IJTIHAD DALAM KERANGKA MUQASYID SYARI’AH
MAKALAH
MUQARANAH
MAZAHIB FIL USHUL II
“Diseminarkan Dalam Diskusi
Lokal PMH Semester VII pada Mata Kuliah Muqaranah Mazahib fil Ushul II”
Oleh
HANDAYANI
310.006
Dosen Pembimbing:
ZAINAL AZWAR, M.Ag
PERBANDINGAN
MAZHAB DAN HUKUM (PMH)
FAKULTAS
SYARI’AH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM
BONJOL PADANG
1434
H / 2013 M
BAB I
PENDAHULUAN
IJTIHAD DALAM KERANGKA MUQASYID SYARI’AH
A.
Latar Belakang
Masalah
Para ulama sepakat bahwa Al-Quran dan Sunnah merupakan
sumber ajaran yang asasi, akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa kedua sumber
tersebut masih banyak hal yang bersifat global dan belum mencakup semua
persoalan hukum yang senantiasa silih berganti seiring dengan perjalanan
waktu dan perubahan zaman.
Sunnah, para ulama melakukan ijtihad, oleh karena itu
ijtihad menjadi hal yang sangat penting sebagai upaya pemecahan persoalan
hukum. Ijtihad dilakukan oleh para ulama dengan mempertimbangkan berbagai
hal guna mencapai ketetapan hukum yang dapat dipertanggung jawabkan. Salah satu
pertimbangan penting yang digunakan dalam penetapan hukum adalah
mempertimbangkan maqasid al-syariah sebagai dasarnya. Teks tidak selalu memberi jawaban
yang terperinci dan konkrit atas kemaslahatan, tetapi teks menjadi standar
pasti terhadapnya, dan terbuka lebar ruang untuk berkreasi dan berijtihad dan
selalu meluas dan terus berkesinambungan dalam menilai hal-hal baru, menyikapi
perkembangan zaman.Makalah ini akan membahas hubungan maqasid al-syariah dengan
ijtihad.
B.
Tujuan
Pembuatan Makalah
Makalah
ini penulis buat dengan tujuan untuk mengembangkan dan menambah pengetahuan dan
untuk memenuhi tugas pada mata kuliah “Muqaranah Mazahib fil Ushul II”
yang dibimbing oleh Bapak Zainal Azwar. M.Ag
C.
Batasan Makalah
Makalah
Muqaran Mazahib fil Ushul II ini penulis batasi supaya tidak melenceng
kepada pembahsan berikutnya. Penulis membahas tentang “Ijtihad dalam
kerangka Muqasyid asy-Syari’ah di zaman Modern”
1. Mengenal Ijtihad
2. Mengenal Muqasyid Syari’ah
3. Maqasid Syari’ah Sebagai Kerangka Teoritis dalam Berijtihad
BAB
II
PEMBAHASAN
IJTIHAD DALAM KERANGKA MUQASYID SYARI’AH
A. Mengenal Ijtihad
1. Pengertian Ijtihad
Secara etimologis, kata ijtihad
merupakan bentuk masdar dari kata اجــتـهـد.
Akar dari kata ini adalah الـجهـد yang berarti الوسع و الطاقة (kekuatan,
kemampuan, kesanggupan)[1] Kata ijtihad berarti بـذل ما في وسعه (pengerahan
seluruh kekuatan, kemampuan, kesanggupan).[2]
Secara
terminologi Pengertian Ijtihad yang dikemukakan oleh Abu Zahrah adalah
“Mencurahkan seluruh kemampuan secara maksiamal, baik untuk mengistinbathkan
hukum syara’, maupun dalam penerapannya”.[3]
2. Dasar Hukum Ijtihad
Banyak alasan yang menunjukan kebolehan
melakukan ijtihad antara lain adalah:
a) Surat an-Nisa’ ayat 59
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's? ÇÎÒÈ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Perintah mengembalikan sesuatu yang diperbedakan kepada al-Qur’an dan Sunnah,
menurut Ali Hasaballah, adalah peringatan agar orang tidak mengikuti hawa
nafsunya, dan diwajibkan untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya dengan jalan
ijtihad.[4]
b) Hadis Nabi Muhammad SAW
Hadis yang diriwayatkan dari Mu’az bin
jabal. Ketika dia akan diputus ke Yaman, menjawab pertanyaan Rasulullah dengan
apa ia memutuskan hukum, ia menjelaskan secara berurutan, yaitu dengan
al-Qur’an, kemudian dengan Sunnah Rasulullah, dan kemudian dengan melakukan
ijtihad. Rasulullah SAW mengakui hal itu dengan mengatakan:
“Segala puji bagi Allah yang telah
memberikan taufik atas diri utusan dari Rasulullah dengan apa yang di ridhai
oleh Allah dan Rasulullah-Nya.
Hadis Nabi Muhammad SAW
Artinya: “Dari al-Aris bin amr’ dari sekelompok orang teman-teman
mu’az sesungguhnya rasulullah mengutus
mu’az ke yaman maka beliau bertanya kepada mu’az atas dasar apa anda
memutuskan suatu persoalan, dia menjawab dasarnya adalah kitab allah, nabi
bertanya: kalau tidak ada ditemukan dalam kitab allah? Dia menjawab dengan
sunnah rasulullah SAW, beliau bertanya lagi kalau tidak ada ditemukan dalam
sunnah Rasulullah? Mu’az menjawab aku akan berijtihad dengan penalaranku, maka
nabi berkata: segala puji bagi allah yang telah memberi taufik atas diri utusan
rasulullah SAW” (HR. Tirmizi).
3. Syarat-Syarat Seorang Mujtahid
Para
ulama telah merumuskan persyaratan seorang mujtahid dengan rumusan dan redaksi
yang berbeda-beda. Namun dalam pembahasan ini akan dikemukakan syarat-syarat
mujtahid yang dirimuskan oleh Wahbah Zuhaili sebagai berikut:
a.
Mengetahui makna ayat yang terdapat dalam
al-Qur’an baik secara bahasa maupun secara bahasa maupun secara istilah syara’.
Tidak perlu dihafal cukup mengetahui tempat ayat-ayat ini berada sehingga mudah
untuk mencarinya ketika dibutuhkan.
b.
Mengetahui hadis-hadis ahkam baik secara bahasa
maupun istilah. Tidak perlu dihafal sebagaimana juga al-Qur’an. Menurut ibn
Arabi(w. 543 H) hadis ahkam berjumlah 3.000 hadis, sedangkan menurut riwayat
dari Ahmad bin Hambal 1.200 hadis. Tetapi wahbah Zuhaili tidak sependapat,
menurutnya yajng terpenting mujtahid mengerti seluruh hadis-hadis hukum yang
terdapat dalam kitab-kitab besar seperti sahih bukhari, sahih Muslim, dan
lain-lain.
c.
Mengetahui al-Qur’an dan Hadis yang telah
dinasakh dan mengetahui ayat dan hadis yang menasakh. Tujuannya agar mujtahid
tidak mengambil kesimpulan dari nas (al-Qur’an dan hadis) yang tidak berlaku
lagi.
d.
Mengetahui sesuatu yang hukumnya telah dihukumi
oleh ijma, sehingga ia tidak menetapkan hukum yang bertentangan dengan ijma.
e.
Mengetahui qiyas dan sesuatu yang berhubungan
dengan qiyas yang meliputi rukun, syarat, illat hukum dan cara istinbatnya dari
nash, maslahah manusia, dan sumber syariat secara keseluruhan. Pentingnya
mengetahui qiyas karena qiyas adalah metode ijtihad.
f.
Menguasai bahasa Arab tentang nahwu saraf,
maani, bayan, dan uslub-nya karena al-Qur’an dan hadis itu berbahasa Arab. Oleh
karena itu, tidak mungkin dapat mengistinbatkan hukum yang berdasar dari
keduanya tanpa menguasai bahasa keduanya.
g.
Mengetahui ilmu ushul fiqh, karena ushul fiqh
adalah tiang ijtihad berupa dalil-dalil secara terperinci yang menunjukkan
hukum melalui cara tertentu seperti amr, nahi, am, dan khas. Istinbat
diharuskan untuk mengetahui cara-cara ini dan semuanya itu ada dalam ilmu ushul
fiqh.
Mengetahui
maqasid syariah dalam penetapan hukum, karena pemahaman nas dan penerapannya
dalam peristiwa bergantung kepada maqasid syariah.[5]
4. Hukum Berijtihad
Jika
seseorang sudah memenuhi syarat-syarat untuk berijtihad sebagaimana tersebut di
atas maka keberadaan seorang mujtahid dalam kegiatan memberikan ijtihadnya bisa
wajib ain, wajib kifayah, bisa mandub, dan bisa pula haram.
a.
Wajib ain, yaitu bagi orang yang sudah
mencukupi syarat ijtihad dan terjadi pada diri mujtahid itu sesuatu yang
membutuhkan jawaban hukumnya. Ijtihad wajib diamalkan dan ia tidak boleh
bertaklid kepada mujtahid lainnya. Hukum ijtihad juga wajib bagi mujtahid yang
ditanya tentang hukum suatu masalah yang sudah terjadi dan menghendaki jawaban
hukum segera sedangkan tidak ditemukan ijtihad lain.
b.
Wajib kifayah, jika ada mujtahid lain selain
dirinya yang akan menjelaskan hukumnya.
c.
Sunnah, yaitu melakukan ijtihad pada dua hal. Pertama,
terhadap permasalahan yang belum pernah terjadi tanpa ditanya, seperti yang
dilakukan oleh imam Abu Hanifah yang dikenal dengan fiqh iftiradhi(fiqh
pengandaian). Kedua, ijtihad pada masalah yang belum terjadi berdasarkan
pertanyaan dari orang lain.
d.
Haram, yaitu ijtihad pada dua hal. Pertama
berijtihad terhadap permasalahan yang sudah tegas (qat’i) hukumnya baik
berupa ayat atau hadis dan ijtihad yang menyalahi ijma. Ijtihad boleh
pada masalah selain itu. Kedua berijitihad bagi seseorang yang belum memenuhi
syarat sebagai mujtahid, karena hasil ijtihadnya tidak akan benar tetapi
menyesatkan, dasarnya karena menghukumi sesuatu tentang agama Allah tanpa ilmu
hukumnya haram.[6]
5. Tingkatan Mujtahid
Orang yang melakukan
ijtihad disebut mujtahid. Mujtahid memiliki tingkatan-tingkatan sebagai
berikut:
a. Mujtahid fi
al-syar’i,
disebut mustaqil. Ialah orang yang membangun suatu mazhab seperti Imam Mujtahid
yang empat yaitu Abu Hanifah, Maliki, Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal.
b. Mujtahid fi
al-Mazhab,
ialah mujtahid yang tidak membentuk mazhab sendiri tetapi mengikuti salah satu
seorang imam mazhab. Mujtahid fi al-mazhab terkadang menyalahi ijtihad imamnya
pada beberapa masalah.
c. Mujtahid fi
al-Masail, ialah mujtahid yang berijtihad hanya pada
beberapa masalah dan bukan pada masalah-masalah yang umum, seperti al-Thahawi
dalam mazhab Hanafi dan al-Ghazali dalam mazhab Syafi’i serta al-Khiraqy dalam
mazhab Hambali
d. Mujtahid
Muqoyyad,
yaitu mujtahid yang mengikat diri dengan pendapat ulama salaf dan mengikuti
ijtihad mereka. Hanya saja mereka mengetahui dasar dan memahami dalalahnya dan
inilah yang disebut dengan takhrij.
B. Mengenal Muqasyid Syari’ah
Secara bahasa Maqashid Syari’ah
terdiri dari dua kata yaitu Maqashid dan Syari’ah. Maqashid
berarti kesengajaan atau tujuan, Maqashid merupakan bentuk jama’ dari maqsud
yang berasal dari suku kata Qashada yang berarti menghendaki atau memaksudkan,
Maqashid berarti hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan.[7]
Sedangkan Syari’ah secara bahasa berarti Jalan menuju sumber air. Jalan
menuju sumber air dapat juga diartikan berjalan menuju sumber kehidupan.
Al-Syatibi menegaskan bahwa doktrin Maqasid Al Syariah adalah satu,
yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia baik di dunia
maupun diakhirat. Oleh karena itu Asy-Syatibi meletakkan posisi maslahat
sebagai ‘illat hukum atau alasan pensyariatan hukum Islam, berbeda
dengan ahli ushul fiqih lainnya An-Nabhani misalnya beliau dengan
hati-hati menekankan berulang-ulang, bahwa maslahat itu bukanlah ‘illat
atau motif (al-ba‘its) penetapan syariat, melainkan hikmah, hasil
(natijah), tujuan (ghayah), atau akibat (‘aqibah) dari penerapan syariat.
Di sini penulis menyimpulkan bahwa Maqashid
Syari’ah adalah konsep untuk mengetahui nilai-nilai dan sasaran syara'
yang tersurat dan tersirat dalam Alqur’an dan Hadits. dan ditetapkan oleh al-Syari'
terhadap manusia adapun tujuan akhir hukum tersebut adalah satu, yaitu mashlahah
atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia baik didunia (dengan Mu’amalah)
maupun di akhirat (dengan ‘aqidah dan Ibadah). sedangkan cara untuk tercapai
kemaslahatan tersebut manusia harus memenuhi kebutuhan Dharuriat (Primer), dan
menyempurnakan kebutuhan Hajiat (sekunder), dan Tahsiniat (tersier).
C. Maqasid Syari’ah Sebagai
Kerangka Teoritis dalam Berijtihad
Penggunaan
ijtihad dalam pengertian umum, relevan dengan interpretasi al-Qur’an dan
as-Sunnah. Ketika suatu aturan syari’ah didasarkan pada implikasi yang luas
dari sebuah teks al-Qur’an dan as-Sunnah, yang itu berbeda dengan aturan
langsung dari teks yang jelas dan terinci, maka teks dan aturan syari’ah itu
harus dihubungkan melalui penalaran hukum. Menurut Abdullah Ahmad an-Na’im,
bahwa bagaimanapun juga sulit dibayangkan suatu teks-teks al-Qur’an atau as-Sunnah,
betapun jelas dan rincinya, tidak memerlukan ijtihad untuk interpretasi dan
penerapannya dalam situasi yang konkrit.[8]
Hadis Nabi Muhammad yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dan selain keduanya mengatakan :
“Jika seorang hakim memutuskan hukum dengan berijtihad dan kemudian benar
maka ia mendapat dua pahala, dan jika memutuskan hukum dengan berijtihad dan
kemudian salah maka ia mendapat satu pahala.” Hadis ini ternyata belum
cukup untuk membuka pintu ijtihad dan menetapkan kebolehannya. Padahal hadis
ini sangat menekankan pentingnya ijtihad. Ini adalah jaminan bahwa seorang
mujtahid berhak untuk salah, dan kesalahan ini tidak membuatnya mendapat siksa
dan hukuman. Disamping itu, ini adalah bukti akan kuatnya dorongan
untuk berfikir, meneliti, dan memajukan ilmu pengetahuan.[9]
Fatwa merupakan hasil ijtihad para
ahli yang dapat saja dilahirkan dalam bentuk tulisan maupun lisan. Benruk
tulisan dan lisan para ulama itulah yang dikenal dengan fatwa keagamaan untuk
kepentingan manusia. Kita tahu bahwa hukum Islam berlandaskan al-Qur’an dan
al-Hadis sebagian besar bentuknya ditentukan berdasarkan hasil ijtihad para
mujtahid yang dituangkan dalam bentuk mujtahid maka posisi fatwa sangat
memperkuat tindakan ijtihad. Sebab fatwa dihasilkan dari ijtihad para ulama,
sehingga apabila tidak berijtihad kemungkinan besar tidak akan muncul atau
lahir fatwa keagamaan.
Ijtihad juga kadang-kadang mengalami
perubahan-perubahan yang mendasar, hal ini disebabkan beberapa hal antara lain
:[10]
a. Adanya perubahan kepentingan
masyarakat
b. Adanya pengaruh adat kebiasaan dan
urf(kebudayaan)
c. Faktor lingkungan, ruang dan waktu
d. Faktor perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi(iptek).
Faktor-faktor tersebut memberikan pertanda bahawa ijtihad
itu bersifat kondisional artinya situasi dan kondisi masyarakat
sangat mempengaruhi pola piker para mujjtahid itu sendiri.
Para ahli ushul fikih sepakat bahwa lapangan
ijtihad hanya berlaku dalam kasus yang tidak terlepas dalam nash atau yang
terdapat dalam teks al-Qur’an dan as-Sunnah yang masuk kategori zhanni
al-dalalah.[11]
Oleh karena itu juga hasil ijtihad bersifat zhanni, artinya bukan
satu-satunya kebenaran (tidak qat’i) tetapi mengandung kemungkinan lain.
Sedangkan nash
yang masuk kategori dalil sharih yang qath’iyu al-wurud (pasti
kedatangannya dari syar’i) dan qath’iyu al-dalalah (pasti penunjukannya
kepada makna tertentu), maka tidak ada jalan untuk diijtihadkan. Meskipun dalam
pandangan an-Na’im, hal itu sulit dibayangkan.[12] Dalam
melihat metode ijtihad apa yang harus dikembangkan dan kemungkinan peranan maqasyid
al-syari’at yang lebih besar dalam metode tersebut, penelaahan harus
bertitik tolak dari objek itu sendiri. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa
objek (lapangan) ijtihad adalah segala sesuatu yang tidak diatur secara tegas
dalam nash serta masalah-masalah yang tidak mempunyai landasan nash (ma la
nash fiih). Oleh karenanya bertitik tolak dari itu, maka ada dua corak
penalaran yang di dalamnya terdapat metode-metode ijtihad yang perlu
dikembangkan dalam upaya penerapan-penerapan maqasyid al-syari’at. Kedua
corak itu ialah penalaran ta’lili dan istislahi.
Corak penalaran
ta’lili adalah upaya penggalian hukum yang bertumpu pada penentuan
illat-illat hukum yang terdapat dalam suatu nash. Dalam perkembangan pemikiran
ushul fikih, corak penalaran ta’lili ini mengambil bentuk qiyas dan
istihsan. Adapun corak penalaran istislahi adalah upaya
pengambilan hukum yang bertumpu pada prinsip-prinsip kemaslahatan. Corak
penalaran ini tampak pada metode al-masalihu al-mursalah dan saddu
az-zari’ah.
Menurut
al-Syatibi, antara ijtihad dengan maqasyid al-syari’at tidak dapat
dipisahkan. Ijtihad pada intinya adalah upaya penggalian hukum syara’ secara
optimal. Upaya penggalian hukum syara’ itu berhasil apabila seorang mujtahid
dapat memahami maqasyid al-syari’at.[13] Oleh
karenanya pengetahuan tentang maqasyid al-syari’at adalah salah satu
syarat yang dimiliki oleh seorang mujtahid.
Mengenai kedudukan ijtihad, apakah merupakan
sumber hukum Islam ataukah sebagai metode penetapan hukum Islam, maka ada dua
pandangan mengenai hal tersebut. Ada kelompok yang berpandangan bahwa ijtihad
adalah sumber hukum Islam berdasar atas hadits dari Muaz bin Jabal. Hadits ini
dipahami oleh kelompok lain yang berpandangan bahwa ijtihad adalah metode
penetapan hukum Islam, sebab hadits tersebut mengisyaratkan bahwa sumber utama
fiqih adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Jika tidak terdapat dalam kedua sumber
tersebut, baru digunakan ijtihad dengan tetap merujuk kepada kedua sumber
dimaksud. Ijtihad adalah merupakan kegiatan yang tidak mudah, karena memerlukan
analisis yang tajam terhadap nash serta jiwa yang terkandung di dalamnya dengan
memperhatikan aspek kaedah kebahasaan dan tujuan umum disyariatkannya hukum
Islam (maqasyid al-syari’at).
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Antara ijtihad dengan maqasyid al-syari’at tidak
dapat dipisahkan. Ijtihad pada intinya adalah upaya penggalian hukum syara’
secara optimal. Upaya penggalian hukum syara’ itu berhasil apabila seorang
mujtahid dapat memahami maqasyid al-syari’at. Oleh karenanya pengetahuan
tentang maqasyid al-syari’at adalah salah satu syarat yang dimiliki oleh
seorang mujtahid.
Kemaslahatan dijadikan sebagai argumen dalam penetapan hukum
syariat serta menjadi prioritas dalam berijtihad. Tetapi banyak berbagai
pengertian kemaslahatan diantaranya adalah kemaslahatan yang dibutuhkan manusia
dan bermanfaat bagi mereka sangat beragam bentuk dan coraknya. Jika diringkas
maka akan didapatkan lima kemaslahatan utama yaitu kemaslahatan agama (maslahah
ad-din), kemaslahatan jiwa (maslahah an-nafs), kemaslahatan
reproduksi dan berkeluarga (maslahah an-nasl), kemaslahatan terhadap
akal (maslahah al-aql), dan kemaslahatan terhadap harta benda (maslahah
al-mal).
B.
SARAN
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu penulis senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan
arahan serta saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan makalah
berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus
Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997
Ibrahim Unais
dkk. (ed.), al-Mu’jam al- Wasi
Satria Effendi, Ushul Fiqh, Jakarta:
Kencana, 2009
Wahbah Zuhaili,
Ushul Fiqh al-Islami, Damaskus:Daar al-Fikr,1986
Ahmad Qorib, Ushul Fikih 2, Cet. II, Jakarta: PT. Nimas Multima, 1997
Abdullah Ahmad an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah Wacana Kebebasan
Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam, Yogyakarta: LkiS, 1997
Ahmad
Al-Raysuni, Muhammad Jamal Barut, Ijtihad antara teks, realitas, dan
kemaslahatan social, Jakarta: Erlangga, 2002
Rohadi Abd.
Fata, Analisa Fatwa Keagamaan dalam Fiqh Islam, Jakarta: Bumi Aksara,
1991
Fathurahhman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih, Jakarta: Logos, 1995
Mukhyar Yahya
dan Fachurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Bandung: al-Ma’arif,1986
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah
menurut al- Syatibi,Jakarta: P.T. Raja grafindo Persada, 1996
[1]Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus
Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 1558
[5]Wahbah
Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, (Damaskus:Daar al-Fikr,1986)
[8]Abdullah Ahmad
an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia
dan Hubungan Internasional dalam Islam, (Yogyakarta: LkiS, 1997),
hal.54
[9]Ahmad Al-Raysuni, Muhammad Jamal Barut, Ijtihad antara
teks, realitas, dan kemaslahatan social, (Jakarta: Erlangga,
2002), hal. 1
[10]Rohadi
Abd. Fata, Analisa Fatwa Keagamaan dalam Fiqh Islam, ( Jakarta : Bumi
Aksara, 1991), hal.
43-44
[12]Mukhyar
Yahya dan Fachurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, (Bandung:al-Ma’arif,1986),
hal.373
[13]Asafri
Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al- Syatibi, (Jakarta: P.T.
Raja grafindo Persada, 1996), hal. 71