nama: handayani
Nim: 310.006
fak/Jur: Syari'ah / Perbandingan Hukum dan Mazhab
IAIN IMAM BONJOL PADANG
2013
BAB II
PEMBAHASAN
LAPORAN TAKHRIJ HADIS
A.
Pelacakan Hadis
Hadis yang akan diteliti
adalah
لأن يطعن فى رأس أحدكم بمخيط من حديد خير له من أن
يمس امرأة لا تحل له
Dalam melakukan pelacakan terhadap hadis
ini, penulis menggunakan metode takhrij dengan melacak salah satu kata pada
matan. Pelacakan ini dilakukan terhadap kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâz al-Hadîts al-Nabawî, yang disusun oleh A.J.
Wensick. Dalam hal ini penulis mengambil kata مس dengan melacaknya pada loccus
م. Penulis
sengaja melacaknya pada kata ini karena kata inilah yang menjadi tema sentral
hadis yang diteliti, yaitu “menyentuh”. Hasilnya, tidak ditemukan hadis yang
dicari. Pencarian dilanjutkan melalui
kata مخيط pada
loccus yang sama karena kata ini dianggap asing, yaitu pada loccus
م. Hasilnya
juga nihil. Pencarian juga dilakukan pada kata يطعن pada loccus ط. Tidak ditemukan hadis yang dicari pada kata ini.
Karena diketahui matan hadis ini, maka
pelacakan dilakukan melalui metode takhrij denga kata pertama pada awal matan.
Kitab yang digunakan adalah al-Jâmi’ al-Shaghîr fî Ahâdîts al-Basyîr
al-Nadzîr, karya Abî al-Fadhl ‘Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr Muhammad
al-Khudhairiy al-Suyûthiy al-Syâfi’iy. Dari hasil pelacakan ditemukan [1]
لأن يطعن فى رأس أحدكم بمخيط من حديد خير له من أن
يمس امرأة لا تحل له (طب) عن معقل بن يسار (ض)
Simbol(طب) berarti
طبراني فى الكبير, dan (ض) berarti ضعيف. Informasi kitab ini menyebutkan bahwa hadis yang dicari ada
dalam kitab al-Mu’jam al-Kabîr, oleh
al-Thabarâniy.
Al-Suyûthiy telah memberikan penilaian lemah terhadap hadis ini
dengan menilainya dha’îf.
Kitab lain yang juga digunakan untuk
melacak hadis ini adalah Mausû’ah Athrâf al-Hadîts al-Syarîf, susunan
Abû Hâjar Muhammad al-Sa’îd ibn Basyûniy Zaghlûl. Kitab ini
menginformasikan[2].
لأن
يطعن فى رأس أحدكم
مجمع
4: 326 – ترغيب 3: 39 – صحيحة 226
Keterangan
kitab ini menginformasikan bahwa hadis ini terdapat dalam kitab Majma’
al-Zawâid wa Manba’ al-Fawâid, karya al-Hafidz Nûr
al-Dîn ‘Aliy ibn Abi Bakr al-Haitsamiy, juz ke-4, halaman 326, al-Targhîb wa
al-Tarhîb min al-Hadîts al-Syarîf, karya al-Imâm al-Hafîdz
Zakiy al-Dîn ‘Abd al-‘Azhîm ibn ‘Abd al-Quwâ al-Mundziriy, juz ke-3, halaman
39, Silsilah al-Ahâdits al-Shahîhah, karya Muhammad
Nashir al-Dîn al-Albâniy, halaman 226.
B.
Penelusuran dalam Kitab
Hadis
Untuk mengetahui letak hadis, maka perlu
ditelusuri ke dalam kitab hadis yang ditunjukkan oleh kitab athrâf.
Hadis dalam kitab al-Mu’jam
al-Kabîr susunan al-Thabarâniy selengkapnya tertulis
-486حدثنا موسى بن هارون ثنا
إسحاق بن راهويه أنا النضر بن شميل ثنا شداد بن سعيد الراسبي قال
سمعت يزيد بن عبد الله بن الشخير يقول سمعت معقل بن يسار يقول قال رسول الله صلى
الله عليه وسلم :لأن يطعن في رأس أحدكم
بمخيط من حديد خير له من أن يمس امرأة لا تحل له.[3]
Artinya: Telah
menceritakan kepada kami Mûsâ ibn Hârûn, (ia berkata), telah menceritakan
kepada kami Ishâq ibn Râhawaih, (ia berkata), telah menceritakan kepada
kami al-Nadhar ibn Syumail, (ia berkata), telah menceritakan kepada kami
Syaddâd ibn Sa’îd al-Râsibiy, ia berkata, aku mendengar Yazîd ibn ‘Abd Allâh ibn
al-Syakhîr berkata, aku mendengar Ma’qil ibn Yasâr berkata, telah bersabda
Rasulullah saw. “sesungguhnya ditusukkan ke kepala salah seorang di antara kamu
dengan jarum dari besi lebih baik baginya daripada ia menyentuh wanita yang
tidak halal baginya”
Hanya kitab al-Thabarâniy
ini yang merupakan sumber primer bagi hadis ini. Tiga kitab lain yang
diinformasikan oleh kitab Mausû’ah Athrâf al-Hadîts al-Syarîf di atas tidaklah merupakan
sumber primer. Ia hanya berisi himpunan hadis yang tidak disebutkan sanadnya
secara lengkap. Dalam terminology ilmu hadis disebut dengan al-mashdâr al-tsanawiy atau sumber sekunder. Untuk
keperluan penelitian sanad, maka tiga kitab ini tentu tidak dapat digunakan
karena tidak membuat sanad secara lengkap. Kitab ini hanya bertuliskan
hadis dengan cara mu’allaq, yaitu tanpa menyebutkan sanad secara
lengkap. Sanad hadis ini hanya bertuliskan sahabat penerima hadis dari
Rasulullah dan tidak menyebutkan sanad dari tabi’in sampai mukharrij.
Kitab ini bukan khusus berisi hadis mu’allaq, tapi ia merupakan kitab
sumber hadis sekunder yang menyebutkan di sumber primer mana hadis itu
terdapat.
Kendatipun
demikian, kitab sumber kedua ini memberikan informasi lain. Dari
informasi kitab ini diketahui bahwa hadis ini diriwayatkan oleh al-Thabarâniy
dengan periwayat yang shahîh.[4] Di
samping itu, ternyata hadis ini juga terdapat di dalam al-Sunan al-Kubrâ susunan
al-Baihaqiy dengan periwayat pertamanya
Ma’qil ibn Yasâr.[5] Hanya
saja tidak ditemukan hadis yang dimaksud di dalam kitab al-Baihaqiy.
Jika
ditelusuri hadis ini dengan redaksi yang sama melalui kitab athrâf, memang hanya terdapat satu
hadis. Tetapi, dengan bantuan program al-maktabah al-syâmilah, sebuah program yang digital yang
berisi beberapa kitab termasuk kitab-kitab hadis, penulis mencoba mencari hadis
yang sama melalui kata لأن يطعن maka
ditemukan ternyata ada hadis lain yang redaksinya hampir sama dengan hadis yang
diteliti. Menurut informasi program al-maktabah al-syâmilah ini, hadis tersebut juga terdapat
di dalam kitab al-Mu’jam al-Kabîr susunan
al-Thabarâniy,
berikut ini hadisnya
-
487حدثنا
عبدان بن أحمد ثنا نصر بن علي قال أنا أبي ثنا شداد بن سعيد عن أبي العلاء حدثني
معقل بن يسار قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لأن يطعن في رأس رجل
بمخيط من حديد خير له من أن يمس امرأة لا تحل له[6]
Artinya: Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdân ibn Ahmad, telah menceritakan kepada kami Nashr ibn
‘Aliy, dia berkata, telah menceritakan kepada kami (abî) bapakku, telah menceritakan kepada
kami Syaddâd ibn Sa’îd dari Abî al-‘Alâ’, telah menceritakan kepadaku Ma’qil ibn
Yasâr, (dia) berkata, telah bersabda Rasulullah saw. “sesungguhnya ditusukkan
ke kepala salah seorang di antara kamu dengan jarum dari besi lebih baik
baginya daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya”
Dua hadis
di atas sebenarnya memiliki satu kesatuan makna. Perbedaan redaksi hadis hanya antara kata أحدكم pada hadis nomor 486 dengan kata رجل pada hadis nomor 487. Kendatipun demikian, kedua hadis ini
tetap dihimpun dan dimuat dalam laporan ini.
C.
Ranji Sanad Hadis
1.
Ranji sanad hadis nomor 486[7]
|
رسول الله صلى الله عليه
وسلم
|
|
قال
|
|
|
|
معقل بن يسار
|
|
سمعت
|
|
|
|
يزيد بن عبد الله بن
الشخير
|
|
سمعت
|
|
|
|
شداد بن سعيد الراسبي
|
|
ثنا
|
|
|
|
النضر بن شميل
|
|
أنا
|
|
|
|
إسحاق بن راهويه
|
|
ثنا
|
|
|
|
موسى بن هارون
|
|
حدثنا
|
|
|
|
الطبراني
|
|
2. Ranji sanad hadis nomor 487[8]
|
رسول الله صلى الله عليه
وسلم
|
|
قال
|
|
|
|
معقل بن يسار
|
|
حدثني
|
|
|
|
أبي العلاء
|
|
عن
|
|
|
|
شداد بن سعيد
|
|
ثنا
|
|
|
|
أبي
|
|
قال أنا
|
|
|
|
نصر بن علي
|
|
ثنا
|
|
|
|
عبدان بن
أحمد
|
|
حدثنا
|
|
|
|
الطبراني
|
|
Setelah membuat ranji
masing-masing sanad di atas, langkah kerja selanjutnya adalah menggabungkan dua
ranji dua jalur sanad ini. Pembuatan ranji gabungan ini tidak
dimaksudkan untuk langkah awal mengetahui illat dan syaz pada
sanad karena illat dan syaz pada sanad secara tidak langsung
sudah inklusif dalam penelitian kebersambungan sanad dan penilaian tentang
kualifiasi intelektual periwayat (dhabt al-ruwât).
3.
Ranji gabungan (I’tibâr al-sanad)
|
رسول الله صلى الله عليه وسلم
|
|
|
قال
|
|
|
قال
|
|
معقل بن يسار
|
|
|
سمعت
|
|
|
حدثني
|
|
يزيد بن عبد الله بن الشخير/ أبي العلاء
|
|
|
سمعت
|
|
|
عن
|
|
شداد بن سعيد الراسبي
|
||
ثنا
|
|
|
ثنا
|
|
النضر بن شميل
|
أبي
|
|
أنا
|
|
|
قال
أنا
|
|
إسحاق بن راهويه
|
نصر بن علي
|
|
ثنا
|
|
|
ثنا
|
|
موسى بن هارون
|
عبدان بن أحمد
|
|
حدثنا
|
|
|
حدثنا
|
|
الطبراني
|
Keterangan
ranji
Sanad pada
lajur kiri adalah sanad hadis nomor 486
Sanad pada
lajur kanan adalah sanad hadis nomor 487
D.
Teori Ke-shahîh-an
Hadis yang Digunakan
Dalam penelitian ini, teori ke-Shahîh-an
hadis yang digunakan sebagai pisau analisis untuk menilai hadis ini adalah
ke-Shahîh-an hadis yang dikemukakan oleh Muhammad Syuhudi
Ismail. Menurutnya, syarat hadis Shahîh ada tiga yaitu:[9]
a.
Sanadnya bersambung dengan
ketentuan (a) muttashil; (b) marfû’; (c) mahfûzh; dan (d)
bukan mu’all.
b.
Periwayatnya bersifat adil yaitu
(a) beragama Islam; (b) mukallaf; (c) melaksanakan ketentuan agama; dan (d)
memelihara muru’ah.
c.
Periwayat bersifat dhâbith
dan atau tamm al-dhabth, dengan ketentuan (a) hafal dengan
baik hadis yang diriwayatkannya; (b) mampu dengan baik menyampaikan hadis yang
dihafalnya kepada orang lain; (c) terhindar dari syuzûz; dan (d)
terhindar dari ‘illat.
Dalam melakukan penelitian terhadap sanad
dan periwayat hadis ini, digunakan beberapa kitab, yaitu Tahzîb al-Kamâl fi Asmâ’ al-Rijâl karya al-Hafîzh Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mizzî,
Mizân al-I’tidâl fî Naqd al-Rijâl dan
Siyar A’lâm al-Nubalâ’, keduanya karya Abû ‘Abd Allâh Syams al-Dîn Muhammad
ibn Ahmad ibn ‘Utsmân al-Zahabî, Kitâb al-Jarh wa al-Ta’dîl karya
Abû Muhammad ‘Abd al-Rahmân
ibn Abî Hâtim Muhammad ibn Idrîs ibn al-Munzir al-Tamîmî, Lisân
al-Mizân karya Ibn Hajar al-‘Asqalâniy dan Mu’jam al-Muallifîn
Tarâjim Mushannifî al-Kutub al-‘Arabiyyah, karya Umar Ridhâ Kahhâl.
Untuk lebih mudah mencari biodata
periwayat, penulis menggunakan petunjuk Mausû’ah Rijâl al-Kutub al-Tis’ah karya
‘Abd al-Ghaffâr Sulaimân al-Bandâriy dan Sayyid Kasruddiy Hasan.
E.
Meneliti Kebersambungan
Sanad
Penelitian
sanad ini adalah sebagai konsekwensi dari teori hadis shahîh
yang digunakan. Aspek yang akan diteliti dalam sanad adalah muttashil, marfu’, mahfuzh, dan bukan mu’all.
Sanad yang
akan diteliti adalah sanad hadis nomor 486. Alasan memilih sanad ini adalah,
pertama, karena redaksi sanad hadis ini adalah redaksi yang ditugaskan untuk
diteliti. Kedua, redaksi ini yang dicari pada awal penelitian. Ketiga, redaksi
hadis ini juga persis sama dengan redaksi pada kitab sumber kedua.
1.
Al-Thabarâniy
Dia adalah Sulaimân ibn Ahmad ibn
Ayyûb ibn Muthair al-Lakhomiy al-Syâmiy al-Thabarâniy. Kunniyah-nya
adalah Abû al-Qâsim. Dilahirkan di kota
‘Akka pada bulan Shafar tahun 260 H. Ibunya adalah orang ‘Akka.[10] Wafat
di Asbahân pada bulan Zulqa’dah tahun 360 H, dalam usia seratus tahun sepuluh
bulan.[11]
2.
Mûsâ ibn Hârûn
Dia adalah Mûsâ ibn Hârûn ibn ‘Abd Allâh ibn Marwân
al-Baghdâdiy.[12]
Kunniyah-nya adalah Abû ‘Imrân dan Abû al-Hasan, dan laqab-nya
adalah al-Hammâl, al-Hâfizh, al-Baghdâdiy, al-Bazzâr.[13]
Dilahirkan pada tahun 214 H dan wafat pada tahun 294 H.[14] Di
antara muridnya adalah Abû al-Qâsim al-Thabarâniy.[15]
3. Ishâq ibn Râhawaih
Dia adalah
Ishâq ibn Ibrâhîm ibn Makhlad ibn Ibrâhîm ibn ‘Abd Allâh ibn Mathar ibn ‘Ubaid
ibn Ghâlib ibn Wâris ibn ‘Ubaid Allâh ibn ‘Athiyyah ibn Murrah ibn Ka’ab ibn
Hamâm ibn Asad ibn Murrah ibn Shamrû ibn Hanzhalah ibn Mâlik.[16] Kunniyah-nya
adalah Abû Ya’qub dan Abû Muhammad, dan laqab-nya adalah
al-Hanzhalah dan Ibn Râhawaih
al-Marwuziy.[17]
Lahir tahun 161 H dan wafat tahun 237/238 H.[18] Di
antara gurunya adalah al-Nadhar ibn Syumail, dan di antara muridnya adalah Mûsâ
ibn Hârûn.[19]
4. Al-Nadhar ibn Syumail
Dia adalah al-Nadhar ibn Syumail ibn
Kharasyatah ibn Zaid ibn Kultsûm ibn ‘Anazah ibn Zuhair ibn ‘Amrû ibn Hujr
ibn Khuzâ’iy ibn Mâzin ibn ‘Amrû ibn Tamîm. Pendapat lain mengatakan bahwa ia
adalah al-Nadhar ibn Syumail ibn Kharasyatah ibn Zaid ibn Kultsûm ibn ‘Antarah ibn
‘Urwah ibn Julhamah ibn Jahdar Khuzâ’iy ibn Mâzin ibn mâlik ibn ‘Amrû ibn
Tamîm ibn Mur ibn Udd ibn Thâbighah. Kunniyah-nya adalah
Abû al-Hasan dan laqab-nya adalah al-Mâziniy, al-Nahwiy, al-Bashriy,
al-Marûziy dan al-Tîmiy. [20]
Dilahirkan di Hudud, tahun 122 H dan wafat tahun 203/ 204 H.[21] Di
antara muridnya adalah Ishâq ibn Râhawaih.[22]
5. Syaddâd ibn Sa’îd
al-Râsibiy
Namanya adalah Syaddâd ibn Sa’îd. Kunniyah-nya
adalah Abû Talhah dan Abû Hakîm dan laqab-nya adalah
al-Râsibiy dan al-Bashriy. Di antara
muridnya adalah al-Nadhar ibn Syumail, dan di antara gurunya adalah Yazîd ibn
‘Abd Allâh ibn al-Syakhîr.[23]
6. Yazîd ibn ‘Abd Allâh ibn
al-Syakhîr
Dia
adalah Yazîd ibn ‘Abd Allâh ibn al-Syakhîr. Dia adalah saudara Mutharrif ibn
‘Abd Allâh ibn al-Syakhîr dan Hânî’ ibn ‘Abd Allâh ibn al-Syakhîr.[24]
Kunniyah-nya adalah Abû al-‘Alâ’ dan laqab-nya adalah al-‘Âmiriy,
al-Bashriy, al-Harsyiy. Ia Wafat pada tahun—atau sebelum—111 H. [25]
7. Ma’qil ibn Yasâr
Nama aslinya adalah Ma’qil ibn Yasâr ibn ‘Abd
Allâh ibn Mu’abbir.[26] Kunniyah-nya
adalah Abû ‘Aliy, Abû Yasâr dan Abû ‘Abd Allâh. Sedangkan laqab-nya
adalah al-Muzniy dan al-Bashriy.[27] Dia
wafat di Bashrah pada masa akhir pemerintahan khilafah Muawiyyah. Dia mendengar
langsung hadis dari Rasulullah.[28]
Dari data-data di atas diketahui bahwa al-Thabarâniy
pernah berguru kepada Mûsâ ibn Hârûn;
Mûsâ ibn Hârûn pernah berguru kepada Ishâq ibn Râhawaih; Ishâq
ibn Râhawaih pernah berguru kepada al-Nadhar ibn Syumail; al-Nadhar ibn Syumail
pernah berguru kepada Syaddâd ibn Sa’îd al-Râsibiy; Syaddâd ibn Sa’îd
al-Râsibiy pernah berguru kepada Yazîd ibn ‘Abd Allâh ibn al-Syakhîr. Tidak
ditemukan data yang menyebutkan secara jelas nama Ma’qil ibn Yasâr sebagai guru
dari Yazîd ibn ‘Abd Allâh ibn al-Syakhîr. Ma’qil ibn Yasâr bertemu rasul dan
menerima hadis dari baginda.
Kendatipun
tidak ditemukan adanya
pernyataan yang jelas tentang nama Ma’qil ibn Yasâr sebagai guru dari Yazîd ibn ‘Abd
Allâh ibn al-Syakhîr, tapi ada indikasi yang menunjukkan bahwa pernah terjadi
komunikasi ilmiah berupa transmisi hadis
di antara mereka. Indikasi itu adalah pernyataan
tentang gurunya yang sangat banyak berupa kata ‘iddah.[29] Diduga,
bahwa gurunya Ma’qil ibn Yasâr sudah masuk dalam isyarat ungkapan ini. Maka
dari data guru murid di atas dapat disimpulkan bahwa sanad hadis ini
bersambung.
Kesimpulan ini didukung oleh kemungkinan
kesezamanan antara guru dan murid. al-Thabarâniy lahir 260 H dan wafat
tahun 360 H. Mûsâ ibn Hârûn lahir pada
tahun 214 H dan wafat tahun 294 H. Pada saat Mûsâ ibn Hârûn wafat, al-Thabarâniy
berusia 34 tahun. Artinya, Mereka sezaman. Ishâq
ibn Râhawaih lahir tahun 161 H dan wafat tahun 237/ 238 H. Pada saat Ishâq
ibn Râhawaih wafat, Mûsâ ibn Hârûn berusia 23 atau 24 tahun. Al-Nadhar ibn
Syumail lahir pada tahun 122 H dan wafat tahun 203/ 204 H. Pada saat al-Nadhar
ibn Syumail wafat, Ishâq ibn Râhawaih berusia 42 tahun.
Dari uraian di atas tidak ditemukan data
tentang tahun kelahiran dan wafat Syaddâd ibn Sa’îd al-Râsibiy. Tapi bisa
diketahui kesezamanan mereka. Yazîd ibn ‘Abd Allâh ibn al-Syakhîr meninggal
pada tahun 111 H. Sebelas tahun setelah wafatnya Yazîd ibn ‘Abd Allâh ibn
al-Syakhîr, al-Nadhar ibn Syumail—yang merupakan murid dari Syaddâd ibn Sa’îd
al-Râsibiy—baru lahir. Jika dihubungkan tahun meninggalnya Yazîd ibn ‘Abd Allâh
ibn al-Syakhîr dengan tahun kelahiran al-Nadhar ibn Syumail, ternyata mereka
hampir semasa. Dari sini, tentunya dapat dipastikan bahwa antara dua orang ini
ada yang mengantarai mereka yang semusim dengan keduanya. Ma’qil ibn Yasâr
meninggal pada masa akhir khilafah Muawwiyah.
Kebersambungan sanad hadis ini dapat dilihat pada tabel berikut
Nama Periwayat
|
Kesezamanan
|
Hubungan guru-murid
|
Hasil
|
||
Lahir
|
Wafat
|
Guru
|
Murid
|
||
Al-Thabarâniy
|
260
|
360
|
|
|
bersambung
|
Mûsâ ibn Hârûn
|
214
|
294
|
|
Al-Thabrâniy
|
bersambung
|
Ishâq ibn Râhawaih
|
161
|
237/8
|
Al-Nadhar ibn Syumail
|
Mûsâ ibn Hârûn
|
bersambung
|
Al-Nadhar ibn Syumail
|
122
|
203/4
|
Khalqun katsîrun
|
Ishâq ibn Râhawaih
|
bersambung
|
Syaddâd ibn Sa’îd al-Râsibiy
|
|
|
Yazîd ibn ‘Abdillâh
|
Al-Nadhar ibn Syumail
|
bersambung
|
Yazîd ibn ‘Abdillâh
|
|
111
|
‘iddah
|
|
bersambung
|
Ma’qil ibn Yasâr
|
|
|
Nabi saw
|
|
bersambung
|
Tabel 1
Kebersambungan sanad hadis no 486
Mengomentari simbol periwayatan yang ada dalam
sanad ini, tidak satupun mengindikasikan tadlîs atau penyembunyian
dengan menggunakan kata ‘an ataupun menyebut periwayat secara tidak
jelas (mubham). Sebaliknya, semuanya menggunakan metode yang disebut
oleh sebagain ulama dengan metode al-sima’ yang merupakan cara yang
memiliki status tertinggi pada simbol periwayatan setelah sami’na dan haddatsana.
F.
Meneliti Ke-’âdil-an
dan Ke-dhâbit-an Periwayat
1.
Al-Thabarâniy
Al-Hâfiz
Abû ‘Abd Allâh ibn Mundah mengatakan
bahwa al-Thabarâniy adalah salah seorang al-huffâz.
Ahmad ibn Mansur al-Syirâziy al-Hâfiz menilainya tsiqah. Abû Bakr ibn Abî Aliy mengatakan bahwa
al-Thabarâniy seorang yang luas ilmunya dan banyak menyusun kitab. Hanya saja,
ia salah menyebut nama [Ibn] Ibrâhîm [ibn] al-Barqiy. Dalam hal kesalahan ini
al-Thabarâniy dinilai layyin oleh al-Hâfiz Abû Bakr ibn Mardawaih.[30]
2.
Mûsâ ibn Hârûn
Al-Shib’iy menyebutnya sebagai seorang al-Huffâz yang paling wara’. Al-Hâfiz ‘Abd
al-Ghaniy menyebutnya sebagai orang yang paling baik perkataannya di dalam
hadis (ahsanu al-nâs kalâman fî al-hadîts). Abû Bakr al-Khathîb menilainya tsiqah hâfiz.[31]
3.
Ishâq ibn Râhawaih
Al-Zahabiy
menyebutnya tsiqah hujjah. Al-Nasâiy menyebutnya tsiqah
ma’mûn. Tapi Abû Dawud menyebutkan bahwa kepribadiannya berubah lima bulan sebelum beliau
meninggal. Abû Hâtim menanyakan tentang Ishâq ibn Râhawaih kepada Abû Zur’ah karena hafalannya terhadap sanad dan matan. Lalu, Abû Zur’ah berkata
bahwa tidak ada orang yang lebih hafal (ahfazh) selain Ishâq
ibn Râhawaih. Akan tetapi, Abû Zur’ah mengatakan hal itu kepada gurunya Abû al-Hajjâj,
lalu Abû al-Hajjâj berkata
bahwa ada pendapat yang mengatakan Ishâq
ibn Râhawaih tersalah (ikhtalatha)
hafalannya sebelum dia meninggal. Menurut al-Zahabiy, Ishâq ibn Râhawaih tersalah
hanya beberapa hadis tertentu dan bukan dalam hadis ini.[32] Ahmad
ibn Hanbal mengatakan bahwa Ishâq
ibn Râhawaih tidak perlu dipertanyakan lagi (mitslu Ishâq
yus’al ‘anhu). Dia adalah salah seorang imam kaum muslimin.[33]
4.
Al-Nadhar ibn Syumail
Abû Hâtim
menilainya dengan tsiqah shahîb al-sunnah. Yahyâ ibn
Ma’in, ‘Aliy al-Madîniy dan al-Nasâiy
menilainya tsiqah.[34]
Al-‘Abbâs ibn Mush’ab al-Marwuziy menyebutnya sebagai seorang imam dalam bahasa
Arab dan hadis.[35]
5.
Syaddâd ibn Sa’îd al-Râsibiy
Ahmad
ibn Hanbal mengatakan bahwa Syaddâd
ibn Sa’îd al-Râsibiy syaikh tsiqah. Yahyâ ibn Ma’în
menilainya tsiqah.[36] Abû Khaitsamah menilainya tsiqah. Al-Nasâiy menilainya tsiqah. Ibn Hibbân menyebut Syaddâd ibn Sa’îd al-Râsibiy dalam kitabnya al-Tsiqât.
Tapi, al-Bukhâriy mengatakan bahwa Syaddâd ibn Sa’îd al-Râsibiy dinilai dha’îf
oleh ‘Abd al-Shamad ibn ‘Abd al-Wârits.[37]
6.
Yazîd ibn ‘Abd Allâh ibn al-Syakhîr
Al-Nasâiy menilainya tsiqah. Ibn Hibbân menyebut Syaddâd ibn Sa’îd al-Râsibiy dalam kitabnya al-Tsiqât.[38]
7.
Ma’qil ibn Yasâr
Tidak
ditemukan penilaian tentang ke-’âdil-an dan ke-dhâbit-annya. Hal
ini bukan karena keberadaannya tidak diketahui. Justru dia adalah salah seorang
sahabat yang ikut dalam bai’at dalam rangka mendukung dakwah nabi Muhammad.
Tidak ditemukannya penilaian tentang shahabat dikarenakan shahabat dinilai
sebagai seorang yang tidak perlu ditanyakan tentang kualitas ke-’âdil-annya.
Berikut ini tabel tentang
penilaian yang diberikan kepada periwayat di atas
Kritikus
|
Al-Thabarâniy
|
Mûsâ ibn Hârûn
|
Ishâq ibn Râhawaih
|
Al-Nadhar ibn Syumail
|
Syaddâd ibn Sa’îd
|
Yazîd ibn ‘Abd Allâh
|
Ma’qil ibn Yasâr
|
Abû ‘Abd Allâh ibn Mundah
|
al-huffâz
|
|
|
|
|
|
|
Ahmad ibn Mansur
al-Syirâziy
|
Tsiqah
|
|
|
|
|
|
|
Abû Bakr ibn
Mardawaih
|
Layyin
|
|
|
|
|
|
|
Al-Shib’iy
|
|
al-Huffâz
|
|
|
|
|
|
‘Abd al-Ghaniy
|
|
ahsanu
al-nâs kalâman fî al-hadîts
|
|
|
|
|
|
Abû Bakr al-Khathîb
|
|
tsiqah hâfiz
|
|
|
|
|
|
Al-Zahabiy
|
|
|
tsiqah hujjah
|
|
|
|
|
Al-Nasâiy
|
|
|
tsiqah ma’mûn
|
tsiqah
|
tsiqah
|
tsiqah
|
|
Abû Zur’ah
|
|
|
ahfazh
|
|
|
|
|
Abû al-Hajjâj
|
|
|
ikhtalatha
|
|
|
|
|
Ahmad ibn Hanbal
|
|
|
mitslu Ishâq yus’al ‘anhu
|
|
syaikh tsiqah
|
|
|
Abû Hâtim
|
|
|
|
tsiqah shahîb al-sunnah
|
|
|
|
Yahyâ ibn
Ma’in
|
|
|
|
tsiqah
|
tsiqah
|
|
|
‘Aliy al-Madîniy
|
|
|
|
tsiqah
|
|
|
|
Abû Khaitsamah
|
|
|
|
|
Tsiqah
|
|
|
Ibn Hibbân
|
|
|
|
|
Tsiqah
|
tsiqah
|
|
‘Abd al-Shamad ibn ‘Abd al-Wârits
|
|
|
|
|
dha’îf
|
|
|
Kesimpulan penilaian
|
‘âdil dan dhâbit
|
‘âdil dan dhâbit
|
‘âdil dan dhâbit
|
‘âdil dan dhâbit
|
‘âdil dan dhâbit
|
‘âdil dan dhâbit
|
‘âdil dan dhâbit
|
Tabel 2
Penilaian
tentang ke-‘adâlah-an dan ke-dhabth-an periwayat
Demikianlah
penilaian yang disampaikan oleh ulama kritikus hadis tentang ke-‘âdil-an
dan ke-dhâbit-an para periwayat pada jalur sanad ini. Hanya ada tiga
periwayat yang terjadi pertentangan penilaian, yaitu al-Thabarâniy, Ishâq ibn Râhawaih dan Syaddâd ibn Sa’îd
al-Râsibiy. Selebihnya, dinilai tsiqah tanpa ada yang memberikan jarh
bagi mereka. (tabel 2).
Mengomentari
penilaian yang dikemukakan oleh para kritikus terhadap al-Thabarâniy, maka
penulis menyimpulkan bahwa al-Thabarâniy ‘âdil lagi dhâbit dan
riwayatnya dapat diterima. Penilaian hâfiz adalah penilaian keterpujian tingkatan
pertama menurut Ibn al-Shalâh, al-Nawawiy dan al-Zahabiy. Penilaian tsiqah
adalah penilaian keterpujian tingkatan pertama menurut standar Ibn Abî
Hâtim al-Râziy, Ibn al-Shalâh, al-Nawawiy. Sedangkan penilaian layyin
adalah tingkatan jarah paling rendah menurut para kritikus. Penilaian layyin
ini diberikan khusus terkait penulisan nama [Ibn] Ibrâhîm [ibn] al-Barqiy.
Dalam sanad yang diteliti ini tidak ada nama [Ibn] Ibrâhîm [ibn] al-Barqiy
sebagai periwayat.
Terkait dengan adanya pertentangan penilaian
terhadap Ishâq ibn Râhawaih, penulis menyimpulkannya—dalam sanad
ini—dalam penilaian ta’dîl yang paling tinggi. Adanya pernyataan ulama
yang mengatakan bahwa di penghujung usianya, tepatnya lima bulan sebelum meninggal, Ishâq
ibn Râhawaih terkadang melakukan kesalahan dalam penyampaian riwayat. Penilaian
tersalah itu hanya pada beberapa hadis dan hadis ini tidak termasuk ke
dalamnya. Ketika kesalahan itu tidak sering terjadi, maka Ishâq ibn
Râhawaih masih dapat dikatakan dhâbith. Sebaliknya, kritikus yang
memberikan penilaian ta’dîl dinilai oleh ulama sebagai yang bukan mutasahhil.
Bahkan, ungkapan ahfazh dan mitslu Ishâq yus’al
‘anhu berada pada tingkatan pertama menurut Ibn Hajar dan
al-Suyûthi yang terkenal mutasyaddid.
Dalam hal Syaddâd ibn Sa’îd al-Râsibiy, penulis
juga menyimpulkan Syaddâd ibn Sa’îd al-Râsibiy sebagai seorang yang tsiqah.
Alasannya di samping jumlah kritikus yang memberikan penilaian ta’dîl lebih
banyak dibanding dengan yang menilai dengan jarh, para kritikus yang
bukan mutasahhil, seperti Ahmad
ibn Hanbal dan Yahyâ ibn Ma’în, menilainya dengan syaikh tsiqah
dan tsiqah.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari
data-data dan informasi yang dikaji di atas disimpulkan bahwa sanad hadis ini
memenuhi syarat ke-shahîh-an. Kesimpulan itu diperoleh
setelah melihat terjadinya kebersambungan sanad berupa hubungan guru murid dan
kesezamanan antara periwayat dan para periwayat yang ada semuanya dinilai ‘âdil
dan dhâbith. Butir-butir kebersambungan sanad hadis ini adalah
muttashil, marfu’, tidak mengandung syaz dan tidak ber-’illat.
Sedangkan untuk menyimpulkan bahwa periwayat ini ‘âdil dan dhâbit
adalah dari kesaksian dan penilaian ulama yang mengatakan mereka bersifat âdil
dan dhâbith.
Dalam
penelitian ini, penulis tidak meneliti syaz dan ‘illat pada
sanad. Hal ini sebagai konsekuensi dari teori ke-shahîh-an yang
digunakan. Menurut Muhammad Syuhudi Ismail, syaz dan ‘illat
termasuk ke dalam kaedah minor dalam teori ke-shahîh-an
sanad hadis. Ia bukan kaedah utama yang harus dipisah kajiannya. Tapi ia adalah
kajian yang serta merta dalam mengkaji kebersambungan sanad dan mengkaji ke-dhabt-an
periwayat. Jika kebersambungan sanad dan ke-dhâbith-an benar-benar
terjadi dan terbukti, maka hal itu sudah cukup mumpuni untuk mengatakan ia
terhindar dari syaz dan ‘illat.
Demikianlah
penelitian tentang hadis ini disampaikan. Kesimpulan yang penulis dapatkan
adalah berdasarkan analisis dan pemahaman penulis dengan menggunakan standar
dan kriteria ke-shahîh-an yang diakui.
Penelitian
ini belum mengkaji ke-shahîh-an matan hadis ini. Artinya,
jika hadis ini akan dijadikan hujah untuk beramal, maka perlu diteliti terlebih
dahulu matannya. Sebab hadis yang sanadnya terbukti shahîh
belum pasti matannya juga shahîh. Tapi setidaknya,
penelitian sanad ini adalah langkah awal untuk meneliti hadis ini. Bagi yang
tidak punya bekal untuk melakukan penelitian sendiri, setidaknya dengan membaca
dan mengetahui penilaian terhadap sanad hadis ini dapat mengetahui status sanad
hadis ini.
Bagi yang
punya bekal dan keinginan untuk mengkaji hadis ini lebih lanjut, penulis
menyarankan untuk meneliti aspek lain dari hadis ini yaitu meneliti matan hadis
ini. Sehingga dengan diketahuinya status matan hadis ini akan jelas status
hadis ini secara keseluruhan, baik sanad maupun matannya. Jika ditemukan
ternyata matan hadis ini juga shahîh, maka hadis ini dapat
dijadikan sebagai hujah dan dalil hukum untuk beramal. Tapi, jika matan hadis
ini ditemukan tidak shahîh, maka hadis ini tidak dapat
dijadikan hujah kendatipun sanadnya shahîh.
Wa Allâh a’lam bi
al-shawâb.
B.
KRITIK DAN SARAN
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam
penelitian hadis ini banyak kekurangan, minimnya ilmu yang dimiliki penulis dan
keterbatasan waktu, untuk itu penulis meminta kepada pembaca kritik dan saran
supaya penelitian yang akan datang lebih baik dari pada sekarang.
Untuk peneliti berikutnya, penulis menyarankan agar meneliti seluruh
jalur sanad terutama yang belum diteliti dalam penelitian pratikum hadis
ini. Agar dapat dilakukan dengan lebih kritis dan mendalam.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al-Bandâriy, ‘Abd
al-Ghaffâr Sulaimân dan Sayyid Kasruddiy Hasan, Mausû’ah Rijâl
al-Kutub al-Tis’ah, Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993
Al-Haitsamiy, Al-Hafidz Nûr al-Dîn ‘Aliy ibn Abî Bakr, Majma’ al-Zawâid wa
Manba’al-Fawâid, Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988, juz ke-4,
Al-Mizzî, al-Hafîzh Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf, Tahzîb al-Kamâl fi Asmâ’ al-Rijâl, Bairût: Dâr al-Fikr, 1994
Al-Mundziriy, Zakiy al-Dîn
‘Abd al-‘Azhîm ibn ‘Abd al-Quwâ, al-Targhîb wa al-Tarhîb min al-Hadîts
al-Syarîf, al-Qâhirah: Dâr al-Hadîts, 1989, juz ke-3
Al-Thabarâniy, Sulaimân ibn
Ahmad ibn Ayyûb Abû al-Qâsim, al-Mu’jam al-Kabîr, di-tahqiq oleh Hamdiy
ibn ‘Abd al-Majîd al-Salafiy, al-Mûsul:
Maktabah al-‘Ulûm wa al-Hikam,
1983
Al-Zahabiy, Syams al-Dîn Muhammad
ibn Ahmad ibn ‘Utsmân, Mîzân
al-I’tidâl fî Naqd al-Rijâl, di-tahqîq oleh ’Ali Muhammad
al-Bajâwiy, Bairût: Dâr al-Fikr, t.th
-------, Siyar A’lâm
al-Nubalâ’, Bairût: Mu’assasah al-Risâlah, 1993, cet. ke- 9
Ibn Abî Hâtim
al-Râziy, Abû Muhammad ‘Abd al-Rahmân Muhammad ibn Idrîs ibn al-Munzir al-Tamîmiy
al-Hanzhaliy, Kitâb al-Jarh wa al-Ta’dîl, al-Hind: Mathba’ah
Majlis Dâirah al-Ma’ârif al-‘Utsmaniyyah, 1952, cet. ke-1
Ibn Hajar
al-‘Asqalâniy, al-Hâfiz Syihâb al-Dîn Ahmad ibn ‘Aliy, di-tahqîq
dan di-ta’lîq oleh ‘Âdil Ahmad ‘Abd al-Maujûd, ‘Aliy Muhammad
Mu’awwad dan ‘Abd al-Fattâh Abû Sinnah, Lisân al-Mizân, Bairût:
Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996
Ismail, M. Syuhudi, Kaedah
Keshahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Sejarah, Jakarta : Bulan Bintang, 1995, cet. ke-2
Kahhâl, Umar Ridhâ Mu’jam
al-Muallifîn Tarâjim Mushannifî al-Kutub al-‘Arabiyyah, Bairût: Dâr Ihyâ’
al-Turâts al-‘Arabiy, t.th
[1]‘Abd
al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthiy, al-Jâmi’ al-Shaghîr fî Ahâdîts
al-Basyîr al-Nadzîr, (Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th), juz ke-1,
h. 442
[2]Abû
Hâjar Muhammad al-Sa’îd ibn Basyûniy Zaghlûl, Mausû’ah Athrâf al-Hadîts al-Nabawiy al-Syarîf,
(Bairût: ‘Âlam al-Turâts, 1989), cet. ke-1, jilid ke-6, h. 555
[3]Sulaimân
Ibn Ahmad Ibn Ayyûb Abû al-Qâsim al-Thabarâniy, (Selanjutnya ditulis
al-Thabarâniy), al-Mu’jam al-Kabîr, di-tahqîq oleh Hamdiy
ibn ‘Abd al-Majîd
al-Salafiy, (al-Mûsul: Maktabah al-‘Ulûm Wa al-Hikam, 1983), juz ke-20, h. 211, hadis nomor
486
[4]Sebagai
contoh misalkan informasi yang diberikan oleh al-Hafidz Nûr al-Dîn ‘Aliy
ibn Abî Bakr al-Haitsamiy
عن معقل بن يسار قال قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم :لأن يطعن في رأس أحدكم بمخيط من حديد خير له من أن يمس امرأة لا تحل
له. رواه الطبرنى ورجاله رجال الصحيح
Al-Hafidz
Nûr al-Dîn ‘Aliy ibn Abî Bakr al-Haitsamiy, Majma’ al-Zawâid wa Manba’al-Fawâid, (Bairût: Dâr
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988), juz ke-4, h. 326
[5]Zakiy
al-Dîn ‘Abd al-‘Azhîm ibn ‘Abd al-Quwâ al-Mundziriy, al-Targhîb wa al-Tarhîb
min al-Hadîts al-Syarîf, (al-Qâhirah: Dâr al-Hadits, 1989), juz
ke-3, h. 39, hadis nomor 16. Berikut ini hadis serta informasi tambahan dari
kitab ini.
و عن معقل بن يسار رضي الله عنه قال:
قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :لأن يطعن في رأس أحدكم بمخيط من حديد خير له من أن يمس امرأة لا تحل
له. رواه الطبرنى و البيهقى, ورجال الطبرنى ثقات رجال الصحيح
[6]Al-Thabarâniy,
op. cit., h. 212, hadis nomor 487
[7]Ibid,
hadis nomor 486
- 486حدثنا موسى بن هارون ثنا
إسحاق بن راهويه أنا النضر بن شميل ثنا شداد
بن سعيد الراسبي قال سمعت يزيد بن عبد الله بن الشخير يقول سمعت معقل بن يسار يقول
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :لأن يطعن في رأس أحدكم
بمخيط من حديد خير له من أن يمس امرأة لا تحل له
[8]Ibid, hadis
nomor 487
- 487حدثنا عبدان بن أحمد ثنا
نصر بن علي قال أنا أبي ثنا شداد بن سعيد عن أبي العلاء حدثني معقل بن يسار قال :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لأن يطعن في رأس رجل بمخيط من حديد خير له
من أن يمس امرأة لا تحل له
[9]M.
Syuhudi Ismail, (selanjutnya ditulis Syuhudi), Kaedah Keshahihan Sanad Hadis
Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Sejarah, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1995), cet. ke-2, h. 150
[10]Syams
al-Dîn Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Utsmân al-Zahabiy (selanjutnya
ditulis al-Zahabiy), Siyar A’lâm al-Nubalâ’, (selanjutnya ditulis Siyar),
(Bairût: Mu’assasah al-Risâlah, 1993), cet. ke- 9, juz ke- 11, h. 119
[11]Al-Zahabiy,
Siyar, Op. Cit, h. 128
[12]‘Umar
Ridhâ Kahhâl, Mu’jam al-Muallifîn Tarâjim Mushannifî al-Kutub
al-‘Arabiyyah, (Bairût: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabiy, t.th), juz ke-13,
h. 49
[13]‘Abd
al-Ghaffâr Sulaimân al-Bandâriy dan Sayyid Kasruddiy Hasan (selanjutnya
ditulis al-Bandâriy), Mausû’ah Rijâl al-Kutub al-Tis’ah, (Bairût: Dâr
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), juz ke-4, h. 70
[14]‘Umar
Ridhâ Kahhâl, Loc. Cit, al-Zahabiy, Siyar. Op. cit., juz
ke-12, h. 116; al-Bandâriy, op. cit., h. 70
[15]
Al-Zahabiy, Siyar, Op. Cit, h. 117
[16]Ibid.,
juz ke-11, h. 358-359
[17]Al-Bandâriy,
Op. Cit, juz ke-1, h. 92
[18]Al-Zahabiy,
Siyar, Op. Cit, h. 359; al-Zahabiy, Mîzân al-I’tidâl fî Naqd
al-Rijâl, (selanjutnya ditulis Mîzân), (di-tahqîq oleh
’Ali Muhammad al-Bajâwiy), bagian ke-1, (Bairût: Dâr al-Fikr, t.th.), h.
183; al-Bandâriy, Op. Cit, h. 92
[19]Al-Zahabiy,
Siyar, Op. Cit, h 359-360
[20]Al-Hafîzh Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mizzî
(selanjutnya ditulis Yûsuf al-Mizzî), Tahzîb
al-Kamâl fi Asmâ’ al-Rijâl, (Bairût:
Dâr al-Fikr, 1994), juz ke-19, h. 81; al-Zahabiy, Siyar, juz ke-9, h. 328; Abû Muhammad ‘Abd
al-Rahmân ibn Abî Hâtim
Muhammad ibn Idrîs ibn al-Munzir al-Tamîmiy al-Hanzhaliy al-Râziy
(selanjutnya ditulis dengan ‘Abd al-Rahmân ibn Abî Hâtim), Kitâb al-Jarh wa al-Ta’dîl, (India:
Mathba’ah Majlis Dâirah al-Ma’ârif al-‘Utsmaniyyah, 1952), juz ke-8, cet. ke-1,
h. 477
[21]
Al-Zahabiy, Siyar, juz ke-9, Op.
Cit, h. 328 dan 331; Yûsuf al-Mizzî, Op. Cit, h. 83; al-Bandâriy, Op.
Cit, juz ke-4, h. 99
[22]
Al-Zahabiy, Siyar, juz ke-9, Op.
Cit, h. 329; Yûsuf al-Mizzî, Op. Cit, h. 81
[23]
Yûsuf al-Mizzî, Op. Cit, juz ke-8, h. 81; ‘Abd al-Rahmân al-Tamîmiy, Op. Cit, juz
ke-4, h. 330; al-Bandâriy, Op. Cit, juz ke-2, h. 99
[24]
Yûsuf al-Mizzî, Op. Cit, juz ke-20, h. 326
[25]
Al-Bandâriy, Op. Cit, juz ke-4, h. 256
[26]
Yûsuf al-Mizzî, Op. Cit, juz ke-18, h. 256
[27]
Al-Bandâriy, Op. Cit, juz ke-4, h. 16-17
[28]
Yûsuf al-Mizzî, loc. cit
[29]
Al-Zahabiy, Siyar, op. cit., juz ke-4, h. 494
[30]
Al-Zahabiy, Siyar, Op. Cit., juz ke-16, h. 125-127; al-Hâfiz
Syihâb al-Dîn Ahmad ibn ‘Aliy ibn Hajar al-‘Asqalâniy
(selanjutnya ditulis Ibn Hajar), (di-tahqîq dan di-ta’lîq
oleh ‘Âdil Ahmad ‘Abd al-Maujûd, ‘Aliy Muhammad Mu’awwad dan ‘Abd
al-Fattâh Abû Sinnah), Lisân al-Mizân, juz ke-3, (Bairût: Dâr
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), h. 86-87; al-Zahabiy, Mîzân, op. cit., bagian
ke-2, h. 195
[31]Al-Zahabiy,
Siyar, Op. Cit, juz ke-12, h. 117
[32]Al-Zahabiy,
Mîzân, Op. Cit, bagian ke-1, h. 183
[33]Ibid,
‘Abd al-Rahmân ibn Abî Hâtim, Op. Cit, jilid
ke-3, h. 209-210
[34]Al-Zahabiy,
Siyar, Op. Cit, juz ke-9, h. 329; ‘Abd al-Rahmân ibn Abî Hâtim, op. cit.,
jilid ke-4, h. 477, Ibn Hajar, Op. Cit, juz ke-9, h. 452;
Yûsuf al-Mizzî, Op. Cit, juz ke-19, h. 82
[35]Ibid,
h. 83
[36]‘Abd
al-Rahmân ibn Abî Hâtim,
Op. Cit, jilid ke-4, h. 330; Yûsuf al-Mizzî, op. cit., juz ke-8,
h. 293
[37]Ibid
[38]Ibid,
h. juz ke-20, h. 337
takhrij hadis tentang haram menyentuh wanita