Rabu, 03 April 2013



MAKALAH
HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA
Tentang
RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN








Disusun Oleh :

YARMAN TANJUNG : 310.137





Dosen Pembimbing :

Prof. Dr. AMIR SYARIFUDDIN

















JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYRIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
IMAM BONJOL PADANG
1433 H/2012 M


KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kita nikmat yang sangat banyak sekali, yang mana apabila kita menghitung nikmat yang diberikan Allah tersebut kita takkan pernah sanggup untuk menghitungnya, biarpun dedaunan dijadikan sebagai lembaran untuk menuliskan nikmat Allah dan rerantingan pohon sebagai qalamnya, lautan sebagai tintanya, itu tidak akan bisa untuk menghitung nikamat Allah tersebut.
Shalawat beriringkan salam kita hadiahkan kepada Baginda Rasulullah SAW yang telah membawa umatnya dari alam jahiliah kepada masa yang penuh dengan iman dan ketakwaan kepada Allah SWT dan penuh dengan ilmu pengetahuan sehingga saya sebagai penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan bantuan dan bimbingan para dosen. Dalam makalah saya ini, membahas tentang Rukun dan Syarat Perkawinan. Saya sadar dalam pembuatan makalah ini sampai dengan selesai, masih banyak kekurangan dan kesilafan, oleh dari itu saya sebagai penulis memohon maaf dan menerima kritikan yang bersifat membangun untuk perbaikan pada pembuatan makalah selanjutnya.

                                                                                                 Penulis
                                                           
                                                                                         Yarman Tanjung





BAB I
Pendahuluan
Pembahasan tentang rukun merupakan masalah yang serius dikalangan fuqaha. Sebagai konsikuensinya terjadi silang pendapat berkenaan dengan apa yang termasuk rukun dan mana yang tidak. Bahkan perbedaan itu juga terjadi dalam menentukan mana yang termasuk rukun dan mana yang termasuk syarat. Bisa jadi sebagian ulama menyebutkan sebagai rukun dan ulama yang lainnya menyebutnya sebagai syarat.
Sebagai contoh Abdurrahman Al Jaziri menyebut yang termasuk rukun adalah al ijab dan al qabul di mana tidak akan ada nikah tanpa keduanya. Sayyid Sabiq juga menyimpulkan menurut fuqaha, rukun  nikah terdiri dari al ijab dan al qabul, sedangkan yang lain termasuk syarat.
Menurut Hanafiah, nikah itu terdiri dari syarat yang terkadang berhubungan dengan sighat, berhubungan dengan dua calon mempelai dan berhubungan dengan kesaksian. Menurut Syafi’iyah syarat perkawinan itu ada kalanya menyangkut sighat, wali, calon suami istri dan juga syuhud (saksi). Berkenaan dengan rukunnya, bagi mereka ada lima, calon suami istri, wali, dua orang saksi, dan sighat. Menurut malikiyyah, rukun nikah itu ada lima, wali, mahar, calon suami istri dan sighat. Jelaslah para ulama tidak saja berbeda dalam menggunakan kata rukun dan syarat tetapi juga berbeda dalam detailnya.






BAB II
Pembahsan
1.      Pengertian Rukun dan Syarat
Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti membasuh muka dalam wudhu’ dan takbiratul ihram dalam shalat atau adanya calon mempelai pengantin pria dan wanita dalam perkawinan.[1]
Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat dalam shalat, atau menurut islam calon pengantin pria maupun wanita itu harus beragama Islam.[2]
A.    Rukun Pernikahan
Menurut jumhur ulama rukun perkawinan ada lima, dan masing-masing rukun itu memiliki syarat-syarat tertentu. Untuk memudahkan pembahsan maka uraian rukun perkawinan.
·         Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan.
·         Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita.
Akad nikah akan dianggap sah apabila ada seorang wali atau wakilnya yang akan menikahkannya, berdasrkan sabda nabi SAW:


Perempuan mana saja yang menikah tampa izin walinya, maka pernikahan batal.


Dalam hadits lain Nabi SAW bersabda:


Janganlah seorang perempuan menikahkan perempuan lainnya, dan janganlah seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri.
·         Adanya dua orang saksi.
Pelaksanaan akad nikah akan sah apabila dua orang saksi yang menyaksikan akad nikah tersebut.
·         Sighat akad nikah, yaitu ijab kabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon pengantin pria.
B.     Syarat Pernikahan
Syarat-syarat perkawinan merupan dasar bagi sahnya perkawinan. Apabila syarat-syarat terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan menimbulakan adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami istri.
Pada garis besarnya syarat-syarat sahnya perkawinan itu ada dua:
·         Calon mempelai perempuannya halal dikawini oleh laki-laki yang ingin menjadikannya istri. Jadi, perempuannya itu bukan merupakan orang yang haram dinikahinya.
·         Akad nikah dihadiri oleh para saksi.






Secara rinci, masing-masing rukun di atas akan di jelaskan syarat-syaratnya sebagai berikut.
a.       Syarat-syarat kedua mempelai.
·         Syarat penagntin pria.
Ø  Calon suami bergama Islam.
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) ãNà2uä!%y` àM»oYÏB÷sßJø9$# ;NºtÉf»ygãB £`èdqãZÅstGøB$$sù ( ª!$# ãNn=÷ær& £`ÍkÈ]»yJƒÎ*Î/ ( ÷bÎ*sù £`èdqßJçFôJÎ=tã ;M»uZÏB÷sãB Ÿxsù £`èdqãèÅ_ös? n<Î) Í$¤ÿä3ø9$# ( Ÿw £`èd @@Ïm öNçl°; Ÿwur öNèd tbq=Ïts £`çlm; ( 
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.
Ø  Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki.
Ø  Orangnya diketahui dan tertentu.
Ø  Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon istri.
Ø  Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta tahu betul calon istrinya halal baginya.
Ø  Calon suami rela (tidak dipaksa) untuk melakukan perkawinan itu.
Ø  Tidak sedang melakukan ihram
Ø  Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri.
·         Syarat calon istri.
Ø  Beragama islam.
Ø  Perempuan.
Ø  Jelas orangnya.
Ø  Dapat diminta persetujuannya.
Ø  Tidak terdapat halangan perkawinan.
·         Syarat wali nikah.
Ø  Laki-laki.
Ø  Dewasa.
Ø  Mempunyai hak perwalian.
Ø  Tidak terdapat halangan perwaliannya.
·         Syarat saksi nikah.
Ø  Minimal dua orang laki-laki.
Ø  Hadir dalam ijab qabul.
Ø  Dapat mengerti maksud akad.
Ø  Islam.
Ø  Dewasa.[3]
·         Mahar.
Dalam KHI, mahar ini di atur di dalam pasal 30 asmpai pasal 38. Pada masal 30 dinyatakan:
Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.
Pasal yang juga sangat penting untuk diperhatikan yaitu pasal 31 yang berbunyi:
Penentuan mahar berdasrkan atas asas kesederhanaan dan kemudahanyang dianjurkan oleh ajaran islam.
Perspektif UU No. 1/1974.
Berbeda dengan perspektif fiqih, UU No. 1/1974 tidak mengenal adanya rukun perkawinan. Tampaknya UUP hanya memuat hal-hal yang berkenaan dengan syarat-syarat perkawinan. Di dalam Bab II pasal 6 di temukan syarat-syarat perkawinan sebagai berikut:
1.      Perkawinan harus didasrkan atas persutujuan kedua calon mempelai.
2.      Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang berumur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
3.      Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat 2 pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang mampu yang menyatakan kehendaknya.


[1] Abdul, Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 46.
[2] Ibid.
[3] Amiur, Nuruddin, dkk, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 62-63.

0 komentar:

Posting Komentar