Rabu, 16 Oktober 2013

BENTUK-BENTUK FATWA YANG DIUNGKAPKAN JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)



BENTUK-BENTUK FATWA YANG DIUNGKAPKAN
JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)

MAKALAH

AL-FATWA
“Diseminarkan dalam Diskusi Lokal PMH Semester VII pada Mata Kuliah AL-FATWA




Oleh

HANDAYANI
310.006




Dosen Pembimbing:
YAN FAJRI, S.HI., MA



PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM (PMH)
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGEERI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
1434 H / 2013 M

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Jaringan Islam Liberal (JIL) adalah sebuah pemikiran yang sifatnya liberal, yang menurut mereka tidak terpaku dengan teks-teks Agama (Al Quran dan Hadis), tetapi lebih terikat dengan nilai-nilai yang terkandung dalam teks-teks tersebut. Dalam implementasinya pemikiran ini dapat disebut meninggalkan teks sama sekali, dan hanya menggunakan rasio dan selera belaka.
Ditinjau dari sudut kebahasaan. penggandengan antara kata “Islam” dan “Liberal” itu tidak tepat. Sebab Islam itu artinya tunduk dan menyerahkan diri kepada Allah, sedangkan liberal artinya bebas dalam pengertian tidak harus tunduk kepada ajaran Agama (al-Qur’an dan Hadis), Oleh karena itu, pemikiran liberal sebenarnya lebih tepat disebut “Pemikiran Iblis” dari pada “Pemikiran Islam”, karena makhluk pertama yang tidak taat kepada Allah adalah Iblis.
B.     Tujuan Pembuatan Makalah
Makalah ini penulis buat dengan tujuan untuk mengembangkan dan menambah pengetahuan dan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah “Al-Fatwa. Dibimbing oleh Bapak Yan Fajri, S.HI., MA

C.    Batasan Makalah
Makalah ini penulis batasi pembahasanya hanya tentang “Bentuk-Bentuk Fatwa Jaringan Islam Liberal (JIL)
a.       Pengertian Jaringan Islam Liberal (JIL)
b.      Sejarah Singkat Jaringan Islam Liberal (JIL)
c.       Tokoh-Tokoh dari Kalangan Jaringan Islam Liberal (JIL)
d.      Fatwa-Fatwa dari Kalangan Jaringan Islam Liberal (JIL)
e.       Pendapat MUI tentang Fatwa dari Kalangan Jaringan Islam Liberal (JIL)


BAB II
PEMBAHASAN
BENTUK-BENTUK FATWA JARINGAN ISLAM LIBERAL (J I L)

A.    Pengertian Jaringan Islam Liberal (JIL)
Liberalisme ialah falsafah yang meletakkan kebebasan individu sebagai nilai politik tertinggi. Seseorang yang menerima faham liberalisme dipanggil seorang liberal. Walau bagaimanapun, maksud perkataan liberal mungkin berubah mengikuti konteks sesuai negara tertentu.
Perkataan liberal berasal dari pada perkataan Latin liber yang bermaksud bebas atau bukan hamba. Sedang dalam kamus "oxford Basic english Dictionary" liberal : a person who is liberal lets other people do and think what they want (seseorang yang liberal memberi kebebasan kepada orang lain untuk berbuat dan berfikir sesuai dengan keinginan mereka).
Liberalisme, sekalipun bisa diartikan macam-macam dalam berbagai bidang yang berbeda, memiliki pengertian sendiri dalam teologi. Liberalisme teologi adalah salah satu pemikiran agama yang menekankan penyelidikan agama yang berlandaskan norma di luar otoritas tradisi gereja. Liberalisme adalah keinginan untuk dibebaskan dari paksaan kontrol dari luar dan secara konsekwensi bersangkutan dengan motivasi dari dalam diri manusia.[1]

B.     Sejarah Singkat Jaringan Islam Liberal (JIL)
Jaringan Islam Liberal adalah forum intelektual terbuka yang mendiskusikan dan menyebarkan liberalisme Islam di Indonesia. Forum ini bersekretariat di Teater Utan Kayu, Jalan Utan Kayu no. 68 H, Jakarta, sebidang tanah milik jurnalis dan intelektual senior Goenawan Mohammad.
Menurut salah seorang pengajar Universitas Para madina Mulya, Luthfi Assyaukanie, bahwa kemunculan istilah Islam Liberal mulai dipopulerkan tahun 1950-an, yaitu oleh tokoh dan sumber rujukan utama Jaringan Islam liberal, Nurcholish Majid. Meski Nurcholish sendiri mengaku tidak pernah menggunakan istilah Islam liberal untuk mengembangkan gagasan-gagasan pemeikiran islamnya, tapi ia tidak menentang ide-ide Islam liberal.
Forum ini berawal dari komunitas diskusi beberapa intelektual muda muslim yang sudah berjejaring sebelumnya. Salah satu penggagasnya adalah jurnalis senior Goenawan Mohammad 2001. Forum ini berkembang menjadi forum mailing groups
(milis) yang tergabung dalam islamliberal@yahoogroups.com, selain itu juga menyebarkan gagasanya lewat website www.islamlib.com .
Sejak Maret 2001 forum ini mulai aktif sebagai Jaringan Islam Liberal, terutama dalam menyelenggarakan diskusi-diskusi. Pada usia awalnya, perkembangan forum ini juga tak lepas dari dukungan dan kontribusi beberapa intelektual di luar maupun dari dalam kalangan JIL, seperti Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, Ahmad Sahal, Budhy Munawar-Rachman, Hamid Basyaib, Luthfi Assyaukanie, Rizal Mallarangeng, Denny J. A., Ihsan Ali-Fauzi, A.E. Priyono, Samsurizal Panggabean, Ulil Abshar Abdalla, Saiful Mujani, and Hadimulyo.
Gelora JIL banyak diprakarsai anak muda, usia 20-35-an tahun. Mereka umumnya para mahasiswa, kolomnis, peneliti, atau jurnalis. Tujuan utamanya: menyebarkan gagasan Islam liberal seluas-luasnya. “Untuk itu kami memilih bentuk jaringan, bukan organisasi kemasyarakatan, maupun partai politik,” tulis situs islamlib.com. Lebih jauh tentang gagasan JIL lihat: Manifesto Jaringan Islam Liberal.
JIL mendaftar 28 kontributor domestik dan luar negeri sebagai “juru kampanye” Islam liberal. Mulai Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Jalaluddin Rakhmat, Said Agiel Siradj, Azyumardi Azra, Masdar F. Mas’udi, sampai Komaruddin Hidayat. Di antara kontributor mancanegaranya: Asghar Ali Engineer (India), Abdullahi Ahmed an-Na’im (Sudan), Mohammed Arkoun (Prancis), dan Abdallah Laroui (Maroko).
Jaringan ini menyediakan pentas –berupa koran, radio, buku, dan website bagi kontributor untuk mengungkapkan pandangannya pada publik. Kegiatan pertamanya: diskusi maya (milis). Lalu sejak 25 Juni 2001, JIL mengisi rubrik Kajian Utan Kayu di Jawa Pos Minggu, yang juga dimuat 40-an koran segrup. Isinya artikel dan wawancara seputar perspektif Islam liberal.
Tiap Kamis sore, JIL menyiarkan wawancara langsung dan diskusi interaktif dengan para kontributornya, lewat radio 68 H dan 15 radio jaringannya. Tema kajiannya berada dalam lingkup agama dan demokrasi. Misalnya jihad, penerapan syariat Islam, tafsir kritis, keadilan gender, jilbab, atau negara sekuler. Perspektif yang disampaikan berujung pada tesis bahwa Islam selaras dengan demokrasi.
Dalam situs islamlib.com dinyatakan, lahirnya JIL sebagai respons atas bangkitnya “ekstremisme” dan “fundamentalisme” agama di Indonesia. Seperti munculnya kelompok militan Islam, perusakan gereja, lahirnya sejumlah media penyuara aspirasi “Islam militan”, serta penggunaan istilah “jihad” sebagai dalil kekerasan.[2]

C.    Tujuan Didirikan Jaringan Islam Liberal (JIL)
Tujuan Didirikan Jaringan Islam Liberal (JIL) Adalah suatu keniscayaan bahwa didirikanya suatu kelompok pasti memiliki misi dan tujuan yang ingin di capai oleh suatu kelompok tersebut. Begitu juga Kelompok/ Jaringan Islam Liberal, yang mempunya pemahan kebebasan tanpa batas mempunya tujuan dan misi –misi tertentu dibalik kebebasan tanpa batas yang mereka anut tersebut.
Kita lihat dalam tulisan-tulisan mereka akan kita temukan di antara misi dan tujuan mereka adalah seperti berikut ini:
Salah satu tujuan utama Islam Liberal adalah menyebarkan gagasan Islam Liberal seluas-luasnya kepada masyarakat. Untuk itu mereka memilih bentuk jaringan, bukan organisasi kemasyarakatan, maupun partai politik. JIL adalah wadah yang longgar untuk siapapun yang memiliki aspirasi dan kepedulian terhadap gagasan Islam Liberal.
Di antara misi-misinya:
1.      Mengembangkan penafsiran Islam yang liberal sesuai dengan prinsip-prinsip yang mereka anut, serta menyebarkannya kepada seluas mungkin khalayak.
2.      Mengusahakan terbukanya ruang dialog yang bebas dari tekanan konservatisme (kolot). mereka meyakini, terbukanya ruang dialog akan memekarkan pemikiran dan gerakan Islam yang sehat.
3.      Mengupayakan terciptanya struktur sosial dan politik yang adil dan manusiawi.
Selain itu pula seorang kontributor JIL , Denny JA menambahkan lebih jauh tentang Islam Liberal ini. Dengan mengutip pendapat Wiliam Liddle
(1995), bahwa kaum Islam Liberal bisa dikatakan pula sebagai islam substansialis. Di antara ciri kaum substansialis ini adalah:
a.       Mereka percaya bahwa isi dan substansi ajaran agama islam jauh lebih penting dari pada bentuk dan labelnya. Dengan menekankan substansi ajaran moral, sangat memudahkan bagi mereka untuk mencari anggota sesama peganut agama dan kaum moralis lain untuk membentuk aturan publik bersama.
b.      Mereka percaya, walau Islam (Al-Quran) itu bersifat universal dan abadi, namun ia tetap harus terus menerus di interpretasi ulang untuk merespon zaman yang terus berubah dan berbeda.
c.       Mereka percaya karena keterbatasan pikiran manusia, mustahil mereka mampu tahu setepat-tepatnya kehendak tuhan. Kemungkinan salah menafsirkan kehendak Tuhan harus terus hidup dalam pikiran mereka. Dengan sikap ini, mereka akan lebih bertoleransi atas keberagaman interpretasi dan membuat dialog dengan pihak yang berbeda.
d.      Mereka menerima bahwa bentuk negara indonesia sekarang (yang bukan merupakan negara islam). Dengan keyakinan ini, mereka tak akan berupaya mendirikan negara islam yang menjadikan negara sebagai instrumen agama islam saja. Netralitas negara terhadap pluralitas agama di indonesia akan sangat mudah diterima.[3]

D.    Tokoh-Tokoh dari Kalangan Jaringan Islam Liberal (JIL)
Daftar 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia
a.       Para Pelopor
1.      Abdul Mukti Ali
2.       Ahmad Wahib
3.      Harun Nasution
4.      Munawir Sjadzali

5. Abdurrahman Wahid
6. Djohan Effendi
7. M. Dawam Raharjo
8. Nurcholish Madjid

b.      Para Senior
9.      Abdul Munir Mulkhan
10.  Ahmad Syafi’i Ma’arif
11.  Alwi Abdurrahman Shihab
12.  Azyumardi Azra
13.  Goenawan Mohammad
14.  M. Amin Abdullah
15.  M. Syafi’i Anwar
16.  Zainun Kamal
17. Jalaluddin Rahmat
18. Kautsar Azhari Noer
19. Komaruddin Hidayat
20.  Masdar F. Mas’udi
21. Moeslim Abdurrahman
22. Nasaruddin Umar
23. Said Aqiel Siradj
c.       Para Penerus “Perjuangan”
24.  Abd A’la
25.  Abdul Moqsith Ghazali
26.  Ahmad Fuad Fanani
27.  Ahmad Gaus AF
28.  Ahmad Sahal
29.  Bahtiar Effendy
30.  Budhy Munawar-Rahman
31.  Denny JA
32.  Fathimah Usman
33.  Hamid Basyaib
34.  Husein Muhammad
35.  Ihsan Ali Fauzi
36.  M. Jadul Maula
37.  M. Luthfie Assyaukanie
38.  Muhammad Ali
39.  Mun’im A. Sirry
40.  Nong Darol Mahmada
41.  Rizal Malarangeng
42.  Saiful Mujani
43.  Siti Musdah Mulia
44.  Sukidi
45.  Sumanto al-Qurthuby
46.  Syamsu Rizal Panggabean
47.  Taufik Adnan Amal
48.  Ulil Abshar-Abdalla
49.  Zuhairi Misrawi
50.  Zuly Qodir[4]
E.     Fatwa-Fatwa dari Kalangan Jaringan Islam Liberal (JIL)
Di antara Fatwa kaum pendukung Islam liberal adalah sebagai berikut (Hartono Ahmad Jaiz, 2005: 109-110):
1.      Al-Quran adalah teks dan harus dikaji dengan hermeneutika
2.      Kitab-kitab tafsir klasik itu tidak diperlukan lagi
3.      Poligami harus dilarang
4.      Mahar dalam perkawinan boleh dibayar oleh suami atau isteri
5.      Masa iddah juga harus dikenakan kepada laki-laki, baik cerai hidup ataupun cerai mati
6.      Pernikahan untuk jangka waktu tertentu boleh hukumnya
7.      Perkawinan dengan orang yang berbeda agama dibolehkan kepada laki-laki atau perempuan muslim
8.      Bagian warisan untuk anak laki-laki dan anak perempuan sama 1:1
9.      Anak di luar nikah yang diketahui secara pasti ayah biologisnya tetap mendapatkan hak warisan dari ayahnya.[5]
10.  Umat Islam tidak boleh memisahkan diri dari umat lain, sebab munusia adalah keluarga universal yang memiliki kedudukan yang sederajat. Karena itu larangan perkawinan antara wanita muslimah dengan pria non muslim sudah tidak relevan lagi
11.  Produk hukum Islam klasik (fiqh) yang membedakan antara muslim dengan non muslim harus diamandemen berdasarkan prinsip kesederajatan universal manusia.
12.  Agama adalah urusan pribadi, sedangkan urusan Negara adalah murni kesepakatan masyarakat secara demokratis.
13.  Hukum Tuhan itu tidak ada. Hukum mencuri, zina, jual-beli, dan pernikahan itu sepenuhnya diserahkan kepada umat Islam sendiri sebagai penerjemahan nilai-nilai universal.
14.   Muhammad adalah tokoh histories yang harus dikaji secara kritis karena beliau adalah juga manusia yang banyak memiliki kesalahan.
15.  Kita tidak wajib meniru rasulllah secara harfiah. Rasulullah berhasil menerjemahkan nilai-nilai Islam universal di Madinah secara kontekstual. Maka kita harus dapat menerjemahkan nilai itu sesuai dengan konteks yang ada dalam bentuk yang lain.
16.  Wahyu tidak hanya berhenti pada zaman Nabi Muhammad saja (wahyu verbal memang telah selesai dalam bentuk al-Qur’an). Tapi wahyu dalam bentuk temuan ahli fikir akan terus berlanjut, sebab temuan akal juga merupakan wahyu karena akal adalah anugerah Tuhan.
17.  Karena semua temuan manusia adalah wahyu, maka umat Islam tidak perlu membuat garis pemisah antara Islam dan Kristen, timur dan barat, dan seterusnya.
18.  Nilai islami itu bisa terdapat di semua tempat, semua agama, dan semua suku bangsa. Maka melihat Islam harus dilihat dari isinya bukan bentuknya.
19.  Agama adalah baju, dan perbedaan agama sama dengan perbedaan baju. Maka sangat konyol orang yang bertikai karena perbedaan baju (agama). semua agama mempunyai tujuan pokok yang sama, yaitu penyerahan diri kepada Tuhan.
20.  Misi utama Islam adalah penegakan keadilan. Umat Islam tidak perlu memperjuangkan jilbab, memelihara jenggot, dan sebagainya.
21.  Memperjuangkan tegaknya syariat Islam adalah wujud ketidakberdayaan umat Islam dalam menyelesaikan masalah secara arasional. Mereka adalah pemalas yang tidak mau berfikir.
22.  Orang yang beranggapan bahwa semua masalah dapat diselesaikan dengan syariat adalah orang kolot dan dogmatis
23.  Islam adalah proses yang tidak pernah berhenti, yaitu untuk kebaikan manusia. Karena keadaan umat manusia itu berkembang, maka Agama (Islam) juga harus berkembang dan berproses demi kebaikan manusia. Kalau Islam itu diartikan sebagai paket sempurna seperti zaman rasulullah, maka itu adalah fosil Islam yang sudah tidak berguna lagi.[6]

Sejumlah pendapat yang pernah dikemukakan Ulil Abshar-Abdalla yang menjadi pemikirannya yang sesat :
a.       Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar.” (Gatra, 21 Desember 2002).
b.      Ulil tidak mengakui adanya hukum Tuhan, hingga syari’at mu’amalah (pergaulan antar manusia) dia kampanyekan agar tidak usah diikuti, seperti syari’at jilbab, qishosh, hudud, potong tangan bagi pencuri dan sebagainya itu tidak usah diikuti. (Kompas, 18 November 2002).
c.       Larangan nikah beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi” (Kompas, 18 November 2002). Vodca (minuman keras beralkohol lebih dari 16%) pun menurut Ulil bisa jadi di Rusia halal, karena udaranya dingin sekali.
d.      Ulil berpendapat, dalam mengatur kehidupan modern ini, Al-Qur’an tidak dijadikan pedoman, apalagi As-Sunnah. Justru yang dijadikan pedoman adalah apa yang ia sebut pengalaman manusia, dengan alasan, Tuhan telah memuliakan (takrim) kepada manusia. Kalau untuk mengatur kehidupan modern ini masih merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah seperti yang tertulis dalam teks, maka ia anggap sebagai penyembahan terhadap teks. Ia ingin agar apa yang disebut penyembahan teks itu dicari jalan keluarnya, di antaranya adalah menjadikan pengalaman manusia ini kedudukannya sejajar dengan Al-Qur’an, sehingga Al-Qur’an yang berupa teks itu hanyalah separoh dari Al-Qur’an, dan yang separohnya lagi adalah pengalaman manusia. (Media Dakwah, Agustus 2004/ Jumadil Akhir 1424H).
e.       Pendapat Ulil mengenai fatwa MUI 2005 yang melarang doa bersama antar agama : “Pertimbangan semacam ini, buat saya sama sekali kurang bisa dimengerti, karena tidak masuk di akal saya. Berdoa intinya adalah sama, entah dilakukan oleh seorang Muslim atau Kristen atau yang lain, yaitu memohon sesuatu yang baik dari Tuhan.” (Media Indonesia, Fatwa MUI dan Konservatisme Agama, Rabu, 03 Agustus 2005).
f.       Pembelaan Ulil atas fatwa MUI yang mengharamkan Islam liberal, Pluralisme dan Sekularisme : “Tetapi, sangat aneh jika kita mengharamkan suatu pikiran. Sebab, pikiran bukanlah tindakan. Sekularisme, liberalisme, dan pluralisme adalah gagasan­. (Media Indonesia, Fatwa MUI dan Konservatisme Agama, Rabu, 03 Agustus 2005).






F.     Pendapat MUI Tentang Fatwa dari Kalangan Jaringan Islam Liberal (JIL)
KEPUTUSAN FATWA
MAJELIS ULAMA INDONEISA
Nomor : 7/MUNAS VII/MUI/II/2005
Tentang
PLURALISME, LIBERALISME DAN SEKULARISME AGAMA

Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional MUI VII, pada 19-22 Jumadil Akhir 1246 H. / 26-29 Juli M.;

MENIMBANG :
  1. Bahwa pada akhir-akhir ini berkembang paham pluralisme agama, liberalisme dan sekularisme serta paham-paham sejenis lainnya di kalangan masyarakat;
  2. Bahwa berkembangnya paham pluralisme agama, liberalisme dan sekularisme serta dikalangan masyarakat telah menimbulkan keresahan sehingga sebagian masyarakat meminta MUI untuk menetapkan Fatwa tentang masalah tersebut;
  3. Bahwa karena itu , MUI memandang perlu menetapkan Fatwa tentang paham pluralisme, liberalisme, dan sekularisme agama tersebut untuk di jadikan pedoman oleh umat Islam.
    MENGINGAT :
  1. Firman Allah:
Barang siapa mencari agama selaian agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan terima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi (QS. Ali Imaran [3]: 85)

Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam (QS. Ali Imran [3]: 19)
Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku. (QS. al-Kafirun [109] : 6).
Dan tidaklahpatut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. al-Azhab [33:36).
Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS. al-Mumtahinah [60]: 8-9).
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan. (QS. al-Qashash [28]: 77).
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta. (terhadap Allah). (QS. al-An’am [6]: 116).
Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu. (Q. al-Mu’minun [23]: 71).
2.      Hadis Nabi SAW :
1.      Imam Muslim (w. 262 H) dalam Kitabnya Shahih Muslim, meriwayatkan sabda Rasulullah saw :
”Demi Dzat yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorangpun baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentang diriku dari Umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa, kecuali ia akan menjadi penghuni Neraka.” (HR Muslim).
2.      Nabi mengirimkan surat-surat dakwah kepada orang-orang non-Muslim, antara lain Kaisar Heraklius, Raja Romawi yang beragama Nasrani, al-Najasyi Raja Abesenia yang beragama Nasrani dan Kisra Persia yang beragama Majusi, dimana Nabi mengajak mereka untuk masuk Islam. (riwayat Ibn Sa’d dalam al-Thabaqat al-Kubra dan Imam Al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari).
3.      Nabi saw melakukan pergaulan sosial secara baik dengan komunitas-komunitas non-Muslim seperti Komunitas Yahudi yang tinggal di Khaibar dan Nasrani yang tinggal di Najran; bahkan salah seorang mertua Nabi yang bernama Huyay bin Aththab adalah tokoh Yahudi Bani Quradzah (Sayyid Bani Quraizah). (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).
MEMPERHATIKAN : Pendapat Sidang Komisi C Bidang Fatwa pada Munas VII VII MUI 2005.
Dengan bertawakal kepada Allah SWT.
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN : FATWA TENTANG PLURALISME AGAMA DALAM PANDANGAN ISLAM

Pertama : Ketentuan Umum
Dalam Fatwa ini, yang dimaksud dengan
  1. Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relative; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengkalim bahwa hanya agamanyasaja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga.
  2. Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan.
  3. Liberalisme adalah memahami nash-nash agama (Al-Qur’an & Sunnaah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata.
  4. Sekularisme adalah memisahkan urusan dunia dari agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesame manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan social.
Kedua : Ketentuan Hukum
  1. Pluralism, Sekualarisme dan Liberalisme agama sebagaimana dimaksud pada bagian pertama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama islam.
  2. Umat Islam haram mengikuti paham Pluralisme Sekularisme dan Liberalisme Agama.
  3. Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat islam wajib bersikap ekseklusif, dalam arti haram mencampur adukan aqidah dan ibadah umat islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain.
  4. Bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah social yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan social dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan.[7]











BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN

Jaringan Islam Liberal adalah forum intelektual terbuka yang mendiskusikan dan menyebarkan liberalisme Islam di Indonesia. Forum ini bersekretariat di Teater Utan Kayu, Jalan Utan Kayu no. 68 H, Jakarta, sebidang tanah milik jurnalis dan intelektual senior Goenawan Mohammad.
Menurut salah seorang pengajar Universitas Para madina Mulya, Luthfi Assyaukanie, bahwa kemunculan istilah Islam Liberal mulai dipopulerkan tahun 1950-an, yaitu oleh tokoh dan sumber rujukan utama Jaringan Islam liberal, Nurcholish Majid. Meski Nurcholish sendiri mengaku tidak pernah menggunakan istilah Islam liberal untuk mengembangkan gagasan-gagasan pemeikiran islamnya, tapi ia tidak menentang ide-ide Islam liberal.
Forum ini berawal dari komunitas diskusi beberapa intelektual muda muslim yang sudah berjejaring sebelumnya. Salah satu penggagasnya adalah jurnalis senior Goenawan Mohammad 2001. Forum ini berkembang menjadi forum mailing groups
(milis) yang tergabung dalam islamliberal@yahoogroups.com, selain itu juga menyebarkan gagasanya lewat website www.islamlib.com .

B.     KRITIKAN DAN SARAN
Kami dari penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah kami ini jauh dari kesempurnaan, karena penulis memiliki keterbatasan referensi, waktu, dan kedangkalan ilmu yang penulis miliki, untuk kepada peserta diskusi dan dosen pembimbing memberikan kritikan dan saran kepada penulis demi kebaikan penulis yang akan datang.




DAFTAR PUSTAKA

Saidan Effendi, Jaringan Islam Liberal Antara Tujuan,  http://saidaneffendi-darussalam.blogspot.com/2011/10/jaringan-islam-liberal-antara-tujuan.html, diakses pada hari selasa, 01/10, 2013, Jam. 20.30 Wib
sumber: hasil SWOT JIL di Ancol, Jakarta, Agustus 2003/swaramuslim, diakses pada hari selasa, 01/10, 2013, Jam. 20.10
http://www.islamlib.com
Info Dakwah Islam, Pengertian Islam, Liberal,http://infodakwahislam.wordpress.com/2013/07/20/islam-liberal-di-indonesia/, diakses pada hari senin, 30/09, 2013, Jam. 19.05 Wib
Hartono Ahmad Jaiz, Ada Pemurtadan di IAIN, Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2005

Islampos, Pemikiran-pemikiran JIL, http://islampos.com/inilah-pemikiran-pemikiran-jaringan-islam-liberal-jil/, diakses pada hari senin, 30/10, 2013, Jam. 19. 20 Wib  
http://fatwamui.com/ Nomor : 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 /, diakses pada hari senin, 30/10, 2013, Jam. 19. 20 Wib  







[1]Saidan Effendi, Jaringan Islam Liberal Antara Tujuan,  http://saidaneffendi-darussalam.blogspot.com/2011/10/jaringan-islam-liberal-antara-tujuan.html, diakses pada hari selasa, (01/10, 2013), Jam. 20.30 Wib
[2]sumber: hasil SWOT JIL di Ancol, Jakarta, Agustus 2003/swaramuslim, diakses pada hari selasa, (01/10, 2013), Jam. 20.10
[3]islamlib.com
[4]Info Dakwah Islam, Pengertian Islam Liberal,  http://infodakwahislam.wordpress.com/2013/07/20/islam-liberal-di-indonesia/, diakses pada hari senin, (30/09, 2013), Jam. 19.05 Wib
[5]Hartono Ahmad Jaiz, Ada Pemurtadan di IAIN, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2005), Hal. 109-110
[6]Islampos, Pemikiran-pemikiran JIL, http://islampos.com/inilah-pemikiran-pemikiran-jaringan-islam-liberal-jil/, diakses pada hari senin, (30/10, 2013), Jam. 19. 20 Wib  
[7] http://fatwamui.com/ Nomor : 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 /, diakses pada hari senin, (30/10, 2013), Jam. 19. 20 Wib  


2 komentar:

  1. Saya bukan orang JIL , tapi menurut saya adanya JIL merupakan hikmah buat muslimin Indonesia, kenapa? karena pemikiran2 dan kritik JIL bisa dipakai sebagai alat untuk meneliti menguatkan dan/atau memeriksa ulang kepercayaan yang sudah ada dalam Islam, saya melihatnya begini, pertanyaan2 dan kritikan2 tajam dari JIL terhadap islam bisa saja datang dari luar Islam, misalnya golongan Atheis bisa saja melontarkan pertanyaan/kritikan yang sama, dan Ulama Islam toh harus bisa menjawab dan menjelaskannya secara ilmiah

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih atas komentarnya,semoga postingan saya bermanfaat untuk kita semua,kalau ada penyampaian saya yg salah atau kurang berkenan,kiranya mohon di maafkan,karena saya masih dalam masa pembelajaran. karena manusia tidak ada yg sempurna, kesempurnaan hanyalah Milik ALLAH SWT.

      Jazakumullah Khairul Katsir

      Hapus