http://sumut.kemenag.go.id/
Seputar Istitha’ah Untuk Kewajiban Haji
Oleh Drs.H. Abd. Rosyid Siregar
Hasrat untuk menunaikan ibadah haji bagi masyarakat muslim Indonesia
nampaknya cukup tinggi yang ditandai setiap tahun animo umat Islam untuk
mendaftarkan keberangkatan ke tanah suci semakin meningkat. Rata-rata dua bahkan tiga
tahun ke depan sudah penuh waiting list. Namun ada sebuah pertanyaan yang perlu
dilontarkan, apakah keinginan masyarakat yang sedemikian antusias itu hanya karena
didasari kesadaran bahwa melaksanakan ibadah haji itu suatu kewajiban bagi yang
istitha’ah/mampu (QS. Ali ‘Imran : 97) ataukah sudah sampai ke tingkat mengetahui dan
meyakini serta menyadari bahwa melaksanakan ibadah haji itu sebuah Rukun Islam (HR.
Bukhari dan Muslim) yang apabila seseorang muslim belum menunaikannya maka dapat
disebut ke-Islamannya belum lengkap atau sempurna dan hal ini mungkin
terkesimpangkan selama ini, dimana kita hanya berputar disekitar istitha’ah saja yang
memang menjadi fokus kajian dalam tulisan ini.
Istitha’ah sebagai pra kondisi kewajiban melaksanakan ibadah haji, terdiri dari;
keamanan di jalan, tanah haramain, tempat tinggal calon jamaah, adanya angkutan dan
biaya selama melaksanakan ibadah haji bagi yang bersangkutan dan untuk orang yang
menjadi tanggungannya. Ada kesan bahwa masalah kewajiban haji ini merupakan hal
yang tidak terlalu mendesak karena adanya syarat istitha’ah sekalipun melaksanakan
ibadah haji merupakan rukun dalam ke-Islaman seseorang. Hal ini nampaknya
merupakan akibat tidak adanya batasan istitha’ah secara tegas atau karena belum
tersosialisasinya batasan-batasan tersebut sehingga istitha’ah ini diartikan terlalu luas dan
fleksibel.
Kalau standar di atas tadi yang kita gunakan mestinya tidak terlalu sulit syarat
wajibnya seseorang untuk melaksanakan ibadah haji, atau dengan kata lain untuk
mencapai kriteria istitha’ah itu tidak terlalu berat dan melebar interpertasinya. Apalagi
bila diperhatikan pendapat ‘Imam Asy Syafi’i, Abu hanifah dan Ahmad, hanya ada bekal
dan biaya kendaraan. Maka Imam Malik berpendapat orang yang sanggup berjalan kaki
wajib melaksanakan ibadah haji tanpa kendaraan. Demikian juga orang yang tidak
mempunyai bekal, wajib melaksanakan ibadah haji apabila dia bisa mencari bekal
http://sumut.kemenag.go.id/
walaupun dengan jalan meminta-minta “(Disarikan dari Kitab Bidayatul Mujtahid oleh
Ibnu Rusyd hal.166).
Dengan demikian sebagai seorang PNS misalnya, yang tentu jaminan kebtuhan
kesehariannya relatif sudah terpenuhi, baik biaya makan maupun untuk keperluan rumah
tangga dan sekolah anak, juga telah memiliki rumah pribadi untuk tempat tinggal tetap.
Menurut kriteria tadi, apabila dia memiliki uang yang berlebih dari kebutuhankebutuhan
pokok tadi, maka dia sudah wajib mengutamakan untuk keperluan biaya
melaksanakan ibadah haji ketimbang membeli aksesoris hidup lainnya, apakah itu mobil,
rumah, kebun, tanah dan sebagainya termasuk melanjutukan pendidikan ke jenjang strata
dua (S2). Artinya lebih mengutamakan hal-hal yang disebutkan tadi ketimbang
mengupayakan untuk mengumpulkan biaya ibadah haji, maka hukumnya berdosa
(Bidayatul Mujtahid Jilid 2 hal.172), karena telah mengabaikan kewajiban yang lebih
mendesak. Hal ini juga terkandung pengertian mencari jalan yang bersifat gratis melalui
petugas haji merupakan hal yang tidak bisa dibenarkan apabila yang bersangkutan telah
mendaftarkan diri untuk berangkat melalui BPIH, sambil menunggu waktu/waiting list
dia mengikuti testing petugas. Kewajiban ini juga berangkai kepada suami atau istri yang
telah memiliki kriteria istitha’ah melalui harta syarikat/bersama.
Memang kriteria istitha’ah belakangan ini nampaknya sudah harus menjadi bahan
pemikiran sekaligus menuntut ijtihad pada Ulama dan Umara’ untuk menetapkan fatwa
hukumnya. Artinya sekarang masalah quota juga sudah saatnya masuk dalam kriteria
istitha’ah karena sudah pasti adanya pembatasan jumlah jama’ah yang boleh berangkat
setiap tahun oleh pemerintah. Belum lagi isu terbaru mengenai vaksin meningitis yang
diwajibkan pemerintah Arab Saudi, apalagi kewajiban vaksin meningitis ini tetap
diperlukan pemerintah Arab Saudi sementara vaksin yang mengandung enzim babi itu
belum ada gantinya yang halal, maka tentu hal ini juga mungkin bisa dikaitkan dengan
kriteria istitha’ah.
Kembali kepada persoalan quota, ada suatu masalah lain yang cukup krusial
dimana ketentuan hukum syari’at bahwa kewajiban menunaikan ibadah haji bagi
seseorang hanya satu kali seumur hidup. Bagi orang yang akan menunaikannya untuk
kedua dan seterusnya hukumnya sunat. Kenyataan di lapangan bahwa porsi atau quota
jamaah haji kita setiap tahunnya masih saja banyak dihuni oleh mereka yang sudah haji.
http://sumut.kemenag.go.id/
Kalau kita berfikir lebih jauh, akibat seseorang melaksanakan pekerjaan sunat (berhaji
kedua kali dan seterusnya) mengakibatkan orang lain tidak bisa melaksanakan yang wajib
(baru pertama kali mau mengerjakan haji), tentu hukumnya bukan lagi sunat tapi justru
mungkin haram, inipun sangat membutuhkan fatwa hukum disamping ketegasan
pemerintah cq Menteri Agama untuk tidak memberi peluang kepada mereka yang sudah
haji selain petugas, kecuali quota belum terpenuhi sementara yang belum pernah haji
tidak ada lagi yang berminat menunaikan ibadah haji pada tahun yang bersangkutan.
Sebagai sebuah rukun, suatu pekerjaan atau keadaan apapun tentu tidak akan sah
tanpa dilengkapi seluruh rukun yang ada pada keadaan atau kegiatan dimaksud. Namun
tidak demikian halnya dengan ibadah haji. Untuk Rukun Islam yang kelima ini Allah
cukup toleran, dimana kewajiban tersebut tidak mutlak, tetapi didasarkan kepada
kemampuan seseorang dengan seluruh kriteria istitha’ahnya itu. Kalau tidak karena ke
Maha Bijaksanaan dan Pengasihnya Allah, tentu dapat dipastikan ke Islaman seseorang
tidak sah/diakui kalau seseorang tersebut belum melaksanakan ibadah haji.
Persoalan istitha’ah rasanya tetap akan menarik untuk dikaji terus karena
nampaknya istitha’ah selain merupakan tameng tempat berlindung masyarakat dari
tuntutan kewajiban melaksanakan ibadah haji, juga akan berkembang terus tema
kajiannya sesuai situasi dan kondisi zaman. Padahal kalau diperhatikan peringatan
Rasulullah “Siapa yang sudah mampu melaksanakan haji (telah memenuhi kriteria
istitha’ah) tetapi dia tidak melaksanakannya, kemudian dia mati maka matinya jahiliyah
(Yahudi atau Nasrani”. Statemen Rasulullah ini tentu memberi makna akan desakan yang
sangat keras untuk melaksanakan ibadah haji itu sebagai sebuah kewajiban yang harus
dilaksanakan. Berkait dengan itu pulalah Rasulullah Saw memerintahkan ; “Hendaklah
kamu segera mengerjakan haji, seseungguhnya seseorang tidak tahu sesuatu yang akan
menghalanginya” (HR. Ahmad).
Persoalan yang perlu dikritisi sebagai tema sentralnya adalah bahwa selain
sebagai kewajiban, ibadah haji merupakan Rukun Islam. Oleh sebab itu kiranya
sumbangan pikiran ini mendapat reaksi positif dari seluruh lapisan yang berkompeten
maupun masyarakat Islam Indonesia khususnya sehingga dapat teraplikasi di lapangan
kenyataan kedepan. Amin!
takhrij hadis tentang bacaan rukuk