NAMA : HANDAYANI
BP : 310.006
TUGAS : BANTUAN HUKUM
DOSEN : NENI VESNA MADJID, SH. MH
HAK ASASI MANUSIA
A. PENGERTIAN
HAM
1. Pengertian
HAM
HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia, sesuai
dengan kodratnya (Kaelan: 2002).
Menurut pendapat Jan Materson (dari komisi HAM PBB), dalam
Teaching Human Rights, United Nations sebagaimana dikutip Baharuddin Lopa
menegaskan bahwa HAM adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang
tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.
John Locke menyatakan bahwa HAM adalah hak-hak yang diberikan
langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. (Mansyur
Effendi, 1994).
Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM
disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi
oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Hakikat Hak
Asasi Manusia sendiri adalah merupakan upaya menjaga keselamatan eksistensi
manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan antara kepentingan perseorangan
dengan kepentingan umum. Begitu juga upaya menghormati, melindungi, dan
menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia menjadi kewajiban dan tangung jawab bersama
antara individu, pemeritah (Aparatur Pemerintahan baik Sipil maupun Militer), dan
negara. HAM berlaku secara universal. Dasar-dasar HAM tertuang dalam
deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat (Declaration
of Independence of USA) dan tercantum dalam UUD 1945 Republik
Indonesia, seperti pada pasal 27 ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, dan pasal 31 ayat 1.
a.
Berdasarkan
Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998
HAM adalah hak-hak
dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal dan abadi
sebagai anugerah Tuhan YME, meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak
mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak
keamanan, dan hak kesejahteraan yang oleh karena itu tidak boleh diabaikan atau
dirampas oleh siapapun.
Macam-macam HAM
yang tercantum dalam TAP MPR di atas :
1)
Hak untuk hidup
2)
Hak berkeluarga dan
melanjutkan keturunan
3)
Hak keadilan
4)
Hak kemerdekaan
5)
Hak atas kebebasan
informasi
6)
Hak kemananan
7)
Hak kesejahteraan
8)
Kewajiban
9)
Perlindungan dan pemajuan
b.
Berdasarkan UU No.
39 Tahun 1999 tentang HAM
HAM adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan YME dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi, dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintahan, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia
HAM menurut UU
No. 39/1999 di atas meliputi :
1)
Hak untuk hidup
2)
Hak berkeluarga dan
melanjutkan keturunan
3)
Hak mengembangkan diri
4)
Hak keadilan
5)
Hak kemerdekaan (kebebasan
pribadi)
6)
Hak rasa aman
7)
Hak kesejahteraan
8)
Hak turut serta dalam
pemerintahan
9)
Hak wanita dan anak
2. Ciri
Pokok HAM
Berdasarkan beberapa rumusan HAM di atas, dapat ditarik
kesimpulan tentang beberapa ciri pokok hakikat HAM yaitu:
1. HAM tidak perlu diberikan, dibeli
ataupun diwarisi. HAM adalah bagian dari manusia secara otomatis.
2. HAM berlaku untuk semua orang
tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik atau asal-usul
sosial dan bangsa.
3. HAM tidak bisa dilanggar. Tidak
seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain. Orang
tetap mempunyai HAM walaupun sebuah Negara membuat hukum yang tidak melindungi
atau melanggar HAM (Mansyur Fakih, 2003).
3. HAM ditinjau dari Hukum Islam
Adanya ajaran tentang HAM dalam Islam menunjukan bahwa Islam sebagai agama telah
menempatkan manusia sebagai makhluk terhormat dan mulia. Oleh karena itu,
perlindungan dan penghormatan terhadap manusia merupakan tuntutan ajaran itu
sendiri yang wajib dilaksanakan oleh umatnya terhadap sesama manusia tanpa
terkecuali. Hak-hak yang diberikan Allah itu bersifat permanent, kekal dan
abadi, tidak boleh dirubah atau dimodifikasi (Abu A’la Almaududi, 1998). Dalam
Islam terdapat dua konsep tentang hak, yakni hak manusia (hak al insan) dan hak
Allah. Setiap hak itu saling melandasi satu sama lain. Hak Allah melandasi
manusia dan juga sebaliknya. Dalam aplikasinya, tidak ada satupun hak yang
terlepas dari kedua hak tersebut, misalnya sholat.
Sementara dalam hal al insan seperti hak kepemilikan, setiap
manusia berhak untuk mengelola harta yang dimilikinya.
Konsep islam mengenai kehidupan manusia didasarkan pada
pendekatan teosentris (theocentries) atau yang menempatkan Allah melalui
ketentuan syariatnya sebagai tolak ukur
tentang baik buruk tatanan kehidupan manusia baik sebagai pribadi maupun
sebagai warga masyarakjat atau warga bangsa. Dengan demikian konsep Islam tentang HAM berpijak pada ajaran tauhid. Konsep
tauhid mengandung ide persamaan dan persaudaraan manusia. Konsep tauhid juga
mencakup ide persamaan dan persatuan semua makhluk yang oleh Harun Nasution dan
Bahtiar Effendi disebut dengan ide perikemakhlukan. Islam datang secara inheren
membawa ajaran tentang HAM, ajaran islam tentang HAM dapat dijumpai dalam
sumber utama ajaran islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadits yang merupakan sumber
ajaran normative, juga terdapat praktek kehidupan umat islam.
Dilihat dari tingkatannya, ada 3 bentuk HAM
dalam Islam, pertama, Hak Darury (hak dasar). Sesuatu dianggap hak dasar
apabila hak tersebut dilanggar, bukan hanya membuat manusia sengsara, tetapi
juga eksistensinya bahkan hilang harkat kemanusiaannya. Sebagai misal, bila hak
hidup dilanggar maka berarti orang itu mati. Kedua, hak sekunder (hajy) yakni
hak-hak yang bila tidak dipenuhi akan berakibat hilangnya hak-hak elementer
misalnya, hak seseorang untuk memperoleh sandang pangan yang layak maka akan
mengakibatkan hilangnya hak hidup. Ketiga hak tersier (tahsiny) yakni hak yang
tingkatannya lebih rendah dari hak primer dan sekunder (Masdar F. Mas’udi,
2002)
Mengenai HAM yang berkaitan dengan hak-hak warga Negara, Al
Maududi menjelaskan bahwa dalam Islam hak asasi pertama dan utama warga negara
adalah:
a.
Melindungi nyawa, harta dan
martabat mereka bersama-sama dengan jaminan bahwa hak ini tidak kami dicampuri,
kecuali dengan alasan-alasan yang sah dan ilegal.
b.
Perlindungan atas kebebasan
pribadi. Kebebasan pribadi tidak bisa dilanggar kecuali setelah melalui proses
pembuktian yang meyakinkan secara hukum dan memberikan kesempatan kepada
tertuduh untuk mengajukan pembelaan
c.
Kemerdekaan mengemukakan pendapat
serta menganut keyakinan masing-masing
d.
Jaminan pemenuhan kebutuhan pokok
bagi semua warga negara tanpa membedakan kasta atau keyakinan. Salah satu kewajiban
zakat kepada umat Islam, salah satunya untuk memenuhi kebutuhan pokok warga
negara.
B. HAM DAN
PENGATURANYA
Landasan Hukum Hak Asasi Manusia di Indonesia
Bangsa Indonesia mempunyai pandangan dan sikap
mengenai Hak Asasi Manusia yang bersumber dari ajaran agama, nilai moral
universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan pada Pancasila dan
Undang-undang dasar 1945.
Pengakuan, jaminan, dan perlindungan Hak Asasi Manusia
tersebut diatur dalam beberapa peraturan perundangan berikut:
1. Pancasila
a. Pengakuan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa.
b. Pengakuan bahwa kita sederajat dalam mengemban kewajiban dan
memiliki hak yang sama serta menghormati sesamam manusia tanpa membedakan
keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan social, warna kulit,
suku dan bangsa.
c. Mengemban sikap saling
mencintai sesamam manusia, sikap tenggang rasa, dan sikap tida sewenang-wenang
terhadap orang lain.
d. Selalu bekerja sama, hormat menghormati dan selalu berusaha
menolong sesama.
e. Mengemban sikap berani
membela kebenaran dan keadilan serta sikap adil dan jujur.
f. Menyadari bahwa manusia sama derajatnya sehingga manusia
Indonesia merasa dirinya bagian dari seluruh umat manusia.
2.
Dalam Pembukaan UUD
1945
Menyatakan bahwa “ kemerdekaan itu adalah hak
segala bangsa, dan oleh karena itu penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan karena tidak sesuai dengan pri kemanusiaan dan pri keadilan”. Ini
adalah suatu pernyataan universal karena semua bangsa ingin merdeka. Bahkan,
didalm bangsa yang merdeka, juga ada rakyat yang ingin merdeka, yakni bebas
dari penindasan oleh penguasa, kelompok atau manusia lainnya.
3. Dalam Batang Tubuh UUD 1945
a.
Persamaan kedudukan warga
Negara dalam hokum dan pemerintahan (pasal 27 ayat 1)
b.
Hak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak (pasal 27 ayat 2)
c.
Kemerdekaan berserikat dan
berkumpul (pasal 28)
d.
Hak mengeluarkan pikiran
dengan lisan atau tulisan (pasal 28)
e.
Kebebasan memeluk agama dan
beribadat sesuai dengan agama dan kepercayaanya itu (pasal 29 ayat 2)
f.
Hak memperoleh pendidikan
dan pengajaran (pasal 31 ayat 1)
g.
BAB XA pasal 28 a s.d 28 j
tentang Hak Asasi Manusia
4.
Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
a.
Bahwa setiap hak asasi
seseorang menimbulkan kewajiban dasar
dan tanggung jawab untuk menghormati HAM
orang lain secara timbal balik.
b.
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap
orangbwajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh UU.
5.
Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
Untuk ikut serta memelihara perdamaian dunia dan
menjamin pelaksanaan HAM serta member I perlindungan, kepastian, keadilan, dan
perasaan aman kepada masyarakat, perlu segera dibentuk suatu pengadilan HAM
untuk menyelesaikan pelanggaran HAM yan berat.
6.
Hukum Internasional
tentang HAM yang telah Diratifikasi Negara RI
a.
Undang- undang republic
Indonesia No 5 Tahun 1998 tentang pengesahan (Konvensi menentang penyiksaan dan
perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, ridak manusiawi, atau merendahkan
martabat orang lain.
b.
Undang-undang Nomor 8 tahun
1984 tentang pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Wanita.
c.
Deklarasi sedunia tentang
Hak Asasi Manusia Tahun 1948 (Declaration Universal of Human Rights).
C. HAM DALAM UUD
1945 AMANDEMEN KE-4 DAN DALAM KUHP
Hak Asasi Manusia adalah hak dasar
atau hak pokok yang dimiliki manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang
Maha Esa. Hak asasi manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa sejak lahir,
maka tidak seorang pun dapat mengambilnya atau melanggarnya. Kita harus
menghargai anugerah ini dengan tidak membedakan manusia berdasarkan latar
belakang ras, etnik, agama, warna kulit, jenis kelamin, pekerjaan, budaya, dan
lain-lain. Namun perlu diingat bahwa dengan hak asasi manusia bukan berarti
dapat berbuat semena-mena, karena manusia juga harus menghormati hak asasi
manusia lainnya.
Ada 3 hak asasi manusia yang paling
fundamental (pokok), yaitu :
1. Hak Hidup (life)
2. Hak Kebebasan (liberty)
3. Hak Memiliki (property)
Ketiga hak tersebut merupakan hak
yang fundamental dalam kehidupan sehari-hari. Adapun macam-macam hak asasi
manusia dapat digolongkan sebagai berikut :
1. Hak asasi pribadi, yaitu hak asasi
yang berhubungan dengan kehidupan pribadi manusia. Contohnya : hak beragama,
hak menentukan jalan hidup, dan hak bicaara.
2. Hak asasi politik, yaitu yang
berhubungan dengan kehidupan politik. Contohnya : hak mengeluarkan pendapat,
ikut serta dalam pemilu, berorganisasi.
3. Hak asasi ekonomi, yaitu hak yang
berhubungan dengan kegiatan perekonomian. Contohnya: hak memiliki barang, menjual
barang, mendirikan perusahaan/berdagang, dan lain-lain.
4. Hak asasi budaya, yaitu hak yang
berhubungan dengan kehidupan bermasyarakat. Contohnya: hak mendapat pendidikan,
hak mendapat pekerjaan, hak mengembangkan seni budaya, dan lain-lain.
5. Hak kesamaan kedudukan dalam hukum
dah pemerintahan, yaitu hak yang berkaiatan dengan kehidupan hukum dan
pemerintahan. Contohnya : hak mendapat perlindungan hukum, hak membela agama,
hak menjadi pejabat pemerintah, hak untuk diperlakukan secara adil, dan
lain-lain.
6. Hak untuk diperlakukan sama dalam
tata cara pengadilan. Contohnya : dalam penyelidikan, dalam penahanan, dalam
penyitaan, dan lain-lain.
1.
HAM Sebelum UUD 1945 di Amandemen
a. UUD 1945 sebelum Perubahan bahkan tidak memuat secara
eksplisit dan lengkap pengaturan tentang hak asasi manusia, termasuk tentang
hak untuk hidup, meskipun dalam Alinea ke-4 memuat apa yang kemudian disebut
sebagai Pancasila yang salah satunya adalah sila “Kemanusiaan yang adil
dan beradab”;
b. Pasal 32 ayat (1) Konstitusi RIS 1949 memuat ketentuan tentang
pembatasan “Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia” sebagai
berikut, “Peraturan-peraturan undang-undang tentang melakukan hak-hak dan
kebebasan-kebebasan yang diterangkan dalam bagian ini, jika perlu, akan menetapkan
batas-batas hak-hak dan kebebasan itu, akan tetapi hanyalah semata-mata untuk
menjamin pengakuan dan penghormatan yang tak boleh tiada terhadap hak-hak serta
kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil
untuk ketenteraman, kesusilaan dan kesejahteraan umum dalam suatu persekutuan
yang demokrasi”;
c. Pasal 33 UUDS 1950 juga membatasi HAM (Hak-hak dan
Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia) sebagai berikut, “Melakukan hak-hak dan
kebebasan-kebebasan yang diterangkan dalam bagian ini hanya dapat dibatasi
dengan peraturan-peraturan undang-undang semata-mata untuk menjamin pengakuan
dan penghormatan yang tak boleh tiada terhadap hak-hak serta
kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil
untuk ketenteraman, kesusilaan dan kesejahteraan dalam suatu masyarakat yang
demokratis”;
2.
HAM dalam UUD 1945 amandemen ke 4
a. Pasal 28A : Mempertahankan
hidup dan keturunan
b.
Pasal 28B : Membentuk keluarga, keturunan dan
perlindungan anak dari kekerasan dan diskriminasi
c.
Pasal 28C : mengembangkan dan memajukan diri,
serta mendapat pendidikan dan manfaat
dari Iptek
d.
Pasal 28D : Pengakuan yang sama
di hadapan hukum, hak untuk bekerja dan
kesempatan yang sama dalam pemerintahan
e.
Pasal 28E : Kebebasan beragama,
meyakini kepercayaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal,
kebebasan berserikat, berkumpul dan berpendapat
f.
Pasal
28F :
Berkomunikasi dan memperoleh informasi
g.
Pasal
28G :
Perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda, serta bebas dari penyiksaan
h.
Pasal 28H : Hidup sejahtera lahir dan batin, memper oleh layanan kesehatan
i.
Pasal 28I : Tidak dituntut atas dasar hukum
yang berlaku surut dan bebas dari perlakuan diskriminatif
j.
Pasal 28J : Berkewajiban menghargai hak orang dan pihak lain serta tunduk kepada pembatasan UU.
Kegiatan-kegiatan
pokok penegakan hukum dan HAM meliputi hal-hal berikut:
Pelaksanaan Rencana Aksi Nasional
Hak Asasi Manusia (RANHAM) dari 2004-2009 sebagai gerakan nasional
Peningkatan
efektifitas dan penguatan lembaga / institusi hukum yang fungsi dan tugasnya
menegakkan hak asasi manusia
Peningkatan
upaya penghormatan persamaan terhadap setiap warga Negara ..
Peningkatan koordinasi dan kerja
sama yang menjamin efektifitas penegakan hukum dan HAM.
Pengembangan system
manajemen kelembagaan hukum yang transparan.
Peninjauan serta penyempurnaan
berbagai konsep dasar dalam rangka mewujudkan proses hukum yang lebih
sederhana, cepat, dan tepat serta dengan biaya yang terjangkau oleh semua
lapisan masyarakat.
3. Konsepsi HAM
dalam UUD 1945 Pasca Amandemen
Memasukkan hak-hak asasi
manusia ke dalam pasal-pasal konstitusi merupakan salah satu ciri konstitusi
moderen. Setidaknya, dari 120an konstitusi di dunia, ada lebih dari 80 persen
di antaranya yang telah memasukkan pasal-pasal hak asasi manusia, utamanya
pasal-pasal dalam DUHAM. Perkembangan ini sesungguhnya merupakan konsekuensi
tata pergaulan bangsa-bangsa sebagai bagian dari komunitas internasional,
utamanya melalui organ Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sejak dideklarasikannya
sejumlah hak-hak asasi manusia dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau
biasa disebut DUHAM 1948 (Universal Declaration of Human Rights), yang
kemudian diikuti oleh sejumlah kovenan maupun konvensi internasional tentang
hak asasi manusia, maka secara bertahap diadopsi oleh negara-negara sebagai
bentuk pengakuan rezim normatif internasional yang dikonstruksi untuk menata
hubungan internasional.
Meskipun demikian, dalam
konteks sejarah dan secara konsepsional, Undang-Undang Dasar 1945 yang telah
lahir sebelum DUHAM memiliki perspektif hak asasi manusia yang cukup progresif,
karena sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, alinea
1:
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak
segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Konsepsi HAM tersebut tidak
hanya ditujukan untuk warga bangsa Indonesia, tetapi seluruh bangsa di dunia!
Di situlah letak progresifitas konsepsi hak asasi manusia di tengah
berkecamuknya perang antara blok negara-negara imperial. Konsepsi yang demikian
merupakan penanda corak konstitusionalisme Indonesia yang menjadi dasar
tanggung jawab negara dalam hak asasi manusia (Wiratraman 2005a: 32-33).
DUHAM 1948 kemudian banyak
diadopsi dalam Konstitusi RIS maupun UUD Sementara 1950, dimana
konstitusi-konstitusi tersebut merupakan konstitusi yang paling berhasil
memasukkan hampir keseluruhan pasal-pasal hak asasi manusia yang diatur dalam
DUHAM (Poerbopranoto 1953 : 92). Di tahun 1959, Soekarno melalui Dekrit
Presiden telah mengembalikan konstitusi pada UUD 1945, dan seperti pada awalnya
disusun, kembali lahir pengaturan yang terbatas dalam soal hak-hak asasi
manusia. Dalam sisi inilah, demokrasi ala Soekarno (demokrasi terpimpin atau guided
democracy) telah memperlihatkan adanya pintu masuk otoritarianisme,
sehingga banyak kalangan yang menganggap demokrasi menjadi kurang sehat.
Di saat rezim Orde Baru di
bawah Soeharto berkuasa, konsepsi jaminan hak asasi manusia dalam UUD 1945
justru sama sekali tidak diimplementasikan. Kemerdekaan berserikat dan
berkumpul serta mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dikebiri atas
nama stabilisasi politik dan ekonomi, dan hal tersebut jelas nampak dalam
sejumlah kasus seperti pemberangusan simpatisan PKI di tahun 1965-1967 (Cribb
1990; Budiarjo 1991), peristiwa Priok (Fatwa 1999), dan penahanan serta
penculikan aktivis partai pasca kudatuli. Sementara penyingkiran hak-hak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan terlihat menyolok dalam
kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah, pengusiran warga Kedungombo (Elsam
& LCHR 1995), dan pembunuhan 4 petani di waduk Nipah Sampang (Hardiyanto
et. all (ed) 1995). Praktis, pelajaran berharga di masa itu, meskipun jaminan hak
asasi manusia telah diatur jelas dalam konstitusi, tidak serta merta di tengah
rezim militer otoritarian akan mengimplementasikannya seiring dengan teks-teks
konstitusional untuk melindungi hak-hak asasi manusia.
Setelah situasi tekanan
politik ekonomi yang panjang selama lebih dari 30 tahun, desakan untuk
memberikan jaminan hak asasi manusia pasca Soeharto justru diakomodasi dalam
pembentukan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Pasal-pasal di dalam undang-undang tersebut -- nyatanya -- cukup memberikan
pengaruh pada konstruksi pasal-pasal dalam amandemen UUD 1945, terutama pada
perubahan kedua (disahkan pada 18 Agustus 2000) yang memasukkan jauh lebih
banyak dan lengkap pasal-pasal tentang hak asasi manusia. Bandingkan saja kesamaan
substansi antara UUD 1945 dengan UU Nomor 39 Tahun 1999.
4.
HAM dalam KUHP
Berkaitan dengan hukum pidana, perlindungan hak asasi manusia terutama bagi tersangka atau
terdakwa diatur oleh Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal
50-68. (Hamzah: 2008)
Ada sepuluh asas yang
ditegaskan dalam Penjelasan KUHAP berkaitan juga dengan hak asasi
tersangka/terdakwa. Kesepuluh asas ini dapat dibedakan menjadi 7 (tujuh) asas
umum dan 3 (tiga) asas khusus, yaitu :
a. Asas-asas umum:
1) Perlakuan yang sama di muka hukum tanpa diskriminasi apapun.
2)
Praduga tak bersalah.
3)
Hak untuk memperoleh
kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi.
4)
Hak untuk mendapatkan
bantuan hukum.
5)
Hak pengadilan terdakwa di
muka pengadilan.
6)
Peradilan yang bebas dan
dilakukan dengan cepat dan sederhana.
7) Peradilan yang terbuka untuk umum.
b. Asas-asas
khusus:
1)
Pelanggaran atas hak-hak
individu (penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan) harus didasarkan
pada undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah (tertulis).
2)
Hak seorang tersangka untuk
diberitahukan tentang persangkaan dan pendakwaan terhadapnya.
3)
Kewajiban pengadilan untuk
mengendalikan pelaksanaan putusan-putusannya. (Soeharto : 2007)
Hukum perdata Indonesia,
sebagai hukum privat yang mengatur hubungan antar sesama manusia/orang, pada
dasarnya juga mengakui dan melindungi hak asasi manusia, baik hak-hak
perorangan (hak pribadi), hak perorangan atas kebendaan/ hak milik (kepunyaan),
hak dan kewajiban yang muncul dalam suatu perikatan, serta hak dan kewajiban
yang melekat pada seseorang untuk menuntut dan/atau membuktikan haknya atas
suatu benda maupun suatu perjanjian atau kejaidan/peristiwa hukum, serta
persamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan/wanita.
D. PELANGGARAN
BERAT HAM DAN HAK-HAK KORBAN
1.
Pelanggaran Berat
HAM
Pasal 1 butir ke-6 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, menyebutkan
bahwa yang dimaksudkan dengan Pelanggaran HAM adalah :“Setiap perbuatan
seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun
tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi,
menghalangi, membatasi, dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang
yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikwatirkan
tidak memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme
hukum yang berlaku”
Berdasarkan pengertian pelanggaran HAM dalam Pasal 1
butir ke-6 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM tersebut, maka untuk dapat
dikatakan telah terjadi pelanggaran HAM
bila:
1.
Adanya unsur perbuatan yang
dilakukan oleh perseorangan atau kelompok termasuk aparat negara
2.
Perbuatan tersebut dilakukan
baik dengan cara disengaja maupun tidak disengaja ataupun karena kelalaian yang
secara melawan hukum;
3.
Perbuatan tersebut
dimaksudkan untuk mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut HAM
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh UU No. 39 tahun 2000 tentang
HAM.
4.
Korban pelanggaran HAM, baik perseorangan
maupun kelompok orang tidak mendapatkan, atau dikwatirkan tidak memperoleh
penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang
berlaku.
Pengertian
pelanggaran HAM berat terdapat dalam penjelasan Pasal 104 ayat (1) UU No. 39
tahun 1999 tentang HAM, yang pada dasarnya menyatakan : “Pelanggaran HAM berat
adalah pembunuhan massal (genocide),
pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judial
killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, deskriminasi
yang dilakukan secara sistematis (systematic descrimination).
Suatu perbuatan
dikualifikasikan sebagai pelanggaran HAM berat, setidaknya harus mengandung
adanya perbuatan yang melanggar (act of commision), ada unsur kesengajaan
dan sikap membiarkan suatu perbuatan yang mestinya harus dicegah (act of
ommision), secara sistematis, menimbulkan akibat yang meluas dan rasa takut
luar biasa, dan serangan ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.
Menurut Muladi pelanggaran HAM berat merupakan tindak pidana sebagaimana tindak
pidana lain yang bersifat melawan hukum (unlawful) dan sama sekali tidak ada alasan
pembenarnya.
Contoh pelanggaran HAM berat
1.
Peristiwa Tanjung Priok
Tahun 1984.
Peristiwa
Tanjung Priok berawal dari ditahannya empat orang, yaitu Achmad Sahi, Sofwan
Sulaeman, Syarifuddin Rambe dan M. Nur yang diduga terlibat pembakaran sepeda
motor salah seorang Babinsa dari Koramil Koja.Mereka ditangkap oleh aparat
Polres Jakarta Utara yang kemudian ditahan di Kodim Jakarta Utara. Pada
tanggal 12 September 1984, diadakan tabligh akbar di Jalan Sindang
oleh Amir Biki, salah seorang tokoh masyarakat setempat. Dalam ceramahnya, Amir
Biki menuntut aparat keamanan untuk membebaskan empat orang jamaah Mushola As
Sa’adah yang ditahan. Setelah mengetahui keempat orang tersebut juga belum
dibebaskan aparat keamanan, maka selanjutnya pada pukul 23.00 WIB Amir Biki
mengerahkan massa ke kantor Kodim Jakarta Utara dan Polsek Koja. Massa
yang bergerak ke arah Kodim, di depan Polres Metro Jakarta Utara, dihadang oleh
satu regu Arhanud dibawah komando Pasi II Ops. Kodim Jakarta Utara, hingga
terjadi peristiwa penembakan yang menyebabkan terjadinya korban jiwa.
Peristiwa yang selanjutnya terkenal sebagai peristiwa Tanjung Priok
tersebut telah menimbulkan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai salah satu
bentuk pelanggaran HAM berat sebagaimana telah diatur dalam UU No. 26 tahun
2000 tentang Pengadilan HAM. Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan KPP HAM
Tanjung Priok138 terhadap petugas RSPAD Gatot Subroto didapatkan keterangan
sebagai berikut :
a.
Jumlah korban luka dalam
peristiwa Tanjung Priok yang dirawat sebanyak 36 orang, sedangkan jumlah korban
luka yang diberi pengobatan tetapi tidak dirawat sebanyak 19 orang.
b.
Sedangkan jumlah korban
yang meninggal dunia berjumlah 23 orang, dengan perincian 9 orang dapat
dikenali identitasnya139 dan 14 orang lainnya tidak diketahui identitasnya yang
dapat dikategorikan sebagai orang hilang.
2.
Peristiwa Daerah
Operasi Militer Di Aceh
Sejak
diberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM)142 tahun 1989 s/d tahun 1998 di
Propinsi Daerah Istimewa Aceh (sekarang Nangroe Aceh Darussalam) setidaknya
telah terjadi 7.727 kasus pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap
kemanusiaan. Penerapan status DOM di Aceh tersebut merupakan puncak dari
tindakan yang bersifat represif dari Pemerintah Republik Indonesia untuk
melangsungkan dan menjaga kepentingannya di Aceh. Pada saat itu pemerintah
mengkampanyekan pentingnya memberantas Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) untuk
menjaga keamanan masyarakat, yang di sisi lain melakukan legitimasi
tindakan-tindakan represif yang bertujuan menjaga kepentingan-kepentingan
bisnis pemerintah pusat. Berbagai operasi militer yang dilakukan TNI dan Polri
dengan dalih menumpas GPK Aceh (GAM, pen) merupakan shock therapyuntuk
mematikan keberanian rakyat Aceh melakukan koreksi, kritik atau upaya-upaya
lain. Dampak operasi militer tersebut membuat masyarakat didera ketakutan,
tanpa alasan yang jelas mereka diculik, dipukuli, disiksa bahkan dibunuh.
Fenomena semacam inilah yang merupakan awal dari bencana terjadinya
kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai salah satu pelanggaran HAM berat di
Aceh.
3.
Peristiwa Trisakti,
Semanggi I dan II
Perjuangan orde
reformasi dimulai dengan adanya krisis ekonomi yang melanda negara Indonesia
pada tahun 1997. Gerakan reformasi yang dipelopori oleh para mahasiswa terhadap
ketidakadilan yang dilakukan oleh rezim Orde Baru dibawah kepemimpinan Presiden
HM. Soeharto yang berkuasa selama kurun waktu 32 tahun secara otoriter.
Pergantian pemerintahan dari rezim Orde Baru ke Orde Reformasi memberikan
harapan bahwa demokratisasi telah dimulai. Namun patut disayangkan, usaha
mengatasi krisis yang bersifat multidimensional tersebut belum mampu
menunjukkan hasil yang cukup signifikan. Berbagai peristiwa seperti tragedi
Trisakti, SemanggiI dan Semanggi II merupakan resultan dari berbagai
faktor dan keadaan yang kurang kondusif dan hilangnya kepercayaan terhadap
pemerintah. Peristiwa-peristiwa tersebut telah melibatkan bentrokan fisik
antara mahasiswa dan masyarakat dengan TNI maupun Polri, yang mana dari ketiga
peristiwa itu telah menimbulkan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai salah
satu bentuk pelanggaran HAM berat.
4.
Peristiwa Di
Timor-Timur (Timtim)
Setelah
Pemerintah RI mengeluarkan dua opsi tanggal 27 Januari 1999 menyangkut masa
depan Timor-Timur (Timtim) untuk menerima atau menolak otonomi khusus, pada
tanggal 5 Mei 1999 di New York ditandatangani perjanjian antara Pemerintah
Indonesia dan Pemerintah Portugal dibawah payung PBB. Perjanjian yang bersifat
bilateral tersebut pada prinsipnya mengatur tentang penyelenggaraan jajak
pendapat dan pengaturan tentang pemeliharaan perdamaian dan keamanan di Timtim.
Sejak opsi diberikan
dan setelah diumumkannya hasil jajak pendapat, berkembang berbagai bentuk
tindak kekerasan berupa kejahatan terhadap kemanusiaan. Komnas HAM tanggal 8
September 1999 menyebutkan bahwa perkembangan kehidupan masyarakat di Timtim
pada waktu itu telah mencapai kondisi anarki dan
tindakan-tindakan brutalismedilakukan secara luas baik oleh perseorangan
maupun kelompok dengan kesaksian langsung dan pembiaran oleh unsur-unsur aparat
keamanan.
Terkait hal
tersebut, Komisi HAM PBB di Geneva tanggal 23-27 September 1999
menyelenggarakan special session mengenai situasi di Timtim. Hal
tersebut menunjukkan betapa seriusnyapenilaian dunia internasional terhadap
masalah pelanggaran HAM berat kategori kejahatan terhadap kemanusiaan di
Timtim.
Special
session menghasilkan Resolusi No. 1999/S-1/1, di samping menuntut
pemerintah Indonesia mengadili pelaku, juga meminta Sekjen PBB untuk membentuk
komisi penyelidik internasional atas kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai
salah satu bentuk pelanggaran HAM berat. Pemerintah
Indonesia via Komnas HAM kemudian membentuk KPP HAM152 Timtim pada
tanggal 22 September 1999 dengan SK No. 770/TUA/IX/99, yang kemudian
disempurnakan lagi dengan SK No. 797/TUA/X/99 tanggal 22 Oktober 1999, dengan
mengingat pada UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Perpu No. 1 tahun 1999
tentang Pengadilan HAM, serta mempertimbangkan bahwa situasi HAM di Timtim
pasca jajak pendapat semakin memburuk.
2.
Hak-Hak Korban
Terdapat dalam
UU No. 26 tahun 2000 tentang hak-hak korban
BAB VI
PERLINDUNGAN KORBAN DAN SAKSl
Pasal 34
(1)Setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak
asasi manusia
yang berat berhak atas perlindungan fisik dan mental dan
ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dan pihak manapun.
(2)Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) wajib
dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan
secara cuma-cuma.
(3)Ketentuan mengenai tata cara perlindungan
terhadap korban dan saksi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
E. PERANAN
BANTUAN HUKUM DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HAM
Bantuan
hukum menjadi Kewajiban setiap
berperkara, dalam masalah HAM tentang Peranan bantuan hukum itu sangat
penting sebagaimana perkara lainya, diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999 adalah
sebagai berikut:
Bagian Keempat
Hak Memperoleh Keadilan
Pasal 17
Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan
dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, dalam perkara pidana,
perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas
dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang
obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan
benar.
Pasal 18
- Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena
disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah,
sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan
dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi
pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sudah
ada sebelum tindak pidana itu dilakukannya.
- Setiap ada perubahan dalam peraturan perundang-undangan, maka
berlaku ketentuan yang paling menguntungkan bagi tersangka.
- Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum
sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
- Setiap
orang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama
atas suatu perbuatan yang telah memperoleh putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap.
Pasal 19
- Tiada suatu pelanggaran atau kejahatan apapun diancam dengan
hukuman berupa perampasan seluruh harta kekayaan milik yang bersalah.
- Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana
penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk
memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.
Pasal 34
Setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan,
diasingkan, atau dibuang secara sewenang-wenang.
Pasal 35
Setiap orang berhak hidup di dalam tatanan masyarakat dan
kenegaraan yang damai, aman, dan tenteram, yang menghormati, melindungi, dan
melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia
sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
HAK ASASI MANUSIA