Selasa, 08 Januari 2013

MAKALAH

HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

Tentang

Status Hukum Dan Dasar Hadhanah Akibat Perceraian







Disusun Oleh :

HANDAYANI
310.006




Dosen Pembimbing :

Prof. Dr. AMIR SYARIFUDDIN



JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYRIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
IMAM BONJOL PADANG
1433 H/2012 M








BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan dan perwujudannya merupakan hasrat alami manusia yang terbaik dengan naluri. Hal ini merupakan salah satu berkah terbesar dari Allah, keinginan untuk membangun keluarga inilah yang menghindarkan kaum muda dari fantasi terhadap mimpi-mimpi yag tak masuk akal dan segala kecemasan bathin. Pernikahan dapat membuat mereka menemukan pasangan yang baik dan serta yang mau berbagi rasa dalam masa-masa susah dan bahagia.
Bila pasangan-pasangan itu sadar akan hak dan kewajiban serta tugas masing-masing dan mengerjakannya sesuai dengan kemampuannya, maka rumah tangga akan menjadi tempat menjalin persahabatan, tetapi jika ada konflik dalam keluarga, rumah tangga akan berubah menjadi penjara, itu semua akibat akan lalainya hak dan kewajiban mereka antara suami dan isteri dan juga sebagai faktor utamanya adalah ketidakpedulian suami dan isteri atas tugas masing-masing dan ketidaksiapan mereka memasuki jenjang kehidupan dalam pernikahan biasanya untuk melaksanakan suatu tugas, keahlian dan kesiapan melaksanakannya merupakan suatu syarat, jika seseorang kurang berpengalaman dan kurang siap maka tidak akan dapat mencapai tujuan yang dicita-citakan.
Apabila dalam pelaksanaan hak dan kewajiban masing-masing terlaksana secara terarah dan baik maka dapat dihindari permasalahan rumah tangga, namun jika hak dan kewajiban tidak dapat terpenuhi secara baik maka dapat terjadi keretakan dalam rumah tangga yaitu seperti halnya perceraian yang mana dapat melantarkan status anak yang menjadi kewajiban suami atau istri.
Untuk itu kami mengangkat tema dengan bahasan “Hadhanah akibat perceraian”, yang mana seorang isteri maupun suami masih mempunyai kewajiban untuk mengasuh anak dari buah pernikahan mereka sehingga anak hasil perkawinan mereka terpelihara dengan baik.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka kami merumusan masalahnya sebagai berikut:
1. Apa Pengertian dari Hadhanah?
2. Bagaimana Status Hukum Dan Dasar Hadhanah Akibat Perceraian?
3. Bagaimana Hadhanah Menurut Pandangan Fuqaha’?
4. Bagaimana KHI Mengatur Hadhanah Akibat Perceraian?
C. Tujuan
Beradasarkan rumusan masalah diatas, makalah ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian Hadhanah.
2. Untuk mengetahui status hukum dan dasar Hadhanah akibat perceraian.
3. Untuk mengetahui Hadhanah menurut pandangan Fuqaha’.
4. Untuk mengetahui Hadhanah akibat perceraian menurut perspektif dalam KHI.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadhanah
Hadhanah berasal dari kata “Hidhan” yang berarti lambang. Seperti kata Hadhanah atl-thaairu baidhahu ‘burung itu mengapit telur di bawah sayapnya’. Begitu pula seorang perempuan (ibu) yang mengapit anaknya.
Dalam bukunya Abd. Rahman Ghazaly. M.A. Hadhanah menurut bahasa berarti “meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk atau di pangkuan”, karena ibu waktu menyusukan anaknya meletakkan anak itu di pangkuannya, seakan-akan ibu di saat itu melindungi dan memelihara anaknya, sehingga “Hadhanah” dijadikan istilah yang maksudnya: “pendidikan dan pemeliharaan anak sejak dari lahir sampai sanggup berdiri sendiri mengurus dirinya yang dilakukan oleh kerabat anak itu”.[1]
Para ulama’ fiqih mendefinisikan hadhanah, yaitu melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki ataupun perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani, dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.[2]
Dengan demikian, mengasuh artinya memelihara dan mendidik. Maksudnya adalah mendidik dan mengasuh anak-anak yang belum mumayyiz atau belum dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, belum pandai menggunakan pakaian dan bersuci dan sebagainya.
B. Status Hukum Dan Dasar Hadhanah Akibat Perceraian
Para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu hukumnya wajib, sebagaimana wajib memeliharanya selama berada dalam ikatan perkawinan. Adapun dasar hukumnya mengikuti umum perintah Allah untuk membiayai anak dan istri dalam firman Allah pada surat Al-Baqarah (2) ayat 233:
وعـلي المـولود له رزقـهن و كـسوتـهن بـالمعروف . (البقرة 223)

“ Adalah kewajiban ayah untuk memberi nafkah dn pakaian untuk anak dan istrinya ”
Begitu juga dalam Al-Qur’an yang lain yaitu: Surat At-Tahrim ayat 06:
يـاأيهاالـذينآمـنواقـواأنـفسكموأهـليكمنـاراوقودهـاالـناسوالحجارة(التحريم 6)
“ Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu….. ”
Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku selama ayah dan ibu masih terkait dalam tali perkawinan saja, akan tetapi juga berlanjut setelah terjadinya perceraian dalam perkawinan.[3] Nabi Muhammad bersabda:
من فرق بين والدة وولدهـا فرق الله بينه و بين أحبته يوم القيامة ) أخرجه الترمذي و ابن ماجه (
“Barang siapa memisahkan antara seorang ibu dengan anaknya, maka Allah akan memisahkan antara dia dan keaksih-kekasihnya pada hari kiamat.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Pemeliharaan atau pengasuhan anak itu berlaku antara dua unsur yang menjadi rukun dalam hukumnya, yaitu orang tua yang mengasuh yang disebut hadhin dan anak yang diasuh disebut mahdhun. Keduanya harus memenuhi syarat yang ditentukan untuk wajib dan sahnya tugas mengasuh itu. Dalam masa ikatan perkawinan ibu dan ayah secara bersama berkewajban untuk memelihara anak hasil dari perkawinan itu. Setelah terjadinya perceraian dan keduanya harus berpisah, maka ibu atau ayah berkewajiban memelihara anaknya secara sendiri-sendiiri.[4]
Ayah dan ibu yang akan bertindak sebagai pengasuh disyaratkan hal-hal sebagai berikut:
1. Sudah dewasa. Orang yang belum dewasa tidak akan mampu melakukan tugas yang berat itu, oleh karenanya belum diketahui kewajiban dan tindakan yang dilakukannya itu belum dinyatakan memenuhi persyaratan.
2. Berpikir sehat. Orang yang kurang akalnya seperti idiot tidak mampu berbuat untuk dirinya sendiri dan dengan keadaanya itu tentu tidak akan mampu berbuat untuk orang lain.
3. Beragama islam. Ini adalah pendapat yang dianut oleh jumhur ulama, karena tugas pengasuhan itu termasuk tugas pendidikan yang akan mengarahkan agama anak yang diasuh. Kalau diasuh oleh orang yang bukan islam dikhawatirkan anak yang diasuh akan jauh dari agamanya.
4. Adil dalam arti menjalankan secara baik, dengan meninggalkan dosa besar dan menjahui dosa kecil. Kebalikan dari adil dalam hal ini disebut fasiq yaitu tidak konsisten dalam beragama. Orang yang komitmen agamanya rendah tidak dapat diharapkan untuk mengasuh dan memelihara anak yang masih kecil.
Adapun syarat untuk anak yang akan diasuh (mahdhun) itu adalah:
1) Ia masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri dalam mengurus hidupnya sendiri.
2) Ia berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu tidak dapat berbuat sendiri, meskipun telah dewasa, seperti orang idiot. Orang yang telah dewasa dan sehat sempurna akalnya tidak boleh berada di bawah pengasuhan siapapun.
C. Hadhanah Menurut Pandangan Fuqaha’.
a. Ibu Lebih Berhak Terhadap Anak Daripada Ayahnya.
Para fuqaha’ sepakat bahwa hak pemeliharaan anak (hadhanah) ada pada ibu selama ia belum bersuami lagi. Apabila ia telah bersuami lagi dan sudah disetubuhi oleh suami yang baru maka gugurlah pemeliharaannya.[5]
Sedangkan para Imam Mazhab berbeda pendapat tentang suami istri yang bercerai, adapun mereka mempunyai seorang anak atau lebih. Siapakah yang berhak memelihara anaknya?
Menurut pendapat Imam Hanafi dalam salah satu riwayatnya: Ibu lebih berhak atas anaknya hingga anak itu besar dan dapat berdiri sendiri dalam memenuhi keperluan sehari-hari seperti makan, minum, pakaian, beristinjak, dan berwudhu. Setelah itu, bapaknya lebih berhak memeliharanya. Untuk anak perempuan, ibu lebih berhak memeliharanya hingga ia dewasa, dan tidak diberi pilihan.
Imam Miliki berkata: ibu lebih berhak memelihara anak perempuan hingga ia menikah dengan orang laki-laki dan disetubuhinya. Untuk anak laki-laki juga seperti itu, menurut pendapat Maliki yang masyhur, adalah hingga anak itu dewasa.
Imam Syafi’i berkata: Ibu lebih berhak memeliharanya, baik anak itu laki-laki maupun perempuan, hingga ia berusia tujuh tahun. Apabila anak tersebut telah mencapai usia tujuh tahun maka anak tersebut diberi hak pilih untuk ikut diantara ayah atau ibunya.
Imam Hambali dalam hal ini mempunyai dua riwayat: Pertama, ibu lebih berhak atas anak laki-laki sampai ia berumur tujuh tahun. Setelah itu, ia boleh memilih ikut bapaknya atau masih tetap bersama ibunya. Sedangkan untuk anak perempuan, setelah ia berumur tujuh tahun, ia terus tetap bersama ibunya, tidak boleh diberi pilihan. Kedua, seperti pendapatnya Imam Hanafi, yaitu ibu lebih berhak atas anaknya hingga anak itu besar dan berdiri sendiri dalam memenuhi keperluan sehari-hari sepeti makan, minum, pakaian, beristinjak, dan berwuduk. Setelah itu, bapak lebih berhak memeliharanya. Untuk anak perempuan, ibu yang lebih berhak memeliharanya hingga ia dewasa dan tidak diberi pilihan.[6]
b. Berhentinya Hadhanah
Hadhanah berhenti (habis) bila anak kecil tersebut sudah tidak lagi memerlukan pelayanan perempuan, telah dewasa, dan dapat berdiri sendiri, serta telah mampu untuk mengurus sendiri kebutuhan pokoknya, seperti makan sendiri, berpakaian sendiri, mandi sendiri. Dalam hal ini, tidak ada batasan tertentu tentang waktu habisnya.[7]
Fatwa pada mazhab Hanafi dan lain-lainnya, “Masa hadhanah berakhir (habis) bilamana telah berumur tujuh tahun bagi laki-laki dan sebilan tahun kalau ia perempuan”. Mereka menetapkan masa hadhanah perempuan lebih lama agar dia dapat menirukan kebiasaan-kebiasaan kewanitaannya dari hadhanah (ibu pengsuhnya).
Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa masa hadhanah itu berakhir setelah anak itu mumayyiz, yakni berumur lima dan enam tahun,[8] dengan dasar hadits:
“Rasulullah SAW bersabda: anak ditetapkan antara bapak dan ibunya sebagaimana anak (anak yang belum mumayyiz) perempuan di tetapkan antara bapak dan ibunya”
Begitu juga beberapa Imam Mazhad berpendapat tentang hal ini, yaitu: Imam Syafi’i dan ishak mengatakan bahwa lama masa mengasuh adalah sampai 7 tahun atau 8 tahun. Ulama-ulama Hanafiah dan Ats-Tsauri mengatakan bahwa ibu lebih berhak mengasuh anak laki-laki sampai ia pandai makan sendiri, dan berpakaian sendiri. Sedangkan anak perempuan sampai ia haid. Sesudah itu baru bapaknya yang berhak dengan keduanya.[9]
c. Upahnya Hadhanah
Upah hadhanah seperti upah menyusuhi, ibu tidak berhak atas upah hadhanah selama ia masih menjadi istri dari ayah anak kecil itu, atau selama masih dalam masa iddah. Karena dalam keadaan tersebut, ia masih mempunyai hak nafkah sebagai istri atau nafkah masa iddah.[10] Allah SWT. Berfirman: (Al-Baqarah:233)
Maka ia berhak mendapatkan upah itu seperti haknya kepada upah menyusui, apabila setelah habisnya masa iddah. Allah SWT. Berfirman: (At-Talak:06)
D. Hadhanah Dalam Perspektif KHI
a. Yang Lebih Layak Melakukan Hadhanah
Dalam Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, mengenai hadhanah menjadi hukum positif di Indonesia dan Peradilan Agama diberi wewenang untuk menyelesaikannya. Hadhanah merupakan sebagai salah satu akibat putusnya perkawinan diatur secara panjang lebar oleh KHI dan materinya hampir keseluruhannya mengambil dari fiqh menurut para jumhur ulama, khususnya Syafi’iyah. Kompilasi Hukum Islam kaitannya dengan masalah ini membagi ada dua periode bagi anak yang perlu dikemukakan yaitu:
Periode Sebelum Mummayiz
Apabila terjadi perceraian dimana telah diperoleh keturunan dalam perkawinan itu dan pada masa tersebut seorang anak belum lagi mumayyiz atau belum bisa membedakan antara yang bermanfaat dan yang berbahaya bagi dirinya, maka anak tersebut dikatakan belum mummayiz. KHI menyebutkan pada bab 14 masalah pemeliharaan anak pasal 98 menjelaskan bahwa “ batas usia anak dalam pengawasan orang tuanya adalah sampai usia anak 21 tahun selama belum melakukan pernikahan ”. Pada pasal 105 ayat (a) bahwa pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. Kemudian KHI lebih memperjelas lagi dalam pasal 156, merumuskan sebagai berikut:
AKIBAT PERCERAIAN
Pasal 156
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah:[11]
1. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya diganti oleh:
1. Wanita – wanita garis lurus keatas dari ibu.
2. Ayah.
3. Wanita – wanita garis lurus keatas dari ayah.
4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan.
5. Wanita – wanita kerabat menurut garis ke samping dari ibu.
6. Wanita – wanita kerabat menurut garis ke samping dari ayah.
7. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau dari ibunya.
8. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah juga;
9. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurusi diri sendiri (21 tahun);
10. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama yang memberikan putusan yaitu berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d);
11. Pengadilan dapat pula dengan mengingatkan kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang turut padanya.
Periode Mummayiz
Pada masa ini seorang anak secara sederhana telah mampu membedakan mana yang berbahaya dan mana yang bemanfaat bagi dirinya. Oleh sebab itu, ia sudah dianggap dapat menjatuhkan pilihannya sendiri apakah ikut ibunya atau ikut ayahnya. Dengan demikan ia diberi hak pilih menentukan sikapnya. Hal ini telah diatur dalam KHI pasal 105 ayat (b) bahwa “Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya”, dan juga terdapat dalam pasal 156 ayat (b) yang menyebutkan bahwa anak diberi pilihan untuk ikut dalam asuhan ibu atau ayah.[12]
b. Berhentinya Hadhanah
Berakhirnya masa asuhan adalah pada waktu anak itu sudah bisa ditanya kepada siapa dan akan terus ikut. Batas usia anak dalam pengawasan orang tuanya adalah sampai usia anak 21 tahun selama belum melakukan pernikahan (pasal 98 KHI). Kalau anak tersebut memilih ibunya maka si ibu tetap berhak mengasuh anak itu, kalau anak itu memilih ikut bapaknya maka hak mengasuh pindah pada bapak.
Erat kaitannya mengenai hadhanah yang menjadi tugas para pemegang kewajiban tersebut sebagai wali dari seorang anak yang dalam asuhannya. Adapun perwalian anak menurut Kompilasi Hukum Islam adalah:[13]
PERWALIAN
Pasal 107
1. Perwalian hanya terdapat anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
2. Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaannya.
3. Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksankan tugas perwaliannya, maka pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut.
4. Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur, dan berkelakuan baik, atau badan hukum.
________________________________________
[1] Ghazaly Rahman. Fikih Munakahat. Jakarta: Kencana. Hal. 175
[2] Aminuddin, Slamet Abidin. Fikih Munakahat 2. Bandung: cv Pustaka Setia. Hal. 171
[3] Syarifiddin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-undang Perkawinan. Jakarta: hal. 328
[4] Ibid. Hal. 328
[5] Muhammad bin Abdurrahman. 2004. Fikih Empat Mazhab. Bandung: hal. 416
[6] Ibid. Hal. 417.
[7] Sayyid sabiq. 2004. Fikih Sunnah. Jakarta Pusat: Pena Pundi Aksara. Hal. 246.
[8] Dr. H. Abd Rahman Ghazaly. M. A. 2006. Fikih Munakahat. Jakarta: Kencana. Hal.186
[9] Drs. H. Aminuddin, Drs. Slamet Abidin. 1999. Fikih Munakahat 2. Bandung. Hal. 184
[10] Ibid. Hal. 181
[11] Syarifiddin, Amir. Op. Cit. Hal. 334
[12] Kompilasi Hukum Islam, Surabaya: Kesindo Utama.
[13] Kompilasi Hukum Islam, Surabaya: Kesindo Utama.

0 komentar:

Posting Komentar