Minggu, 06 Januari 2013


POLIGAMI
(Alasan, Syarat, dan Prosedur)
MAKALAH
HUKUM PERDATA ISLAM Di INDONESIA

“Dipresentasikan dalam diskusi lokal PMH pada mata kuliah HPII”




Oleh :
HANDAYANI
310.006

                                                                                    Dosen pembimbing:                                   
PROF. DR. AMIR SYARIFUDDIN
FITRA NELLY, SHI. MA
ELFIA, SHI. MA

JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM ( PMH ) FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN )
IMAM BONJOL PADANG
1433 H / 2012 M
KATA PENGANTAR

            Pertama-tama marilah kita ucapkan kepada Allah zat wajjibbal wujud khadirat butjalil yang telah menyingkap tirai rembulan malam  di kegelapan malam, yang mengisi seratus satu macam legenda kehidupan langit bernyanyi bumi bersiul ikut menyaksikan kehindahan alam, subhanallah ternyata lukisan seni tak seindah lukisan sang Illahi.
            Sebagai langkah yang kedua, salawat beriringan salam kita ucapkan buat Nabi Muhammad SAW sebagai agent of changed umat manusia, yang membawa umat manusia dari yang tidak berilmu pengetahuan sampai kehidupan yang berilmu pengetahuan (who has changed his mimber from the dakness period into the knowladge  period as we feel right now)
Selanjutnya, makalah yang penulis susun ini berjudul “POLIGAMI (Alasan, Syarat, dan Prosedur)” yang didisain dari mata Perkuliahan yang bertujuan agar mahasiswa mengerti dengan dasar-dasar pengambilan hukum-hukum Islam.
            Saya sebagai pemakalah sangat menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan serta masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.
            Akhir kata, penulis ucapkan terimakasih yang tidak terhingga kepada Dosen pembimbing  yang telah memberikan tugas serta kepercayaan kepada penulis untuk membuat dan menyusun makalah ini, semoga makalah ini benar-benar bermanfaat bagi pembaca khususnya mahasiswa terutama bagi penulis yang membuat makalah ini.

Padang, 25 Oktober 2012


HANDAYANI
310.006

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Perkawinan adalah  sebuah ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan yang bertujuan untuk mendapatkan kebahagiaan. Tujuan perkawinan ini dapat dicapai apabila aturan-aturan yang berlaku dalam perkawinan ditaati. Oleh sebab itulah, baik Hukum Islam maupun Hukum Positif memuat aturan  yang jelas dan sangat mungkin untuk dilaksanakan. Salah satu bentuk perkawinan yang sering menjadi bahan perdebatan sekarang ini adalah perkawinan poligami. Tidak sedikit orang yang salah memahami tentang asal-usul poligami, mereka yang tidak mengerti akan mengatakan bahwa Islamlah yang membawa poligami, padahal kebiasaan poligami sudah ada jauh sebelum Muhammad SAW  diangkat sebagai Rasul dan al-Qur’an diturunkan.
B . Tujuan Penulisan
Makalah ini penulis buat dengan tujuan untuk mengembangkan diri, menambah ilmu pengetahuan, dan sebagai  untuk memenuhi tugas pada mata kuliah “Hukum Perdata Islam di Indonesia”  yang dibimbing oleh Bapak Prof. Dr. Amir Syarifuddin.

A.    Batasan Makalah
Makalah ini penulis batasi pembahasannya pada pokok pembahasan “HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA”. Tentang:
1.      Pengertian Poligami
2.      Alasan-alasan Berpoligami
3.      Prosedur Poligami


BAB II
PEMBASAHAN
POLIGAMI
(Alasan, Syarat, dan Prosedur)
A.    Pengertian Poligami
Kata-kata “poligami” terdiri terdiri dari kata “poli” dan “gami”. Secara etimologi, “poli” artinya banyak, dan “gami” artinya istri. Jadi, poligami artinya beristri banyak. Secara terminologi, poligami artinya Seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu istri, tetapi dibatasi paling banyak empat orang.[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan poligami secara umum sebagai sistem yang dipakai seorang laki (suami) yang kawin lebih dari satu wanita (istri).[2]
Pengertian poligami secara terminologi di atas mengacu kepada petunjuk Allah yang membolehkan berpoligami sampai empat orang istri dengan syarat berlaku adil kepada mereka. Jika tidak bisa berlaku adil, maka cukup satu istri saja (monogami).[3] 
Firman Allah SWT  surat Annisa’ ayat 3
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès? ÇÌÈ
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q. S. Annisa’ ayat 3)
Poligami memiliki sejarah peradaban manusia itu sendiri. Sebelum Islam datang ke Jazirah Arab, poligami merupakan sesuatu yang telah mentradisi bagi masyarakat Arab. Poligami pada saat itu disebut poligami tidak terbatas. Suamilah yang menentukan sepenuhnya untuk memiliki wanita secara tidak terbatas, dan para isteri harus menerima takdir serta tanpa ada usaha untuk memperoleh keadilan.
Suami wajib berlaku adil terhadap istri-istrinya dalam urusan: pangan,pakaian,tempat tinggal, giliran berada pada masing-masing istri, dan lainnya yang bersifat kebendaan, dan tidak membedakan istri yang kaya dan yang miskin atau dari golongan tinggi dengan golongan bawah.
Jika suami khawatir berbuat zalim dan tidak mampu memenuhi semua hak mereka, maka ia haram melakukan poligami. Bila ia hanya sanggup memenuhi hak-hak istrinya hanya tiga orang, maka ia haram menikahi istri yang keempatnya, bila ia hanya sanggup memenuhi hak-hak istri dua orang, maka ia haram menikahi istri yang ketiganya, dan seterusnya.
Berkenaan dengan ketidakadilan suami terhadap istri-istrinya, Nabi bersabda:[4]
عن أَبِي هُريْرَة أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله على وسلمَ قال: مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَ أَتَان فَمَالَ اِلَى اِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقَهُ مَائِلُ (رواه ابودا ود والترمذى والنسائ وابن حبَان)
Artinya: Dari Abu Hurairah ra. Sesungguhnya Nabi SAW bersabda: Barang siapa yang mempunyai dua orang istri, lalu memberatkan kepada salah satunya, maka ia akan datang pada hari kiamat dengan bahunya miring.
B.     Alasan-Alasan Berpoligami
Peraturan tentang perkawinan di Indonesia dilandasi asas monogami terbuka,[5] perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri dimungkinkan bila dikehendaki ataupun disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya saja hal itu dapat dilakukan, apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan. Hal ini diatur dalam UU No. 1/1974 pasal 3(2), pasal 4 (1) dan pasal 5 (1) dan (2).
Alasan berpoligami menurut UU No.1/1974
Pasal 3
(1)   Pengadilan,     dapat  memberi     izin  kepada    seorang   suami    untuk   beristeri   lebih dari  seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Pasal 4
(1)   Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2)   Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.[6]  
Alasan-alasan berpoligami menurut Kompilasi Hukum Islam
BAB IX
BERISTERI LEBIH SATU ORANG
Pasal 57
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a.  Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri
b.  Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c.  Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Kalau umat Islam mempedomani pasal 57 di atas serta terkait yaitu  pasal 55, 56, dan 58, maka tipis kemungkinan orang berpoligami. Walaupun pasal 55 ayat (1) KHI memberi peluang bolehnya beristri sampai empat orang dalam waktu yang bersamaan, tetapi pasal 57 ini mengunci dengan persyaratan yang ketat. Meskipun dibolehkan poligami dengan syarat adil, itupun dapat dilakukan hanya sebagai pintu darurat saja.[7]
C.    Syarat-Syarat Berpoligami
Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) yang menyatakan bahwa asas perkawinan adalah monogami, dan poligami diperbolehkan dengan alasan, syarat, dan prosedur tertentu tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan hak untuk membentuk keluarga, hak untuk bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.[8]
Menurut  Abdul Karim Zaidan, syarat bolehnya berpoligami dalam tinjauan fiqih hanya ada dua yaitu:
1.      Kemampuan bersikap adil
2.      Kemampuan untuk memberikan nafaqah. Jika diduga kuat seorang suami yang ingin berpoligami tidak mampu bersikap adil, maka haram baginya untuk melakukannya. Adapun kemampuan memberikan nafkah merupakan syarat bagi umumnya perkawinan.[9]
Menurut Abdurrahman ada 7 syarat poligami
1.      Istri mengidap penyakit yang berbahaya dan sulit disembuhkan
2.      Istri terbukti mandul dan dipastikan secara medis tidak dapat melahirkan
3.      Istri sakit ingatan
4.      Istri lanjut usia sehingga tidak dapat melakukan kewajibannya sebagai istri
5.      Istri memiliki sifat buruk
6.      Istri minggat dari rumah
7.      Kebutuhan suami beristri lebih dari satu dan apabila tidak dipenuhi menimbulkan kemudharatan di dalam kehidupan dan keluarganya.
Syarat-syarat berpoligami menurut UU No. 1/1974 adalah
BAB I
DASAR PERKAWINAN
Pasal 5
(1)   Untuk  dapat   mengajukan   permohonan   ke   Pengadilan   sebagaimana  dimaksud  dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini harus memenuhi syarat-syarat berikut:
a.       Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri
b.      Adanya   kepastian  bahwa   suami   mampu   menjamin   keperluan-keperluan   hidup   isteri- isteri dan anak-anak mereka.
c.       Adanya  jaminan  bahwa   suami   akan  berlaku   adil   terhadap   isteri-isteri  dan   anak-anak mereka.[10]
Syarat-syarat berpoligami menurut Kompilasi Hukum Islam adalah
BAB IX
BERISTERI LEBIH SATU ORANG
Pasal 55
1.      Beristeri lebih dari satu orang dalam waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang isteri.
2.      Syarat utama beristeri lebih dari satu orang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
3.      Apabila syarat utama yang disebutpada ayat (2) tidak mungkin terpenuhi, suami dilarang beristeri lebih dari satu.[11]



D.    Prosedur Poligami
Mengenai prosedur atau tata cara poligami yang resmi diatur oleh Islam memang tidak ada ketentuan secara pasti. Namun di indonesia dengan kompilasi hukum islamnya telah menggatur hal tersebut sebagai berikut:[12]
Pasal 56
1.      Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari pengadilan agama.
2.      Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur  dalam Bab VIII peraturan pemerintahan No.9 Tahun 1975.
3.      Perkawinan dengan istri kedua,ketiga,atau keempat tampa izin dari pengadilan agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57
Pengadilan agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a.       Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.
b.      Istri dapat mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat di sembuhkan.
c.       Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 58
1.   Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin dari peradilan agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pada pasal 5 Undang-undang No. 1 Tahun 1974, yaitu:
a. Adanya persetujuan istri.
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak- anak mereka.
2.      Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf (b) Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975, persetujuan istri atau istri –istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan lisan istri pada sidang pengadilan agama.
3.      Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf  (a) tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin diminta persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istri atau istri-istrinya sekurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.
Pasal 59
Dalam hal istri tidak mau memberi persetujuan , dan permohonan untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang di atur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, pengadilan agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan pengadilan agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.
E.     Hikmah Berpoligami
Mengenai hikmah dizinkan berpoligami(dalam keadaan darurat dengan syarat berlaku adil)antara lain adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mendapat keturunan bagi suami yang subur dan istri yang mandul.
2.      Untuk menjaga keutuhan keluarga tampa menceraikan istri, sekalipun istri tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai istri,atau ia mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3.      Untuk menyelamatkan suami dari yang hypersex dari perbuatan zina
Tentang hikmah diizinkannya Nabi Muhammad beristri lebih dari seorang, bahkan melebihi jumlah maksimal yang diizinkan bagi ummatnya adalah sebagai berikut:
1.      Untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran agama. Istri Nabi sebanyak 9 orang itu bisa menjadi sumber informasi bagi umat islam yang ingin mengetahui ajaran nabi dalam berkeluarga dan bermasyarakat, terutama masalah kewanitaan/kerumahtanggaan.
2.      Untuk kepentingan politik untuk mempersatukan suku-suku bangsa arab dan untuk menarik mereka masuk agama islam. Misalnya perkawinan Nabi dengan Juwairiyah, putri Al-Harits (kepala suku Bani Musthaliq). Demikian pun perkawinan Nabi dengan Shafiyah (seorang tokoh Bani Quraizhah dan Bani Nazhir).
3.      Untuk kepentingan sosial dan kemanusiaan. Misalnya perkawinan nabi dengan dengan beberapa janda pahlawan islam yang telah lanjut usianya, seperti Saudah binti Zum’ah (suami meninggal setelah kembali dari hijrah Abessinia), Hafshah binti Umar (suami gugur di Badar), Zainab binti Khuzaimah (suami gugur di uhud), dan Hindun Ummu Salamah (suami gugur di Uhud). Mereka memerlukan pelindung untuk melindungi jiwa dan agamanya, serta penangung untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.[13]













BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Para ulama Fikih tidak membahas secara spesifik tentang persyaratan berpoligami. Syarat umum yang dipegang hanya kemampuan bersikap adil dan memberi nafkah. Ijma’ sukuti menegaskan bahwa seorang suami yang hendak berpoligami dan telah memenuhi kedua syarat tersebut dapat melakukannya perlu adanya izin dari hakim (qadhi).

B.     KRITIK DAN SARAN
Kami dari penulis, menyadari sepenuhnya bahwa makalah kami ini jauh dari kesempurnaan, dan keterbatasan referensi untuk itu  kami berharap kepada pembaca, terutama dosen pembimbing mata kuliah ini berupa kritik dan sarannya terhadap makalah ini yang bersifat membangun.














DAFTAR REFERENSI


Al-Qur’annulkarim
Mujieb, Abdul, M (et al), Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994, cet. Ke-1
Tim Penyusunan Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa
 Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989
Ghazaly, Abd Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2006, cet. Ke-2
Al Albani, Nashiruddin, Shahih Sunan At-Tirmidzi, kitab nikah, Jakarta: Pustaka Azam, 2006
UU No. 1/1974, Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Pustaka: Yayasan Peduli
 Anak Negeri YPAN
Tanggo, Huzaemah Tahido, Membendung Liberalisme, Jakarta: Penerbit Republika, 2004
Eddyono, Luthfi Widagdo, Persyaratan Poligami dalam UU Perkawinan Tidak Bertentangan
Dengan Konstitusi, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=458, diakses, 24/10, 2012
Zaidan, Abdul Karim,  Al-Mufashshal fi Ahkam al-Mar’ah wa al-Bait al-Muslim fi as-Syari’ah
 al-Islamiyah, Juz 6, Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1415 H/1994 M
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: CV. Akedemika Pressindo,1995,
 cet ke-2



[1]Abdul Mujieb, M (et al), Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994, cet. Ke-1), hal. 261
[2]Tim Penyusunan Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hal. 693
[3]Ghazaly, Abd Rahman, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006, cet. Ke-2), hal. 129-130
[4]Nashiruddin Al Albani, Shahih Sunan At-Tirmidzi, kitab nikah, (Jakarta: PustakaAzam, 2006), hal.210
[5]Menurut Mohammd Daud Ali, Asas hukum perkawinan terdiri dari: (1) Asas kesukarelaan, (2) Asas persetujuan kedua belah pihak, (3) Asas Kebebasan memilih, (4) Asas monogami terbuka. Lihat Membendung Liberalisasi, hal. 79
[6]UU No. 1/1974, Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Pustaka: Yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN)), hal. 2
[7]Tanggo, Huzaemah Tahido, Membendung Liberalisme, (Jakarta: Penerbit Republika, 2004), hal. 58
[8]Luthfi Widagdo Eddyono, Persyaratan Poligami dalam UU Perkawinan Tidak Bertentangan Dengan Konstitusi, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=458, (diakses, 24/10, 2012)
[9]Zaidan, Abdul Karim,  Al-Mufashshal fi Ahkam al-Mar’ah wa al-Bait al-Muslim fi as-Syari’ah al-Islamiyah, Juz 6, (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1415 H/1994 M), hal. 287-289
[10] UU No. 1/1974, Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Pustaka: Yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN)), hal.10
[11]Kompilasi Hukum Islam, pasal 55
[12]Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: CV. Akedemika Pressindo,1995, cet ke-2), h.114
[13]Ghazaly, Abd Rahman, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006, cet. Ke-3), hal. 140

0 komentar:

Posting Komentar