Rabu, 16 Oktober 2013


DALALAH LAFZHIYYAH DAN GHAIRU LAFZHIYYAH
(Komparatif Ulama Hanafiyyah dan Syafi’iyyah)

MAKALAH

MUQARANAH MAZAHIB FIL USHUL II

“Diseminarkan Dalam Diskusi Lokal PMH Semester VII pada Mata Kuliah Muqaranah Mazahib fil Ushul II



Oleh

HANDAYANI
310.006




Dosen Pembimbing:
ZAINAL AZWAR, M.Ag



PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM (PMH)
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
1434 H / 2013 M



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Nash-nash Al-Qur’an dan as-Sunnah menggunakan bahasa Arab, yang mana pemahaman hukum dari nash-nash tersebut hanya akan benar apabila dilihat dari ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi bahasa Arab. Singkatnya, pemahaman makna dan hukum-hukum daripada nash-nash tersebut bisa dimengerti apabila kita mengetahui dan menggunakan cara-cara pemahaman masyarakat Arab dalam memahami lafazh-lafazh terkait.
Sehingga dalam makalah ini, penulis akan memaparkan metode tekstual (pendekatan kebahasaan), yaitu dari segi dilâlah yang dapat digunakan untuk memahami hukum-hukum yang ada dalam nash-nash Al Qur’an dan as Sunnah.
B.     Tujuan Pembuatan Makalah
Makalah ini penulis buat dengan tujuan untuk mengembangkan dan menambah pengetahuan dan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah “Muqaranah Mazahib fil Ushul II yang dibimbing oleh Bapak Zainal Azwar. M.Ag

C.    Batasan Makalah
Makalah Muqaran Mazahib fil Ushul II ini penulis batasi supaya tidak melenceng kepada pembahsan berikutnya. Penulis membahas tentang “dalalah lafziyah dan dalalah Ghairu lafziyyah di kalangan hanafiyyah dan Syafi’iyyah”

a.       Pengertian dalalah
b.      Dalalah Lafziyah menurut Ushul Fiqh Hanafiyyah dan Jumhur Mutakalimin
c.       Dalalah ghairu Lafziyah menurut Ushul Fiqh Hanafiyah dan Jumhur Mutakilimin





BAB II
PEMBAHASAN
DALALAH LAFZHIYAH DAN GHAIRU LAFZHIYYAH

A.    Pengertian Dalalah  
Dalalah atau dalalah secara bahasa berarti petunjuk. Sedangkan secara istilah ulama ushul al-Fiqh[1]
الدلالة هى مايدل اللفظ من معنى
Artinya: “Dalalah adalah suatu pengertian yag ditunjuki oleh lafazh.”
الدلالة هى مايقتضيه اللفظ عند الإطلاق
Artinya: “Dalalah merupakan sesuatu yang dikehendaki oleh lafazh ketika diucapkan secara mutlak.”
Menurut Ulama Hanafiyah, sebagai pedoman untuk menggali dan memahami lafazh-lafazh al-nash tersebut dapat dilakukan dengan melalui pemahaman dalalah lafzhiyah dan dilâlah ghairu lafzhiyah.[2]
B.     Dalalah Lafziyah dan Pembagianya
Dalalah lafzhiyah/الدلالة اللفظيه (penunjukan bentuk lafaz) yaitu dalalah dengan dalil yang digunakan untuk memberi petunjuk kepada sesuatu dalam bentuk lafaz, suara atau kata. Dengan demikian, lafaz, suara dan kata, menujukkan kepada maksud tertentu itu diketahui melalui tiga hal: 
1.      Melalui hal-hal yang bersifat alami yang menujukan kepada maksud tertentu yang dapat diketahui oleh setiap orang diseluruh alam. Umpamanya ‘rintihan” yang keluar dari mulut seseorang adalah memberi petunjuk bahwa orang yang mengeluarkan suara rintihan itu berada dalam kesakitan. Dengan adanya rintihan, maka semua orang mengetahui bahwa itu sakit, meskipun tidak pernah menyatakan bahwa ia sedang kesakitan. Petunjukan dalalah seperti disebut “thabi ‘yyah (طبيعيه), secara lengkap biasa disebut dalalah lafzhiyyah thabi ‘yyah (الدلالة اللفظية الطبعيه
2.      Melalui Akal
Maksudnya adalah dengan perantaraan akal pikiran, seseorang dapat mengetahui bahwa suara atau kata yang didengarnya memberi petunjuk kepada maksud tertentu. Umpamanya suara kendaraan dibelakang rumah itu. Dengan adanya “suara” itu dapat dicerna oleh akal bahwa suara itu adalah suara kendaraan jenis tertetu, meskipun kendaraan tersebut belum dilihat secara nyata. Penunjukan sacara suara tersebut dinamai “aqliyah” (عقليه) secara lengkap biasa disebut dalalah lafzhiyah ‘aqliyah” (دلالة لفظية عقلية
3.      Melalui Istilah
Dapat dipahami bersama untuk maksud tertentu. Umpamanya kalau kita mendengar ucapan, “Binatang yang mengeong” kita akan mengetahui apa maksud ucapan itu, yaitu ‘kucing”. Hal ini dimungkinkan kita sudah memahami dan menggunakan ungkapan “binatang yang mengeong” itu untuk memberi istilah kepada ‘kucing”. Penunjukan bentuk ini disebut “wadhi’yah (وضعية), secara lengkap biasa disebut dalalah lafdhiyyah wadhi’yyah (الدلالة اللفظية الو ضعية).[3]
Ada dua kelompok pendapat tentang tingkat dilalah Lafazh dari segi kejelasan, Golongan Hanafiyah dan Golongan Mutakalimin. Dalalah lafzhiyah merupakan dalalah yang ditunjukkan secara jelas oleh lafazhnya. Ulama Hanafiyah membagi dalalah lafzhiyah ini menjadi empat bagian, yakni:[4]
a.       Ibarah Nash
Ulama ushul fikih mendefinisikan ‘ibarah nash ini bermacam-macam. Definisi-definisi tersebut dapat dikemukakan disini antara lain:
1)      Menurut Abu Zahrah:
‘Ibarah Nash adalah makna yang dapat dipahami dari lafazh, baik itu lafazh zharir atau lafazh nash, atau baik itu lafazh muhkam atau bukan muhkam.”
2). Menurut Syaykh al-Khudlariy:
“Ibarah Nash itu lafazh dan artinya adalah petunjuk lafazh atas makna yang dimaksudkan, baik yang dimaksudkan itu makna asli atau bukan asli.”
Dapat disimpulkan bahwa ‘ibarah nash mengandung lafazh yang tersusun dari dua maksud hukum, yakni maksud hukum yang asli (hukum yang mula-mula dipakai) dan maksud hukum bukan asli (taba’iy = ikutan). ‘Ibarah nash mengandung makna yang segera dapat dipahami dari susunan lafazhnya.
Contoh lafazh ‘ibarah nash:
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès? ÇÌÈ
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,[5] Maka (kawinilah) seorang saja[6], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Pengertian asli dari nash ini adalah pembatasan jumlah maksimal wanita yang boleh dikawini, yaitu empat orang. Adapun pengertian tidak asli disini bahwa adanya anjuran/ pembolehan kawin dengan wanita yang disenangi.[7]
b.      Isyarat Nash
Dalalah isyarat nash atau isyarat al-Nash adapun yang dimaksud dengan dalalah isyarat nash adalah petunjuk lafazh yang diperbolehkan dari apa yang tersirat dalam nash.
Contoh:
žw yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ bÎ) ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# $tB öNs9 £`èdq¡yJs? ÷rr& (#qàÊ̍øÿs? £`ßgs9 ZpŸÒƒÌsù 4 £`èdqãèÏnFtBur n?tã ÆìÅqçRùQ$# ¼çnâys% n?tãur ÎŽÏIø)ßJø9$# ¼çnâys% $Jè»tGtB Å$râ÷êyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym n?tã tûüÏZÅ¡ósçRùQ$# ÇËÌÏÈ
Artinya: Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.
Dari ayat ini, bahwa berdasarkan ibarah nash, boleh menceraikan istri sebelum bercampur dan sebelum menentukan maharnya. Akan tetapi, arti yang lazim dan tidak bisa dipisahkan dari nash ialah sah mengadakan aqad perkawinan tanpa menentukan maharnya lebih dahulu. Sebab talak (perceraian) tidak akan terjadi (tidak pernah ada) sebelum adanya akad nikah. Inilah yang disebut dalalah nash.[8]
c.       Dalalah Nash (Petunjuk Nash)
Dalalah nash (Petunjuk Nash) adalah petunjuk lafazh nash atau suatu ketentuan hukum juga berlaku sama atas sesuatu yang tidak disebutkan kerena terdapat persamaan illat keduanya.[9]
Jika nash itu ungkapannya menunjukkan pada hukum suatu kejadian karena ‘illat yang menjadi dasar hukum itu, kemudian didapati kejadian yang sama ‘illat hukumnya atau lebih utama daripadanya, maka secara bahasa dapat dipahami bahwa nash itu mencakup dua kejadian tersebut.[10]

Contoh lafazh:
Ÿxsù  @à)s? !$yJçl°; 7e$é& Ÿwur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJƒÌŸ2 ÇËÌÈ
Artinya: Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia[11] (Q.S. al-Isra’ 23)
Pengertian secara dalalah nash bahwa semua perkataan atau perbuatan yang menyakitkan kedua hati orang tua itu dilarang.[12]
Contoh lain:
¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbqè=à2ù'tƒ tuqøBr& 4ytGuŠø9$# $¸Jù=àß $yJ¯RÎ) tbqè=à2ù'tƒ Îû öNÎgÏRqäÜç/ #Y‘$tR (  ÇÊÉÈ  
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya.” (Q.S. An Nisa’ [4]: 10)
Pengertian secara dalalah nash bahwa membakar, membuang harta anak yatim, serta memberikannya kepada orang lain juga dilarang.[13]
d.      Iqtidha Nash (Kehendak Nash)
Kehendak nash adalah makna atau pengertian yang mana kalimat itu tidak dapat dimengerti kecuali dengan memperkirakan adanya pengertian tersebut. Jadi lafazhnya tidak ada, akan tetapi kebenaran kalimat dan maknanya membutuhkan pengertian itu.[14]
Seperti dalam firman Allah SWT:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ اُمَّهاَ تُكُمْ وَبَناَتُكُمْ
Artinya: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, dan anak-anakmu yang perempuan.” (Q.S. An Nisa’: 23)
Pengertian secara iqtidha nash pada ayat ini adalah “mengawini mereka”, karena menyandarkan keharaman kepada pribadi ibu dan anak adalah tidak tepat. Maka diperkirakanlah lafazh yang sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh nash tersebut yakni kata mengawini.
C.    Dalalah Gahiru Lafziyah dan Pembagianya
Dalalah ghairu lafzhiyah merupakan dalalah yang ditunjukkan secara tidak jelas oleh lafazhnya. Hanafiyah membagi dalalah ghairu lafzhiyah menjadi empat macam. Mereka menamakan dengan Bayan Dharurah (penjelasan secara darurat). Keempat macam dalalah itu memberi petunjuk dengan cara sukut/diam.[15]
Pertama:
اَنْ يَلْزَمَ عَنْ مَذْكُوْرٍ مَسْكُوْتٍ عَنْهُ
Artinya: “Jika lafazh yang disebut menimbulkan pengertian pada sesuatu yang didiamkan (yang tidak disebut dalam kalimat itu).”
Sebagaimana firman Allah Swt. dalam menjelaskan bagian waris kedua orang tua:
4 Ïm÷ƒuqt/L{ur Èe@ä3Ï9 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB â¨ß¡9$# $£JÏB x8ts? bÎ) tb%x. ¼çms9 Ó$s!ur 4 bÎ*sù óO©9 `ä3tƒ ¼ã&©! Ó$s!ur ÿ¼çmrOÍurur çn#uqt/r& ÏmÏiBT|sù ß]è=W9$# 4  ÇÊÊÈ  

Artinya: “Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak memiliki anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga.” (Q.S. An Nisa’: 11)
Bentuk kalimat seperti ini menunjukkan terbatasnya pembagian waris hanya kepada kedua orang tua saja. Dan khusus ibu mendapat sepertiga bagian, maka sudah pasti bagian yang didiamkan, yaitu bagian bapak adalah dua pertiga.[16]
Kedua:
دَلاَلَةُ حاَلِ السَّاكِتِ الَّذِى وَظِيْفَتُهُ الْبَياَنُ مُطْلَقاً
Artinya: “Diamnya seseorang, padahal tugas orang tersebut harus menjelaskan secara mutlak kejadian itu.”
Seperti diamnya Rasulullah Saw., ketika menyaksikan suatu peristiwa baik berupa perkataan maupun perbuatan. Selama beliau tidak mengingkari, maka diamnya itu menunjukkan izinnya. Oleh karena itu penetapan/ taqrir Nabi Saw. merupakan salah satu sunnah, sebagaimana perkataan atau perbuatannya. Seperti dalam satu riwayat:
عِنْ اَسْمَاءَ بِنْتِ اَبِى بَكْرٍ رَضِ اللهُ عَنْهُماَ قاَلَتْ: نَحَرْناَ عَلىَ عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ فَرَساً فَأَكَلْناَهُ.
Artinya: “Diriwayatkan dari ‘Asma putri Abu Bakar ra. ia berkata: Pada masa Rasulullah Saw. kami menyembelih kuda, kemudian kami memakannya.” (Hadits  Muttafaq ‘alaih)
Ketiga:
إِعْتِباَرُ سُكُوْتِ السَّاكِتِ دَلاَلَةً كاَلنَّطْقِ لِدَفْعِ التَّغْدِيرِ
Artinya: “Diamnya seseorang dianggap sama dengan perkataannya, untuk mencegah terjadinya penipuan/ kesamaran.”
Seperti diamnya seorang wali dikala melihat orang yang berada di bawah perwaliannya melakukan jual beli, sedang ia tidak melarang. Hal ini menunjukkan bahwa ia memberi izin, sebab kalau tidak dianggap sebagai izin, maka akan menimbulkan bahaya bagi orang lain. Sedang menolak bahaya adalah wajib, berdasarkan sabda Rasulullah Saw., yang diriwayatkan oleh Abi Sa’id al-Khudri:[17]

لاَضَرَرَ وَلاَضِرَارَ . رواه ابن ماجه
Artinya: “Tidak boleh menimbulkan bahaya kepada orang lain dan tidak boleh membalas bahaya yang dilakukan oleh orang lain.” (HR. Ibnu Majah)
Keempat:
دَلاَلَةُ السُّكُوتِ عَلىَ تَعَيُّنِ مَعْدُودٍ تُعُرِفَ حَذْفُهُ ضَرُوْرَةَ طُوْلِ الْكَلاَمِ بِذِكْرِهِ
Artinya: “Didiamkan atau tidak disebutkan jumlah bilangan tertentu karena sudah menjadi kebiasaan agar pembicaraan/ kalimat tidak terlalu panjang.”
Seperti kata-kata pembeli kepada penjual: ‘Saya beli seratus potong celana, baju dan kaos’. Sedangkan yang dimaksud adalah seratus potong celana, seratus potong baju dan seratus potong kaos.[18]
Dalalah Ghairu Lafziyah menurut Jumhur Sebagaimana yang akan diabahas berikut ini tentang metode jumhur dalam penggunaan gairu lafzhiyah. Menurut pandangan Ulama Syafi’iyyah dalalah Ghairu Lafzhiyah itu ada 2 macam, yiatu dalalah Manthuq, dan dalalah Mafhum.
1.      Dalalah Manthuq (المنطوق)
Secara bahasa المنطوق isim maf’ul dari kata نَطَقَ fail dari kata الَنَا طِقُ fiil mudhari’nya  dari kata يَنْطِقُ masdar dari kata نُطقًا yang berarti تكلم (sesuatu yang diucapkan). Sedangkan menurut istilah ushul fiqh mantuq berarti pengertian harfiyah dari suatu lafaz yang diucapkan. Adapun dilalah mantuq dalam pandangan ulama Syafi’iyyah yang dikutip dalam bukunya Amir Syarifuddin adalah:
دَلاَلَةُ الّلفْظِ فِىْ مَحَلِّ اْ لنُّطْقِ عَلَى حُكْمِ اْ لمَذْ كُوْرِ 
            Artinya: Penujukan lafaz menurut apa yang diucapkan atas hukum menurut apa yang disebut dalam lafaz itu.

                        Defenisi ini mengadung pengertian bahwa bila kita memahami “suatu hukum” dari apa yang langsung tersurat dalam lafazh itu maka disebut pemahaman secara “manthuq”
             Sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 23
ãNà6ç6Í´¯»t/uur ÓÉL»©9$# Îû Nà2Íqàfãm `ÏiB ãNä3ͬ!$|¡ÎpS ÓÉL»©9$# OçFù=yzyŠ
                Artinya: (Diharamkan atasmu mengawini) anak-anak tiri yang berada dalam asuhanmu dari istri-istri yang telah kamu gauli.

                                    Ayat ini menurut manthuqnya menunjukan haramnya menikahi anak tiri yang berada dibawah asuhan suami dari istri yang telah digauli. Apa yang ditunjuk di sini memang jelas terbaca dalam apa yang tersurat dalam ayat tersebut. Penunjukannya begitu jelas dan tidak memerlukan penjelasan tidak memerlukan penjelasan dibalik yang tersurat ini.
Musthafa Sa’id al-Khin mendefinisikan manthuq itu dengan sesuatu yang menunjukkan lafazh ketika di ucapkan, baik mengenai hukum terhadap lafazh yang disebutkan atau keadaan lafazh itu sendiri, baik hukum itu disebutkan dan diungkapkan ataupun tidak disebut dan diungkapkan. Jumhur ulama membagi manthuq ini menjadi dua:
a.       Manthuq al-Sharih
Manthuq al-sharih adalah dalalahnya itu muncul dari  wadh’iyah al-muthabaqiyah dan dalalah al-wadh’iyah al-tadhammuniyah atau dengan kata lain petunjuk lafazh kepada seluruh pengertian yang dikehendaki atau sebagiannya saja[19]. Jadi manthuq sharih dalam pengertian Syafi’iyah sama dengan dalalah al-ibarah dalam pengertian Hanafiyah. Contohnya, firman Allah yang berbunyi Surat al-Baqarah 275:
¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$#
Artinya: “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba
Dalam ayat ini dari segi manthuqnya secara jelas dan tegas dapat dipahami bahwa jual beli itu halal dan riba itu diharamkan.
b.      Manthuq ghairu al-Sharih (tidak Jelas)
Manthuq ghairu al-sharih adalah penunjukan lafazh terhadap hukum dengan cara kelaziman bukan dengan cara keseluruhan atau sebahagian9. Contohnya, firman Allah yang berbunyi :
Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf”.
Ayat ini mengisyaratkan kepada kita bahwa anak itu dinisbahkan kepada ayahnya. Yang kedua, bahwa nafkah anak adalah kewajiban ayah.
Manthuq ghairu al-sharih terbagi kepada tiga macam, yaitu dalalah al-Iqtidha’ , dalalah al-Ima’ dan dalalah al-Isyarah. Dua macam dalalah, yaitu dalalah al-Iqtidha’ dan dalalah al-Isyarah sudah dibahas ketika membicarakan pembagian dalalah menurut Hanafiyah, sebab kedua dalalah ini sama penamaannya dikalangan Syafi’iyah. Adapun dalalah al-Ima’ adalah bahwa lafazh itu menyertai hukum, seandainya tidak ada lafazh itu, niscaya jauh dari hukum (hukum itu tidak diterima). Penjelasan tentang dalalah al-Ima’ dapat anda lihat dalam bab al-Qiyas. Jadi kalau kita klasifikasikan, maka dalalah al-Ibarah yang disebut oleh Hanafiyah sama dengan dalalah al-Manthuq sharih atau dalalah al-Ima’ menurut Syafi’iyah, dalalah al-Iqtidha’ dandalalah al-Isyarah yang disebut oleh Hanafiyah sama penamaannya dikalangan Syafi’iyah, dan dalalah al-Nash yang disebut Hanafiyah sama dengan Mafhūm al-Muwāfaqah dikalangan Syafi’iyah. Dan ini akan datang penjelasannya dalam membicarakan tentang dalalah al-mafhum.
2.      Dalalah Mafhum
Secara bahasa kata مَفْهُوْمْ berasal dari kata فَهِمَ isim masdar dari kata اَلْفَهْمُ yang berarti “tersirat” atau sesuatu yang dipahami dari suatu teks.
Sedangkan menurut istilah adalah apa yang dapat dipahami dari lafazh bukan yang bukan dibicarakan.
            Contoh firman Allah dalam suart al-Isra’ ayat 23
Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& Ÿwur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJƒÌŸ2 ÇËÌÈ
Artinya: “Janganlah kamu mengucapkan kepada orang tuamu ucapan “ah” dan janganlah kamu membentak keduanya[20]” (Q.S. al-Isra’ 23)
Mafhum terbagi 2 macam yaitu:
a.       Mafhum Muwafaqah
Mafhum muwafakah adalah mafhum yang lafalnya menujukkan bahwa hukum yang tidak disebutkan sama dengan hukum yang disebutkan lafal.
Mafhum  muwafaqah terbagi dua, yaitu:
1)      Mafhum aulawi ( مفهوم الاولوي) atau disebut juga فحوى الخطاب
Yaitu berlakunya hukum pada peristiwa yang tidak disebutkan itu lebih kuat lebih pantas dibandingkan dengan berlakunya hukum pada apa yang disebutkan dalam lafal. Kekuatan hukum itu ditinjau dari segi alasan berlakunya hukum pada mantuqnya.
Umpamanya firman Allah QS. al-Isra’ ayat 23
Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& Ÿwur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJƒÌŸ2 ÇËÌÈ
Memukul orang tua hukumnya haram sebagaimana haramnya mengucapkan kata “ah”, karena sifat menyakiti dalam “memukul” lebih kuat dari sifat menyakiti dalam ucapan kasar “ah”.[21]
2). Mafhum Musawi (مفهم المسوي) atau disebut juga لحن الخطاب
Yaitu berlakunya hukum pada peristiwa yang tidak disebutkan pada manthuq. Contohnya firman Allah QS. an-Nisa ayat 10.
¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbqè=à2ù'tƒ tAºuqøBr& 4yJ»tGuŠø9$# $¸Jù=àß $yJ¯RÎ) tbqè=à2ù'tƒ Îû öNÎgÏRqäÜç/ #Y$tR ( š
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya. (Q.S. an-Nisa’ ayat 10).
Mantuq dari ayat tersebut menujukkan haram memakan harta anak yatim di luar ketentuan hukumnya. Segera dapat diketahui bahwa alasan larangan tersebut adalah karena tindakan itu mengakibatkan lenyap atau rusaknya harta anak yatim. Melalui mafhum muwafaqah-nya tampa memerlukan ijtihad diketahui bahwa setiap tindakan yang bisa melenyapkan atau merusak harta anak yatim, seperti menipu, membakar dan sebagainya, adalah haram hukumnya.
                      Para ulama sependapat tentang sahnya berhujjah (menjadikan sebagai cara dalam menetapkan hukum) dengan mafhum muwafaqah. Hanya kalangan Zhahiri yang menolak menetapkan hukum menurut mafhum sebagaimana juga menolak menggunakan qiyas, karena menurut mereka mafhum muwafaqah dalam hal ini sama dengan qiyas.
b.      Mafhum Mukhalafah
      Mafhum mukhalafah adalah mafhum yang lafazhnya menunjukan bahwa hukum yang tidak disebutkan berbeda dengan hukum yang disebutkan. Atau diartikan hukum yang berlaku berdasarkan mafhum dengan hukum yang berlaku  pada manthuq.[22]
Contoh terdapat dalam firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 25
`tBur öN©9 ôìÏÜtGó¡o öNä3ZÏB »wöqsÛ br& yxÅ6Ztƒ ÏM»oY|ÁósßJø9$# ÏM»oYÏB÷sßJø9$# `ÏJsù $¨B ôMs3n=tB Nä3ãZ»yJ÷ƒr& `ÏiB ãNä3ÏG»uŠtGsù ÏM»oYÏB÷sßJø9$# 4
Artinya: Dan siapa di antara kamu yang tidak cukup belanja untuk mengawinni wanita merdeka, maka ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang dimiliki. (QS. An-Nisa’ 25)[23]

            Dengan membandingkan pemikiran aliran Hanafiyyah dan Mutakilimin di atas mengenai deskriktif dalalah al-Nas terhadap hukum, dapat disimpulkan sebagai berikut:
a)      Bagi aliran Hanafiyyah terdapat empat dalalah, yaitu Ibarah al-Nas, Isyarah al-Nas, dalalah al-Nas, dan Iqtida’ al-Nas.
b)      Bagi aliran Mutakalimin, terdapat dua pokok dalalah, yaitu dalalah Mantuq dan dalalah Mafhum
c)      Apa yang disebut sebagai ibarah al-Nas, Isyarah al-Nas, dan Iqtida’ al-Nas dalam pemikiran aliran Hanafiyyah adalah secara maknawi tercakup oleh dalalah Mantuq dalam pemikiran Mutakalimin.
d)     Apa yang disebut sebagai dalalah al-Nas dalam pemikiran aliran Hanafiyyah secara maknawi sejalan dengan dalalah Mafhum Muwafaqah dalam pemikiran aliran Mutakalimin.
e)      Dalam pemikiran aliran Hanafiyyah tidak dikenal dengan dalalah Mafhum Mukhalafah bahkan, mereka menolak dalalah ini sebagai hujjah Syar’iyyah.[24]
            Dapat dikemukakan pula bahwa bahwa para ulama dari kedua aliran tersebut memiliki titik kesepakatan dan titik perbedaan dalam pemikiran mereka tentang konsep-konsep dalalah al-Nas. Dan titik kesepakatan mereka tersebut adalaha:
a)      Ibarah Nas atau Mantuq Sarih merupakan dalalah al-Nas yang peringkatnya yang paling kuat.
b)      Mengiringi Ibarah al-Nas atau Mantuq Sarih dalam hal kekuatan illat adalah secara berurutan, Isyarah al-Nas atau Mantuq Ghairu Sarih, lalu dalalah Nas atau Mafhum Muwafaqah, lalu dalalah Iqtida’ atau Mantuq Ghairu Sarih
c)      Apabila terjadi pertentangan maknawi antara dalalah-dalalah tersebut, yang harus diutamakan dan dipedomani adalah dalalah yang peringkatnya lebih kuat.[25]
            Namun dalam kasus pertentangan makanawi ini, aliran Mutakalimin lebih mengutamakan dalalah al-Nas  dari pada Isyarah al-Nas ketika terjadi pertentangan maknawi tersebut, sedangkan aliran Hanafiyyah sebaliknya lebih mengutamakan Isyarah al-Nas dari pada dalalah al-Nas.
            Aliran Hanafiyyah beragumentasi bahwa Isyarah al-Nas merupakan unsur dari tata kalimat, sedangakan dalalah al-Nas itu tidak diperoleh dari Mantuq Nas melainkan dari Mafhum Nas, padahal makna yang diperoleh lewat Mantuq lebih kuat bobot dalalahnya dari pada yang diperoleh lewat Mafhum.
            Aliran Mutakalimin beragumentasi bahwa dalalah Nas itu bersumber dari pemahaman kebahasaan terhadap Nas sehingga ia lebih dekat kepada Ibarah al-Nas, sedangkan Isyarah al-Nas diperoleh melalui pemahaman kebahasaan terhadap Nas.[26]

















BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Dalalah atau dalalah secara bahasa berarti petunjuk. Sedangkan secara istilah ulama ushul al-Fiqh.
الدلالة هى مايدل اللفظ من معنى
Artinya: “Dalalah adalah suatu pengertian yag ditunjuki oleh lafazh.”
      Dalalah lafzhiyah/الدلالة اللفظيه (penunjukan bentuk lafaz) yaitu dalalah dengan dalil yang digunakan untuk memberi petunjuk kepada sesuatu dalam bentuk lafaz, suara atau kata. Dengan demikian, lafaz, suara dan kata, menujukkan kepada maksud tertentu.
      Dalalah ghairu lafzhiyah merupakan dilalah yang ditunjukkan secara tidak jelas oleh lafazhnya. Hanafiyah membagi dalalah ghairu lafzhiyah menjadi empat macam. Mereka menamakan dengan Bayan Dharurah (penjelasan secara darurat). Keempat macam dilâlah itu memberi petunjuk dengan cara sukut/diam.

B.     KRITIK DAN SARAN
Kami dari penulis, menyadari sepenuhnya bahwa makalah kami ini jauh dari kesempurnaan, dan keterbatasan referensi untuk itu  kami berharap kepada pembaca, terutama dosen pembimbing mata kuliah ini berupa kritik dan sarannya terhadap makalah ini yang bersifat membangun.






DAFTAR PUSTAKA

Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2011
Arifin, Miftahul, Ushul Fiqh: Kaidah-kaidah Penetapan Hukum Islam, cet. I, Surabaya: Citra Media, 1997
Biek, Muhammad Al-Khudhori Terjemah Ushul Fiqh, alih bahasa: Zaid H. Alhamid, Pekalongan: Raja Murah, tt
Jazuli. A, Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam, Ed. 1, cet. I, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000
Rahman, Asjmuni. A, Metoda Penetapan Hukum Islam, cet. I, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1986
Romli, Muqaranah Mazahib Fil Ushul, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jilid II, Jakarta: Kencana, 2009



[1]A. Jazuli, Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam, Ed. 1, cet. I, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 279
[2]Ibid, hal. 280
[3]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, (Jakarta: Kencana, 2009), Hal. 132-133
[4]Ibid, hal. 280
[5] Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
[6] Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat Ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum nabi Muhammad s.a.w. ayat Ini membatasi poligami sampai empat orang saja.
[7]Miftahul Arifin, Ushul Fiqh: Kaidah-kaidah Penetapan Hukum Islam, cet. I, (Surabaya: Citra Media, 1997), hal. 175
[8]Romli, Muqaranah Mazahib Fil Ushul, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), Hal. 234-235
[9]Ibid, Hal. 235
[10]Asjmuni A. Rahman, Metoda Penetapan Hukum Islam, cet. I, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1986), Hal. 98
[11] Mengucapkan kata ah kepada orang tua tidak dibolehkan oleh agama apalagi mengucapkan kata-kata atau memperlakukan mereka dengan lebih kasar dari pada itu.
[13]Ibid,  hal. 177-178
[14]Ibid., hal. 178
[15]Syekh Muhammad Al-Khudhori Biek, Terjemah Ushul Fiqh, alih bahasa: Zaid H. Alhamid, (Pekalongan: Raja Murah, tt), hal. 141
[16]Amir Syarifuddin, Loc. Cit, hal. 150-151
[17]Miftahul Arifin, Loc. Cit, hal. 174
[18]Ibid, hal. 175
[19]Amir Syarifuddin, Loc. Cit. Hal. 154
[20] Mengucapkan kata ah kepada orang tua tidak dlbolehkan oleh agama apalagi mengucapkan kata-kata atau memperlakukan mereka dengan lebih kasar daripada itu.
[21]Amir Syarifuddin, Loc. Cit. hal.156-157
[22]Amir  Syarifuddin, Loc. Cit. Hal. 159

[24]Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), Hal. 191-192
[25]Ibid, Hal. 192
[26]Ibid, hal. 192-193

0 komentar:

Posting Komentar