Jumat, 11 Januari 2013

FIQH JINAYAH Tentang HUKUMAN


MAKALAH


FIQH JINAYAH


Tentang


HUKUMAN


























Oleh:


HANDAYANI


310.006





Dosen Pembimbing:


Dr. ZULFIKRI, MA








JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM


FAKULTAS SYARI’AH


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI


IAIN IMAM BONJOL PADANG


1433 H / 2011 M





BAB I


PENDAHULUAN





Hukum Pidana Islam merupakan syari’at Allah yang mengandung kemaslahatan bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun akhirat. Syari’at Islam dimaksud, secara materil mengandung kewajiban asasi bagi setiap manusia untuk melaksanakannya. Konsep kewajiban asasi syari’at, yaitu menempatkan Allah sebagai pemegang segala hak, baik yang ada pada diri sendiri maupun yang ada pada orang lain. Setiap orang hanya pelaksana yang berkewajiban memenuhi perintah Allah. Perintah Allah dimaksud, harus ditunaikan untuk kemaslahatan dirinya dan orang lain.


Al qur’an merupakan penjelasan Allah tentang syari’at, sehingga disebut Al Bayan (penjelasan). Penjelasan dimaksud secara garis besar mempunyai empat bentuk Nash (tekstual) tentang syari’at sesuatu, misalnya orang yang membunuh tanpa hak, sanksi hukum bagi pembunuh tersebut adalah harus dibunuh oleh keluarga korban atas adanya putusan dari pengadilan. Orang berzina harus dicambuk 100 kali bagi pelaku yang berstatus pemuda dan pemudi. Namun bagi pelaku yang berstatus jandaa atau duda atau sudah menikah hukumannya adalah rajam.









































BAB II


PEMBAHASAN


HUKUMAN


           


1.      Pengertian hukuman     


Hukuman dalam bahasa Arab disebut ‘uqubah. Lafaz ‘uqubah menurut bahasa berasal dari kata ‘aqaba yang sinonimnya khalafahu wa ja a bi’aqabihi, artinya: mengiringnya dan datang di belakangnya. Dalam pengertian yang agak mirip dan mendekati pengertian istilah, barangkali lafazh tersebut bisa diambil dari lafaz: ‘aqaba yang sinonimnya jazahu sawa a bima fa’ala, artinya: membalasnya sesuai dengan apa yang dilakukannya.


Dari pengertian yang pertama dapat dipahami bahwa sesuatu dapat disebut hukuman karena ia mengiringi perbuatan dan dilaksanakan sesudah perbuatan itu dilakukan. Sedangkan dari pengertian yang kedua dapat dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena ia merupakan balasan terhadap perbuatan nyang menyimpang yang telah dilakukannya.


Menurut Hukum Pidana Islam, hukuman adalah seperti yang didefenisikan oleh Abdul Qadir Audah sebagai berikut:











“hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk memelihara kepentingan masyarakat, karena adanya pelanggaran atas ketentuan syara”


Dari definisi tersebut dapatlah dipahami bahwa hukuman adalah salah satu tindakan yang diberikan oleh syara’ sebagai pembalasan atas perbuatan yang melanggar ketentuan syara’, dengan tujuan untuk memelihara ketertiban dan kepentingan masyarakat, sekaligus juga untuk melindungi kepentingan individu.[1]


Maksud pokok hukuman adalah untuk memelihara dan menciptakan kemaslahatan manusia dan menjaga mereka dari hal-hal yang mafsadah, karena islam itu sebagai rahmatan lil’alamin, untuk memberi petunjuk dan pelajaran kepada manusia.


Hukuman itu harus mempunyai dasar, baik dari Al Qur’an, hadis, atau lembaga legislatif yang mempunyai kewenangan menetapkan hukuman untuk kasus ta’zir. Selain itu hukuman itu harus bersifat pribadi. Artinya hanya dijatuhkan kepada yang melakukan kejahatan saja. Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa:”Seseorang tidak menanggung dosanya orang lain”. Terakhir, hukuman itu harus bersifat umum, maksudnya berlaku bagi semua orang, karena semua manusia sama di hadapan hukum.[2]





2.      Macam-macam Hukuman


Dalam hukum pidana Islam terbagi atas dua bagian, yaitu:


a.       Ketentuan hukum yang pasti mengenai berat ringannya hukuman termasuk Qishas dan Diat yang tercantum dalam Al Qur’an dan Hadis.


b.      Ketentuan hukuman yang dibuat oleh hakim melalui putusannya yang disebut hukuman ta’zir


`     Hukum publik dalam ajaran Islam adalah jinayah yang memuat aturan mengenai perbuatan yang diancam dengan hukuman, baik dalam jarimah hudud maupun dalam jarimah ta’zir. Jarimah adalah perbuatan tindak pidana. Jarimah hudud adalah perbuatan pidana yang mempunyai bentuk dan batas hukumannya di dalam Al qur’an dan Hadis. Lain halnya dengan Jarimah Ta’zir adalah perbuatan pidana yang bentuk dan ancaman hukumannya ditentukan oleh penguasa (hakim) sebagai pelajaran bagi pelakunya.[3]


v  Ditinjau dari segi hubungannya antara satu hukuman dengan hukuman lain, dapat dibagi empat:


1.      Hukuman pokok, yaitu hukuman yang asal bagi satu kejahatan, seperti hukuman mati bagi pembunuh dan hukuman jilid bagi pezina ghair muhsan


2.      Hukuman pengganti, yaitu hukuman yang menempati hukuman pokok, apabila hukuman pokok itu tidak dapat dilaksanakan karena suatu alasan hukum, seperti hukuman denda bagi pembunuh yang disengaja yang dimaafkan qishasnya oleh keluarga korban.


3.      Hukuman tambahan, yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku atas dasar mengikuti hukuman pokok, seperti terhalangnya seorang pembunuh untuk mendapatkan warisan dari harta terbunuh.


4.      Hukuman pelengkap, yaitu hukuman yang dijatuhkan sebagai pelengkap terhadap hukuman yang telah dijatuhkan, seperti mengalungkan tangan pencuri yang telah dipotong di lehernya. Hukuman ini harus berdasarkan keputusan hakim tersendiri. Sedangkan hukuman pengganti tidak memerlukan keputusan hakim tersendiri.


v  Ditinjau dari segi kekuasaan hakim yang menjatuhkan hukuman, maka hukuman dapat dibagi dua:


1.      Hukuman yang tidak memiliki satu batas tertentu, dimana hakim tidak dapat menambah atau mengurangi batas itu, seperti hukuman had.


2.      Hukumkan yang memiliki dua batas, yaitu batas tertinggi dan batas terendah, dimana hakim dapat memilih hukuman yang paling adil dijatuhkan kepada terdakwa, seperti dalam kasus maksiat yang diancam dengan ta’zir.


v  Ditinjau dari sasaran hukum, hukuman dibagi menjadi empat:


1.      Hukuman badan, yaitu hukuman yang dikenakan kepada badan manusia, seperti hukuman jilid.


2.      Hukuman yang dikenakan kepada jiwa, yaitu hukuman yang mati.


3.      Hukuman yang dikenakan kepada kemerdekaan manusia, seperti hukuman penjara atau pengasingan.


4.      Hukuman harta, yaitu hukuman yang dikenakan kepada harta, seperti diyat, denda dan perampasan.[4]








3.      Tujuan Pelaksanaan Hukuman





a.       Pencegahan (Ar Rad’u wa Zajru)


Pengertian pencegahan adalah menahan orang berbuat jarimah agar ia tidak mengulangi perbuatan jarimahnya, atau agar ia tidak terus menerus melakukan jarimah tersebut. Disamping mencegah pelaku, pencegahan juga mengandug arti mencegah orang lain selain pelaku agar ia tidak ikut-ikutan melakukan jarimah, sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan kepada pelaku juga akan dikenakan kepada orang lain yang juga melakukan perbuatan yang sama. Dengan demikian, kegunaan pencegahan adalah rangkap, yaitu menahan orang yang berbuat itu sendiri untuk tidak mengulangi perbuatannya, dan menahan orang lain untuk tidak berbuat seperti itu serta menjauhkan diri dari lingkungan jarimah.


Tujuan yang pertama ini, berefek kepada masyarakat, sebab dengan tercegahnya pelaku dari perbuatan jarimah maka masyarakat akan tenang, aman, tenteram dan damai. Dan juga efeknya terhadap pelaku, sebab dengan tidak dilakukannya jarimah maka pelaku akan selamat dan terhindar dari penderitaan akibat dari hukuman itu.





b.      Perbaikan dan Pendidikan (Al Ishlah wa Tahdzib)


Maksudnya adalah agar bisa mendidik pelaku jarimah agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahannya. Dengan adanya hukuman ini, diharapkan akan timbul dalam diri pelaku suatu kesadaran bahwa ia menjauhi jarimah bukan karena takut akan hukuman, melainkan karena kesadaran diri dan kebencian terhadap jarimah serta dengan harapan mendapat ridha Allah.


Disamping kebaikan pribadi pelaku, syari’at islam dalam menjatuhkan hukuman juga bertujuan membentuk masyarakat yang baik yang diliputi oleh rasa saling menghormati dan mencintai antara sesama anggotanya dengan mengetahui batas-batas hak dan kewajibannya.[5]





4.      Hal-hal Yang Mempengaruhi Hukuman


Penghapusan hukuman, diberlakukan apabila:


1.      Pelaku meninggal dunia, kecuali untuk hukuman yang berupa denda, diyat, dan perampasan harta.


2.      Hilangnya anggota badan yang harus dikenai hukuman, maka hukumannya berpindah kepada diyat dalam kasus jarimah qishas.


3.      Tobat dalam kasus jarimah hirabah, meskipun Ulil Amri dapat menjatuhi hukuman ta’zir bila kemaslahatan umum menghendakinya.


4.      Perdamaian dalam kasus jarimah qishas dan diyat. Dalam hal ini pun Ulil Amri  dapat menjatuhkan hukuman ta’zir bila kemaslahatan umum menghendakinya.


5.      Pemaafan dalam kasus qishas dan diyat serta dalam kasus jarimah ta’zir yang berkaitan dengan hak adami.


6.      Diwarisinya qishas. Dalam hal ini pun Ulil Amri dapat menjatuhkan hukuman ta’zir, seperti Ayah membunuh anaknya.


7.      Kadaluwarsa. Menurut Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad di dalam Hudud tidak ada kadaluwarsa.


Sedangkan dalam jarimah ta’zir mereka membolehkan adanya kadaluarsa bila Ulil Amri menganggap padanya kemaslahatan umum. Sedangkan menurut mazhab Hanafi dalam kasus jarimah Ta’zir bisa diterima adanya kadaluwarsa. Adapun dalam jarimah qishas, diyat, dan jarimah qadzaf tidak diterima kadaluwarsa. Dalam hal ini diterimanya kadaluwarsa dalam jarimah ta’zir, itu bilamana pembuktiannya melalui persaksian dan para saksinya tidak memberikan persaksiannya dalam waktu enam bulan setelah kasus itu terjadi.


Dari paparan diatas ada kesan yang kuat bahwa di dalam menjatuhkan hukuman, kepentingan korban kejahatan dan kepentingan pelaku kejahatan harus dipertimbangkan secara seimbang. Dengan demikian rasa keadilan dalam masyarakat dapat tercapai.[6]











BAB III


PENUTUP





1.      Kesimpulan


            Hudud (hukuman sy’iar) adalah zawajir (pencegahan-pencegahan) yang disiapkan Allah  untuk menghalangi terjadinya kasus pelanggaran  terhadap sesuatu yang dilarang oleh Allah dan meninggalkan (tidak mengerjakan) apa yang diperintahkan Allah untuk dikerjakan, karena dominasi syahwat membuat orang lupa akan ancaman akhirat. Oleh karena itu, Allah membuat hukuman-hukuman yang membuat orang-orang bodoh berhenti dari kejahatanya, sembari memperingatkan mereka akan sakitnya hukuma dan takut menakuti mereka akan siksa yang menyakitkan. Ini semua agar hal-hal yang diharamkan oleh Allah itu dijauhi oleh mereka, dan kewajiban kewajiban yang Dia perintahkan itu diikuti (diamalkan) oleh mereka, sehingga kemudian kemaslahatan menyebar rata, dan taklif (perintah) dikerjakan dengan sempurna, Allah berfirman  


‘’dan kami tidak mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam” (al-Anbiya’ 107)


            Maksud ayat di atas, bahwa kami tidak mengutusmu melainkan untuk menylamatkan manusia dari kebodohan, membimbing  mereka dari kebodohan, melarang mereka dari kemaksiatan, dan mendorong mereka kepada ketaatan.



































DAFTAR PUSTAKA








Muslich, Ahmad Wardi,  Pengantar Asas Hukum Pidana Islam,


Jakarta:  Sinar Grafika, 2004


Djazuli, A, Fiqh Jinayah, Jakarta: PT. Raja Grafindo, cet ke-3, 2000


Ali, Zainuddin, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2007







[1]Muslich, Ahmad Wardi, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam”Fiqh Jinayah”, (Jakarta, Sinar Grafika Offset, 2004), h. 136-137




[2] Dzajuli, A., FIQH JINAYAH (upaya menanggulangi kejahatan dalam islam), (Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2000), h. 25-26




[3]Ali, Zainuddin, Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Sinar Grafika, 2007), h. 11




[4]Dzajuli, A., Op. Cit., h. 28-29




[5] Muslich, Ahmad Wardi, Op. Cit., h. 138-139




[6] Dzajuli, Ahmad Wardi, Op. Cit., h. 33-34



0 komentar:

Posting Komentar