SAMENLOOP ATAU GABUNGAN MELAKUKAN TINDAK PIDANA
MAKALAH
HUKUM PIDANA
“Diseminarkan
Dalam Diskusi Lokal PMH Semester VII pada Mata Kuliah Hukum Pidana”
Oleh
HANDAYANI : 310.006
WIRAHMI
HABIB : 311.038
BULIZA
RAHMAT : 309.365
RAHMAT
HIDAYAT : 311.108
Dosen Pembimbing:
HASNAH, SH. MH
PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
1435 H / 2013 M
BAB I
PENDAHULUAN
Gabungan
melakukan tindak pidana sering diistilahkan dengan concursus atau samenloop
yang berarti perbarengan melakukan tindak pidana yang dilakukan oleh satu
orang. Dalam KUHP gabungan melakukan tindak pidana sering diistilahkan dengan
Samenloop van Strafbare Feiten yaitu satu orang yang melakukan beberapa
peristiwa pidana, sementara itu Mas’ad Ma’shum memberikan definisi
gabungan melakukan tindak pidana ini dengan beberapa perbuatan yang dilakukan
oleh seseorang. Mr. Karni lain lagi, beliau lebih suka memakai istilah
“delik yang tertindih tepat” oleh karena pada concursus tersebut nampak
beberapa delik yang tertindih tepat yang ditimbulkan oleh perbuatan si pembuat.
Pada
delik penyertaan (delneming) terlibat beberapa orang dalam satu perbuatan yang
dapat dihukum, sedangkan pada gabungan beberapa perbuatan atau concursus
terdapat beberapa perbuatan yang dapat dihukum yang dilakukan oleh satu orang,
sebagaimana dalam recidive. Akan tetapi dalam recividive, beberapa perbuatan
pidana yang telah dilakukan diselingi oleh suatu putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan tetap, sehingga karenanya terhukum dinyatakan telah
mengulang kembali melakukan kejahatan. Sementara itu dalam gabungan
melakukan tindak pidana, pelaku telah berturut-turut melakukan beberapa
perbuatan pidana tanpa memberi kesempatan pada pengadilan untuk mengadili dan
menjatuhkan hukuman atas salah satu perbuatan tersebut. Gabungan melakukan
tindak pidana juga sering dipersamakan dengan perbarengan melakukan tindak pidana
yaitu seseorang yang melakukan satu perbuatan yang melanggar beberapa ketentuan
hukum atau melakukan beberapa perbuatan pidana yang masing-masing perbuatan itu
berdiri sendiri yang akan diadili sekaligus, dimana salah satu dari perbuatan
itu belum mendapatkan keputusan tetap.
Gabungan
melakukan tindak pidana (concursus) diatur dalam KUHP mulai pasal 63 sampai 71
buku I Bab VI. Dari pasal-pasal tersebut nantinya dapat menghapus kesan yang
selama ini ada dalam masyarakat bahwa seseorang yang melakukan gabungan
beberapa perbuatan pidana, ia akan mendapatkan hukuman yang berlipat ganda
sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Gabungan (Perbarengan)
Tindak Pidana
Yang dimaksud dengan perbarengan atau gabungan
ialah terjadinya dua atau lebih tindak pidana oleh satu orang dimana tindak
pidana yang dilakukan pertama kali belum dijatuhi pidana, atau antara tindak
pidana yang awal dengan tindak pidana berikutnya belum dibatasi oleh suatu
keputusan hakim.[1]
Pada pengulangan juga terdapat lebih dari satu tindak pidana yang dilakukan
oleh satu orang. Perbedaan pokoknya adalah bahwa pada pengulangan tindak pidana
yang dilakukan pertama atau lebih awal telah diputus oleh hakim dengan
mempidana pada si pembuat, bahkan telah dijalaninya baik sebagian atau
seluruhnya. Sedangkan pada perbarengan syarat seperti pada pengulangan tidaklah
diperlukan.
Perbarengan tersebut dapat dikatakan apakah
merupakan dasar pemberat pidana atau peringan pidana, tergantug pada hal yang
menjadi dasar pandangannya terhadap peristiwa konkrit tertentu, tidak bersifat
general untuk segala kejadian. Bila semata-mata dilihat dari pandangan bahwa
hanya dijatuhkan satu pidana kemudian dapat diperberat, tanpa melihat disana
ada beberapa tindak pidana, maka disini perbarengan dapat dianggap sebagai
pemberatan pidana. Akan tetapi apabila dilihat semata-mata ada beberapa tindak
pidana, tetapi hanya dijatuhkan satu pidana saja yakni terhadap aturan pidana
yang terberat ancaman pidananya, walaupun dengan dapat ditambah sepertiga yang
terberat (seperti pasal 65) maka tampaknya pada perbarengan tidak ada
pemberatan pidana. Seperti orang yang dua kali melakukan pembunuhan yang
masing-masing diancam 15 tahun, yang artinya untuk dua kali pembunuhan itu
dapat dijatuhi pidana berjumlah 30 tahun. Namun karena ketentuan perbarengan
dia tidak dijatuhi pidana penjara dua kali, akan tetapi ditambah sepertiganya
yaitu 20 tahun.
Berbeda dengan pengulangan yang tidak mengatur
mengenai ketentuan umumnya, hal perbarengan dimuat ketentuan umumnya dalam bab
VI (pasal 63-71) KUHP. Peraturan mengenai perbarengan pada dasarnya ialah suatu
ketentuan mengenai bagaiamana cara menyelesaikan perkara dan
menjatuhkan pidana ( system penjatuhan pidana) dalam hal apabila satu
orang telah melakukan lebih dari satu tindak pidana dimana semua tindak pidana
itu belum diperiksa dan diputus oleh pengadilan. Konkritnya ketentuan
perbarengan itu mengatur dan menentukan mengenai; cara menyidangkan atau
memeriksa (meyelesaikan) perkara dan cara atau system penjatuhan pidananya
terhadap satu orang orang pembuat yang telah melakukan tindak pidana lebih dari
satu yang semuanya belum diperiksa dan diputuskan oleh pengadilan.
Mengenai cara menyelesaikan perkara demikian,
undang-undang menghendaki ialah dengan memberkas beberapa tindak pidana itu
dalamm satu berkas perkara dan menyidangkannya dalam satu perkara oleh satu
Majlis Hakim, dan tidak dipecah-pecah menjadi beberapa perkara dengan
menyidangkannya sendiri-sendiri oleh beberapa majlis hakim. Perwujudan dari kehendak
undang-undang ini juga terdapat dalam pasal 141 KUHP atau dulu pasal 250 ayat
(14) HIR.
Ada dua alasan Pembentuk Undang-undang dalam
hal menghendaki agar beberapa tindak pidana ini diadili secara serentak dan
diputus dalam satu putusan pidana dan tidak dijatuhkan sendiri-sendiri dengan
memperhitungkan sepenuhnya ancaman pidana pada masing-masing tindak pidana yang
dilakukan, artinya agar tindak pidana – tindak pidana dalam perbarengan itu
tidak dipidana sepenuhnya sesuai tindak pidananya masing-masing:
a.
Pertimbangan psychology, maksudnya ialah bahwa
menjalani pidana satu kali dalam waktu yang lama dirasakan lebih berat dari
pada menjalani pidana dua kali dalam jumlah yang sama.
b.
Pertimbangan dari segi kesalahan si pembuat,
maksudnya ialah kesalahan si pembuat dalam melakukan tindak pidana berikutnya
dipandang lebih ringan daripada kesalahan dalam hal melakukan tindak pidana
yang pertama. Pertimbagan ini dikemukakan beerhubung dengan adanya anggapan
bahwa penjatuhan pidana pada dasarnya adalah suatu peringatan oleh Negara
kepada si pembuat tentang kesalahannya karena melakukan suatu tindak pidana.
Dalam hal perbarengan, melakukan tindak pidana yang pertama tidak/belum adanya
peringatan semacam itu, maka karenanya jika si pembuat tadi melakukan tidak
pidana lagi sebelum ia dipidana atas tindak pidana yang pertama, maka kesalahan
dalam hal melakukan tindak pidana kedua itu juga ada pada Negara, tidak pada si
pembuat semata-mata.
B.
Bentuk-bentuk Perbarengan
Undang-undang membedakan menjadi tiga bentuk
perbarengan: perbarengan peraturan (pasal 63) dengan menggunakan sistem hisapan
atau absorbsi, perbuatan berlanjut (pasal 64), perbarengan perbuatan (pasal
65-71)
a.
Perbarengan Peraturan (Concursus Idialis /
Eendaadse Samenloop)
Perbarengan
peraturan (concursus idealis) yaitu suatu perbuatan yang masuk kedalam lebih
dari satu aturan pidana. System pemberian pidana yang dipakai adalah system
absorbsi.[2]
Jadi misalnya terjadi pemerkosaan di jalan umum, maka pelaku dapat diancam
dengan pidana penjara 12 tahun menurut pasal 285, dan pidana penjara 2 tahun 8
bulan menurut pasal 281. dengan system absorbsi, maka diambil yang terberat,
yaitu 12 tahun penjara. Terwujudnya apa yang disebut dengan perbarengan
peraturan pada dasarnya apabila satu wujud perbuatan (een feit) melanggar lebih
dari satu aturan pidana. Pengertian dasar ini sesuai dengan apa yang dirumuskan
oleh pasal 63 ayat (1), yang menyatakan “Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih
dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara
aturan-aturan itu; dan jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman
pokok yang paling berat”.
Dalam
hal perbarengan peraturan dengan rumusannya diatas, yang menjadikan persoalan
besar ialah bukan system penjatuhan pidananya sebagaimana pada kalimat
selebihnya dari rumusan ayat (1) dan rumusan ayat (2) dari pasal 63 itu, tetapi
ialah persoalan mengenai suatu perbuatan (een feit). Hal ini juga terdapat dan
sejalan dengan arti perbuatan pada pasal 76 ayat (1) mengenai asas neb
is I idem dalam hukum pidana.
Penjatuhan
pidana pada bentuk perbarengan peraturan dengan menggunakan system hisapan,
artinya hanya dipidana terhadap salah satu dari atura pidana itu, dan jika
diantara aturan-aturan pidana itu berbeda-beda ancaman pidananya, maka yang
dikenakan adalah terhadap aturan pidana terberat ancaman pidana pokoknya, dan
apabila satu perbuatan itu masuk dalam aturan pidana umum yang sekaligus masuk
dalam aturan pidana khusus, maka yang dikenakan adalah terhadap aturan pidana
khusus itu saja.[3]
Jadi
berdasarkan ketentuan pasal 63 mengenai system hisapan pada perbarengan
peraturan ini, dapat dikenakan pada tiga kemungkinan, yaitu:
a) Pada perbarengan peraturan dari tindak pidana
dengan ancaman pidana pokok yang sama berat.
b) Pada perbarengan peraturan dari beberapa tindak
pidana dengan ancaman pidana pokoknya tidak sama berat.
c) Pada perbarengan peraturan di mana satu
perbuatan masuk atau diatur dalam suatu aturan pidana umum yang sekaligus masuk
aturan pidana yag khusus.
b.
Perbuatan Berlanjut (Voortgezette Handeling)
Mengenai
perbuatan berlanjut ini diatur dalam pasal 64 yang rumusannya adalah sebagai
berikut:
(1) Jika
antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau
pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai
satu perbuatan berlanjut (voortegezette handeling), maka hanya dikeakan satu
aturan pidana; jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana
pokok yang berat.
(2) Begitu
juga hanya dikenakan satu aturan pidana, jika orang dinyatakan salah melakukan
pemalsuan atau perusakan mata uang, dan menggunakan barang yang dipalsu atau
yang dirusak itu.
(3) Akan
tetapi, jika orang melakukan kejahatan-kejahatan tersebut dalam pasal 364, 373,
379 dan 407 ayat 1, sebagai perbuatan berlanjut dan nilai kerugian yang ditimbulkan
jumlahnya lebih dari Rp.25,- maka ia dikenai aturan pidana tersebut dalam pasal
362, 372, 378, da 406.[4]
Berdasarkan
rumusan ayat 1 tadi, dapat ditarik unsur-unsur dari perbuatan berlanjut, yaitu:
a) Adanya beberapa perbuatan, meskipun berupa
pelanggaran ataupun kejahatan;
b) Antara perbuatan yang satu dengan yang lain
terdapat hubungan yang sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai
perbuatan yang berlanjut;
Perbuatan berlanjut itu sendiri terdiri dari
perbuatan pidana-perbuatan pidana yang masing-masing adalah berdiri sendiri,
akan tetapi mempunyai pertalian satu sama lain. Jadi masing-masing perbuatan
pidana itu mempunyai tempat, waktu dan daluarsanya sendiri-sendiri.[5]
Para ahli dan demikian juga dalam praktik oleh
berbagai putusan Hoge Raad menarik kesimpulan tentang 3 syarat tentang syarat
adanya voortgezette handeling yang harus dipenuhi, yang sekaligus menggambarkan
tentang “ada hubungan” sebagai ciri pokok dari perbuatan berlanjut itu, ialah:
a) Harus ada satu keputusan kehendak (wilsbesluit)
si pembuat;
b) Perbuatan-perbuatan itu harus sama atau
sejenis;
c) Jangka waktu antara melakukan tindak pidana
yang satu dengan yang berikutnya tidak boleh berlangsung terlalu lama;
Pasal 64
ayat (2) merupakan ketentuan khusus dalam hal pemalsuan dan perusakan mata
uang, sedangkan pasal 64 ayat (3) merupakan ketentuan khusus dalam hal
kejahatan-kejahata ringan yang terdapat dalam pasal 364 (pencurian ringan),
pasal 373 (penggelapan rigan), pasal 407 ayat (1) (perusakan barang ringan),
yang dilakuka sebagai perbuatan berlanjut.
c.
Perbarengan Perbuatan (Concursus Realis /
Meerdaadse Samenloop)
Yang
dimaksud dengan gabungan beberapa beberapa perbuatan ialah apabila seseorang melakukan
beberapa perbuatan, perbuatan-perbuatan mana berdiri sendiri dan masing-masing
merupakan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana yang berupa kejahatan
atau pelanggaran yang mana belum ada yang dijatuhkan hukuman oleh pengadilan
dan akan diadili sekaligus oleh pengadilan.
KUHP
menyinggung concursus realis itu dalam pasal 65 dan 66: ,,gabungan dari
beberapa perbuatan, yang masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan
tersendiri-sendiri dan yang masing-masing menjadi kejahatan”. Berdasarkan apa
yang ditentukan dalam kedua pasal ini, maka VOS (hal. 312) membuat definisi
sebagai berikut: concursus realis terjadi dalam hal beberapa fakta-fakta, yang
harus dipandang sebagai perbuatan tersendiri-sendiri dan yang masing-masing
merupakan peristiwa pidana, dilakukan oleh satu orang dan diantara waktu
terjadinya masing-masing fakta itu tidak diputuskan hukuman terhadap salah satu
fakta-fakta tersebut.[6]
Berdasarkan rumusa ayat 1 pasal 65 dan 66, maka dapat disimpulkan bahwa
masing-masing tindak pidana-tindak pidana dalam perbarengan perbuatan itu satu
sama lain adalah terpisah dan berdiri sendiri. Inilah cirri pokok dari
perbarengan perbuatan.
C.
Sistem
Pemberian Pidana / Stelsel Pemidanaan
1.
Concursus Idealis (pasal 63).
a. Menurut ayat 1 digunakan system absorbsi, yaitu
hanya dikenakan satu pidana pokok yang terberat. Misal : perkosaan dijalan
umum, melanggar pasal 285 (12 th penjara) dan pasal 281 (2 tahun 8 bulan
penjara). Maksimum pidana penjara yang dapat dikenakan ialah 12 tahun.
b. Apabila Hakim menghadapi pilihan antara dua
pidana poko sejenis yang maksimumnya sama, maka menurut VOS ditetapkan pidana
pokok dengan tambahan yang paling berat.
c. Apabila menghadapi dua pilihan antara dua
pidana pokok yang tidak sejenis, maka penetuan pidana yang terberat didasarkan
pada urut-urutan jenis pidana seperti tersebut dalam pasal 10 (lihat pasal 69
ayat (1) jo pasal 10), jadi misalnya memilih antara 1 minggu penjara, 1 tahun
kurungan dan denda 5 juta rupiah, maka pidana yang terberat adalah 1 minggu
penjara.
d. Dalam pasal 63 ayat (2) diatur ketentuan khusus
yang menyimpang dari prinsip umum dalam ayat (1), dalam hal ini berlaku adagium
“lex specialis derogate legi generali”Contoh : seorang ibu membunuh
anaknya sendiri pada saat anaknya dilahirkan. Perbuatan ibu ini dapat masuk
dalam pasal 338 (15 tahun penjara dan pasal 341 (7 tahun penjara). Maksimum
pidana penjara yang dikenakan ialah yang terdapat dalam pasal 341 (lex
specialis) yaitu 7 tahun penjara.
2. Perbuatan berlanjut (pasal 64).
a). Menurut pasal 64 ayat (1), pada prinsipnya
berlaku system absorbsi yaitu hanya dikenakan satu aturan pidana, dan jika
berbeda-beda dikenakan satu aturan pidana, dan jika berbeda-beda dikenakan
ketentuan yang memuat ancaman pidana pokok yang terberat.
b).Pasal
64 ayat (2) merupakan ketentuan khusus dalam hal pemalsuan dan perusakan mata
uang. Misal A setelah memalsu mata uang (pasal 244 dengan ancaman pidana
penjara 15 tahun) kemudian menggunakan / mengedarkan mata uang yang palsu itu
(pasal 245 dengan ancaman pidana penjara 15 tahun). Dalam hal ini perbuatan A
tidak dipandang sebagai concursus Realis, tetapi tetap dipandang sebagai
perbuatan berlanjut sehingga ancaman maksimum pidananya dapat dikenakan 15
tahun penjara
c).
Pasal 64 ayat (3) merupakan ketentuan khusus dalam hal kejahatan-kejahatn
ringan yang terdapat dalam pasal 364 (pencurian ringan), 373 (penggelapan
ringan), 379 (penipuan ringan) dan 407 (1) (perusakan barang ringan) yang
dilakukan sebagai perbuatan berlanjut.
Apabila
nilai kerugian yang timbul dari kejahatan-kejahatn ringan yang dilakukan
sebagai perbuatan berlanjut itu lebih dari Rp. 250,- maka menurut pasal 64 ayat
(3) dikenakan aturan pidana yang berlaku untuk kejahatan biasa. Berarti yang
dikenakan adalah pasal 362 (pencurian), 372 (penggelapan), 378 (penipuan) atau
406 (perusakan barang).
3. Concursus Realis (pasal 65 s/d 71).
a) Untuk
concursus realis berupa kejahatan yang diancam pidana pokok sejenis, berlaku
pasal 65 yaitu hanya dikenakan satu pidana dengan ketentuan bahwa jumlah
maksimum pidana tidak boleh lebih dari maksimum terberat ditambah sepertiga.
Misal :
A
melakukan 3 jenis kejahatan yang masing-masing diancam pidana 4 tahun, 5 tahun
dan 9 tahun. Dalam hal ini yang dapat digunakan ialah 9 tahun + (1/3 x 9) tahun
= 12 tahun penjara. Jadi disini berlaku system absorbsi yang dipertajam.
A
melakukan 2 jenis kejahatan yang masing- masing diancam pidana penjara 1 tahun
dan 9 tahun. Dalam hal ini, maksimum pidana yang dapat dijatuhkan ialah jumlah
ancaman pidananya yaitu 10 tahun penjara, karena melebihi jumlah maksimum
pidana untuk masing-masing kejahatan tersebut.
b). Untuk concursus realis berupa kejahatan
yang diancam pidana pokok tidak sejenis berlaku pasal 66 yaitu semua jenis
ancaman pidana untuk tiap-tiap kejahatan dijatuhkan, tetapi jumlahnya tidak boleh
melebihi maksimum piudana yang terberat ditambah sepertiga, system ini disebut
system Kumulasi yang diperlunak.
Misalnya: si A melakukan 2 jenis
kejahatan yang masing-masing diancam pidana 9 bulan kurungan dan dua
tahun penjara. Dalam hal ini semua jenis pidana (penjara dan kurungan) harus
dijatuhkan. Adapun maksimumnya adalah 2 tahun ditambah (1/3 x 2) tahun = 2
tahun 9 bulan atau 33 bulan. Dengan demikian pidana yang dijatuhkan misalnya
terdiri dari 2 tahun penjara dan 8 bulan kurungan. Bagaimanakah dalam hal A
melakukan 2 jenis kejahatan yang masing-masing diancam 6 bulan penjara dan
denda Rp. 1.000,- ? mengenai hal ini ada dua pendapat :
Menurut
Noyon semuanya harus dijatuhkan yaitu 6 bulan penjara dan denda Rp. 1.000,-;
Menurut
blok perhitungannya sbb : pidana denda dijadikan dulu pidana kurungan pengganti
yaitu maksimum 6 bulan (lihat pasal 30 KUHP). Dengan demikian maksimumnya ialah
6 + (1/3 x 6) bulan = 8 bulan. Karena semua jenis pidana harus dijatuhkan maka
6 bulan ini dipecah menjadi 6 bulan penjara dan 2 bulan kurungan pengganti atau
sama dengan 1/3 x Rp. 1.000,- = Rp. 333,30,- (atau dibulatkan menjadi Rp.
334,-_
Perhitungan
blok mengenai jumlah pidana kurungan pengganti di atas masih didasarkan pada
perhitungan lama sebelum adanya perubahan pidana denda 15 kali menurut UU No.
18 tahun 1960. Menurut perhitungan lama, tiap denda 50 sen atau kurang dihitung
sama dengan satu hari kurungan pengganti, tetapi karena menurut pasal 30 (3)
maksimum kurungan pengganti 6 bulan, maka untuk denda Rp. 1.000,- maksimumnya
kurungan penggantinya 6 bulan. Dengan telah adanya perubahan pidana denda, maka
1 hari kurungan pengganti dihitung sama dengan Rp. 7,50,- (yaitu 50 sen
dikalikan 15) jadi untuk denda Rp. 1.000,- kurungan penggantinya sama dengan 134
hari (dibulatkan).
Dengan
demikian apabila diikuti perhitungan menurut Blok di atas maka jumlah maksimum
8 bulan dapat dipecah misalnya menjadi 6 bulan penjara dan 2 bulan kurungan
pengganti atau sama dengan denda 60/134 x Rp. 1.000,- = Rp.447,76. Bagaimanakah
dalam hal A melakukan dua jenis kejahatan yang terdapat dalam pasal 351
(diancam pidana 2 tahun 8 bulan penjara atau denda Rp. 4.500,-) dalam pasal 360
(diancam pidana 5 tahun penjara atau 1 tahun kurungan). Dalam hal ini hakim
harus mengadakan “pilihan hukum” terlebih dahulu. Kalau dipilih ancaman pidana
yang sejenis, maka digunakan system absornsi yang dipertajam / diperberat
(pasal 65).
c). Untuk Concursus Realis berupa pelanggaran,
berlaku pasal 70 yang menggunakan system kumulasi.
Misal A
melakukan dua pelanggaran yang masing-masing diancam piadan kurungan 6 bulan
dan 9 bulan, maka maksimumnya adalah (6+9) bulan = 15 bulan. Namun menurut
pasal 70 ayat 2, system kumulasi itu dibatasi sampai maksimum 1 tahun 4 bulan
kurungan. Jadi misal A melakukan dua pelanggaran yang masing-masing diancam
pidana kurungan 9 bulan, maka maksimum pidana kurungan yang dapat dijatuhkan
bukanlah (9+9) bulan = 18 bulan, tetapi maksimumnya adalah 1 tahun 4 bulan atau
hanya 16 bulan.
d) Untuk
Concursus Realis berupa kejahatan ringan, khusus untuk pasal 302 (1), 352, 364,
373, 379 dan 482 berlaku pasal 70 bis yang menggunakan system kumulasi tetapi
dengan pembatan maksimum untuk penjara 8 bulan.
Misal :
A
melakukan pencurian ringan (pasal 364) dan penggelapan ringan (pasal 373) yang
masing-masing diancam pidana 3 bulan penjara. Maksimum pidana yang dapat
dijatuhkan adalah 6 bulan penjara (system kumulasi).
Tetapi
apabila A misalnya melakukan 3 kejahatan ringan yang masing-masing diancam
pidana penjara 3 bulan, maka maksimumnya bukan 9 bulan penjara (kumulasi)
tetapi 8 bulan penjara.[7]
e). Untuk Concursus Realis, baik kejahatan
maupun pelanggaran untuk diadili pada saat berlainan, berlaku pasal 71 yang
berbunyi sbb:
“Jika seseorang setelah dijatuhi pidana
kemudian dinyatakan salah lagi karena melakukan kejahatan atau pelanggaran lain
sebelum ada putusan pidana itu, maka pidana yang dahulu diperhitungkan pada
pidana yang akan dijatuhkan dengan menggunakan aturan-aturan dalam bab ini
mengenai hal perkara-perkara diadili pada saat yang sama”
Misal :
A
melakukan kejahatan-kejahatan sbb :
Tgl. 1/1
: pencurian (pasal 362, ancaman pidana 5 tahun penjara);
Tgl. 5/1
: penganiayaan biasa (pasal 351 diancam 2 tahun 8 bulan);
Tgl.
10/1 : penadahan (pasal 480, diancam 4 tahun penjara);
Tgl.
20/1 : penipuan (pasal 378, diancam 4 tahun penjara).
Kemudian
A ditangkap dan diadili dalam satu keputusan. Maksimum pidana yang dapat
dijatuhkan ialah 5 tahun + (1/3 x 5 tahun) = 6 tahun 8 bulan. Andaikata untuk
keempat tindak pidana itu, hakim menjatuhkan pidana 6 tahun penjara, maka jika
kemudian ternyata bahwa A pada tanggal 14/1 (jadi sebelum ada keputusan)
melakukan penggelapan (pasal 372 yang diancam pidana penjara 4 tahun), maka
keputusan yang kedua kalinya ini untuk penggelapan itu paling banyak hanya
dijatuhi pidana penjara selama 6 tahun 8 bulan (putusan sekaligus) dikurangi 6
tahu (putusanI) yaitu 8 bulan penjara.[8]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Perbarengan
atau gabungan ialah terjadinya dua atau lebih tindak pidana oleh satu orang
dimana tindak pidana yang dilakukan pertama kali belum dijatuhi pidana.
Menurut
ilmu hukum, dalam hukum positif terdapat tiga bentuk gabungan melakukan tindak
pidana, yaitu:
1.
Gabungan satu perbuatan / concursus idealis / Eendaadse Samenloop ialah
gabungan suatu perbuatan apabila seseorang melakukan suatu perbuatan dan dengan
melakukan perbuatan itu ia melakukan pelanggaran atas beberapa peraturan pidana
atau suatu perbuatan yang masuk kedalam lebih dari satu aturan pidana
2.
Perbuatan berlanjut / Voorgezette Handeling ialah Perbuatan yang terdiri
dari perbuatan pidana-perbuatan pidana yang masing-masing berdiri sendiri, akan
tetapi mempunyai pertalian yang erat antara satu sama lainnya.
3.
Gabungan beberapa perbuatan / concursus realis / Meerdaadse
Samenloop ialah apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan,
perbuatan-perbuatan mana berdiri sendiri dan masing-masing merupakan
pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana yang berupa kejahatan atau
pelanggaran yang mana belum ada yang dijatuhkan hukuman oleh pengadilan dan
akan diadili sekaligus oleh pengadilan.
Adapun
sistem pemberian pidananya adalah sebagai berikut :
1.
Concursus Idealis (pasal 63).
Menurut
ayat 1 digunakan system absorbsi, yaitu hanya dikenakan satu pidana pokok yang terberat.
2.
Perbuatan berlanjut (pasal 64).
Menurut
pasal 64 ayat (1), pada prinsipnya berlaku system absorbsi yaitu hanya
dikenakan satu aturan pidana, dan jika berbeda-beda dikenakan ketentuan yang
memuat ancaman pidana pokok yang terberat.
3.
Concursus Realis (pasal 65 s/d 71).
Untuk
concursus realis berupa kejahatan yang diancam pidana pokok sejenis, berlaku
pasal 65 yaitu hanya dikenakan satu pidana dengan ketentuan bahwa jumlah
maksimum pidana tidak boleh lebih dari maksimum terberat ditambah sepertiga.
B. KRITIKAN
DAN SARAN
Kami
dari penulis, menyadari sepenuhnya bahwa makalah kami ini jauh dari
kesempurnaan, dan keterbatasan referensi untuk itu kami berharap kepada pembaca, terutama dosen
pembimbing mata kuliah ini berupa kritik dan sarannya terhadap makalah ini yang
bersifat membangun.
DAFTAR
PUSTAKA
Chazawi,
Adami, Pelajaran Hukum Pidana II, Jakarta: Rajawali Pers, 2002
Moeljatno, Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, Jakarta: Bumi Aksara, 2011
Prasetyo,
Teguh, Hukum Pidana. Jakarta: Rajawali Pers, 2011
Saleh, Roeslan, Kitab Undang-undang
Hukum Pidana dengan Penjelasan, Jakarta: Aksara Baru, 1981
Utrecht,
E, Hukum Pidana II, Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1987