MAKALAH
PERBANDINGAN MAZHAB DALAM HUKUM ISLAM II
PERNIKAHAN MUSLIM DAN NON MUSLIM
Disusun Oleh
HANDAYANI
310.006
Dosen Pembimbing
DR. H. Zulfikri. MA
PEERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI
IMAM BONJOL PADANG
1434 H / 2012 M
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Di dalam
kondisi masyarakat Indonesia yang beragam, dari segi suku, agama, dan ras,
terdapat berbagai macam masalah yang timbul di dalamnya. Salah satu masalah
yang menjadi sorotan dalam konflik-konflik yang timbul dalam masyrakat sekarang
ini ialah dimana kita sering jumpai terjadinya perlangsungan pernikahan beda
agama. Kontak antar masyarakat yang berbeda latar belakang ini pada kemudian
hari menimbulkan adanya suatu fenomena dalam masyarakat yaitu berupa perkawinan
campuran. Salah satu perkawinan campuran yang paling banyak mengundang
perdebatan adalah perkawinan campuran antara pasangan yang memiliki agama yang
berbeda. Masalahnya, dengan perkawinan beda agama akan terjadi suatu perbedaan
prinsipil dalam perkawinan itu sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan berbagai
masalah yang rumit untuk diselesaikan dikemudian hari. Oleh karena itu,
kemudian hal itu banyak mendapat tantangan dari masyarakat luas, tetapi juga
oleh hukum positif di Negara kita serta hokum agama yang mereka anut. Walau
tidak dapat dipungkiri ada saja pihak yang pro terhadap keberadaan perkawinan
beda agama ini.
Dengan
adanya berbagai perbedaan pandangan perkawinan beda agama ini, maka penyusun
makalah ini tertarik untuk membahas lebih dalam mengenai perkawinan beda agama
di Indonesia, terutama dilihat dari perspektif hukum Islam. Hal ini dikarenakan
tidak dapat kita pungkiri, sebagian besar masyarakat Indonesia menganut agama
Islam sehingga sudah barang tentu hokum Islam diperhitungkan sebagai salah satu
sistem hukum yang banyak hidup di tengah masyarakat Indonesia. Dengan begitu
hukum Islam dapat menjadi salah satu tolak ukur dalam menilai masalah
perkawinan beda agama ini.
BAB II
PEMBAHASAN
PERNIKAHAN
MUSLIM DAN NON MUSLIM
- Konsep dan Pengertian Nikah Beda Agama
Secara
etimologi, pernikahan berarti “persetubuhan”. Ada pula yang mengartikannya
“perjanjian” (al-Aqdu). Secara terminology pernikahan menurut Abu
Hanifah adalah “Aqad yang dikukuhkan untuk memperoleh kenikmatan dari seorang
wanita yang dilakukan dengan sengaja”.
Pengukuhan
disini maksudnya adalah sesuatu pengukuhan yang sesuai dengan ketapatan
pembuatan syari’ah, bukan sekedar pengukuhan yang dilakukan oleh dua orang yang
saling membuat aqad (perjanjian) yang bertujuan hanya sekedar untuk mendapatkan
kenikmatan semata.
Menurut
mazhab Maliki, pernikahan adalah “Aqad yang dilakukan untuk mendapatkan
kenikmatan dari wanita”. Dengan aqad tersebut seseorang akan terhindar dari
perbuatan haram (zina). Menurut mazhab Syafi’i pernikahan adalah “Aqad yang
menjamin diperbolehkan persetubuhan”. Sedang menurut mazhab Hambali adalah
“Aqad yang di dalamnya terdapat lafazh pernikahan secara jelas, agar
diperbolehkan bercampur”.[1]
Menikah
dengan pasangan yang se-agama tentu tidak akan susah-susah mengurus segala
sesuatu mulai dari restu keluaga, juga dalam berhubungan dengan pemuka agama
yang menikahkan hingga pegawai pencatat nikah. Akan tetapi ceritanya akan lain
kalau Anda sudah berketetapan hati untuk menikah dengan seseorang yang
merupakan pasangan hidup anda. Bukan sekedar karena sudah bilang mencintai,
tapi juga niat tulus untuk berbuat baik dan membangun keluarga bersama dalam
sebuah ikatan. Tetapi niat baik itu akan terbentur tembok agama dan juga
birokrasi hukum.
Pernikahan
beda agama pada dasarnya berarti pernikahan yang dilangsungkan antar pasangan
yang berbeda agama satu sama lain. Pernikahan bernuansa keragaman ini banyak
terjadi dan kita jumpai didalam kehidupan bermasyarakat.[2]
Persoalan
nikah beda agama dalam konteks Negara Indonesia adalah persoalan hukum.
Sementara tafsiran agama-agama tentang pernikahan antara penganut agama
bersangkutan dengan penganut agama lain adalah persoalan teologis dan
tafsir-tafsir keagamaan.[3]
- Hukum pernikahan beda agama
Ketika
membicarakan tentang orang-orang yang boleh dan haram untuk dinikahi, maka kita
tidak bisa melepaskan pembicaraan lebih jauh mengenai hukum menikah dengan ahli
kitab, kita harus memberi batasan terlebih dahulu apa yang dimaksud ahli kitab,
karena banyak orang yang mengira bahwa setiap non muslim atau orang kafir itu
adalah ahli kitab.
Ada banyak
pendapat mengenai siapa ahli kitab. Jika kita mengacu pada beberapa ayat
al-Qur’an yang menyebutkan ahli kitab biasanya ayat tersebut menunjuk pada
komunikasi nasrani dan yahudi. Akan tetapi Imam Syafi’i membatasi pengertian
ahli kitab hanya kepada orang-orang yahudi dan nasrani dari keturunan Bani
Israil.
Abu Hanifah
dan beberapa ahli fiqih lain, salah satunya Imam Abu Saur menyatakan bahwa ahli
kitab adalah seluruh komunitas yang mempercayai salah seorang nabi atau kitab
suci yang diturunkan Allah SWT. Jadi ahli kitab menurut mereka bukan hanya
menunjuk kepada komunitas yahudi dan nasrani.
Sementara
itu, setelah meneliti beberapa pendapat ulama, Quraish shihab dalam bukunya
wawasan al-Qur’an mengemukakan kecenderungannya memahami ahli kitab sebagai
semua penganut agama yahudi dan nasrani, kapanpun, dimanapun dan dari keturunan
siapapun mereka. Pendapat ini berdasarkan pada penggunaan al-Qur’an terhadap
istilah tersebut yang hanya terbatas pada kedua golongan tersebut (yahudi dan
nasrani). Pendapat Quraish Shihab di atas termasuk pendapat yang moderat dan banyak
dipegang para ulama’. Maka pengertian ahli kitab lebih menunjuk kepada
pengertian komunitas yahudi dan nasrani pada umumnya.
Adapun hukum
pernikahan beda agama, yaitu:
- Muslimah menikah dengan laki-laki lain
Permpuan
muslimah tidak boleh nikah dengan laki-laki lain, baik dia itu ahli kitab
ataupun lainnya dalam situasi dan keadaan apapun. Seperti firman Allah:
wur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sã 4....
“Dan janganlah kamu menikahi
wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.” (Q.S. al-Baqarah: 221)[4]
Selain hukum
pernikahan beda agama di atas, para tokoh Islam juga berpendapat mengenai hukum
nikah beda agama, antara lain:
- Menurut Sayid Sabiq, mengatakan bahwa ulama’
fiqih sepakat mengharamkan perkawinan perempuan muslim dengan pria non
muslim dari golongan manapun.
- Menurut Ali ash-Shabuni dalam Q.S. al-Mumthahanah
ayat 10, mengandung kemutlakan yang mencakup juga ahli kitab dan non
muslim lainnya termasuk murtad dari Islam.
- Menurut Maulana Muhammad Ali, mengatakan bahwa
al-Qur’an sebenarnya tidak menyebutkan secara tegas larangan perkawinan
wanita muslim dengan pria non muslim.
- Menurut Mahmoud Muhammad Toha, berpendapat bahwa
larangan pengharaman perkawinan model ini karena dependensi wanita kepada
pria terutama dalam bidang ekonomi dan keamanan.
- Menurut Zainun Kamal, berpendapat bahwa wanita
muslim boleh menikah dengan pria non muslim manapun selain pria kafir
musyrik quraisy.[5]
- Lelaki muslim menikah dengan perempuan non muslim
Pernikahan
seorang lelaki muslim dengan perempuan non muslim terbagi atas 2 macam:
- Lelaki muslim menikah dengan perempuan ahli
kitab.
Jika wanita
haram menikah dengan laki-laki non muslim termasuk laki-laki ahli kitab, tidak
demikian halnya dengan laki-laki muslim. Para lelaki muslim hukumnya mubah
menikahi perempuan dari komunitas ahli kitab, yaitu komunitas yahudi dan
nasrani. Diluar dua komunitas ini laki-laki muslim pun haram menikahinya.
Firman Allah
tPöquø9$# ¨@Ïmé& ãNä3s9 àM»t6Íh©Ü9$# ( ãP$yèsÛur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# @@Ïm ö/ä3©9 öNä3ãB$yèsÛur @@Ïm öNçl°; ( àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB ÏM»oYÏB÷sßJø9$# àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNä3Î=ö6s% !#sÎ) £`èdqßJçF÷s?#uä £`èduqã_é& tûüÏYÅÁøtèC uöxî tûüÅsÏÿ»|¡ãB wur üÉÏGãB 5b#y÷{r& 3....
“Makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan
kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga
kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu
Telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud
berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.” (Q.S. al-Maidah : 5)[6]
Menurut
Yusuf al-Qardlawi berpendapat tentang bolehnya seorang lelaki muslim menikah
dengan perempuan kitabiyah, sifatnya tidak mutlak, tetapi dengan beberapa
syarat yang wajib diperhatikan, yaitu:
- Kitabiyah itu benar-benar berpegang pada ajaran
Samawi. Tidak ateis, tidak murtad dan tidak beragama yang bukan agama
Samawi.
- Wanita kitabiyah yang muhshanah.
- Ia bukan kitabiyah yang kaumnya berada pada
status permusuhan atau peperangan dengan kaum muslimin.
- Dibalik perkawinan dengan kitabiyah itu tiak akan
terjadi fitnah, yaitu mafsadat atau kemurtadan (keluar dari agama Islam).
Makin besar kemungkinan terjadinya kemurtadan makin besar tingkat larangan
dan keharamannya. Nabi Muhammad SAW pernah menyatakan “tidak bahaya dan
tidak membahayakan”.
Walaupun
hukumnya mubah, mesti diperhatikan bahwa ada beberapa keburukan yang akan
terjadi manakala seorang lelaki muslim menikah dengan wanita non muslim, antara
lain:
- Akan berpengaruh kepada perimbangan antara wanita
Islam dengan laki-laki muslim. Akan lebih banyak wanita Islam yang tidak
kawin dengan laki-laki muslim yang belum kawin. Sementara itu poligami
diperketat yang malah laki-laki yang kawin dengan wanita nasrani sesuai
dengan ajaran agamanya serta tidak mungkin menyetujuinya suaminya
berpoligami.
- Suami mungkin terpengaruh oleh agama istrinya.
Demikian pula anak-anaknya. Bila hal ini terjadi maka benar-benar menjadi
kenyataan.
- Perkawinan dengan non muslimah akan menimbulkan
kesulitan hubungan suami istri dan kelangsungan pendidikan anak-anaknya.
Lebih-lebih jika lelaki muslim dan wanita kitabiyah berbeda tanah air,
bahasa, dan budaya.
Para ulama’
berbeda pendapat mengenai hukum perkawinan pria muslim dengan wanita ahli
kitab:
- Menurut pendapat jumhur ulama’ baik hanafi,
maliki, syafi’i, maupun hambali, seorang pria muslim diperbolehkan kawin
dengan wanita ahli kitab yang berada dalam lindungan (kekuasaan) Negara
Islam (ahli dzimmah). Pendapat ini berdasarkan firman Allah SWT yang
berbunyi:
tPöquø9$# ¨@Ïmé& ãNä3s9 àM»t6Íh©Ü9$# ( ãP$yèsÛur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# @@Ïm ö/ä3©9 öNä3ãB$yèsÛur @@Ïm öNçl°; ( àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB ÏM»oYÏB÷sßJø9$# àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNä3Î=ö6s% !#sÎ) £`èdqßJçF÷s?#uä £`èduqã_é& tûüÏYÅÁøtèC uöxî tûüÅsÏÿ»|¡ãB wur üÉÏGãB 5b#y÷{r& 3 `tBur öàÿõ3t Ç`»uKM}$$Î/ ôs)sù xÝÎ6ym ¼ã&é#yJtã uqèdur Îû ÍotÅzFy$# z`ÏB z`ÎÅ£»sø:$# ÇÎÈ
“Pada
hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang
yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi
mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara
wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu Telah membayar mas
kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak
(pula) menjadikannya gundik-gundik. barangsiapa yang kafir sesudah beriman
(Tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari
kiamat termasuk orang-orang merugi.”(Al-Maidah: 5)
- Golongan syiah imamiyah dan syiah zaidiyah berpendapat
bahwa pria muslim tidak boleh kawin dengan wanita ahli kitab. Golongan ini
melandaskan pendapatnya pada dalil:
wur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sã 4 ...
“Dan
janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman”.
(al-Baqarah: 221)
Golongan ini
berpendapat bahwa wanita-wanita ahli kitab itu termasuk kafir, karena
wanita-wanita ahli kitab itu telah musyrik (menyekutukan Allah). Firman Allah:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) ãNà2uä!%y` àM»oYÏB÷sßJø9$# ;NºtÉf»ygãB £`èdqãZÅstGøB$$sù ( ª!$# ãNn=÷ær& £`ÍkÈ]»yJÎ*Î/ ( ÷bÎ*sù £`èdqßJçFôJÎ=tã ;M»uZÏB÷sãB xsù £`èdqãèÅ_ös? n<Î) Í$¤ÿä3ø9$# ( w £`èd @@Ïm öNçl°; wur öNèd tbq=Ïts £`çlm; ( Nèdqè?#uäur !$¨B (#qà)xÿRr& 4 wur yy$oYã_ öNä3øn=tæ br& £`èdqßsÅ3Zs? !#sÎ) £`èdqßJçG÷s?#uä £`èduqã_é& 4 wur (#qä3Å¡ôJè? ÄN|ÁÏèÎ/ ÌÏù#uqs3ø9$# (#qè=t«óur !$tB ÷Läêø)xÿRr& (#qè=t«ó¡uø9ur !$tB (#qà)xÿRr& 4 öNä3Ï9ºs ãNõ3ãm «!$# ( ãNä3øts öNä3oY÷t/ 4 ª!$#ur îLìÎ=tæ ÒOÅ3ym ÇÊÉÈ
“...dan
janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan
perempuan-perempuan kafir; ...”(al-Mumtahanah: 10)
Kemudian
dikalangan jumhur ulama’ yang memperbolehkan kawin dengan ahli kitab, juga
berpendapat:
- Sebagian mazhab hanafi, maliki, syafi’i dan
hambali mengatakan bahwa hukum perkawinan itu makruh.
- Menurut pendapat sebagian mazhab maliki, ibnu
qasim, khalil, mengatakan bahwa perkawinan itu diperbolehkan secara mutlak
dan ini merupakan pendapat.
- Az-Zarkasyi (mazhab syafi’i) mengatakan bahwa
pernikahan itu disunnahkan, apabila wanita ahli kitab itu diharapkan dapat
masuk Islam. Sebagai contohnya adalah perkawinan Usman bin Affan dengan
Nailah, sebagaimana telah dikemukakan sebelum ini. Sebagian mazhab syafi’i
pun ada yang berpendapat demikian.[7]
- Lelaki muslim menikah dengan perempuan non ahli
kitab.
Dalam hal
ini banyak ulama’ yang melarang dengan dasar Q.S. al-Baqarah ayat 221:
wur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sã 4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷sB ×öyz `ÏiB 7px.Îô³B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr& 3 wur (#qßsÅ3Zè? tûüÏ.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sã 4 Óö7yès9ur í`ÏB÷sB ×öyz `ÏiB 78Îô³B öqs9ur öNä3t6yfôãr& 3 y7Í´¯»s9'ré& tbqããôt n<Î) Í$¨Z9$# ( ª!$#ur (#þqããôt n<Î) Ïp¨Yyfø9$# ÍotÏÿøóyJø9$#ur ¾ÏmÏRøÎ*Î/ ( ßûÎiüt7ãur ¾ÏmÏG»t#uä Ĩ$¨Y=Ï9 öNßg¯=yès9 tbrã©.xtGt ÇËËÊÈ
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
(dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka
mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan
izin-Nya.” (Q.S. al-Baqarah: 221)
Ayat
tersebut secara tegas menunjukkan keharaman menikah dengan kaum musyrik.[8]
Selain hukum
pernikahan beda agama di atas, para tokoh Islam juga berpendapat mengenai hukum
nikah beda agama, antara lain:
- Menurut Ibnu Umar, berpendapat bahwa hukum
perkawinan pria muslim dengan wanita ahli kitab adalah haram.
- Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin
Hambal, melarang perkawinan pria muslim dengan wanita musyrik dan
membolehkan dengan wanita yahudi dan nasrani. Sekalipun ahli kitab
tersebut meyakini trinitas tidak menjadi persoalan karena yang terpenting
mereka mempunyai kitab samawi dan tetap berstatus sebagai ahli kitab.
- Menurut Rasyid Ridha, berpandangan bahwa maksud
dari Q.S. al-Baqarah: 221 dan al-Mumtahanah: 10, adalah untuk melarang
perkawinan pria muslim dengan wanita musyrik Arab. Dengan demikian
kebolehannya bukan hanya menikah dengan perempuan yahudi dan nasrani saja,
melainkan juga dengan wanita-wanita manapun, baik majusi, shabiah, hindu,
budha, orang-orang china dan jepang sekalipun. Karena menurutnya mereka
itu termasuk ahli kitab yang berisi tauhid sampai sekarang.[9]
Perkawinan
pria muslim dengan wanita bukan ahli kitab terbagi kepada:
- Perkawinan dengan wanita musyrik
Agama Islam
tidak memperkenankan pri muslim kawin dengan wanita musyrik, sebagaimana
dijelaskan dalam firman Allah Q.S. Al-Baqarah: 221. Ayat tersebut dengan jelas
melarang mengawini wanita musyrik. Demikian pendapat para ulama’ menegaskan
demikian.
- Perkawinan dengan wanita majusi
Pria muslim
juga tidak diperbolehkan mengawini wanita majusi (penyembah api), sebab mereka
tidak termasuk ahli kitab. Demikian pendapat jumhur ulama dan yang dimaksud
ahli kitab adalah yahudi dan nashara.
- Perkawinan dengan wanita shabi’ah
Shabi’ah
adalah satu golongan dalam agama nasrani: shabi’ah dinisbatkan kepada Shab
paman Nabi Nuh as. Ada pula yang berpendapat, dinamakan Shabi’ah, karena
berpindah dari satu agama kepada agama lain.
- Perkawinan dengan wanita penyembah berhala
Para ulama’
telah sepakat, bahwa pria muslim tidak boleh kawin dengan wanita penyembah
berhala dan penyembah benda-benda lainnya, karena mereka termasuk orang-orang
kafir.[10]
KESIMPULAN
Sebagaimana
ajaran yang paripurna, Islam telah memberikan aturan yang jelas mengenai pernikahan.
Karena pernikahan merupakan ritual penting yang tidak hanya menyangkut masalah
fiqih. Pernikahan ternyata juga menyangkut masalah sosial, budaya dan politik
yang lebih kompleks. Seorang muslim harus memandang perkawinan dari perspektif
yang komprehensif. Apalagi jika menyangkut perkawinan dengan non muslim.
Adapun hukum pernikahan beda agama
jika disimpulkan yaitu:
- Suami Islam, istri ahli kitab = boleh.
- Suami Islam, istri kafir bukan ahli kitab =
haram.
- Suami ahli kitab, istri Islam = haram.
- Suami kafir bukan ahli kitab, istri Islam =
haram.
Meskipun
seorang laki-laki muslim boleh menikahi dengan ahli kitab tetapi bukan berarti
dia bebas memilih perempuan ahli kitab yang diinginkannya. Ada beberapa
ketentuan yang wajib diperhatikan atau dijaga ketika seorang lelaki muslim
mengawini seorang wanita ahli kitab. Meskipun menikahi wanita-wanita ahli kitab
diperbolehkan agama tetapi karena banyak madhorot yang ditimbulkannya maka
sudah seharusnya seorang laki-laki muslim lebih memilih perempuan muslimah
ketimbang wanita ahli kitab.
DAFTAR
PUSTAKA
Baso, Ahmad
& Ahmad Nurcholis (editors). 2005. Pernikahan Beda Agama; Kesaksian,
Argumen Keagamaan & Analisis Kebijakan. Jakarta: Komnas HAM.
Hasan, M.
Ali. Masail Fiqhiyah al-Haditsah: Masalah-masalah Kontemporer Hukum Islam.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Katsir,
Ibnu. 1997. Tafsir al-Qur’an al-Azhim, 1/582. Riyadh: Dar Thayyibah.
Yusuf
Qardlawi, Syekh Muhammad. 1976. Halal dan Haram dalam Islam. Bangil: PT.
Bina Ilmu.
Raja 1987.blogspot.com/…/kajian-perkawinan-beda-agama-menurut.html.
[1]
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah
Al-Haditsah, Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 1997), hlm. 1-2
[2]
Raja 1987.blogspot.com/…/
kajian-perkawinan-beda-agama-menurut.htm
[3]Ahmad Baso & Ahmad Nurcholis (editors). Pernikahan
Beda Agama; Kesaksian, Argumen Keagamaan dan Analisis Kebijakan (Jakarta:
Komnas HAM, 2005), hlm.7
[4]
Syekh Muhammad Yusuf Qardlawi, Halal
dan Haram dalam Islam (Bangil: PT. Bina Ilmu, 1976), hlm.252
[5]
Raja
1987.blogspot.com/…/kajian-perkawinan-beda-agama-menurut.html
[6]
Isson Khairul, Menikah dengan
Ahli Kitab (Anggun, 2008), hlm. 82
[7]
M. Ali Hasan, Loc.Cit., hlm.
11-13
[8]
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an
al-Azhim. 1/582 (Riyadh : Dar Thayyibah, 1997)
[10]
M. Ali Hasan, Loc.Cit., hlm
7-10
Makasih senior q... Do'a kan juniormu ini bisa tamat cepat di UIN IB Padang ya kak. Ananda Bp'2017 Jurusan Perbandingan Mazhab
BalasHapusAamiin.... mudah2an cepat selesai. Belajar yg rajin supaya sukses ya. Sering2 mampir di blog saya
Hapus