Nama :
HANDAYANI
BP :
310.006
Fak/Jur :
SYARI’AH/PMH
Mata Kuliah :
BANTUAN HUKUM
Dosen : NENI
VESNA MADJID, SH. MH
SATUAN ANALISIS
DESKRIPTIF MENGENAI PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERKAITAN DENGAN BANTUAN HUKUM
INDONESIA
Pengertian Advokat dalam Undang-undang No. 18 tahun 2003 tentang
Advokat
Dalam praktek hukum di
Indonesia, Advokat juga dikenal sebagai Pengacara, Konsultan hukum. Istilah
tersebut mempunyai perbedaan pengertian yang cukup bermakna, walaupun dalam
bahasa Inggris semua istilah secara umum disebut sebagai lawyer atau
ahli hukum. Perbedaan pengertian disini adalah antara peran yang diberikan
oleh lawyer yang memakai istilah Advokat, pengacara dan
penasehat hukum yang dalam bahasa Inggris disebut trial lawyer atau
secara spesifik di Amerika dikenal dengan istilah attorney at lawserta
di Inggris dikenal istilah barrister, dan peran yang diberikan
oleh lawyeryang menggunakan istilah konsultan hukum yang di Amerika
dikenal dengan istilah counselor at law atau di Inggris
dikenal dengan istilah solicitor.
Kata Advokat itu sendiri berasal dari bahasa latin advocare,
yang berarti to defend, to call to one’s aid, to vouch or to warrant.
Sedangkan dalam bahasa Inggris Advocate, berarti to speak
in favor of or defend by argument, to support, indicate or recommend publicly.,dalam
Kamus Hukum Advocaat/ Advocaat En Procureur bahasa aslinya
Belanda yang artinya Penasehat Hukum dan Pembela Perkara atau Pengacara.
Sedangkan menurut Pasal (1) huruf (1) Undang-undang
No. 18 tahun 2003, Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum,
baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan
ketentuan Undang-Undang ini.
Dalam praktinya proses pengangkatan seseorang untuk dapat
menjadi Advokat tidak lah mudah, ada beberapa tahap seorang untuk dapat
diangkat dan berprofesi sebagai Advokat antara lain disebutkan dalam Pasal 2,
3, dan Pasal 4. Inti dari pasal-pasal tersebut bahwa sesorang untuk dapat
menjadi seorang pengacara memeiliki latar belakang sarjana hukum, kemudian mengikuti
pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat,
dan bila telah memenuhi syarat setelah dilantik sebagai Advokat maka Advokat
yang bersangkutan wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan
sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili
hukumnya.
Disini setelah Advokat tersebut dilantik maka secara tidak
langsung Advokat tersebut berstatus sebagai penegak hukum, bebas
dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan. Dan memilki
Wilayah kerja meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia sebagaimana
diatur dalam Pasal 5 UU Advokat.
Selanjutnya Advokat dalam menjalankan profesinya tersebut
memiliki hak dan kewajiban yang diatur pada Pasal 14 sampai dengan pasal 20,
hak-hak tersebut memberikan kekebalan hukum (hak immunitas) bagi
pengacara dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi
tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi, namun itu
tidak serta merta ketentuan pidana setiap orang yang dengan sengaja menjalankan
pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai Advokat, tetapi
bukan Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000,00
(lima puluh juta) rupiah.
Untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat maka perlu dibentuk
Organisasi Advokat merupakan wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang
dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan
untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat.
A.
Sebelum Tahun 1945
Sejarah keAdvokatan di Indonesia tumbuh dan berkembang tidak
sebagaimana yang terjadi di Eropa. Sebagaimana di tanah jajahan lainnya,
keAdvokatan Indonesia memperoleh bentuk pada masa kolonial Belanda. Maka
konsekuensi logis apabila model Advokat Indonesia dengan sendirinya adalah
seperti Advokat Belanda.
Besarnya pengaruh kolonial terhadap perkembangan profesi Advokat
terkait erat dengan perbedaan tradisi hukum anglo-saxon (common law) dan
tradisi hukum eropa kontinental (civil law). Misalnya bagi Inggris dan
Amerika dengan tradisi hukum common law memandang besarnya
jumlah Advokat di tanah jajahan sebagai suatu kebaikan, sedangkan bagi
Perancis, Belanda, dan Belgia yang bertradisi hukum Eropa Kontinental (civil
law) justru sebaliknya, (Daniel S. Lev, 1990)
Di Hindia Belanda (Indonesia) sampai pertengahan tahun 1920-an,
semua Advokat dan notaris adalah orang Belanda. Hal ini pula yang mempengaruhi
mengapa perkembangan Advokat pasca kemerdekaan Indonesia masih berjalan lambat.
Mengenai hal ini, Daniel S. Lev berpendapat bahwa besar kecilnya jumlah Advokat
pribumi tergantung kepada kombinasi ideologi pemerintahan dan kebijaksanaan
ekonomi kolonialnya, (Daniel S. Lev, 1990).
Pada saat Belanda merampas daerah pedalaman Jawa yang disusul
pecahnya perang Napoleon, Belanda mendirikan pemerintahan tidak langsung di
Indonesia dengan memanfaatkan persekutuan dengan elite priyayi Jawa.
Persekutuan ini meletakkan kaum elit Jawa seolah-olah masih tetap berkuasa,
sedangkan Belanda dapat mengeksploitasi kekayaan ini seperti perkebunan hingga
seperempat abad kesembilan belas.
Namun terjadi perubahan pada pertengahan abad kesembilan belas,
Belanda mengubah kebijaksaan kolonialnya dengan lebih legalitas. Dimulai pada
akhir tahun 1840-an, beberapa kitab undang-undang baru diundangkan, organisasi
dan kebijaksanaan kehakiman dikembangkan dan dibenahi, serta pemerintahan
dirasionalisasi dengan hukum dan peraturan yang cocok. Dengan demikian rechtsstaat diperkenalkan
di tanah jajahan, meskipun hanya berorientasi pada kepentingan kolonial,
(Daniel S. Lev, 1990).
Pada permulaan abad keduapuluh
pemerintah kolonial menganut kebijaksanaan etis, yang bertujuan menciptakan
kesejahteraan dan kemajuan sosial golongan pribumi. Kebijakan ini gagal karena
pemerintah kolonial lebih mendorong terciptanya ketertiban daripada membangun
kepercayaan kemampuan sendiri bagi golongan pribumi.
Sistem peradilan Hindia Belanda terbagi dalam empat jenis
peradilan yang berlainan. Pertama, pengadilan pemerintah untuk
orang Eropa meliputi pengadilan tingkat pertama residentiegerecht yang
menjadi wewenang residen Belanda; pengadilan banding raad van justitie di
ibukota dan pengadilan tertinggi, hoogerechtshof. Kedua,
pengadilan pemerintah untuk orang bukan berupa, pengadilan agama Islam, dan
pengadilan adat.
Pengadilan pemerintah bagi orang Indonesia juga memiliki tiga
tingkatan yakni districtsgerecht, regentschapsgerecht, dan landraad. Landraad
inilah yang menjadi cikal bakal pengadilan negeri Indonesia. Pada tahun
1938, putusan landraad dapat dibanding pada raad van
justitie Sebagian besar hakim landraad adalah orang
Belanda, namun sejak 1920-an dan 1930-an beberapa orang ahli hukum Indonesia
berpendidikan hukum diangkat sebagai hakim. Pengadilan Indonesia menggunakan
KUH Pidana dengan hukum acara yang dikenal HerzieneInlandse Reglement (HIR),
(Daniel S. Lev, 1990).
Pemerintah kolonial tidak mendorong orang-orang Indonesia untuk
bekerja sebagai Advokat. Pada 1909 pemerintah kolonial mendirikanRechtsschool di
Batavia dan membuka kesempatan pendidikan hukum bagi orang pribumi hingga tahun
1922, namun kesempatan hanya dimanfaatkan kaum priyayi. Pada tahun 1928, Rechtsschool meluluskan
hampir 150 orangrechtskundigen (sarjana hukum). Namun mereka ini
hanya menjadi panitera, jaksa dan hakim tidak sebagai notaris dan Advokat.
Hingga pada tahun 1940 terdapat
hampir tiga ratus orang Indonesia asli menjadi ahli hukum sampai pada
pendudukan Jepang. Para Advokat Indonesia angkatan pertama menetap di Belanda
sebagai Advokat. Diantara empat puluh orang Indonesia yang meraih gelar sarjana
hukum di Leiden, tidak kurang dari enam belas orang menjadi Advokat sepulang ke
Indonesia.
Salah seorang tokoh yang mendorong perkembangan Advokat
Indonesia adalah Mr. Besar Martokusumo. Pada saat itu tidak satupun kantor
Advokat yang besar kecuali kantor Mr. Besar di Tegal dan Semarang, dan kantor
Advokat Mr. Iskak di Batavia. Bagi Advokat Indonesia asli memulai praktik
adalah langkah yang sulit. Hal ini terjadi karena Advokat Belanda mengganggap
mereka sebagai ancaman dalam persaingan.
Perkembangan sistem hukum pemerintahan kolonial telah memberikan
kontribusi yang besar bagi perkembangan Advokat pribumi pada masa itu. Seiring
dengan itu semangat nasionalisme para Advokat Indonesia untuk memperjuangkan
kemerdekaan menjadikan para Advokat Indonesia terlibat aktif pada berbagai
organisasi pergerakan.
Dapat dikemukan berbagai
pengaturan profesi Advokat pada masa pra kemerdekaan tersebut adalah sebagai
berikut:
a.
Staatblad Tahun 1847 Nomor 23 dan Staatblad Tahun
1848 Nomor 57 tentang Reglement op de rechtelijk organisatie en het
beleid de justitie in Indonesie atau dikenal dengan RO, pada Pasal 185
s/d 192 mengatur tentang “advocatenen procureurs” yaitu penasehat hukum
yang bergelar sarjana hukum.
b.
Staatblad Tahun 1847 Nomor 40 tentang Reglement op de
Rechtsvordering (RV), dalam peradilan khusus golongan Eropa (Raad
van Justitie) ditentukan bahwa para pihak harus diwakili oleh seorang
Advokat atau procureur.
c.
Penetapan Raja tanggal 4 Mei 1926
Nomor 251 jo. 486 tentang Peraturan Cara Melakukan Menjalankan Hukuman
Bersyarat, pada Bab I Bagian II Pasal 3 ayat 3 ditentukan bahwa orang yang
dihukum dan orang yang wajib memberikan bantuan hukum kepadanya sebelum
permulaan pemeriksaan.
d.
Staatblad Tahun 1926 nomor 487 tentang Pengawasan Orang yang
Memberikan Bantuan Hukum, ditentukan bahwa pengawasan terhadap orang-orang yang
memberikan bantuan hukum atau orang yang dikuasakan untuk menunjuk lembaga dan
orang yang boleh diperintah memberi bantuan.
e.
Staatblad Tahun 1927 Nomor 496 tentang Regeling van de
bijstaan en vertegenwoordiging van partijen in burgerlijke zaken voor de
landraden, mengatur tentang penasehat hukum yang disebut “zaakwaarnemers’
atau pada masa tersebut dikenal dengan “pokrol”.
f.
Staatblad Tahun 1941 Nomor 44 tentang Herziene Inlandsch
Reglement (HIR), dalam Pasal 83 h ayat 6 ditentukan bahwa jika
seseorang dituduh bersalah melakukan sesuatu kejahatan yang dapat dihukum
dengan hukuman mati, maka magistraat hendak menanyakan kepadanya, maukah ia
dibantu di pengadilanoleh seorang penasehat hukum. Dan Pasal 254 menentukan
bahwa dalam persidangan tiap-tiap orang yang dituduh berhak dibantu oleh
pembela untuk mempertahankan dirinya.
g.
Staatblad Tahun 1944 Nomor 44 tentang Het Herziene Inlandsch
Reglement atau RIB (Reglemen Indonesia yang diperbaharui), menurut
Pasal 123 dimungkinkan kepada pihak yang berperkara untuk diwakili oleh orang
lain.
Berbagai ketentuan hukum di atas mendasari profesi Advokat pada
masa pra kemerdekaan, meski masih mengutamakan Advokat Belanda. Akan tetapi
berbagai pengaturan itu sedikitnya telah mendasari perkembangan Advokat
Indonesia pada masa selanjutnya.
B.
Sesudah Tahun 1945
Salah satu
materi Perubahan UUD 1945 adalah adanya jaminan terhadap hak asasi manusia dan
hak konstitusional warga negara. Perubahan itu dapat dilihat sebagai wujud
kesadaran tentang pentingnya perlindungan hak asasi manusia dan hak
konstitusional warga negara, yang tumbuh dan menjadi ruh era reformasi. Jaminan
itu telah dirumuskan dalam TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi
Manusia yang kemudian isinya menjadi materi UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, sebelum akhirnya dituangkan dalam Perubahan UUD 1945. Hak
konstitusional warga negara yang dijamin dalam UUD 1945 meliputi berbagai aspek
kehidupan, baik sipil, politik, ekonomi, maupun sosial. Di bidang hukum,
hak-hak konstitusional warga negara meliputi:
a.
Hak kesamaan di hadapan hukum (equality
before the law) sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat (1): “Segala warga
negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
b.
Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil, serta hak atas perlakuan yang sama dihadapan
hukum, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1): “Setiap orang berhak
atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
c. Hak
perlindungan diri pribadi sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1): “Setiap
orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat,
dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
yang merupakan hak asasi manusia.”
Bahkan, Pasal
28I ayat (1) UUD 1945 menempatkan “hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan
hukum”, merupakan salah satu hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun.
Berdasarkan
ketentuan UUD 1945 dapat dilihat bahwa hak kesamaan dihadapan hukum atau hak
atas perlakuan yang sama di hadapan hukum adalah hak konstitusional setiap
warga negara. Perlakuan yang sama di hadapan hukum juga berarti bahwa tiap
warga negara harus diakui sebagai subyek hukum penyandang hak dan kewajiban
yang memiliki kebebasan dan tanggungjawab untuk melakukan perbuatan hukum. Hak
sebagai pribadi hukum merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Hal itu hanya dapat terwujud apabila terdapat ruang, kesempatan, dan kekuatan
yang sama untuk mengakses hukum dan lembaga-lembaga hukum.
Namun demikian,
realitas sosial menunjukkan bahwa persamaan dihadapan hukum dan perlindungan
hukum tidak dengan mudah dapat terwujud karena perbedaan kemampuan yang
dimiliki oleh setiap warga negara. Perbedaan itu tidak hanya pada tataran
penegakan hukum untuk mengakses keadilan (access to justice) tetapi dimulai
sejak pembuatan aturan hukum yang sering kali hanya mewakili kepentingan elit
masyarakat. Demikian pula pada tataran pelaksanaan dan penegakan hukum,
relaitas menunjukkan bahwa perlakuan yang sama di hadapan hukum tidak dengan
sendirinya dapat terwujud walaupun telah dijamin oleh UUD 1945. Banyak faktor
yang menjadi penyebabnya mulai dari kompleksitas sistem hukum nasional yang
membutuhkan pengetahuan tersendiri untuk memahaminya hingga pelaksanaan dan
penegakan hukum yang bersifat elitis dan diskriminatif. Sebagai contoh, lembaga
peradilan sebagai tempat rakyat mencari keadilan ternyata belum mudah diakses
oleh masyarakat pencari keadilan. Untuk mengakses lembaga peradilan dibutuhkan
biaya tidak sedikit dan pengetahuan yang cukup, yang pada kenyataannya saat ini
banyak anggota masyarakat yang belum memiliki. Akibatnya, akses kepada keadilan
pun terhambat sehingga muncul perbedaan kedudukan dan perlindungan hukum. Hal
itu terjadi karena pengelolaan dan pemenuhan informasi hukum masih belum banyak
mendapatkan perhatian. Reformasi aspek pendidikan dan pembudayaan hukum masih
tertinggal dari reformasi di bidang substansi dan struktur hukum.
Oleh karena
itu, demi terwujudnya persamaan dan perlakuan yang sama di hadapan hukum,
bantuan hukum mutlak diperlukan. Tanpa adanya bantuan hukum, hak konstitusional
warga negara itu tidak akan terpenuhi. Bahkan, keadilan yang menjadi tujuan
hukum juga tidak akan dapat ditegakkan tanpa adanya bantuan hukum. Pada saat
keadilan tidak dapat ditegakkan, pada saat itu pula tidak ada hak asasi manusia
dan hak konstitusional warga negara yang dapat dilindungi dan dipenuhi.
UUD 1945
menentukan bahwa pemenuhan hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum, hak
atas pengakuan sebagai pribadi di hadapan hukum serta hak atas keadilan melalui
bantuan hukum adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah. Oleh karena itu
negara bertanggungjawab menyediakan penasihat hukum/advokat untuk perkara
pidana yang ancaman hukumannya di atas 5 tahun. Bahkan, Undang-Undang Kekuasaan
Kehakiman pada Pasal 37 sudah menyatakan “Setiap orang yang tersangkut perkara
berhak memperoleh bantuan hukum”. Selain itu, UU Advokat juga mewajibkan para
advokat untuk menangani perkara pro bono, namun belum banyak advokat yang
memiliki kesadaran dan kepedulian untuk melaksanakannya.
Fungsi Bantuan Hukum Mengingat
pentingnya peran bantuan hukum dalam mewujudkan cita negara hukum, maka
organisasi-organisasi bantuan hukum sangat diperlukan. Paling tidak terdapat
empat fungsi yang dijalankan melalui pemberian bantuan hukum.
a.
Dengan adanya bantuan hukum akan
terwujud persamaan di hadapan hukum. Proses hukum yang fair dan impartial hanya
akan terjadi apabila pihak-pihak yang bersengketa memiliki posisi dan kekuatan
yang seimbang, terutama dari sisi pengetahuan dan ketrampilan hukum.
b.
Apabila proses hukum berjalan secara
fair dan impartial,semua kebenaran materiil dapat terungkap. Dengan adanya
posisi dan kekuatan yang seimbang, manipulasi dan hegemoni atas fakta dan
kebenaran dapat dicegah. Dengan demikian, bantuan hukum berfungsi memperkuat
upaya menegakkan keadilan substansial melalui proses hukum yang fair dan
impartial.
c.
Bantuan hukum memberikan ruang
interaksi antara para ahli dan profesi hukum dengan masyarakat umum. Interaksi
itu akan menumbuhkan pemahaman dan kesadaran bagaimana memposisikan suatu aturan hukum dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Hukum adalah seperangkat aturan yang harus dipatuhi. Jika terdapat
permasalahan harus diselesaikan melalui jalur hukum, termasuk pada saat
terdapat aturan yang merugikan hak konstitusional warga negara juga harus
diselesaikan melalui mekanisme hukum. Bantuan hukum berfungsi untuk membangun
budaya kepatuhan terhadap hukum sebagai salah satu ciri utama masyarakat yang
beradab.
d.
Kepatuhan terhadap hukum hanya akan
berkembang pada saat masyarakat memahami kedudukan dan materi aturan hukum.
Pemahaman tersebut dengan sendirinya akan meningkatkan keberdayaan hukum
masyarakat yang sangat diperlukan, baik untuk melakukan hubungan hukum,
menjalani prosedur hukum, bahkan untuk mengkritisi materi serta praktik
penegakan hukum.
Advokat Sejak Masa Kemerdekaan
dan Era Reformasi.
Perkembangan pengaturan profesi Advokat di Indonesia dilanjutkan
pada masa pendudukan Jepang. Pemerintah kolonial Jepang tidak melakukan
perubahan yang berarti mengenai profesi ini. Hal ini terbukti pada UU Nomor 1
Tahun 1946 tentang Pemberlakuan Wetboek van strafrecht voor Nederlands
Indie tetapi digunakan istilah KUH Pidana. UU ini memuat pengaturan
tentang kedudukan Advokat dan procureur dan orang-orang yang
memberikan bantuan hukum.
Pengaturan profesi Advokat secara sporadis tersebar dalam
berbagai ketentuan perundang-undangan termasuk didalamnya ketentuan pada masa
kolonial Belanda. Bahkan pengaturan profesi Advokat sejak proklamasi 17 Agustus
1945 justru kurang mendapat perhatian. Hal ini ditunjukkan dengan tidak ditemukannya
istilah Advokat atau istilah lain yang sepadan dimasukkan dalam UUD 1945.
Demikian pula pada UUD RIS 1949 yang digantikan dengan UUDS 1950.
Sehingga ironi dalam pembangunan hukum di Indonesia, tidak
mengatur secara khusus profesi Advokat sebagaimana profesi hukum lainnya,
padahal profesi ini sebagai salah satu unsur penegak hukum. Akibatnya
menimbulkan berbagai keprihatinan dan kesimpangsiuran menyangkut profesi
tersebut. Seirama dengan merosotnya wibawa hukum (authority of law) dan
supremasi hukum (supremacy of law), maka profesi hukum ini juga terbawa
arus kemerosotan.
Meskipun demikian secara
implisit, terdapat beberapa ketentuan yang mengisyaratkan pengakuan terhadap
profesi ini, antara lain sebagai berikut :
a.
UU Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan
Ulangan untuk Jawa dan Madura, dalam Pasal 7 ayat 1 menyebutkan bahwa peminta
atau wakil dalam arti orang yang diberi kuasa untuk itu yaitu pembela atau
penasehat hukum.
b.
UU Nomor 1 Tahun 1950 tentang
Mahkamah Agung dalam Pasal 42 memberikan istilah pemberi bantuan hukum dengan
kata PEMBELA.
c.
UU Drt. Nomor 1 Tahun 1951
tentang Tindakan Sementara Penyelenggaraan Kekuasaan dan Acara Pengadilan
sipil, memuat ketentuan tentang bantuan hukum bagi tersangka atapun terdakwa.
d.
UU Nomor 19 Tahun 1964 tentang Pokok
Kekuasaan Kehakiman yang kemudian diganti dengan UU Nomor 14 Tahun 1970,
menyatakan bahwasetiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh
bantuan hukum.
e.
UU Nomor 13 Tahun 1965 tentang
Mahkamah Agung, diganti dengan UU Nomor 14 Tahun 1985, pada Pasal 54
bahwa penasehat hukum adalah mereka yang melakukan kegiatan memberikan
nasehat hukum yang berhubungan suatu proses di muka pengadilan.
f.
UU Nomor 1 Tahun 1981 tentang
KUHAP, dalam Pasal 54 s/d 57 dan 69 s/d 74 mengatur hak-hak tersangka atau
terdakwa untuk mendapatkanpenasehat hukum dan tata cara penasehat hukum berhubungan
dengan tersangka dan terdakwa.
g.
UU Nomor 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum, mengakui keberadaan penasehat hukum dalam memberi bantuan
hukum kepada tersangka atau terdakwa.
h.
Surat Edaran dan Surat Keputusan
Bersama Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman, dan sebagainya.
Bahkan sebenarnya Pasal 38 UU Nomor 14 Tahun 1970, telah
mengisyaratkan perlunya pengaturan profesi Advokat dalam UU tersendiri. Namun
hal itupun tidak menjadi perhatian pemerintah hingga akhirnya tuntutan
pengaturan tersebut semakin besar di kalangan organisasi Advokat. Setelah 33
tahun, barulah perjuangan itu berhasil melalui UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang
Advokat.
Berbagai argumentasi yang melatarbelakangi lambatnya respon
pemerintah terhadap pengaturan profesi Advokat ini. Diantaranya terkait dengan
tipe kepemimpinan pemerintahan pada masa itu. Misalnya pemerintahan Bung Karno
pada masa orde lama, pernah berkata kepada Mr. Sartono yang menjadi pembelanya
di landraad Bandung 1930, berikut petikannya :
“Mr. Sartono, aku pujikan segala usaha-usaha kamu, para
Advokat selalu berpegang teguh kepada UU. Mereka lebih kuat menganut cara
menembus UU, suatu revolusi menolak UU yang berlaku hari ini dan maju diatas
basis meninggalkan UU itu. Karena sulit untuk melancarkan suatu revolusi
beserta kaum Advokat dan pengacara. Adalah juga sulit untuk membangun
pertahanan suatu revolusi dengan para Advokat dan pengacara. Yang kami harapkan
adalah luapan semangat peri kemanusiaan. Inilah yang akan kukerjakan”.
Demikian pula pada pemerintahan orde baru, campur tangan
pemerintah dalam pembentukan dan perpecahan organisasi Advokat telah
menyebabkan tingkah laku, praktek dan sepak terjang pada Advokat menjadi tidak
terkontrol lagi oleh organisasi profesi yang seharusnya ketat memberlakukan
Kode Etik Profesi Advokat dan mengawasi praktek profesi Advokat.
Sejak lahirnya UU Advokat, profesi Advokat mendapat pengakuan
sehingga setara dengan penegak hukum lainnya dalam prakteknya. Pengaturan ini juga
berimplikasi pada rekturtmen Advokat secara sistematis sehingga diharapkan para
Advokat nantinya dapat melaksanakan amanat profesi ini sebagai profesi yang
mulia (officium nobile).
C.
Sesudah Amandemen ke
IV
Sejak Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
1945) diberlakukan pertama kali pada tanggal 18 Agusutus 1945, bangsa Indonesia
telah memiliki kesadaran akan konsep negara hukum sebagai pilihan yang ideal
bagi negara Indonesia yang diproklamasikan sehari sebelumnya, yaitu pada 17
Agustus 1945. Hal ini terbukti, dimana dalam Penjelasan UUD 1945 disebutkan
bahwa “Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat).
Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan
kekuasaan belaka (Machtsstaat).” Setelah mengalami pasang surut,
perjalanan ketatanegaraan Indonesia sampai pada era reformasi tahun 1998.
Salah satu tuntutan reformasi adalah perubahan tatanan berbangsa dan bernegara
Indonesia ke arah yang lebih konkret dengan semangat konstitusionalisme.
Oleh karenanya, amandemen terhadap UUD 1945 menjadi sebuah
keniscayaan, mengingat selama rezim Orde Baru mengubah UUD 1945 dianggap
sesuatu yang tabu. Sehubungan dengan itu, UUD 1945 telah diamandemen sebanyak
empat kali yaitu tahun 1999 (Perubahan Pertama), 2000 (Perubahan Kedua), 2001
(Perubahan Ketiga), dan 2002 (Perubahan Keempat). Pada Perubahan Ketiga, konsep
atau gagasan bahwa Indonesia sebagai negara hukum semakin diperkukuh. Hal ini
terbukti jika sebelum amandemen konsep negara hukum hanya ada dalam Penjelasan,
pasca amandemen telah eksplisit dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang
merumuskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Pengukuhan Indonesia sebagai negara hukum dalam Pasal 1 ayat (3)
UUD 1945 memberi pesan adanya keinginan kuat bahwa negara menjamin
terselenggaranya persamaan kedudukan dalam hukum, yang antara lain ditandai
dengan terciptanya suatu keadaan dimana hak setiap orang untuk mendapatkan
perlakuan yang sama di depan hukum serta jaminan kepada setiap orang yang
berhak mendapatkan akses keadilan (justice for all). Hal ini bahkan
merupakan hak dasar setiap orang yang bersifat universal. Konsep ini menjadi
penting karena negara selalu dihadapkan pada kenyataan adanya sekelompok
masyarakat yang miskin atau tidak mampu, sehingga sering tidak bisa mewujudkan
haknya untuk mendapatkan keadilan (yang semestinya terselenggara dalam
kaitannya dengan konsep negara hukum).
Untuk mewujudkan terselenggaranya gagasan negara hukum
(konstitusionalisme) tersebut, maka negara perlu campur tangan karena hal itu
menjadi kewajiban negara untuk menjamin hak setiap orang mendapatkan keadilan.
Dengan kata lain, negara harus menjamin terselenggaranya bantuan hukum kepada
orang miskin atau orang yang tidak mampu sehingga tidak ada yang luput dari
akses keadilan yang merupakan amanat konstitusi.
Amandemen UU 1945
Sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Umum UUD 1945 ayat
1,undang-undang dasar suatu Negara ialah hanya sebagian dari hukumnya\
dasar Negara itu. Dimaksud hanya sebagian adalah karena selain UUD (hukum tertulis)
juga berlaku hukum tidak tertulis. Sebagai konstitusi negara Indonesia UUD 1945
berada di posisi tertinggi dalam tata urutan perundang-undangan.Semua
hukum yang berlaku di Indonesia haruslah sesuai dan berintisari dari UUD 1945.
Akan tetapi biar bagaimanapun UUD 1945 adalah hukum yang di ciptakan manusia
dan tidak dapat dikatakan sempurna. Setidaknya telah ada 4 sejarah amandemen
UUD 1945.
Sebelum membahas sejarah amandemen UUD 1945 mungkin ada baiknya
kita sedikit mengulang bahasan sebelumnya tentang
perbandinganundang-undang dasar sebelum dan sesudah amandemen. Di sana
saya sempat menjelaskan 3 macam UUD yang telah digunakan di Indonesia. Yang
dimaksud ketiganya adalah UUD 1945, UUD RIS 1949, dan UUDS 1950. Beruntung saat
ini kita tetap menggunakan produk pendiri bangsa kita sebagai konstitusi
negara, UUD 1945. Namun dalam perjalanannya bangsa Indonesia semakin berkembang
dan memiliki kebutuhan yang lebih beragam lagi. UUD 1945 yang diposisikan
sebagai dasar negara ternyata memiliki beberapa kelemahan. Wajar saja karena
dalam prosesnya penyusunan UUD 1945 ini dilakukan dalam situasi kondisi
genting, sama halnya seperti proses perumusan pancasila.
Dalam sejarah amandemen UUD 1945 terhitung sudah 4 kali UUD 1945
mengalami amandemen (Amendment, Perubahan, tetapi bukan dalam pengertian
Pergantian). Setelah 4 kali diamandemen sebanyak 25 butir tidak dirubah, 46
butir dirubah atau ditambah dengan ketentuan lainnya. Secara keseluruhan saat
ini berjumlah 199 butir ketentuan, 174 ketentuan baru. Mengapa harus
diamandemen? Berikut ini beberapa alasan mengapa perlu dilakukan amandemen.
a. Alasan Dilakukan Amandemen
Lemahnya checks and balances pada
institusiinstitusi ketatanegaraan.
Executive heavy, kekuasaan terlalu
dominan berada di tangan Presiden (hak prerogatif dan kekuasaan legislatif)
Pengaturan terlalu fleksibel
(vide:pasal 7 UUD 1945 sebelum amandemen) Terbatasnya pengaturan jaminan akan
HAM Berikut ini sejarah amandemen UUD 1945 di Indonesia.
Amandemen I
Amandemen yang pertama kali ini disahkan pada tanggal 19 Oktober
1999 atas dasar SU MPR 14-21 Oktober 1999. Amandemen yang dilakukan
terdiri dari 9 pasal, yakni: Pasal 5, pasal 7, pasal 9, pasal 13, pasal 14,
pasal 15, pasal 17, pasal 20, pasal 21.
Inti dari amandemen pertama ini adalah pergeseran kekuasaan
Presiden yang dipandang terlalu kuat (executive heavy).
Amandemen II
Amandemen yang kedua disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000 dan
disahkan melalui sidang umum MPR 7-8 Agustus 2000. Amandemen
dilakukan pada 5 Bab dan 25 pasal. Berikut ini rincian perubahan yang dilakukan
pada amandemen kedua.yaitu
Pasal 18, pasal 18A, pasal 18B, pasal 19, pasal 20, pasal 20A,
pasal 22A, pasal 22B, pasal 25E, pasal 26, pasal 27, pasal 28A, pasal 28B,
pasal 28C, pasal 28D, pasal 28E, pasal 28F, pasal 28G, pasal 28H, pasal 28I,
pasal 28J, pasal 30, pasal 36B, pasal 36C.
Bab IXA, Bab X, Bab XA, Bab XII, Bab XV, Ps. 36A ;
Inti dari amandemen kedua ini adalah Pemerintah Daerah, DPR dan
Kewenangannya, Hak Asasi Manusia, Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan.
Amandemen III
Amandemen ketiga disahkan pada tanggal 10 November 2001
dan disahkan melalui ST MPR 1-9 November 2001. Perubahan yang terjadi
dalam amandemen ketiga ini terdiri dari 3 Bab dan 22 Pasal. Berikut ini detil
dari amandemen ketiga, yaitu :
Pasal 1,
pasal 3, pasal 6, pasal 6A, pasal 7A, pasal 7B, pasal 7C,
pasal 8,
pasal 11, pasal 17,
pasal
22C, pasal 22D, pasal 22E, pasal 23, pasal 23A, pasal23C, pasal 23E, pasal 23F,
pasal 23G, pasal 24, pasal 24A, pasal24B, pasal24C.
Bab
VIIA, Bab VIIB, Bab VIIIA.
Inti perubahan yang dilakukan pada amandemen ketiga ini
adalah Bentuk dan Kedaulatan Negara, Kewenangan MPR, Kepresidenan, Impeachment,
Keuangan Negara, Kekuasaan Kehakiman.
Amandemen IV
Sejarah amandemen UUD 1945 yang terakhir ini disahkan pada tanggal
10 Agustus 2002 melalui ST MPR 1-11 Agustus 2002. Perubahan yang
terjadi pada amandemen ke-4 ini terdiri dari 2 Bab dan 13 Pasal ,
yaitu :
Pasal 2, pasal 6A, pasal 8, pasal
11, pasal16, pasal 23B, pasal 23D, pasal 24, pasal 31, pasal 32, pasal 33,
pasal 34, pasal 37.
BAB XIII, Bab XIV.
Inti Perubahan: DPD sebagai bagian MPR, Penggantian Presiden,
pernyataan perang, perdamaian dan perjanjian, mata uang, bank sentral,
pendidikan dan kebudayaan, perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial,
perubahan UUD.
Tujuan Amandemen
Tujuan dari dilakukannya amandemen UUD 1945 yang terjadi hingga 4
kali ini adalah menyempurnakan aturan-aturan mendasar seperti tatanan
negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi Negara
demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan
perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Sejarah amandemen UUD 1945 yang
dilakukan berdasarkan kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD
1945, tetap mempertahankan susunan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
dan juga mempertegas sistem pemerintahaan.
SATUAN ANALISIS DESKRIPTIF MENGENAI PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERKAITAN DENGAN BANTUAN HUKUM INDONESIA