap sumber-sumber
hukum Islam, yang seiring banyak terjadi perkembangan kebutuhan hukum untuk
terciptanya kemaslahatan bersama.
3. Perbedaan Penggunaan Ra’yu
Pada periode ini para ulama dalam mengemukakan pemikirannya dapat
digolongkan menjadi dua golongan yaitu; aliran Hadits yaitu para ulama yang
dominan menggunakan riwayat dan sangat “hati-hati” dalam penggunaan ra’yu. Dan
kedua adalah ulama aliran ra’yu yang banyak dalam penggunaan
pemikirannya dengan ra’yu dibandingkan dengan Hadits, dengan
demikian adanya perkembangan pemikiran yang dapat mendorong perkembangan hukum
Islam.[3]
4. Fahamnya Ulama Tentang Ilmu Pengetahuan
Selain telah dibukukannya sumber-sumber hukum Islam yaitu Al-Quran dan
Al-hadits sebagi pedoman para ulama dalam penetapan hukum, para ulama pun sudah
faham betul dengan keadaan yang terjadi serta para ulama-ulama yang dahulu
dalam menghadapi kesulitan-kesulitan suatu peristiwa dapat terpecahkan sehingga
keputusan-keputasan itu dapat dijadikan yurispudensi pada masa hakim saat ini.
5. Lahirnya Para Cendikiawan-Cendikiawan
Muslim
Dengan lahirnya para cendikiawan-cendikiawan
muslim seperti Abi Hanifah, Imam Maliki, Imam Syafi’I dan juga para
sahabat-sahabatnya dengan pemikiran-pemikiran yang dimiliki telah berperan
dalam pemprosesan suatu hukum yang berkembang dalam masyarakat.
6. Kembalinya Penetapan Hukum Pada Ahlinya
Berkembangnya keadaan yang terjadi di sekitar membuat banyak
permaslahan-permasalahan baru yang terjadi, dengan demikian umat Islam baik itu
para pemimpin negara maupun hakim-hakim pengadilan mengembalikan
permasalahan-permasalahan terjadi pada para mufti-mufti dan tokoh-tokoh ahli
perundang-undangan.
Pada masa Abu Bakar dan Ustman
sahabat dilarang keluar dari madinah, agar tidak menyebarkan hadits secara
sembarangan dan dapat bermusyawarah bersama dalam menghadapi
persoalan-persoalan hukum yang penting.
- Sumber-Sumber Tasyri Pada Zaman Tabi’in
Sebagaimana pada periode
Sahabat-sahabat besar, sumber perundang-undangannya juga tidak jauh berbeda,
sumber-sumber perundang-undangan pada periode ini ada empat macam,[4] yakni:
- Al-Qur’an
- As-Sunnah
- Al-Ijma’
- Al-Qiyas
Apabila terjadi suatu
peristiwa para ahli fatwa merujuk pada kitabulla. Mereka memperhatikan nash
yang menunjuk kepada hukum yang dimaksud, dan memahami nash itu. Pada periode
ini ada dua hal yang bisa mempengaruhi segi pemeliharaannya, yakni;
penelitiannya dan penjagaannya dari segala macam perubahan. Dari segolongan
umat Islam ada juga yng bersungguh-sungguh menghafal al-Qur’an dan memperbaiki
system atau bentuk penulisannya serta pemberian baris dan harokat.
Jika yang mereka maksud tidak
terdapat dalam kitabullah mereka baru beralih memperhatikan Sunnah Rasul.
Karena jumhur beranggapan bahwa as-Sunnah itu menyempurnakan pembinaan hukum
yang berfungsi untuk menerangkan al-qur’an. Dan dikalangan jumhur tidak ada
orang yang menentang pendapat ini. Orang yang pertama kali memperhatikan
kekurangan ini adalah Imam bin Abdul aziz pada awal abad ke II H. Ia menulis
pada pekerjanya di Madinah Abu Bakar Bin muhammad bin Amr bin Hazm[5]:
“Lihatlah hadits-hadits
Rasulullah s.a.w. atau sunnah beliau yang ada, kemudian tulislah karena
sesungguhnya saya takut terhapusnya ilmu dan perginya (meninggalnya) ulama’.
(Diriwayatkan oleh Malik dalam Mwatha’ dan riwayat Muhammad bi hasan)
Jika mereka tidak mendapatkan
pula dalam nash-nash hadits barulah mereka berijtihad dengan mempergunakan
Qiyas memperhatikan ruh (jiwa) syari’at dan memperhatikan kemashlahatan umat.
Apabila ijtihad para sahabat itu dilakukan bersama-sama dengan mengambil
keputusan bersama, maka itu disebut dengan Ijma’ sahabat.[6]
Pada zaman Nabi dan
kholifah, berjalannya hukum Islam senantiasa sejalan dengan kebijaksanaan para
pemegang kekuasaan pemerintahan karena kekuasaan kehakiman dipegang dan
dijalankan langsung oleh pemimpin Negara. Akan tetapi setelah kepemimpinan
berpindah ketangan Bani Umayah.
Perkembangan hukum Islam
menunjukan arah yang berlainan. Hukum yang seharusnya berfungsi sebagai
sandaran tempat kembali bagi pihak-pihak yang berselisih, sejak zaman muawiyah
berubah sifatnya menjadi alat dan pelindung bagi kepentingan-kepentingan
golongan yang sedang barkuasa.
Karena pada tahun-tahun
permulaan, perhatian pemerintah tercurahkan untuk menghadapi peperangan dengan
Negara-negara lain, maka perkembangan hukum Islam banyak sekali mendapat
pengaruh dari keputusan-keputusan para qodhi yang diangkat Gubernur dan
fatwa-fatwa para ahli hukum diluar pemerintahan yang dianggap mampu dan
berpengetahuan luar tentang Al-Qur’an dan Al-sunnah.
Secara umum tabi’in
mengikuti langkah-langkah penetapan hukum yang dilakukan oleh sahabat dalam mengeluarkan
hukum. Langkah-langkah yang mereka lakukan diantaranya mencari ketentuan dalam
Al-Qur’an. Apabila ketentuan itu tidak ada, mereka mencari dalam As-Sunnah.
Apabila tidak ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, mereka kembali kepada
pendapat sahabat. Apabila pendapat sahabat tidak diperoleh, mereka berijtihad.
Dengan demikian sumber
hukum pada masa tabi’in adalah Al-Qur’an, Al-Sunnah, ijmak sahabat, dan
ijtihad.
- Pengaruh Ahli Hadits dan Ahli Ra’yu Terhadap Tasyri
Pada masa tabi’in ini para
ulama’ dibedakan menjadi dua aliran yaitu Al-Hadits (madrasah al-madinah),
al-hadits ra’yu (madrasah al-kufah). Al-hadits adalah golongan yang banyak
menggunakan riwayat dan sangat berhati-hati dalam penggunaan ra’yu. Imam malik
brpendapat bahwa, ijma’ penduduk madinah merupakan hujjah yang wajib diikuti.
Dalam perkembangan selanjutnya aliran ini terpecah, seperti aliran maikiyah,
syafi’iyah, hanbaliyah, dan hanafiyah.
Adapun ahli ra’yu lebih banyak
menggunakan ra’yu ditambah hadits. Munculnya dua aliran pemikiran hukum ini
semakin mempercepat perkembangan ikhtilaf. Dan pada saat yang sama, semakin
memotifasi perkembangan hukum Islam.
Kedua aliran tersebut,
masing-masing memiliki pendapat dan pengikut sendiri. Disisi lain munculnya dua
aliran pemikiran hukum ini merupakan bukti bahwa dalam Islam terdapat kebebasan
berfikir dan masing-masing saling menghargai perbedaan pendapat diantara
mereka.
- Pemikiran Hukum Islam
1.
Khawarijj
a. Pemimpin tidak harus dari Quraisyi, setiap orang
berhak menjadi pemimpin, baik yang berasal dari kalangan merdeka maupun budak.
b.
Dalam Al-Qur’an terdapat
sangsi bagi pelaku zina, yaitu dicambuk seratus kali. Disamping itu dalam
Al-Sunnah, ditentukan bahwa sangsi bagi pelaku zina itu dirajam. Khawarij tidak
menerima dan tidak melaksanakan tambahan sangsi bagi pelaku zina yang terdapat
dalam As-Sunnah.
c.
Menikahi cucu perempuan
dibolehkan, sebab yang diharamkan dalam Al-Qur’an adalah anak, sedangkan cucu
tidak diharamkan.
d.
Menikah dengan perempuan yang
bukan sekte khawarij tidak sah sebab mereka dianggap kafir.
e.
Pemikiran khawarij pada
umumnya terpaku pada teks ayat Al-Qur’an bahkan cenderung mengabaikan hadits
yang dianggap tidak terlalu kuat untuk menafsirkan Al-Qur’an, dalam masalah
politik mereka menampilkan pemikiran yang demokratis.
2 Syiah
a. Menurut sti’ah, hokum Islam secara umum ada dua, yaitu Al-Qur’an dan
Al-Hadits.
b. Nikah mut’ah diperbolehkan dan tidak menjadi sebab saling mewarisi antara
suami dan Istri dan tidak memerlukan talak.
c. Lelaki muslim tidak boleh menikah dengan wanita nasrani.
d. Dalam masalah politik, pengganti nabi Muhammad mestinya Ali bin Abi Thalib,
sedangkan Abu Bakar telah merebut kepemimpinan Ali.
3 Jumhur
a. Kepemimpinan mesti dipegang oleh Quraisy.
b. Penolakan terhaap keabsahan nikah mut’ah.
c. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Umar bin Khattab.
d. Nabi Muhammad tidak mewariskan harta, karena terdapat sebuah hadits yang
menyatakan bahwa “kami seluruh nabi tidak mewariskan harta-harta yang kami
tinggalkan adalah shadaqah.
e. Jumlah perempuan yang boleh dipoligami dalam satu periode sampai empat
orang sebagai penafsiran atas surat
an-nisa’ ayat 3 dan hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dan muslim.
III. KESIMPULAN
Faktor yang mendorong
perkembangan hukum Islam diantaranya yaitu: Adanya partai politik yang
mengklaim bahwa dirinya paling benar. Selain itu luasnya wilayah Islam
juga ikut mempengaruhi. Bahkan, perbedaan
hujjah juga berpengruh besar terhadap penentuan hukum Islam.
Secara garis besar, sumber-sumber hukum Islam pada masa tabi’in adalah
Al-Qur’an. Al-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
Penerapan tasyri’ pada masa ini dipegang oleh tabi’in yang selalu
menyertai sahabat yang ahli dalam bidang fatwa dan tasyri’. Pada masa ini pula
mulai timbul pertukaran pemikiran dan perselisihan paham diantara pemuka
tasyri’ yang disebabkan oleh
perbedaan dalam memahami ayat-ayat hukum, cara berijtihad yang berbeda,
perbedaan pandangan tentang maslahah, tingkat kecerdasan pikiran, tempat
tinggal para pemuka tasyri’ yang berlainan(tidak dalam satu lingkungan), dan
cara penggunaan ra’yu yang berbeda.
Pada masa tabi’in ulama’ dibedaan menjadi dua aliran, yaitu al-hadits dan
al-ra’yu. Muculnya dua aliran tersebut semakin mempercepat perkembangan
iktilaf.
Khawarij pemikirannya terpaku pada teks Al-Qur’an. Syiah pemikirannya
terpaku pada Al-Qu’an dan al-hadits yang hanya dari ulama’ syi’ah. Jumhur
pemikirannya terpaku pada Al-Qur’an, hadits, ijmak dan ijtihad.
Perkembangan Tasyri’