PERKAWINAN CAMPURAN, STATUS KEWARGANEGARAAN
ANAK, DAN HILANGNYA KEWARGANEGARAAN INDONESIA (MENURUT UU NO.1 TAHUN 1974, UU
NO.62 TAHUN 1958, DAN UU NO.12 TAHUN 2006)
A. Pengertian
Perkawinan Campuran Menurut Negara Menganut Asas Domicily, Asas Nasionality, dan
UU No.1 Tahun 1974
1.
Menurut Asas Domicily, dan Menurut Asas
Nasionality
Persoalan
pokok dalam Hukum Perdata Internasional adalah sistem hukum manakah yang harus
diberlakukan terhadap persoalan-persoalan di atas. Beberapa asas utama yang
dikembangkan dalam bidang hukum keluarga/perkawinan untuk menentukan the
applicable law dari perbagai persoalan dalam perkawinan.
Secara
teoritis dalam Hukum Perdata Internasional dikenal dua pandangan utama yang
berusaha membatasi pengertian dari perkawinan campuran yaitu:
a.
Pandangan
yang beranggapan bahwa suatu perkawinan campuran adalah perkawinan yang
berlangsung antara pihak-pihak yang berbeda domicilenya sehingga
terhadap masing-masing pihak berlaku kaidah-kaidah hukum intern dari dua sistem
hukum yang berbeda.
b.
Pandangan
yang beranggapan bahwa suatu perkawinan dianggap sebagai perkawinan campuran
apabila para pihak berbeda kewarganegaraan/nasionalitasnya.
Asas-asas
hukum perdata internasional di bidang hukum keluarga/perkawinan adalah hukum
yang harus digunakan untuk mengatur validitas materiil suatu perkawinan adalah:
1)
Asas Lex
loci celebrationis yang bermakna bahwa validitas materiil perkawinan harus
ditetapkan berdasarkan kaidah hukum dari tempat dimana perkawinan diresmikan/dilangsungkan.
2)
Asas
yang menyatakan bahwa validitas materiil suatu perkawinan ditentukan berdasarkan
sistem hukum dari tempat masing-masing pihak menjadi warga negara sebelum
perkawinan dilangsungkan.
3)
Asas
yang menyatakan bahwa validitas materiil perkawinan harus ditentukan berdasarkan
sistem hukum dari tempat masing-masing pihak ber-domicile sebelum
perkawinan dilangsungkan.
4) Asas
yang menyatakan bahwa validitas materiil perkawinan harus ditentukan berdasarkan
sistem hukum dan tempat dilangsungkannya perkawinan (locus celebrationis),
tanpa mengabaikan persyaratan perkawinan yang berlaku di dalam sistem hukum
para pihak sebelumperkawinan dilangsungkan.
Umumnya
di perbagai sistem hukum, berdasarkan asas locus regit actum, diterima asas
bahwa validitas/persyaratan formal suatu perkawinan ditentukan berdasarkan lex
loci celebrationis. Beberapa asas yang berkembang di dalam Hukum Perdata
Internasional tentang akibat-akibat perkawinan (seperti masalah hak dan
kewajiban suami istri, hubungan orang tua dan anak, kekuasaan orang tua, harta
kekayaan perkawinan dan sebagainya) adalah bahwa akibat-akibat perkawinan
tunduk pada:
a. Sistem
hukum tempat perkawinan dilangsungkan (lex loci celebrationis).
b.
Sistem
hukum dari tempat suami istri bersama-sama menjadi warga negara setelah
perkawinan (gemeenschapelijke nationaliteit/joint nationality)
c.
Sistem
hukum dari tempat suami istri berkediaman tetap bersama setelah perkawinan (gemeenschapelijke
woonplaats/joint residence), atau tempat suami istri ber-domicile tetap
setelah perkawinan.
Pengakuan
serta pemberian perlindungan hukum kepada perkawinan campuran/antar bangsa sangat
diperlukan untuk dapat menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Perlindungan
hukum disini ditujukan untuk menjamin rasa kepastian hukum terhadap mereka yang
telah melaksanakan perkawinan campuran/antar bangsa tersebut sehingga mereka
akan merasa tenang dan tentram dalam membina rumah tangga.
2. Menurut
UU No. 1 Tahun 1974
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Perkawinan
campuran terdapat dalam pasal 57
Perkawinan Campuran adalah Pengertian
Perkawinan Campuran ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia
tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan
salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Pasal 58
Bagi
orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran.
Dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula kehilangan
ewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang
kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.
Ada beberapa azas yang terkandung dalam
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan.
a.
Azas Ketuhanan Yang Maha Esa
Perkawinan yang dilakukan oleh WNI harus
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu setiap perkawinan
harus dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya clan kepercayaannya. Bagi
yang beragama Islam harus dilakukan menurut yketentuan hukum agama
Islam (hukum munakahat), begitu pula bagi mereka yang beragama selain
agama Islam dilakukan menurut hukum agama yang dipeluknya.
b.
Azas Pencatatan
Dalam Pasal 2 Undang-undang Perkawinan menetapkan
bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu, dan tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan ketentuan pasal 2 tersebut, maka
perkawinan itu selain harus dilakukan berdasarkan hukum agama dan
kepercayaan yang dipeluknya, juga harus dihadapan Pegawai Pencacat Nikah dan
dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan bagi rnereka yang
beragama Islam. Terhadap mereka yang tidak memenuhi ketetentuan
sebagaiman tersebut di atas maka perkawinannya dinyatakan tidak sah. Pegawai
Pencatat Nikah (Penghulu) adalah pejabat yang diberi wewenang, hak dan
tanggung jawab berdasarkan undang-undang untuk melakukan pemeriksaan, dan
pencatatan perkawinan.
Adapun tujuan pencatatan perkawinan adalah
untuk:
a)
Memberikan kepastian hukum bagi pernikahan yang
bersangkutan.
b)
Menjadi bukti otentik dengan adanya buku nikah.
c)
Mendapatkan perlindungan hukum, dan menjadi dasar bagi yang
besangkutan untuk menuntut ke Pengadilan apabila salah satu pihak
merasa teraniaya.
d)
Menjadi terlaksananya tertib administrasi negara,
sehingga dapat diketahui jumlah penduduk Indonesia yang melaksanakan perkawinan
setiap tahunnya.
c.
Asas Keseimbangan Hak dan Kewajiban
Bagi Suami istri dalam perkawinan mempunyai hak
dan kewajiban yang seimbang, baik dalam kehidupan rumah tangga
maupun dalam pergaulan masyarakat, dan masing-masing suami istri dapat
melakukan perbuatan hukum. Suami sebagai kepala keluarga dan istri
sebagai ibu rumah tangga, dan apabila cukup alasan hukum bahwa tidak akan
dapat hidup rukun sebagai suami istri, maka suami dapat mengajukan
permohonan talak, sedangkan istri dapat melakukan gugatan cerai pada Pengadilan.
d. Asas Kematangan Jiwa
Bagi orang yang akan melangsungkan perkawinan
diperlukan kedewasaan dan kematangan jiwa dan raganya. Usia dewasa
berdasarkan Undang-Undang Perkawinan adalah 21 Tahun, baik bagi calon
pria maupun wanita. Sehingga 4 bagi mereka yang telah berusia 21 tahun
dianggap telah dewasa untuk kawin dan tidak diharuskan lagi adanya surat izin
untuk menikah dari kedua orang tuanya. Sedangkan bagi yang berusia kurang dari
21 tahun bila akan menikah harus ada izin dari kedua orang tuanya, dengan
ketentuan bagi pria telah berusia 19 tahun dan bagi wanita telah berusia
16 tahun. Kemudian bagi pria yang usianya kurang dari 19 tahun dan bagi
wanita yang usianya kurang dari 16 tahun, maka yang bersangkutan untuk dapat
menikah terlebih dahulu harus mendapat izin/dispensasi dari Pengadilan.
e. Poligami dibatasi secara ketat.
Perkawinan menurut undang-undang ini adalah
monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hukum
dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami
dapat beristeri lebih dari seorang, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai
syarat tertentu secara berturutturut yakni isteri tidak dapat menjalankan tugas sebagai isteri, isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan; Adanya persetujuan dari isteri, adanya kepastian bahwa suami mampu
menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anaknya, adanya jaminan
bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya; Izin
dari pengadilan.
f. Perceraian dipersulit.
Perceraian suatu yang amat tidak disenangi oleh
isteri, merupakan pintu darurat dalam mengatasi krisis. Oleh karena itu
undang-undang menentukan bahwa untuk memungkinkan perceraian harus ada
alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang pengadilan.
B. Proses
perkawinan campuran yang dilangsungkan di negara asing menurut hukum perkawinan
indonesia
1
Prosedur Pernikahan di Luar Negeri
a. Pemberitahuan Kehendak Nikah di Luar Negeri
Bagi WNI yang akan melangsungkan
pernikahannya di Luar Negeriharus menyampaikan kehendak nikahnya ke bagian
konsuler Perwakilan RI di Luar Negeri, Penghulu di Luar Negeri harus memastikan
bahwa berkas pemberitahuan kehendak nikah telah dipenuhi dengan melampirkan
syarat-syarat sebagai berikut:
i.
Surat keterangan untuk nikah
ii.
Fotokopi Akte Kelahiran
iii.
Surat Keterangan bahwa ia tidak
sedang dalam status kawin;atau
iv.
Akte Cerai bila sudah pernah kawin;
atau
v.
Akte Kematian istri bila istri
meninggal
vi.
Surat persetujuan mempelai
vii.
Surat keterangan dari kedutaan
viii.
Pas foto terbaru terbaru berwarna
ukuran 2×3 sebanyak 3 lembar.
Apabila calon pengantin WNI
nya adalah seorang wanita hendaknya memastikan kehadiran wali atau surat
wakalah wali yang diketahai oleh kepala KUA/Penghulu setempat di Indonesia dan
dilegalisasi oleh pejabat yang membidangi kepenghuluan di Departemen Agama Pusat.
Dan bila calon mempelai pria yang belum mencapai umur 19 tahun dan bagi calon
mempelai wanita yang belum mencapai 16 tahun hendaknya mengurus surat
dispensasi dari Pengadilan Agama Jakarta Pusat.Surat keterangan telah
diimunisasi Tetanus Toxoid dari puskesmas/rumah sakit setempat.
b. Pengumuman Nikah di Luar Negeri
Apabila pengumuman nikah telah dipampang selama sepuluh hari kerja
maka akad nikah sudah boleh dilaksanakan. Pelaksanaan akad nikah kurang dari
sepuluh hari kerja hanya dapat dilangsungkan oleh penghulu jika terdapat
keadaan-keadaan mendesak, dan itupun harus memperoleh dispensasi dari Knator
Perwakilan RI di Negara setempat terlebih dahulu.
c. Prosesi akad nikah dan Pendaftaran Surat Bukti di Indonesia
Prosesi akad nikah yang terlaksana di Luar Negeri sama saja dengan
prosesi akad nikah yang ada di dalam Negeri, begitu juga prosedur pencatatannya
sampai masing-masing suami istri memperoleh kutipan akta nikah.
Jika suami istri tersebut kembali ke Indonesia, surat bukti
pernikahannya harus didaftarkan di Knator Urusan Agama Kecamatan tempat tinggal
mereka, dalam waktu satu tahun setelah berada di Indonesia ( UU No.1/1974 pasal
56 ayat (2) ).
2
Prosedur Perkawinan Campuran
a. Sesuai dengan UU Yang Berlaku
Perkawinan Campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan
menurut Undang-Undang Perkawinan dan harus memenuhi syarat-syarat perkawinan.
Syarat Perkawinan diantaranya: ada persetujuan kedua calon mempelai, izin dari
kedua orangtua/wali bagi yang belum berumur 21 tahun, dan sebagaimua (lihat
pasal 6 UU Perkawinan).
b. Surat Keterangan dari Pegawai Pencatat Perkawinan
Bila semua syarat telah terpenuhi, maka dapat meminta pegawai
pencatat perkawinan untuk memberikan Surat Keterangan dari pegawai pencatat
perkawinan masing-masing pihak, “calon mempelai wanita dan calon mempelai pria
”, (pasal 60 ayat 1 UU Perkawinan). Surat Keterangan ini berisi keterangan
bahwa benar syarat telah terpenuhi dan tidak ada rintangan untuk melangsungkan
perkawinan. Bila petugas pencatat perkawinan menolak memberikan surat keterangan,
maka yang bersangkutan dapat meminta Pengadilan memberikan Surat
Keputusan, yang menyatakan bahwa penolakannya tidak beralasan (pasal 60 ayat 3
UU Perkawinan).
Surat Keterangan atau Surat Keputusan Pengganti Keterangan ini
berlaku selama enam bulan. Jika selama waktu tersebut, perkawinan belum
dilaksanakan, maka Surat Keterangan atau Surat Keputusan tidak mempunyai
kekuatan lagi (pasal 60 ayat 5 UU Perkawinan).
c. Surat-surat yang harus dipersiapkan
Ada beberapa surat lain yang juga
harus disiapkan, yakni:
1) Untuk calon suami:
Calon mempelai wanita harus meminta kepada calon suami untuk
melengkapi surat-surat dari daerah atau negara asalnya. Untuk dapat menikah di
Indonesia, ia juga harus menyerahkan “Surat Keterangan” yang menyatakan bahwa
ia dapat kawin dan akan kawin dengan WNI. SK ini dikeluarkan oleh instansi yang
berwenang di negaranya. Selain itu harus pula dilampirkan:
i.
Fotokopi Identitas Diri
(KTP/pasport) yang sah
ii.
Fotokopi Akte Kelahiran
iii.
Surat Keterangan bahwa ia tidak
sedang dalam status kawin;atau
iv.
Akte Cerai bila sudah pernah kawin;
atau
v.
Akte Kematian istri bila istri
meninggal
vi.
Surat izin menikah dengan WNI dari
kedutaan Negara WNA
vii.
Pas foto terbaru terbaru berwarna
ukuran 2×3 sebanyak 3 lembar.
viii.
Surat-surat tersebut lalu
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh penterjemah yang disumpah dan
kemudian harus dilegalisir oleh Kedutaan Negara WNA tersebut yang ada di
Indonesia.
2) Untuk calon istri:
Harus melengkapi hal-hal sebagai berikut:
i.
Fotokopi KTP
ii.
Fotokopi Akte Kelahiran
iii.
Data orang tua calon mempelai
iv.
Surat pengantar dari RT/RW yang
menyatakan bahwa anda tidak ada halangan bagi anda untuk
melangsungkan perkawinan
v.
Apabila WNA adalah hendaknya
memastikan kehadiran wali atau surat wakalah wali dari pihak yang berkuasa dari
Negara yang bersangkutan.
vi.
Pas foto berwarna ukuran 2×3
sebanyak 3 lembar.
d. Pencatatan Perkawinan
(pasal 61 ayat 1 UU Perkawinan)
Pencatatan perkawinan ini dimaksudkan untuk memperoleh kutipan
Akta Perkawinan (kutipan buku nikah) oleh pegawai yang berwenang. Bagi yang
beragama Islam, pncatatan dilakukan oleh pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu
Pegawai Pencatat Nikah Talak Cerai Rujuk. Sedang bagi yang Non Islam,
pencatatan dilakukan oleh Pegawai Kantor Catatan Sipil.
e. Legalisir Kutipan Akta Perkawinan
Kutipan Akta Perkawinan yang telah didapatkan, masih harus
dilegalisir di Departemen Hukum dan HAM dan Departemen Luar Negeri, serta
didaftarkan di Kedutaan negara asal suami.
Dengan adanya legalisasi itu, maka perkawinan yang sudah sah dan
diterima secara internasional, baik bagi hukum di negara asal suami, maupun
menurut hukum di Indonesia.
f. Konsekuensi Hukum
Ada beberapa konsekuensi yang harus diterima bila salah satu
mempelai menikah dengan seorang WNA. Salah satunya yang terpenting yaitu
terkait dengan status anak. Berdasarkan UU Kewarganegaraan terbaru, anak yang
lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang
lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, kini sama-sama telah
diakui sebagai warga negara Indonesia. Anak tersebut akan berkewarganegaraan
ganda, dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus
menentukan pilihannya.
Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat
3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin. Jadi
harus dipersiapkan untuk mengurus prosedural pemilihan kewarganegaraan
anak untuk selanjutnya.
Catatan:
Bagi perkawinan campuran yang dilangsungkan di luar Indonesia,
harus didaftarkan di kantor Catatan Sipil paling lambat 1 (satu) tahun setelah
yang bersangkutan kembali ke Indonesia. Bila tidak, maka perkawinan anda belum
diakui oleh hukum kita. Surat bukti perkawinan itu didaftarkan di Kantor
Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mempelai wanita di Indonesia (pasal 56
ayat (2) UU No. 1/74).
C. Status
kewarganegaraan anak dan hasil perkawinan campuran menurut Hukum Perdata
Internasional, UU no.62 tahun 1958, dan Uu no.12 tahun 2006 tentang
kewarganegaraan
1. Menurut
Hukum Perdata Internasional
Menurut
teori hukum perdata internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan
antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai
persoalan pendahuluan apakah
perkawinan orang tuanya sah sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan
ayahnya, atau perkawinan tersebut tidak sah, sehingga anak dianggap sebagai
anak luar nikah yang hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya.
Sejak
dahulu diakui bahwa soal keturunan termasuk status personal Negara-negara
common law berpegang pada prinsip domisili (ius
soli) sedangkan negara-negara civil law berpegang pada prinsip nasionalitas
(ius sanguinis).Umumnya
yang dipakai ialah hukum personal dari sang ayah sebagai kepala keluarga (pater familias) pada masalah-masalah
keturunan secara sah. Hal ini adalah demi kesatuan hukum dalam keluarga dan
demi kepentingan kekeluargaan, demi stabilitas dan kehormatan dari seorang
istri dan hak-hak maritalnya.Sistem
kewarganegaraan dari ayah adalah yang terbanyak dipergunakan di negara-negara
lain, seperti misalnya Jerman, Yunani, Italia, Swiss dan kelompok negara-negara
sosialis.
Dalam
sistem hukum Indonesia, Prof. Sudargo Gautama menyatakan kecondongannya pada sistem hukum dari ayah demi kesatuan
hukum dalam keluarga, bahwa semua anak–anak dalam keluarga itu sepanjang
mengenai kekuasaan tertentu orang tua terhadap anak mereka (ouderlijke macht) tunduk pada hukum yang
sama. Kecondongan ini sesuai dengan prinsip dalam UU Kewarganegaraan No.62
tahun 1958.
Kecondongan
pada sistem hukum ayah demi kesatuan hukum, memiliki tujuan yang baik yaitu
kesatuan dalam keluarga, namun dalam hal kewarganegaraan ibu berbeda dari ayah,
lalu terjadi perpecahan dalam perkawinan tersebut maka akan sulit bagi ibu
untuk mengasuh dan membesarkan anak-anaknya yang berbeda kewarganegaraan,
terutama bila anak-anak tersebut masih dibawah umur.
2. Menurut
UU no. 62 Tahun 1958
Indonesia
menganut asas kewarganegaraan tunggal, dimana kewarganegaraan anak mengikuti
ayah. Dalam Pasal 13 ayat (1) UU No.62 Tahun 1958 tentang
kewarganegaraan:
“Anak
yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin yang mempunyai hubungan hukum
kekeluargaan dengan ayahnya sebelum ayah itu memperoleh kewarganegaraan
Republik Indonesia, turut memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia setelah
ia bertempat tinggal dan berada di Indonesia. Keterangan tentang bertempat
tinggal dan berada di Indonesia itu tidak berlaku terhadap anak-anak yang
karena ayahnya memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia menjadi tanpa
kewarganegaraan.”
Dalam ketentuan UU kewarganegaraan ini, anak
yang lahir dari perkawinan campuran bisa menjadi Warga Negara Indonesia dan
bisa menjadi Warga Negara Asing:
a. Status hukum anak menjadi Warga Negara
Indonesia
Apabila
anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita WNA dengan pria WNI
(pasal 1 huruf b UU No.62 Tahun 1958), maka kewarganegaraan anak mengikuti
ayahnya. Kalaupun Ibu dapat memberikan kewarganegaraannya, si anak terpaksa
harus kehilangan kewarganegaraan Indonesianya.Bila
suami meninggal dunia dan anak-anak masih dibawah umur tidak jelas apakah istri
dapat menjadi wali bagi anak-anak nya yang menjadi WNI di Indonesia. Bila suami
(yang berstatus pegawai negeri) meningggal tidak jelas apakah istri (WNA) dapat
memperoleh pensiun suami.
b.
Status hukum anak menjadi Warga Negara Asing
Apabila
anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita warganegara Indonesia
dengan warganegara asing.
Anak tersebut sejak lahirnya dianggap sebagai warga negara asing sehingga harus
dibuatkan Paspor di Kedutaan Besar Ayahnya, dan dibuatkan kartu Izin Tinggal
Sementara (KITAS) yang harus terus diperpanjang dan biaya pengurusannya tidak
murah. Dalam hal terjadi perceraian, akan sulit bagi ibu untuk mengasuh
anaknya, walaupun pada pasal 3 UU No.62 Tahun 1958 dimungkinkan bagi seorang
ibu WNI yang bercerai untuk memohon kewarganegaraan Indonesia bagi anaknya yang
masih di bawah umur dan berada dibawah pengasuhannya, namun dalam praktek hal
ini sulit dilakukan.
Masih
terkait dengan kewarganegaraan anak, dalam UU No.62 Tahun 1958, hilangnya
kewarganegaraan ayah juga mengakibatkan hilangnya kewarganegaraan anak-anaknya
yang memiliki hubungan hukum dengannya dan belum dewasa (belum berusia 18 tahun
atau belum menikah). Hilangnya kewarganegaraan ibu, juga mengakibatkan
kewarganegaraan anak yang belum dewasa (belum berusia 18 tahun atau belum
menikah) menjadi hilang (apabila anak tersebut tidak memiliki hubungan hukum
dengan ayahnya)
3. Menurut
UU no. 12 Tahun 2006
Pemberlakuan
UU No.12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan RI, memunculkan sederet aturan dan
petunjuk pelaksanaan itu rupanya belum membuat urusan kawin campuran selesai
seratus persen. Banyak pasangan yang telah maupun mau melakukan perkawinan
campuran masih mengeluhkan kesulitan yang dihadapi di lapangan. Jumlah anak
yang didaftarkan untuk memperoleh warga negara ganda terbatas. Bisa jadi,
keengganan pasangan antar negara mendaftar karena sosialisasi kurang, pilihan
untuk tidak menjadi WNI, plus prosedur pengurusan yang dirasa panjang, serta
menguras tenaga dan uang.
Pengesahan
Undang-undang Kewarganegaraa No. 12 Tahun 2006 merupakan momentum bersejarah
bagi seluruh masyarakat Indonesia. Kelahiran undang-undang ini memiliki nilai
historis karena produk hukum yang digantikan, yakni Undang-undang No. 62 Tahun
1958 merupakan peninggalan rezim orde lama yang dilestarikan orde baru.
Konfigurasi politik era orde lama dan orde baru relatif otoritarian, cenderung
melahirkan produk hukum konservatif. Sedangkan di era reformasi, karakter
politik cenderung demokratis melahirkan aturan-aturan legal yang responsif.
Perubahan konfigurasi politik inilah yang mengantarkan undang-undang
kewarganegaraan dari yang berwatak konservatif menjadi responsif.
Undang-Undang
kewarganegaraan UU No. 12 Tahun 2006 ini memuat asas-asas kewarganegaraan umum
atau universal. Adapun asas-asas yang dianut dalam Undang-Undang ini sebagai
berikut:
a.
Asas
ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan
seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
b.
Asas
ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan
kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan
terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang
ini.
c.
Asas
kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi
setiap orang.
d.
Asas
kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan
ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang
ini.
Berdasarkan
UU No. 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan, anak yang lahir dari perkawinan
seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan
seorang wanita WNA dengan pria WNI, sama-sama diakui sebagai warga negara
Indonesia.
Anak
tersebut akan berkewarganegaraan ganda , dan setelah anak berusia 18 tahun atau
sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya.
Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga)
tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin.
Pemberian
kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan baru yang positif bagi anak-anak
hasil dari perkawinan campuran. Namun perlu ditelaah, apakah pemberian
kewaranegaraan ini akan menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari atau
tidak. Memiliki kewarganegaraan ganda berarti tunduk pada dua yurisdiksi.
Indonesia
memiliki sistem hukum perdata internasional peninggalan Hindia Belanda. Dalam hal
status personal indonesia menganut asas konkordasi, yang antaranya tercantum
dalam Pasal 16 A.B. (mengikuti pasal 6 AB Belanda, yang disalin lagi dari pasal
3 Code Civil Perancis). Berdasarkan pasal 16 AB tersebut dianut prinsip
nasionalitas untuk status personal. Hal ini berati warga negara indonesia yang
berada di luar negeri, sepanjang mengenai hal-hal yang terkait dengan status
personalnya, tetap berada di bawah lingkungan kekuasaan hukum nasional
indonesia, sebaliknya, menurut jurisprudensi, maka orang-orang asing yang
berada dalam wilayah Republik Indonesia dipergunakan juga hukum nasional mereka
sepanjang hal tersebut masuk dalam bidang status personal mereka.Dalam
jurisprudensi indonesia yang termasuk status personal antara lain perceraian,
pembatalan perkawinan, perwalian anak-anak, wewenang hukum, dan kewenangan
melakukan perbuatan hukum, soal nama, soal status anak-anak yang dibawah umur.
Bila
dikaji dari segi hukum perdata internasional, kewarganegaraan ganda juga
memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang
didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada
ketentuan negara nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum negara yang satu
dengan yang lain tidak bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana
bila ada pertentangan antara hukum negara yang satu dengan yang lain, lalu
pengaturan status personal anak itu akan mengikuti kaidah negara yang mana.
Lalu bagaimana bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umumpada
ketentuan negara yang lain.
Sebagai
contoh adalah dalam hal perkawinan, menurut hukum Indonesia, terdapat syarat
materil dan formil yang perlu dipenuhi. Ketika seorang anak yang belum berusia
18 tahun hendak menikahmaka
harus memuhi kedua syarat tersebut. Syarat materilharus
mengikuti hukum Indonesia sedangkan syarat formilmengikuti
hukum tempat perkawinan dilangsungkan. Misalkan anak tersebut hendak menikahi
pamannya sendiri (hubungan darah garis lurus ke atas), berdasarkan syarat
materiil hukum Indonesia hal tersebut dilarang (pasal 8 UU No.1 tahun 1974),
namun berdasarkan hukum dari negara pemberi kewarganegaraan yang lain, hal
tersebut diizinkan, lalu ketentuan mana yang harus diikutinya.
D. Status
kewarganegaraan WNI setelah menikah dengan WNA menurut uu no.62 tahun 1958, dan
uu no.12 tahun 2006
1. Menurut
UU no. 62 Tahun 1958
Pasal 7
(1) Seorang
perempuan asing yang kawin dengan seorang warga-negara Republik Indonesia,
memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia, apabila dan pada waktu ia dalam
1 tahun setelah perkawinannya berlangsung menyatakan keterangan untuk itu,
kecuali jika ia apabila memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia masih
mempunyai kewarga-negaraan lain, dalam hal mana keterangan itu tidak boleh
dinyatakan.
(2) Dengan
kekecualian tersebut dalam ayat 1 perempuan asing yang kawin dengan seorang
warga-negara Republik Indonesia juga memperoleh kewarga-negaraan Republik
Indonesia satu tahun sesudah perkawinannya berlangsung, apabila dalam satu
tahun itu suaminya tidak menyatakan keterangan untuk melepaskan
kewarga-negaraan Republik Indonesia. Keterangan itu hanya boleh dinyatakan dan
hanya mengakibatkan hilangnya kewarga-negaraan Republik Indonesia, apabila
degan kehilangan itu suami tersebut tidak menjadi tanpa kewarganegaraan.
(3) Apabila
salah satu dari keterangan tersebut dalam ayat 1 dan 2 sudah dinyatakan, maka
keterangan yang lainnya tidak boleh dinyatakan.
(4) Keterangan-keterangan
tersebut di atas harus dinyatakan kepada Pengadilan Negeri atau Perwakilan
Republik Indonesia dari tempat tinggal orang yang menyatakan keterangan itu.
Pasal 8
(1)
Seorang perempuan warga-negara Republik
Indonesia yang kawin dengan seorang asing kehilangan kewarga-negaraan Republik
Indonesianya, apabila dan pada waktu ia dalam 1 tahun setelah perkawinannya
berlangsung menyatakan keterangan untuk itu, kecuali apabila ia dengan
kehilangan kewarga-negaraan Republik Indonesia itu menjadi tanpa
kewarga-negaraan.
(2)
Keterangan tersebut dalam ayat 1 harus
dinyatakan kepada Pengadilan Negeri atau Perwakilan Republik Indonesia dari
tempat tinggal orang yang menyatakan keterangan itu.
2. Menurut
UU no.12 Tahun 2006
Pasal 19
(1)
Warga
negara asing yang kawin secara sah dengan Warga Negara Indonesia dapat
memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan menyampaikan pernyataan
menjadi warga negara di hadapan Pejabat
(2)
Pernyataan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila yang bersangkutan sudah
bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima)
tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut,
kecuali dengan perolehan kewarganegaraan tersebut mengakibatkan
berkewarganegaraan ganda.
(3)
Dalam
hal yang bersangkutan tidak memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia yang
diakibatkan oleh kewarganegaraan ganda sebagaimana dimaksud pada ayat (2), yang
bersangkutan dapat diberi izin tinggal tetap sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(4)
Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara menyampaikan pernyataan untuk menjadi Warga
Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 20
Orang
asing yang telah berjasa kepada negara Republik Indonesia atau dengan alasan
kepentingan negara dapat diberi Kewarganegaraan Republik Indonesia oleh
Presiden setelah memperoleh pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia, kecuali dengan pemberian kewarganegaraan tersebut mengakibatkan yang
bersangkutan berkewarganegaraan ganda.
E. Syarat
menjadi wni berdasarkan uu no.62 tahun 1958, dan uu no. 12 taun 2006
1. Menurut
UU no.62 Tahun 1958
Pasal 4
(1) Orang asing yang lahir dan bertempat tinggal di dalam wilayah
Republik Indonesia yang ayah-atau ibunya, apabila ia tidak mempunyai hubungan
hukum kekeluargaan dengan ayahnya, juga lahir di dalam wilayah Republik
Indonesia dan penduduk Republik Indonesia, boleh mengajukan permohonan kepada
Menteri Kehakiman untuk memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia, apabila
ia setelah memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia tidak mempunyai
kewarga-negaraan lain, atau pada saat mengajukan permohonan ia menyampaikan
juga surat pernyataan menanggalkan kewarga-negaraan lain yang mungkin
dimilikinya sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di negara
asalnya atau sesuai dengan ketentuan-ketentuan di dalam perjanjian penyelesaian
dwi-kewarga-negaraan antara Republik Indonesia dan negara yang bersangkutan.
(2) Permohonan tersebut di atas harus diajukan dalam 1 tahun sesudah
orang yang bersangkutan berumur 18 tahun kepada Menteri Kehakiman melalui
Pengadilan Negeri dari tempat tinggalnya.
(3) Menteri Kehakiman mengabulkan atau menolak permohonan itu dengan
persetujuan Dewan Menteri.
(4) Kewarga-negaraan Republik Indonesia yang diperoleh atas
permohonan itu mulai berlaku pada hari tanggal keputusan Menteri Kehakiman.
Pasal 5
(1) Kewarga-negaraan Republik Indonesia karena pewarga-negaraan
diperoleh dengan berlakunya keputusan Menteri Kehakiman yang memberikan
pewarganegaraan itu.
(2) Untuk mengajukan permohonan pewarga-negaraan pemohon harus:
a. Sudah
berumur 21 tahun;
b. Lahir dalam
wilayah Republik Indonesia, atau pada waktu mengajukan permohonan bertempat
tinggal dalam daerah itu selama sedikit-dikitnya 5 tahun berturut-turut yang
paling akhir atau sama sekali selama 10 tahun tidak berturut-turut;
c. Apabila ia
seorang laki-laki yang kawin-mendapat persetujuan isteri (isteri-isteri)nya;
d. Cukup dapat
berbahasa Indonesia dan mempunyai sekedar pengetahuan tentang sejarah Indonesia
serta tidak pernah dihukum karena melakukan kejahatan yang merugikan
Republik Indonesia;
e. Dalam keadaan sehat
rokhani dan jasmani;
f. Membayar
pada Kas Negeri uang sejumlah antara Rp. 500,- sampai Rp. 10.000,- yang
ditentukan besarnya oleh Jawatan Pajak tempat tinggalnya berdasarkan
penghasilannya, tiap bulan yang nyata dengan ketentuan tidak boleh melebihi
penghasilan nyata sebulan;
g. Mempunyai
mata pencaharian yang tetap,
h.
Tidak mempunyai kewarga-negaraan, atau
kehilangan kewarga-negaraannya apabila ia memperoleh kewarga-negaraan Republik
Indonesia atau menyertakan pernyataan menanggalkan kewarga-negaraan lain
menurut ketentuan hukum dari negara asalnya atau menurut ketentuan hukum
perjanjian penyelesaian dwi-kewarganegaraan antara Republik Indonesia dan
negara yang bersangkutan.
Seorang perempuan selama dalam perkawinan tidak boleh mengajukan permohonan
pewarga-negaraan.
(3) Permohonan untuk pewarga-negaraan harus disampaikan dengan
tertulis dan dibubuhi meterai kepada Menteri Kehakiman melalui Pengadilan
Negeri atau Perwakilan Republik Indonesia dari tempat tinggal pemohon; Permohonan
harus ditulis dalam bahasa Indonesia dan bersama dengan permohonan itu harus
disampaikan bukti-bukti tentang hal-hal tersebut dalam ayat 2 kecuali yang
tersebut dalam huruf d. Pengadilan Negeri atau perwakilan
Republik Indonesia memeriksa bukti-bukti itu akan kebenarannya dan menguji
pemohon akan kecakapannya berbahasa Indonesia dan akan pengetahuannya tentang
sejarah Indonesia.
(4) Menteri Kehakiman mengabulkan atau menolak permohonan
pewarga-negaraan dengan persetujuan Dewan Menteri.
(5) Keputusan Menteri Kehakiman yang memberikan pewarganegaraan
mulai berlaku pada hari pemohon dihadapan Pengadilan Negeri atau perwakilan
Republik Indonesia dari tempat tinggalnya mengucapkan sumpah atau janji setia
dan berlaku surut hingga dari tanggal keputusan Menteri Kehakiman tersebut.
Sumpah atau
janji setia itu adalah seperti berikut: "Saya bersumpah (berjanji): bahwa
saya melepaskan seluruhnya, segala kesetiaan kepada kekuasaan asing: bahwa saya
mengaku dan menerima kekuasaan yang tertinggi dari Republik Indonesia dan akan
menepati kesetiaan kepadanya: bahwa saya akan menjunjung tinggi Undang-undang
Dasar dan hukum-hukum Republik Indonesia dan akan membelanja dengan
sungguh-sungguh: bahwa saya memikul kewajiban ini dengan rela hati dan tidak
akan mengurangi sedikitpun".
(6) Setelah pemohon mengucapkan sumpah atau janji setia termaksud di
atas. Menteri Kehakiman mengumumkan pewarganegaraan itu dengan menempatkan
keputusannya dalam Berita-Negara.
(7) Apabila sumpah atau janji setia tidak diucapkan dalam waktu tiga
bulan setelah hari tanggal keputusan Menteri Kehakiman, maka keputusan itu
dengan sendirinya menjadi batal.
(8) Jumlah uang tersebut dalam ayat 2 dibayarkan kembali, apabila
permohonan pewarga-negaraan tidak dikabulkan.
(9) Jika permohonan pewarga-negaraan ditolak, maka pemohon dapat
mengajukan permohonan kembali.
Pasal 6
Pewarga-negaraan
juga dapat diberikan dengan alasan kepentingan negara atau telah berjasa
terhadap negara oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam hal ini dari ketentuan-ketentuan dalam pasal 5 hanya berlaku
ketentuan-ketentuan ayat 1, ayat 5, ayat 6 dan ayat 7.
2. Menurut
UU no. 12 Tahun 2006
BAB III
SYARAT
DAN TATA CARA MEMPEROLEH
KEWARGANEGARAAN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 8
Kewarganegaraan
Republik Indonesia dapat juga diperoleh melalui pewarganegaraan.
Pasal 9
Permohonan
pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon jika memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
b.
Telah berusia
18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin;
c.
Pada waktu
mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah negara Republik
Indonesia paling singkat 5 (lima ) tahun berturut-turut atau paling singkat 10
(sepuluh) tahun tidak berturut-turut;
d.
Sehat jasmani
dan rohani;
e.
Dapat berbahasa
Indonesia serta mengakui dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
f.
Tidak pernah
dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara 1 (satu) tahun atau lebih;
g.
Jika
dengan memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia, tidak menjadi
berkewarganegaraan ganda;
h.
Mempunyai
pekerjaan dan/atau berpenghasilan tetap; dan
i.
Membayar
uang pewarganegaraan ke Kas Negara.
Pasal 10
(1)
Permohonan
pewarganegaraan diajukan di Indonesia oleh pemohon secara tertulis dalam bahasa
Indonesia di atas kertas bermeterai cukup kepada Presiden melalui Menteri.
(2)
Berkas
permohonan pewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
kepada Pejabat.
Pasal 11
Menteri
meneruskan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 disertai dengan
pertimbangan kepada Presiden dalam waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung
sejak tanggal permohonan diterima.
Pasal 12
(1)
Permohonan
pewarganegaraan dikenai biaya.
(2) Biaya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 13
(1)
Presiden
mengabulkan atau menolak permohonan pewarganegaraan.
(2)
Pengabulan
permohonan pewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Keputusan Presiden.
(3)
Keputusan
Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan paling lambat 3 (tiga)
bulan terhitung sejak permohonan diterima oleh Menteri dan diberitahukan kepada
pemohon paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak Keputusan Presiden
ditetapkan.
(4)
Penolakan
permohonan pewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai
alasan dan diberitahukan oleh Menteri kepada yang bersangkutan paling lambat 3
(tiga) bulan terhitung sejak tanggal permohonan diterima oleh Menteri.
Pasal 14
(1)
Keputusan
Presiden mengenai pengabulan terhadap permohonan pewarganegaraan berlaku
efektif terhitung sejak tanggal pemohon mengucapkan sumpah atau menyatakan
janji setia.
(2)
Paling
lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak Keputusan Presiden dikirim kepada pemohon,
Pejabat memanggil pemohon untuk mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
(3)
Dalam
hal setelah dipanggil secara tertulis oleh Pejabat untuk mengucapkan sumpah
atau menyatakan janji setia pada waktu yang telah ditentukan ternyata pemohon
tidak hadir tanpa alasan yang sah, Keputusan Presiden tersebut batal demi
hukum.
(4)
Dalam
hal pemohon tidak dapat mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia pada
waktu yang telah ditentukan sebagai akibat kelalaian Pejabat, pemohon dapat
mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia di hadapan Pejabat lain yang
ditunjuk Menteri.
Pasal 15
(1)
Pengucapan
sumpah atau pernyataan janji setia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1)
dilakukan di hadapan Pejabat.
(2)
Pejabat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat berita acara pelaksanaan pengucapan
sumpah atau pernyataan janji setia.
(3)
Paling
lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal pengucapan sumpah atau
pernyataan janji setia, Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan
berita acara pengucapan sumpah atau pernyataan janji setia kepada Menteri.
Pasal 16
Sumpah
atau pernyataan janji setia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1)
adalah:
Yang
mengucapkan sumpah, lafal sumpahnya sebagai berikut:
Demi
Allah/demi Tuhan Yang Maha Esa, saya bersumpah melepaskan seluruh kesetiaan
saya kepada kekuasaan asing, mengakui, tunduk, dan setia kepada Negara Kesatuan
Republik Indonesia, Pancasila, dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan akan membelanya dengan sungguh-sungguh serta akan menjalankan
kewajiban yang dibebankan negara kepada saya sebagai Warga Negara Indonesia
dengan tulus dan ikhlas. Yang menyatakan janji setia, lafal janji setianya
sebagai berikut:
Saya
berjanji melepaskan seluruh kesetiaan saya kepada kekuasaan asing, mengakui,
tunduk, dan setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila, dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan akan membelanya
dengan sungguh-sungguh serta akan menjalankan kewajiban yang dibebankan negara
kepada saya sebagai Warga Negara Indonesia dengan tulus dan ikhlas.
Pasal 17
Setelah
mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia, pemohon wajib menyerahkan
dokumen atau surat-surat keimigrasian atas namanya kepada kantor imigrasi dalam
waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal
pengucapan sumpah atau pernyataan janji setia.
Pasal 18
(1)
Salinan
Keputusan Presiden tentang pewarganegaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (1) dan berita acara pengucapan sumpah atau pernyataan janji setia dari Pejabat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat
(2)
menjadi
bukti sah Kewarganegaraan Republik Indonesia seseorang yang memperoleh
kewarganegaraan. (2) Menteri mengumumkan nama orang yang telah memperoleh
kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam Berita Negara Republik
Indonesia.
Pasal 19
(1)
Warga
negara asing yang kawin secara sah dengan Warga Negara Indonesia dapat
memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan menyampaikan pernyataan menjadi
warga negara di hadapan Pejabat.
(2)
Pernyataan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila yang bersangkutan sudah
bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima)
tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak
berturut-turut, kecuali dengan perolehan kewarganegaraan tersebut mengakibatkan
berkewarganegaraan ganda.
(3)
Dalam
hal yang bersangkutan tidak memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia yang
diakibatkan oleh kewarganegaraan ganda sebagaimana dimaksud pada ayat (2), yang
bersangkutan dapat diberi izin tinggal tetap sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(4)
Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara menyampaikan pernyataan untuk menjadi Warga
Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 20
Orang
asing yang telah berjasa kepada negara Republik Indonesia atau dengan alasan
kepentingan negara dapat diberi Kewarganegaraan Republik Indonesia oleh
Presiden setelah memperoleh pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,
kecuali dengan pemberian kewarganegaraan tersebut mengakibatkan yang
bersangkutan berkewarganegaraan ganda.
F. Hapusnya
kewarganegaraan menurut uu no.62 tahun 1958, dan uu no.12 tahun 2006
1. Menurut
UU no.62 tahun 1958
Pasal 15
(1) Kehilangan kewarga-negaraan Republik Indonesia oleh seorang ayah
berlaku juga terhadap anak-anaknya yang mempunyai hubungan hukum kekeluargaan
dengan ayah itu, yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin, kecuali jika
dengan kehilangan kewarga-negaraan Republik Indonesia anak-anak itu menjadi
tanpa kewarga-negaraan.
(2) Kehilangan kewarga-negaraan Republik Indonesia oleh seorang ibu
berlaku juga terhadap anak-anaknya yang tidak mempunyai hubungan hukum
kekeluargaan dengan ayahnya, kecuali jika dengan kehilangan kewarga-negaraan
Republik Indonesia anak-anak itu menjadi tanpa kewarga-negaraan.
(3) Apabila ibu itu kehilangan kewarga-negaraan Republik Indonesia
karena pewarga-negaraan di luar negeri dan ibu itu telah menjadi janda karena
suaminya meninggal, maka ketentuan- ketentuan dalam ayat 2 berlaku juga
terhadap anak-anaknya yang mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan suami
itu, setelah anak-anak itu bertempat tinggal dan berada di luar negeri.
Pasal 16
(1) Seorang anak yang kehilangan kewarga-negaraan Republik
Indonesianya karena ayah atau ibunya kehilangan kewarga-negaraan itu,
memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia kembali setelah anak tersebut
sampai berumur 18 tahun, jika dan pada waktu itu menyatakan keterangan untuk
itu. Keterangan
termaksud harus dinyatakan dalam waktu 1 tahun setelah anak itu berumur 18
tahun kepada Pengadilan Negeri atau Perwakilan Republik Indonesia dari tempat
tinggalnya.
(2) Ketentuan ayat 1 tidak berlaku dalam hal anak itu - apabila
setelah memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia - masih mempunyai
kewarga-negaraan lain.
Pasal 17
Kewarga-negaraan Republik
Indonesia hilang karena:
a. Memperoleh
kewarga-negaraan lain karena kemauannya sendiri, dengan pengertian bahwa
jikalau orang yang bersangkutan pada waktu memperoleh kewarga-negaraan lain itu
berada dalam wilayah Republik Indonesia kewarga-negaraan Republik Indonesianya
baru dianggap hilang apabila Menteri Kehakiman dengan persetujuan Dewan Menteri
atas kehendak sendiri atau atas permohonan orang yang bersangkutan
menyatakannya hilang;
b. Tidak menolak
atau melepaskan kewarga-negaraan lain, sedang- kan orang yang bersangkutan mendapat
kesempatan untuk itu;
c. Diakui oleh
orang asing sebagai anaknya, jika orang yang bersangkutan belum berumur 18
tahun dan belum kawin dan dengan kehilangan kewarga-negaraan Republik Indonesia
tidak menjadi
tanpa kewarga-negaraan;
d. Anak yang
diangkat dengan sah oleh orang asing sebagai anaknya, jika anak yang
bersangkutan belum berumur 5 tahun dan dengan kehilangan kewarga-negaraan
Republik Indonesia tidak menjadi tanpa kewarga-negaraan;
e. Dinyatakan
hilang oleh Menteri Kehakiman dengan persetujuan Dewan Menteri atas
permohonan orang yang bersangkutan, jika ia telah berumur 21 tahun, bertempat
tinggal di luar negeri dan dengan dinyatakan hilang kewarga-negaraan Republik
lndonesianya tidak menjadi tanpa kewarga-negaraan;
f. Masuk dalam
dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Menteri Kehakiman;
g. Tanpa izin
terlebih dahulu dari Menteri Kehakiman masuk dalam dinas negara asing atau
dinas suatu organisasi antar negara yang tidak dimasuki oleh Republik Indonesia
sebagai anggota, Jika jabatan dinas negara yang dipangkunya menurut peraturan
Republik Indonesia hanya dapat dipangku oleh warga-negara atau jabatan dalam
dinas organisasi antar negara tersebut memerlukan sumpah atau janji jabatan;
h. Mengangkat
sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau
bagian dari padanya;
i. Dengan tidak
diwajibkan, turut-serta dalam pemilihan sesuatu yang bersifat ketata-negaraan untuk
suatu negara asing;
j. Mempunyai
paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atas namanya
yang masih berlaku;
k. lain dari untuk dinas negara, selama 5 tahun berturut-turut
bertempat tinggal di luar negeri dengan tidak menyatakan keinginannya untuk
tetap menjadi warga-negara sebelum waktu itu lampau dan seterusnya tiap-tiap
dua tahun; keinginan itu harus dinyatakan kepada Perwakilan Republik Indonesia
dari tempat tinggalnya.
Bagi warga-negara Republik Indonesia yang berumur di bawah 18 tahun terkecuali
apabila ia sudah pernah kawin, masa lima dan dua tahun tersebut di atas mulai
berlaku pada hari tanggal ia mencapai umur 18 tahun.
Pasal 18
Seorang yang
kehilangan kewarga-negaraan Republik Indonesia termaksud dalam pasal 17 huruf k
memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia kembali jika ia bertempat
tinggal di Indonesia berdasarkan Kartu Izin Masuk dan menyatakan keterangan
untuk itu.
Keterangan itu harus dinyatakan kepada Pengadilan Negeri dari tempat tinggalnya
dalam 1 tahun setelah orang itu bertempat tinggal di Indonesia.
Pasal 19
Kewarga-negaraan
Republik Indonesia yang diberikan atau diperoleh atas keterangan-keterangan
yang tidak benar dapat dicabut kembali oleh instansi yang memberikannya atau
oleh instansi yang menerima keterangan-keterangan itu.
Pasal 20
Barangsiapa bukan warga-negara
Republik Indonesia adalah orang asing.
2. Menurut
UU no.12 Tahun 2006
BAB IV
KEHILANGAN
KEWARGANEGARAAN
REPUBLIK
INDONESIA
Pasal 23
Warga Negara Indonesia kehilangan
kewarganegaraannya jika
yang bersangkutan:
a. memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya
sendiri;
b. tidak menolak atau tidak melepaskan
kewarganegaraan lain, sedangkan orang yang bersangkutan mendapat kesempatan
untuk itu;
c. dinyatakan hilang kewarganegaraannya oleh
Presiden atas permohonannya sendiri, yang bersangkutan sudah berusia 18 (delapan
belas) tahun atau sudah kawin, bertempat tinggal di luar negeri, dan dengan
dinyatakan hilang Kewarganegaraan Republik Indonesia tidak menjadi tanpa kewarganegaraan;
d. masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin
terlebih dahulu dari Presiden;
e. secara sukarela masuk dalam dinas negara asing,
yang jabatan dalam dinas semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan hanya dapat dijabat oleh Warga Negara Indonesia;
f. secara sukarela mengangkat sumpah atau
menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing
tersebut;
g. tidak diwajibkan tetapi turut serta dalam
pemilihan sesuatu yang bersifat ketatanegaraan untuk suatu negara asing;
h. mempunyai paspor atau surat yang bersifat
paspor dari negara asing atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan
yang masih berlaku dari negara lain atas namanya; atau
i.
bertempat
tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia selama 5 (lima) tahun
terus-menerus bukan dalam rangka dinas negara, tanpa alasan yang sah dan dengan
sengaja tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi Warga Negara
Indonesia sebelum jangka waktu 5 (lima) tahun itu berakhir, dan setiap 5 (lima)
tahun berikutnya yang bersangkutan tidak mengajukan pernyataan ingin tetap
menjadi Warga Negara Indonesia kepada Perwakilan Republik Indonesia yang
wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal yang bersangkutan padahal Perwakilan
Republik Indonesia tersebut telah memberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan,
sepanjang yang bersangkutan tidak menjadi tanpa kewarganegaraan.
Pasal 24
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
huruf d tidak berlaku bagi mereka yang mengikuti program pendidikan di negara
lain yang mengharuskan mengikuti wajib militer.
Pasal 25
(1) Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia
bagi seorang ayah tidak dengan sendirinya berlaku terhadap anaknya yang
mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya sampai dengan anak tersebut berusia 18 (delapan
belas) tahun atau sudah kawin.
(2) Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia
bagi seorang ibu tidak dengan sendirinya berlaku terhadap anaknya yang tidak
mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya sampai dengan anak tersebut berusia 18
(delapan belas) tahun atau sudah kawin.
(3) Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia
karena memperoleh kewarganegaraan lain bagi seorang ibu yang putus perkawinannya,
tidak dengan sendirinya berlaku terhadap anaknya sampai dengan anak tersebut
berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin.
(4) Dalam hal status Kewarganegaraan Republik
Indonesia terhadap anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) berakibat anak berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 (delapan belas)
tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu
kewarganegaraannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
Pandangan
yang dianut oleh Hukum Perkawinan Indonesia (lihat Pasal 57 Undang-Undang No 1
tahun 1974).
Asas ini juga
dianut di dalam Pasal 56 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 yang
menyatakan: “Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang
WNI atau seorang WNI dengan seorang WNA adalah sah bilamana dilakukan menurut
hukum yang berlaku di Negara dimana perkawinan itu dilangsungkan, dan bagi
warga Negara Indonesia tidak melanggar ketentuanketentuan undang-undang ini.
Undang-
Undang Nomor 1 tahun 1974
Lihat Pasal 15 ayat (2) dan 16 ayat (1) Undang-Undang No.62 Tahun 1958
tentang kewarganegaraan.
Mixed Couple Indonesia, Masalah yang saat ini dihadapi keluarga perkawinan campuran, http://www.mixedcouple.com/articles/mod.php?mod=%20publisher&op=view%20article&artid=46, diakses 1 Juni 2013
Anak yang lahir dari perkawinan seperti ini tidak termasuk dalam
definisi warga negara yang tercantum dalam Pasal 1 UU No.62 Tahun 1958,
sehingga dapat digolongkan sebagai warga negara asing. Indonesia menganut asas ius sanguinis, kewarganegaraan anak mengikuti
orang tua, yaitu bapak.
Mixed Couple Indonesia, Masalah yang saat ini dihadapi keluarga perkawinan campuran,
http://www.mixedcouple.com/articles/mod.php?mod=%20publisher&op=view%20article&artid=46,
diakses 1 Juni 2013
Lihat Pasal 4 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2006 tentang kewarganegaraan.
Lihat Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2006 tentang kewarganegaraan.
Lihat Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2006 tentang kewarganegaraan.
Sudargo Gautama, Op.cit., hlm. 13
Sudargo Gautama, Op.cit., hlm. 66
Ketertiban umum dapat diartikan sebagai sendi-sendi
azasi hukum nasional sang hakim. Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, (Bandung:
Binacipta, 1977, hlm.133)
Karena belum berusi 18 tahun ia belum memilih
kewarganegaraannya, sedangkan pemilihan kewarganegaraan berdasar Pasal 6
Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan yang baru dilakukan
sesudah perkawinan, bukan sebelum.
Syarat materiil adalah syarat yang menyangkut
pribadi calon mempelai dan larangan-larangan menikah.
Syarat formil adalah syarat yang menyangkut
formalitas yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan. Syarat formil
biasanya terkait dengan urusan administrasi perkawinan.
BAB II SISTEM PERNIKAHAN DI KAMPUNG TALAWI KENAGARIAN BARUNG-BARUNG BALANTAI TENGAH KECAMATAN KOTO XI TARUSAN KABUPATEN PESISIR SELATAN