Jumat, 11 Januari 2013

PEMINANGAN (KHITHBAH)




MAKALAH


FIQH MUNAKAHAT


Tentang


PEMINANGAN (KHITHBAH)


 















Oleh :


Handayani


310.006





Dosen pembimbing :


Dra. SURWATI, MA





JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM


FAKULTAS SYARI’AH


INSTITUT AGAM ISLAM NEGERI


IAIN IMAM BONJOL PADANG


2011 M / 1432 H








BAB I


PENDAHULUAN


Dalam pandangan islam perkawinan itu bukanlah hanya urusan perdata semata, bukan pula sekadar urusan keluarga dan masalah budaya, tetapi masalah dan urusan agama, oleh karena perkawinan itu dilakukan untuk memenuhi sunnah Allah dan sunnah Nabi dan dilaksanakan sesuai dengan petunjuk Allah dan petunjuk Nabi. Di samping itu, perkawinan juga bukan untuk mendapatkan ketenangan hidup sesaat, tetapi untuk selama hidup. Oleh karena itu, seseorang mesti menentukan pilihan pasangan hidupnya itu secara hati-hati dan dilihat dari berbagai segi.


Ada beberapa motivasi yang mendorong seorang laki-laki memilih seorang perempuan untuk pasangan hidupnya dan demikian pula dorongan seorang perempuan waktu memilih laki-laki menjadi pasangan hidupnya. Yang pokok diantaranya adalah: karena kecantikan dan kegagahan, karena kekayaannya, karena kebangsawanannya, dan karena agamanya.

















BAB II


PEMBAHASAN


PEMINANGAN DAN PERMASALAHANNYA





A.    Arti Peminangan


Kata peminangan berasal dari kata “pinang, meminang” sinonimnya adalah melamar yang dalam bahasa arab disebut khitbah (        )yang secara sederhana diartikan dengan: penyampaian kehendak untuk melangsungkan ikatan perkawinan. Lafazh khitbah merupakan bahasa arab standar yang terpakai dalam pergaulan sehari-hari, terdapat dalam Al Qur’an sebagaimana dalam firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 235:








Tidak ada halangannya bagimu menggunakan kata sindiran dalam meminang perempuan.[1]


Dalam Fiqh Sunnah”Sayyid Sabiq” maksud dari meminang adalah seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya, dengan cara yang sudah umum berlaku di tengah-tengah masyarakat. Meminang termasuk usaha pendahuluan dalam rangka pernikahan.[2] Peminangan itu disyari’atkan dalam suatu perkawinan yang waktu pelaksanaannya diadakan sebelum berlansungnya akad nikah. Keadaan ini pun sudah membudaya di tengah masyarakat dan dilaksanakan sesuai dengan tradisi masyarakat setempat.[3]





B.     Hukum peminangan


Memang terdapat dalam Al qur’an dan dalam banyak hadits Nabi yang membicarakan tentang peminangan. Namun tidak dijelaskan secara terarah adanya perintah dan larangan melakukan peminangan, sebagaimana perintah untuk melakukan perkawinan dengan kalimat yang jelas, baik dalam Al qur’an maupun hadits Nabi. Oleh karena itu, dalam menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama yang mewajibkannya, dalam arti hukumnya adalah mubah.





C.    Hikmah Disyari’atkannya Peminangan


Setiap hukum yang disyari’atkan, meskipun hukumnya tidak sampai pada tingkat wajib, selalu mempunyai tujuan dan hikmah. Adapun hikmah dari adanya syari’at peminangan adalah untuk lebih menguatkan ikatan perkawinan sesudah itu, karena dengan peminangan kedua belah pihak dapat saling mengenal. Hal ini dapat dilihat dari sepotong hadits Nabi dari Al Mughirah bin Syu’bah menurut yang dikeluarkan oleh Imam Tarmidzi dan An Nasa’i yang bunyinya:








Bahwa Nabi berkata kepada seseorang yang sudah meminang seorang perempuan: melihatlah kepadanya agar nantinya kamu bisa hidup bersama lebih langgeng”[4]





D.    Syarat-Syarat Orang yang Boleh Dipinang


Menurut Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, M.A perempuan yang boleh dipinang adalah yang memenuhi syarat sebagai berikut:


a.       Tidak dalam pinangan orang lain


b.      Pada waktu dipinang tidak ada penghalang syar’i yang melarang dilangsungkannya pernikahan


c.       Perempuan itu tidak dalam masa iddah karena talak raj’i


d.      Apabila perempuan dalam masa iddah karena talak ba’in, hendaklah meminang dengan cara sirry (tidak terang-terangan).[5]


Adapun cara menyampaikan ucapan peminangan ada dalam dua cara:


Pertama: menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang, seperti ucapan: “saya berkeinginan untuk mengawinimu”.


Kedua: menggunakan ucapan yang tidak jelas dan tidak terus terang atau dengan istilah kinayah. Seperti ucapan: “tidak ada orang yang tidak senang kepadamu”


Perempuan yang belum pernah kawin atau sudah kawin dan telah habis pula masa iddahnya boleh dipinang dengan ucapan terus terang dan boleh pula dengan cara sindiran. Perempuan yang sedang menjalani iddah dari talak ba’in dalam bentuk fasakh atau talak tiga tidak boleh dipinang secara terus terang, namun dapat dilakukan dengan cara sindiran, sebagaimana yang berlaku pada perempuan yang kematian suami. Kebolehan ini adalah karena perempuan itu dengan talak ba’in itu telah putus hubungan dengan bekas suaminya.[6]


Dalam KHI, tentang perempuan yang boleh dipinang dan tidak boleh dipinang disebutkan dalam pasal 12 yang secara lengkap rumuusannya adalah sebagai berikut:


1.      Peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya.


2.      Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj’iyyah, haram dan dilarang untuk dipinang.


3.      Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita.


4.      Putusnya pinangan pihak pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam pria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang.


Tentang cara melakukan peminangan diatur dalam pasal 11 dengan rumusan:


“Peminangan dapat dilakukan lansung oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh, tetapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya.”





E.     Meminang pinangan orang lain


Diharamkan seseorang meminang pinangan saudaranya karena berarti ia menyerang hak dan menyakiti hati peminang pertama, memecah hubungan kekeluargaan, dan mengganggu ketentraman. Sesuai dengan hadits Nabi dari Ibnu ‘Umar yang muttafaq’alaih:








“janganlah seseoarang di antara kamu meminang perempuan yang telah dipinang yang telah dipinang saudaranya hingga peminang pertama telah meninggalkannya atau mengizinkannya untuk meminang”


Hadits nabi di atas menjelaskan ketentuan tentang meminang perempuan yang telah dipinang sebagai berikut:


1.      Larangan meminang berlaku bila jelas-jelas pinangan pertama itu telah diterima dan ia mengetahui diterimanya pinangan tersebut.


2.      Larangan meminang itu berlaku bila peminang pertama itu adalah saudaranya seagama atau seorang muslim. Ibnu Rusyd menambahkan meskipun sesama islam namun peminang pertama tidak sholeh, boleh dipinang oleh peminang kedua yang sholeh.


3.      Larangan itu tidak berlaku bila peminang pertama telah meninggalkannya atau telah membatalkan pinangannya.


4.      Larangan itu juga tidak berlaku bila peminang pertama telah memberi izin kepada peminang kedua untuk mengajukan pinangan.[7]


Ibnu Qasim berpendapat bahwa yang dimaksud larang tersebut adalah jika seseorang yang baik (sholeh) meminang diatas pinangan orang sholeh pula. Sedangkan apabila peminang pertama tidak baik, maka pinangan semacam itu diperbolehkan.[8]


Tentang hukum perkawinan yang dilaksanakan kemudian, setelah peminangan terlarang itu berbeda pendapat Ulama, diantaranya:


Pertama: Menurut Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam As Syafi’i dan Imam Abu Hanifah nikah tersebut adalah sah dan tidak dapat dibatalkan.


Kedua: Menurut Imam Az Zhahiri pernikahannya dengan peminang kedua harus dibatalkan, baik sudah terjadi persetubuhan maupun belum.


Ketiga: di kalangan Malikiyyah berpendapat bila telah berlangsung hubungan kelamin dalam pernikahan itu, maka pernikahan tersebut tidak dibatalkan sedangkan bila belum terjadi hubungan kelamin dalam pernikahan itu, maka pernikahan itu mesti dibatalkan.


Dasar dari beda pendapat Ulama tersebut adalah dalam hal apakah larangan itu menyebabkan batalnya apa yang dilarang atau tidak. Ulama yang mengatakan sah mengambil pendapat yang mengatakan larangan tidak menyebabkan rusaknya yang dilarang, sedangkan Ulama yang mengatakan perkawinan harus dibatalkan berpendapat bahwa larangan menyebabkan batalnya apa yang dilarang.[9]





F.     Melihat pinangan


Melihat wanita yang dipinang hukumnya disunnahkan dan dianjurkan. Sebagaimana dalam hadits dari Mughirah Bin Syu’bah:

















“Bahwasanya dia telah meminang seorang perempuan, lalu Rasulullah berkata kepadanya, Sudahkah engkau melihatnya? Dia menjawab “belum” Rasulullah bersabda¸ lihatlah dia terlebih dahulu supaya kehidupan kalian lebih langgeng”.[10]


Dalam buku Fathul Barri Syarah Bukhari juz XI halaman 86-87 diterangkan dari Imam Ahmad, ada tiga riwayat yang boleh dilihat oleh si peminang yaitu:


Pertama: kebolehan si peminang melihat wanita yang dipinangnya terbatas pada muka dan telapak tangan (pendapat jumhur Ulama).


Kedua: boleh melihat kepada anggota yang sering terbuka pada kebiasaannya.


Ketiga: boleh melihat dalam keadaan tanpa pakaian.[11]


Jumhur Ulama menetapkan bahwa yang boleh dilihat hanyalah muka dan telapak tangan. Ini adalah batas umum aurat seorang perempuan yang mungkin dilihat.[12] Ulama lain, seperti:


1.      Imam Daud Az Zhahiri berkata seluruh badannya boleh dilihat, karena hadits nabi yang membolehkan melihat waktu meminang tidak menyebutkan batas-batasnya.


2.      Imam Al Awza’iy berkata tempat-tempat yang berdaging saja boleh dilihat.[13]


3.      Imam Malik hanya membolehkan pada bagian muka dan telapak tangan.


4.      Imam Abu Hanifah membolehkan melihat dua telapak kaki, dua telapak tangan dan muka.


5.      Tentang fuqaha’ yang melarang melihat sama sekali, mereka berpegang kepada aturan pokok, yaitu larangan melihat orang-orang wanita.[14]


Jika sekiranya tidak dapat dilihat, boleh mengirimkan utusan yang dipercayai supaya dia dapat menerangkan sifat-sifat dan keadaan perempuan yang akan dipinangnya itu. Umat islam benar-benasr telah diberi kelapangan untuk melihat seorang perempuan yang akan dipinangnya itu. Tetapi yang boleh dilihat hanya muka dan telapak tangannya (pendapat jumhur Ulama).[15]





G.    Berkhalwat dengan pinangan


Haram menyendiri dengan pinangan karena ia bukan mahramnya sebab belum dinikahi. Agama tidak membolehkan melakukan sesuatu terhadap pinangan, kecuali melihat saja, sedangkan perbuatan-perbuatan lainnya tetap haram. Karena, menyendiri dengan pinangan akan menimbulkan perbuatan yang dilarang agama. Akan tetapi, jika dalam pertemuan ditemani oleh salah seorang mahramnya guna mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan maksiat, maka itu dibolehkan.


Dari Amir bin Rabi’ah bahwa Rasulullah bersabda,








“jangan sekali-kali seorang laki-laki menyendiri dengan perempuan yang tidak halal baginya, karena orang yang ketiganya adalah syaithan, kecuali kalau ada mahramnya.”





H.    Pembatalan Pinangan


Hubungan antara laki-laki yang meminang dan perempuan yang dipinang selama masa antara peminangan dan perkawinan itu adalah sebagaiman hubungan laki-laki dan perempuan asing (ajnabi dan ajnabiyah). Pinangan itu sebenarnya hanyalah merupakan perjanjian untuk melakukan akad nikah. Dan membatalkannya adalah menjadi hak masing-masing pihak yang tadinya telah mengikat perjanjian.


Pemberian yang dilakukan dalam acara peminangan itu tidak mempunyai ketentuan apa-apa dengan mahar yang diberikan dalam pernikahan. Selama pernikahan itu belum terlaksana maka pihak perempuan belum mempunyai hak sedikitpun terhadapnya dan wajib ia mengembalikan karena barang itu dialah yang punya.


Dalam KHI dijelaskan dalam pasal 13 yang mengandung ayat sebagai berikut:


1.      Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan.


2.      Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai.[16]

















BAB III


PENUTUP


A.    KESIMPULAN


Peminangan adalah suatu usaha yang dilakukan mendahului perkawinan dan menurut biasanya setelah itu baru dilangsungkan akad perkawinan. Dalam hal peminangan juga ada syarat-syarat orang yang akan dipinang, salah satunya; orang yang akan dipinang tidak sedang dalam pinangan orang lain. Jika telah dilakukan peminangan, maka hal-hal yang boleh dilakukan masih terbatas karena belum adanya akad pernikahan yang sah. Dalam hal ini Fuqaha berbeda pendapat, ada yang mengatakan boleh seluruh badannya dilihat, dan ada yang mengatakan hanya boleh muka dan telapak tangan saja.


Dalam masa antara peminangan dan akad pernikahan, jika seandainya nantik ada hal-hal tertentu yang mengakibatkan batalnya peminangan, maka barang yang  diberikan kepada orang yang dipinang berhak diminta kembali karena pihak perempuan belum mempunyai hak sedikitpun terhadap barang tersebut. Yang perlu kita ketahui bahwa dalam pinangan itu sebenarnya hanyalah merupakan perjanjian untuk melakukan akad nikah, bukan sudah terjadi akad nikah.





B.     SARAN


Dalam makalah ini masih banyak kekurangan dan kekhilafan, oleh karena itu pemakalah mengharapkan kritik dan saran terutama dari dosen pembimbing demi kesempurnaan makalah ini.





























DAFTAR PUSTAKA





Ghozali, Abdur Rahman, Fiqh Munakahat, cet. 4, Kencana, Jakarta,2010


Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia;antara fiqh munakahat dan Undang-Undang perkawinan, cet.2, Kencana, Jakarta, 2007


M. Letter, Bagindo, Tuntunan Keluarga Muslim dan Keluarga Berencana, cet.3, Angkasa Raya, Padang, 1985


Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah jilid 2, cet.1, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006


Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, cet. 44, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 2009







[1] Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet.2, Kencana, Jakarta, 2007, hlm., 49




[2] Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah jilid 2, cet.1, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006, hlm., 505




[3] Syarifuddin, Amir, Op. Cit., hlm., 50




[4] Ibid., hlm., 50-51




[5] Ghozali, Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, cet. 4, Kencana, Jakarta, 2010, hlm., 74




[6] Syarifuddin, Amir, Op. Cit., hlm., 51-52




[7] Ibid., hlm. 53-54




[8] Ghozali, Abdul Rahman, Op. Cit., hlm. 78




[9] Syarifuddin, Amir, Op. Cit., hlm. 54




[10] Ghozali, Abdul Rahman, Op. Cit., hlm. 75




[11] M. Letter, Bagindo, Tuntunan Rumah Tangga Muslim dan Keluarga Berencana, cet. 3, Angkasa Raya, Padang, 1985, hlm. 133




[12] Syarifuddin, Amir, Op. Cit., hlm. 56




[13] Sabiq, Sayyid, Op. Cit., hlm. 509




[14] Ghozali, Abdul Rahman, Op. Cit., hlm. 75-76




[15]Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, cet. 44, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 2009, hlm. 381




[16] Syarifuddin, Amir, Op. Cit., hlm. 57-58



1 komentar:

  1. Hi brides & grooms to be, lagi cari gedung utk acara pernikahan di Kota Bandung? Gedung HIS Balai Sartika Convention Hall bisa jadi pilihan kamu loh karena sekarang udh full carpet & lampu chandelier. Selain itu HIS Balai Sartika Convention Hall juga menyediakan paket pernikahan yang fleksibel dan pilihan vendornya ada banyak banget, bisa pilih sesuai keinginan kamu. Ohya, sekarang lagi ada promo menarik juga loh yaitu CASHBACK dan HONEYMOON PACKAGE! Untuk informasi lengkapnya, hubungin aja Tresna (+6281312214233), FREE KONSULTASI!!

    BalasHapus