Minggu, 02 Juni 2013


Nama               : HANDAYANI
BP                   : 310.006
Fak/Jur            : SYARI’AH/PMH
Mata Kuliah    : BANTUAN HUKUM
Dosen              : NENI VESNA MADJID, SH. MH

SATUAN ANALISIS DESKRIPTIF MENGENAI PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERKAITAN DENGAN BANTUAN HUKUM INDONESIA

Pengertian Advokat dalam Undang-undang No. 18 tahun 2003 tentang Advokat

Dalam praktek hukum di Indonesia, Advokat juga dikenal sebagai Pengacara, Konsultan hukum. Istilah tersebut mempunyai perbedaan pengertian yang cukup bermakna, walaupun dalam bahasa Inggris semua istilah secara umum disebut sebagai lawyer atau ahli hukum. Perbedaan pengertian disini adalah antara peran yang diberikan oleh lawyer yang memakai istilah Advokat, pengacara dan penasehat hukum yang dalam bahasa Inggris disebut trial lawyer atau secara spesifik di Amerika dikenal dengan istilah attorney at lawserta di Inggris dikenal istilah barrister, dan peran yang diberikan oleh lawyeryang menggunakan istilah konsultan hukum yang di Amerika dikenal dengan istilah counselor at law atau di Inggris dikenal dengan istilah solicitor.
Kata Advokat itu sendiri berasal dari bahasa latin advocare, yang berarti to defend, to call to one’s aid, to vouch or to warrant. Sedangkan dalam bahasa Inggris Advocate, berarti to speak in favor of or defend by argument, to support, indicate or recommend publicly.,dalam Kamus Hukum Advocaat/ Advocaat En Procureur bahasa aslinya Belanda yang artinya Penasehat Hukum dan Pembela Perkara atau Pengacara.
 Sedangkan menurut Pasal (1) huruf (1) Undang-undang No. 18 tahun 2003, Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.
Dalam praktinya proses pengangkatan seseorang untuk dapat menjadi Advokat tidak lah mudah, ada beberapa tahap seorang untuk dapat diangkat dan berprofesi sebagai Advokat antara lain disebutkan dalam Pasal 2, 3, dan Pasal 4. Inti dari pasal-pasal tersebut bahwa sesorang untuk dapat menjadi seorang pengacara memeiliki latar belakang sarjana hukum, kemudian mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat, dan bila telah memenuhi syarat setelah dilantik sebagai Advokat maka Advokat yang bersangkutan wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya.
Disini setelah Advokat tersebut dilantik maka secara tidak langsung Advokat tersebut berstatus sebagai penegak hukumbebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan. Dan memilki Wilayah kerja meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU Advokat.
Selanjutnya Advokat dalam menjalankan profesinya tersebut memiliki hak dan kewajiban yang diatur pada Pasal 14 sampai dengan pasal 20, hak-hak tersebut memberikan kekebalan hukum (hak immunitas) bagi pengacara dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi, namun itu tidak serta merta ketentuan pidana setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta) rupiah.
Untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat maka perlu dibentuk Organisasi Advokat merupakan wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat.
A.    Sebelum Tahun 1945
Sejarah keAdvokatan di Indonesia tumbuh dan berkembang tidak sebagaimana yang terjadi di Eropa. Sebagaimana di tanah jajahan lainnya, keAdvokatan Indonesia memperoleh bentuk pada masa kolonial Belanda. Maka konsekuensi logis apabila model Advokat Indonesia dengan sendirinya adalah seperti Advokat Belanda.
Besarnya pengaruh kolonial terhadap perkembangan profesi Advokat terkait erat dengan perbedaan tradisi hukum anglo-saxon (common law) dan tradisi hukum eropa kontinental (civil law). Misalnya bagi Inggris dan Amerika dengan tradisi hukum common law memandang besarnya jumlah Advokat di tanah jajahan sebagai suatu kebaikan, sedangkan bagi Perancis, Belanda, dan Belgia yang bertradisi hukum Eropa Kontinental (civil law) justru sebaliknya, (Daniel S. Lev, 1990)
Di Hindia Belanda (Indonesia) sampai pertengahan tahun 1920-an, semua Advokat dan notaris adalah orang Belanda. Hal ini pula yang mempengaruhi mengapa perkembangan Advokat pasca kemerdekaan Indonesia masih berjalan lambat. Mengenai hal ini, Daniel S. Lev berpendapat bahwa besar kecilnya jumlah Advokat pribumi tergantung kepada kombinasi ideologi pemerintahan dan kebijaksanaan ekonomi kolonialnya, (Daniel S. Lev, 1990).
Pada saat Belanda merampas daerah pedalaman Jawa yang disusul pecahnya perang Napoleon, Belanda mendirikan pemerintahan tidak langsung di Indonesia dengan memanfaatkan persekutuan dengan elite priyayi Jawa. Persekutuan ini meletakkan kaum elit Jawa seolah-olah masih tetap berkuasa, sedangkan Belanda dapat mengeksploitasi kekayaan ini seperti perkebunan hingga seperempat abad kesembilan belas.
Namun terjadi perubahan pada pertengahan abad kesembilan belas, Belanda mengubah kebijaksaan kolonialnya dengan lebih legalitas. Dimulai pada akhir tahun 1840-an, beberapa kitab undang-undang baru diundangkan, organisasi dan kebijaksanaan kehakiman dikembangkan dan dibenahi, serta pemerintahan dirasionalisasi dengan hukum dan peraturan yang cocok. Dengan demikian rechtsstaat diperkenalkan di tanah jajahan, meskipun hanya berorientasi pada kepentingan kolonial, (Daniel S. Lev, 1990).
Pada permulaan abad keduapuluh pemerintah kolonial menganut kebijaksanaan etis, yang bertujuan menciptakan kesejahteraan dan kemajuan sosial golongan pribumi. Kebijakan ini gagal karena pemerintah kolonial lebih mendorong terciptanya ketertiban daripada membangun kepercayaan kemampuan sendiri bagi golongan pribumi.
Sistem peradilan Hindia Belanda terbagi dalam empat jenis peradilan yang berlainan. Pertama, pengadilan pemerintah untuk orang Eropa meliputi pengadilan tingkat pertama residentiegerecht yang menjadi wewenang residen Belanda; pengadilan banding raad van justitie di ibukota dan pengadilan tertinggi, hoogerechtshofKedua, pengadilan pemerintah untuk orang bukan berupa, pengadilan agama Islam, dan pengadilan adat.
Pengadilan pemerintah bagi orang Indonesia juga memiliki tiga tingkatan yakni districtsgerecht, regentschapsgerecht, dan landraadLandraad inilah yang menjadi cikal bakal pengadilan negeri Indonesia. Pada tahun 1938, putusan landraad dapat dibanding pada raad van justitie Sebagian besar hakim landraad adalah orang Belanda, namun sejak 1920-an dan 1930-an beberapa orang ahli hukum Indonesia berpendidikan hukum diangkat sebagai hakim. Pengadilan Indonesia menggunakan KUH Pidana dengan hukum acara yang dikenal HerzieneInlandse Reglement (HIR), (Daniel S. Lev, 1990).
Pemerintah kolonial tidak mendorong orang-orang Indonesia untuk bekerja sebagai Advokat. Pada 1909 pemerintah kolonial mendirikanRechtsschool di Batavia dan membuka kesempatan pendidikan hukum bagi orang pribumi hingga tahun 1922, namun kesempatan hanya dimanfaatkan kaum priyayi. Pada tahun 1928, Rechtsschool meluluskan hampir 150 orangrechtskundigen (sarjana hukum). Namun mereka ini hanya menjadi panitera, jaksa dan hakim tidak sebagai notaris dan Advokat.
Hingga pada tahun 1940 terdapat hampir tiga ratus orang Indonesia asli menjadi ahli hukum sampai pada pendudukan Jepang. Para Advokat Indonesia angkatan pertama menetap di Belanda sebagai Advokat. Diantara empat puluh orang Indonesia yang meraih gelar sarjana hukum di Leiden, tidak kurang dari enam belas orang menjadi Advokat sepulang ke Indonesia.
Salah seorang tokoh yang mendorong perkembangan Advokat Indonesia adalah Mr. Besar Martokusumo. Pada saat itu tidak satupun kantor Advokat yang besar kecuali kantor Mr. Besar di Tegal dan Semarang, dan kantor Advokat Mr. Iskak di Batavia. Bagi Advokat Indonesia asli memulai praktik adalah langkah yang sulit. Hal ini terjadi karena Advokat Belanda mengganggap mereka sebagai ancaman dalam persaingan.
Perkembangan sistem hukum pemerintahan kolonial telah memberikan kontribusi yang besar bagi perkembangan Advokat pribumi pada masa itu. Seiring dengan itu semangat nasionalisme para Advokat Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan menjadikan para Advokat Indonesia terlibat aktif pada berbagai organisasi pergerakan.
Dapat dikemukan berbagai pengaturan profesi Advokat pada masa pra kemerdekaan tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Staatblad Tahun 1847 Nomor 23 dan Staatblad Tahun 1848 Nomor 57 tentang Reglement op de rechtelijk organisatie en het beleid de justitie in Indonesie atau dikenal dengan RO, pada Pasal 185 s/d 192 mengatur tentang “advocatenen procureurs” yaitu penasehat hukum yang bergelar sarjana hukum.
b.      Staatblad Tahun 1847 Nomor 40 tentang Reglement op de Rechtsvordering (RV), dalam peradilan khusus golongan Eropa (Raad van Justitie) ditentukan bahwa para pihak harus diwakili oleh seorang Advokat atau procureur.
c.       Penetapan Raja tanggal 4 Mei 1926 Nomor 251 jo. 486 tentang Peraturan Cara Melakukan Menjalankan Hukuman Bersyarat, pada Bab I Bagian II Pasal 3 ayat 3 ditentukan bahwa orang yang dihukum dan orang yang wajib memberikan bantuan hukum kepadanya sebelum permulaan pemeriksaan.
d.      Staatblad Tahun 1926 nomor 487 tentang Pengawasan Orang yang Memberikan Bantuan Hukum, ditentukan bahwa pengawasan terhadap orang-orang yang memberikan bantuan hukum atau orang yang dikuasakan untuk menunjuk lembaga dan orang yang boleh diperintah memberi bantuan.
e.       Staatblad Tahun 1927 Nomor 496 tentang Regeling van de bijstaan en vertegenwoordiging van partijen in burgerlijke zaken voor de landraden, mengatur tentang penasehat hukum yang disebut “zaakwaarnemers’ atau pada masa tersebut dikenal dengan “pokrol”.
f.       Staatblad Tahun 1941 Nomor 44 tentang Herziene Inlandsch Reglement (HIR), dalam Pasal 83 h ayat 6 ditentukan bahwa jika seseorang dituduh bersalah melakukan sesuatu kejahatan yang dapat dihukum dengan hukuman mati, maka magistraat hendak menanyakan kepadanya, maukah ia dibantu di pengadilanoleh seorang penasehat hukum. Dan Pasal 254 menentukan bahwa dalam persidangan tiap-tiap orang yang dituduh berhak dibantu oleh pembela untuk mempertahankan dirinya.
g.      Staatblad Tahun 1944 Nomor 44 tentang Het Herziene Inlandsch Reglement atau RIB (Reglemen Indonesia yang diperbaharui), menurut Pasal 123 dimungkinkan kepada pihak yang berperkara untuk diwakili oleh orang lain.

Berbagai ketentuan hukum di atas mendasari profesi Advokat pada masa pra kemerdekaan, meski masih mengutamakan Advokat Belanda. Akan tetapi berbagai pengaturan itu sedikitnya telah mendasari perkembangan Advokat Indonesia pada masa selanjutnya.
B.     Sesudah Tahun 1945
Salah satu materi Perubahan UUD 1945 adalah adanya jaminan terhadap hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara. Perubahan itu dapat dilihat sebagai wujud kesadaran tentang pentingnya perlindungan hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara, yang tumbuh dan menjadi ruh era reformasi. Jaminan itu telah dirumuskan dalam TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang kemudian isinya menjadi materi UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, sebelum akhirnya dituangkan dalam Perubahan UUD 1945. Hak konstitusional warga negara yang dijamin dalam UUD 1945 meliputi berbagai aspek kehidupan, baik sipil, politik, ekonomi, maupun sosial. Di bidang hukum, hak-hak konstitusional warga negara meliputi:
a.       Hak kesamaan di hadapan hukum (equality before the law) sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat (1): “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
b.      Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta hak atas perlakuan yang sama dihadapan hukum, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1): “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
c.    Hak perlindungan diri pribadi sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1): “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi manusia.”
Bahkan, Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 menempatkan “hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum”, merupakan salah satu hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Berdasarkan ketentuan UUD 1945 dapat dilihat bahwa hak kesamaan dihadapan hukum atau hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum adalah hak konstitusional setiap warga negara. Perlakuan yang sama di hadapan hukum juga berarti bahwa tiap warga negara harus diakui sebagai subyek hukum penyandang hak dan kewajiban yang memiliki kebebasan dan tanggungjawab untuk melakukan perbuatan hukum. Hak sebagai pribadi hukum merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Hal itu hanya dapat terwujud apabila terdapat ruang, kesempatan, dan kekuatan yang sama untuk mengakses hukum dan lembaga-lembaga hukum.
Namun demikian, realitas sosial menunjukkan bahwa persamaan dihadapan hukum dan perlindungan hukum tidak dengan mudah dapat terwujud karena perbedaan kemampuan yang dimiliki oleh setiap warga negara. Perbedaan itu tidak hanya pada tataran penegakan hukum untuk mengakses keadilan (access to justice) tetapi dimulai sejak pembuatan aturan hukum yang sering kali hanya mewakili kepentingan elit masyarakat. Demikian pula pada tataran pelaksanaan dan penegakan hukum, relaitas menunjukkan bahwa perlakuan yang sama di hadapan hukum tidak dengan sendirinya dapat terwujud walaupun telah dijamin oleh UUD 1945. Banyak faktor yang menjadi penyebabnya mulai dari kompleksitas sistem hukum nasional yang membutuhkan pengetahuan tersendiri untuk memahaminya hingga pelaksanaan dan penegakan hukum yang bersifat elitis dan diskriminatif. Sebagai contoh, lembaga peradilan sebagai tempat rakyat mencari keadilan ternyata belum mudah diakses oleh masyarakat pencari keadilan. Untuk mengakses lembaga peradilan dibutuhkan biaya tidak sedikit dan pengetahuan yang cukup, yang pada kenyataannya saat ini banyak anggota masyarakat yang belum memiliki. Akibatnya, akses kepada keadilan pun terhambat sehingga muncul perbedaan kedudukan dan perlindungan hukum. Hal itu terjadi karena pengelolaan dan pemenuhan informasi hukum masih belum banyak mendapatkan perhatian. Reformasi aspek pendidikan dan pembudayaan hukum masih tertinggal dari reformasi di bidang substansi dan struktur hukum.
Oleh karena itu, demi terwujudnya persamaan dan perlakuan yang sama di hadapan hukum, bantuan hukum mutlak diperlukan. Tanpa adanya bantuan hukum, hak konstitusional warga negara itu tidak akan terpenuhi. Bahkan, keadilan yang menjadi tujuan hukum juga tidak akan dapat ditegakkan tanpa adanya bantuan hukum. Pada saat keadilan tidak dapat ditegakkan, pada saat itu pula tidak ada hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara yang dapat dilindungi dan dipenuhi.
UUD 1945 menentukan bahwa pemenuhan hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum, hak atas pengakuan sebagai pribadi di hadapan hukum serta hak atas keadilan melalui bantuan hukum adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah. Oleh karena itu negara bertanggungjawab menyediakan penasihat hukum/advokat untuk perkara pidana yang ancaman hukumannya di atas 5 tahun. Bahkan, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 37 sudah menyatakan “Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum”. Selain itu, UU Advokat juga mewajibkan para advokat untuk menangani perkara pro bono, namun belum banyak advokat yang memiliki kesadaran dan kepedulian untuk melaksanakannya.
 Fungsi Bantuan Hukum Mengingat pentingnya peran bantuan hukum dalam mewujudkan cita negara hukum, maka organisasi-organisasi bantuan hukum sangat diperlukan. Paling tidak terdapat empat fungsi yang dijalankan melalui pemberian bantuan hukum.
a.       Dengan adanya bantuan hukum akan terwujud persamaan di hadapan hukum. Proses hukum yang fair dan impartial hanya akan terjadi apabila pihak-pihak yang bersengketa memiliki posisi dan kekuatan yang seimbang, terutama dari sisi pengetahuan dan ketrampilan hukum.
b.      Apabila proses hukum berjalan secara fair dan impartial,semua kebenaran materiil dapat terungkap. Dengan adanya posisi dan kekuatan yang seimbang, manipulasi dan hegemoni atas fakta dan kebenaran dapat dicegah. Dengan demikian, bantuan hukum berfungsi memperkuat upaya menegakkan keadilan substansial melalui proses hukum yang fair dan impartial.
c.       Bantuan hukum memberikan ruang interaksi antara para ahli dan profesi hukum dengan masyarakat umum. Interaksi itu akan menumbuhkan pemahaman dan kesadaran bagaimana memposisikan suatu  aturan hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hukum adalah seperangkat aturan yang harus dipatuhi. Jika terdapat permasalahan harus diselesaikan melalui jalur hukum, termasuk pada saat terdapat aturan yang merugikan hak konstitusional warga negara juga harus diselesaikan melalui mekanisme hukum. Bantuan hukum berfungsi untuk membangun budaya kepatuhan terhadap hukum sebagai salah satu ciri utama masyarakat yang beradab.
d.      Kepatuhan terhadap hukum hanya akan berkembang pada saat masyarakat memahami kedudukan dan materi aturan hukum. Pemahaman tersebut dengan sendirinya akan meningkatkan keberdayaan hukum masyarakat yang sangat diperlukan, baik untuk melakukan hubungan hukum, menjalani prosedur hukum, bahkan untuk mengkritisi materi serta praktik penegakan hukum.
Advokat Sejak Masa Kemerdekaan dan Era Reformasi.
Perkembangan pengaturan profesi Advokat di Indonesia dilanjutkan pada masa pendudukan Jepang. Pemerintah kolonial Jepang tidak melakukan perubahan yang berarti mengenai profesi ini. Hal ini terbukti pada UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Pemberlakuan Wetboek van strafrecht voor Nederlands Indie tetapi digunakan istilah KUH Pidana. UU ini memuat pengaturan tentang kedudukan Advokat dan procureur dan orang-orang yang memberikan bantuan hukum.
Pengaturan profesi Advokat secara sporadis tersebar dalam berbagai ketentuan perundang-undangan termasuk didalamnya ketentuan pada masa kolonial Belanda. Bahkan pengaturan profesi Advokat sejak proklamasi 17 Agustus 1945 justru kurang mendapat perhatian. Hal ini ditunjukkan dengan tidak ditemukannya istilah Advokat atau istilah lain yang sepadan dimasukkan dalam UUD 1945. Demikian pula pada UUD RIS 1949 yang digantikan dengan UUDS 1950.
Sehingga ironi dalam pembangunan hukum di Indonesia, tidak mengatur secara khusus profesi Advokat sebagaimana profesi hukum lainnya, padahal profesi ini sebagai salah satu unsur penegak hukum. Akibatnya menimbulkan berbagai keprihatinan dan kesimpangsiuran menyangkut profesi tersebut. Seirama dengan merosotnya wibawa hukum (authority of law) dan supremasi hukum (supremacy of law), maka profesi hukum ini juga terbawa arus kemerosotan.
Meskipun demikian secara implisit, terdapat beberapa ketentuan yang mengisyaratkan pengakuan terhadap profesi ini, antara lain sebagai berikut :
a.       UU Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan untuk Jawa dan Madura, dalam Pasal 7 ayat 1 menyebutkan bahwa peminta atau wakil dalam arti orang yang diberi kuasa untuk itu yaitu pembela atau penasehat hukum.
b.      UU Nomor 1 Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung dalam Pasal 42 memberikan istilah pemberi bantuan hukum dengan kata PEMBELA.
c.       UU Drt. Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara Penyelenggaraan Kekuasaan dan Acara Pengadilan sipil, memuat ketentuan tentang bantuan hukum bagi tersangka atapun terdakwa.
d.      UU Nomor 19 Tahun 1964 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang kemudian diganti dengan UU Nomor 14 Tahun 1970, menyatakan bahwasetiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.
e.       UU Nomor 13 Tahun 1965 tentang Mahkamah Agung, diganti dengan UU Nomor 14 Tahun 1985, pada Pasal 54 bahwa penasehat hukum adalah mereka yang melakukan kegiatan memberikan nasehat hukum yang berhubungan suatu proses di muka pengadilan.
f.       UU Nomor 1 Tahun 1981 tentang KUHAP, dalam Pasal 54 s/d 57 dan 69 s/d 74 mengatur hak-hak tersangka atau terdakwa untuk mendapatkanpenasehat hukum dan tata cara penasehat hukum berhubungan dengan tersangka dan terdakwa.
g.      UU Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, mengakui keberadaan penasehat hukum dalam memberi bantuan hukum kepada tersangka atau terdakwa.
h.      Surat Edaran dan Surat Keputusan Bersama Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman, dan sebagainya.
Bahkan sebenarnya Pasal 38 UU Nomor 14 Tahun 1970, telah mengisyaratkan perlunya pengaturan profesi Advokat dalam UU tersendiri. Namun hal itupun tidak menjadi perhatian pemerintah hingga akhirnya tuntutan pengaturan tersebut semakin besar di kalangan organisasi Advokat. Setelah 33 tahun, barulah perjuangan itu berhasil melalui UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Berbagai argumentasi yang melatarbelakangi lambatnya respon pemerintah terhadap pengaturan profesi Advokat ini. Diantaranya terkait dengan tipe kepemimpinan pemerintahan pada masa itu. Misalnya pemerintahan Bung Karno pada masa orde lama, pernah berkata kepada Mr. Sartono yang menjadi pembelanya di landraad Bandung 1930, berikut petikannya :
Mr. Sartono, aku pujikan segala usaha-usaha kamu, para Advokat selalu berpegang teguh kepada UU. Mereka lebih kuat menganut cara menembus UU, suatu revolusi menolak UU yang berlaku hari ini dan maju diatas basis meninggalkan UU itu. Karena sulit untuk melancarkan suatu revolusi beserta kaum Advokat dan pengacara. Adalah juga sulit untuk membangun pertahanan suatu revolusi dengan para Advokat dan pengacara. Yang kami harapkan adalah luapan semangat peri kemanusiaan. Inilah yang akan kukerjakan”.

Demikian pula pada pemerintahan orde baru, campur tangan pemerintah dalam pembentukan dan perpecahan organisasi Advokat telah menyebabkan tingkah laku, praktek dan sepak terjang pada Advokat menjadi tidak terkontrol lagi oleh organisasi profesi yang seharusnya ketat memberlakukan Kode Etik Profesi Advokat dan mengawasi praktek profesi Advokat.
Sejak lahirnya UU Advokat, profesi Advokat mendapat pengakuan sehingga setara dengan penegak hukum lainnya dalam prakteknya. Pengaturan ini juga berimplikasi pada rekturtmen Advokat secara sistematis sehingga diharapkan para Advokat nantinya dapat melaksanakan amanat profesi ini sebagai profesi yang mulia (officium nobile).
C.    Sesudah Amandemen ke IV
Sejak Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) diberlakukan pertama kali pada tanggal 18 Agusutus 1945, bangsa Indonesia telah memiliki kesadaran akan konsep negara hukum sebagai pilihan yang ideal bagi negara Indonesia yang diproklamasikan sehari sebelumnya, yaitu pada 17 Agustus 1945. Hal ini terbukti, dimana dalam Penjelasan UUD 1945 disebutkan bahwa “Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat). Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat).” Setelah mengalami pasang surut, perjalanan ketatanegaraan Indonesia sampai  pada era reformasi tahun 1998. Salah satu tuntutan reformasi adalah perubahan tatanan berbangsa dan bernegara Indonesia ke arah yang lebih konkret dengan semangat konstitusionalisme.
Oleh karenanya, amandemen terhadap UUD 1945 menjadi sebuah keniscayaan, mengingat selama rezim Orde Baru mengubah UUD 1945 dianggap sesuatu yang tabu. Sehubungan dengan itu, UUD 1945 telah diamandemen sebanyak empat kali yaitu tahun 1999 (Perubahan Pertama), 2000 (Perubahan Kedua), 2001 (Perubahan Ketiga), dan 2002 (Perubahan Keempat). Pada Perubahan Ketiga, konsep atau gagasan bahwa Indonesia sebagai negara hukum semakin diperkukuh. Hal ini terbukti jika sebelum amandemen konsep negara hukum hanya ada dalam Penjelasan, pasca amandemen telah eksplisit dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang merumuskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Pengukuhan Indonesia sebagai negara hukum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 memberi pesan adanya keinginan kuat bahwa negara menjamin terselenggaranya persamaan kedudukan dalam hukum, yang antara lain ditandai dengan terciptanya suatu keadaan dimana hak setiap orang untuk mendapatkan perlakuan yang sama di depan hukum serta jaminan kepada setiap orang yang berhak mendapatkan akses keadilan (justice for all). Hal ini bahkan merupakan hak dasar setiap orang yang bersifat universal. Konsep ini menjadi penting karena negara selalu dihadapkan pada kenyataan adanya sekelompok masyarakat yang miskin atau tidak mampu, sehingga sering tidak bisa mewujudkan haknya untuk mendapatkan keadilan (yang semestinya terselenggara dalam kaitannya dengan konsep negara hukum).
Untuk mewujudkan terselenggaranya gagasan negara hukum (konstitusionalisme) tersebut, maka negara perlu campur tangan karena hal itu menjadi kewajiban negara untuk menjamin hak setiap orang mendapatkan keadilan. Dengan kata lain, negara harus menjamin terselenggaranya bantuan hukum kepada orang miskin atau orang yang tidak mampu sehingga tidak ada yang luput dari akses keadilan yang merupakan amanat konstitusi.



Amandemen UU 1945
Sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Umum UUD 1945 ayat 1,undang-undang dasar suatu Negara ialah hanya sebagian dari hukumnya\ dasar Negara itu. Dimaksud hanya sebagian adalah karena selain UUD (hukum tertulis) juga berlaku hukum tidak tertulis. Sebagai konstitusi negara Indonesia UUD 1945 berada di posisi tertinggi dalam tata urutan perundang-undangan.Semua hukum yang berlaku di Indonesia haruslah sesuai dan berintisari dari UUD 1945. Akan tetapi biar bagaimanapun UUD 1945 adalah hukum yang di ciptakan manusia dan tidak dapat dikatakan sempurna. Setidaknya telah ada 4 sejarah amandemen UUD 1945.
Sebelum membahas sejarah amandemen UUD 1945 mungkin ada baiknya kita sedikit mengulang bahasan sebelumnya tentang perbandinganundang-undang dasar sebelum dan sesudah amandemen. Di sana saya sempat menjelaskan 3 macam UUD yang telah digunakan di Indonesia. Yang dimaksud ketiganya adalah UUD 1945, UUD RIS 1949, dan UUDS 1950. Beruntung saat ini kita tetap menggunakan produk pendiri bangsa kita sebagai konstitusi negara, UUD 1945. Namun dalam perjalanannya bangsa Indonesia semakin berkembang dan memiliki kebutuhan yang lebih beragam lagi. UUD 1945 yang diposisikan sebagai dasar negara ternyata memiliki beberapa kelemahan. Wajar saja karena dalam prosesnya penyusunan UUD 1945 ini dilakukan dalam situasi kondisi genting, sama halnya seperti proses perumusan pancasila.
Dalam sejarah amandemen UUD 1945 terhitung sudah 4 kali UUD 1945 mengalami amandemen (Amendment, Perubahan, tetapi bukan dalam pengertian Pergantian). Setelah 4 kali diamandemen sebanyak 25 butir tidak dirubah, 46 butir dirubah atau ditambah dengan ketentuan lainnya. Secara keseluruhan saat ini berjumlah 199 butir ketentuan, 174 ketentuan baru. Mengapa harus diamandemen? Berikut ini beberapa alasan mengapa perlu dilakukan amandemen.
a.       Alasan Dilakukan Amandemen
Lemahnya checks and balances pada institusiinstitusi ketatanegaraan.
Executive heavy, kekuasaan terlalu dominan berada di tangan Presiden (hak prerogatif dan kekuasaan legislatif)
Pengaturan terlalu fleksibel (vide:pasal 7 UUD 1945 sebelum amandemen) Terbatasnya pengaturan jaminan akan HAM Berikut ini sejarah amandemen UUD 1945 di Indonesia.
Amandemen I
Amandemen yang pertama kali ini disahkan pada tanggal 19 Oktober 1999 atas dasar SU MPR 14-21 Oktober 1999. Amandemen yang dilakukan terdiri dari 9 pasal, yakni: Pasal 5, pasal 7, pasal 9, pasal 13, pasal 14, pasal 15, pasal 17, pasal 20, pasal 21.
Inti dari amandemen pertama ini adalah pergeseran kekuasaan Presiden yang dipandang terlalu kuat (executive heavy).
Amandemen II
Amandemen yang kedua disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000 dan disahkan melalui sidang umum MPR 7-8 Agustus 2000. Amandemen dilakukan pada 5 Bab dan 25 pasal. Berikut ini rincian perubahan yang dilakukan pada amandemen kedua.yaitu
Pasal 18, pasal 18A, pasal 18B, pasal 19, pasal 20, pasal 20A, pasal 22A, pasal 22B, pasal 25E, pasal 26, pasal 27, pasal 28A, pasal 28B, pasal 28C, pasal 28D, pasal 28E, pasal 28F, pasal 28G, pasal 28H, pasal 28I, pasal 28J, pasal 30, pasal 36B, pasal 36C.
Bab IXA, Bab X, Bab XA, Bab XII, Bab XV, Ps. 36A ;
Inti dari amandemen kedua ini adalah Pemerintah Daerah, DPR dan Kewenangannya, Hak Asasi Manusia, Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan.
Amandemen III
Amandemen ketiga disahkan pada tanggal 10 November 2001 dan disahkan melalui ST MPR 1-9 November 2001. Perubahan yang terjadi dalam amandemen ketiga ini terdiri dari 3 Bab dan 22 Pasal. Berikut ini detil dari amandemen ketiga, yaitu :
Pasal 1, pasal 3, pasal 6, pasal 6A, pasal 7A, pasal 7B, pasal 7C,
pasal 8, pasal 11, pasal 17,
pasal 22C, pasal 22D, pasal 22E, pasal 23, pasal 23A, pasal23C, pasal 23E, pasal 23F, pasal 23G, pasal 24, pasal 24A, pasal24B, pasal24C.
Bab VIIA, Bab VIIB, Bab VIIIA.
Inti perubahan yang dilakukan pada amandemen ketiga ini adalah Bentuk dan Kedaulatan Negara, Kewenangan MPR, Kepresidenan, Impeachment, Keuangan Negara, Kekuasaan Kehakiman.
Amandemen IV
Sejarah amandemen UUD 1945 yang terakhir ini disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002 melalui ST MPR 1-11 Agustus 2002. Perubahan yang terjadi pada amandemen ke-4 ini terdiri dari 2 Bab dan 13 Pasal , yaitu :
Pasal 2, pasal 6A, pasal 8, pasal 11, pasal16, pasal 23B, pasal 23D, pasal 24, pasal 31, pasal 32, pasal 33, pasal 34, pasal 37.
BAB XIII, Bab XIV.
Inti Perubahan: DPD sebagai bagian MPR, Penggantian Presiden, pernyataan perang, perdamaian dan perjanjian, mata uang, bank sentral, pendidikan dan kebudayaan, perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial, perubahan UUD.
Tujuan Amandemen
Tujuan dari dilakukannya amandemen UUD 1945 yang terjadi hingga 4 kali ini adalah menyempurnakan aturan-aturan mendasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi Negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Sejarah amandemen UUD 1945 yang dilakukan berdasarkan kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan juga mempertegas sistem pemerintahaan.


0 komentar:

Posting Komentar