MAKALAH
ULUMUL
HADITS
tentang
Pengenalan
Metode Penelitian Hadits dan Penegenalan Metodologi Pemahamam Hadits
“Diajukan
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah ulumul hadits”
Oleh
:
HANDAYANI
: 310.006
Dosen
Pembimbing :
YUSRIL AMIR, M, Ag
JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM ( PMH )
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN )
IMAM BONJOL PADANG
2010/2011
BAB I
PENDAHULUAN
Melakukan
studi hadits adalah untuk meneliti kualitas hadits, kualitas hadits sangat
perlu diketahui dalam hubungannya dengan kehujjahan (argumentasi) hadits hadits
yang bersangkutan. hadits yang kualitasnya tidak memenuhi syarat tidak dapat
digunakan sebagai hujjah.
Hadits yang diteliti adalah hadits
yang berstatus ahad. untuk hadits yang berstatus mutawatir ulama tidak
menganggap perlu diteliti lebih lanjut sebab hadits yang bersangkutan berasal
dari nabi .
Dalam makalah ini, penulis akan
mencoba menguraikan tentang pengenalan metode penelitian hadits dan pengenalan
metodologi pemahaman hadits. semoga makalah ini menenbah wawasan dan membari
manfaat bagi kita semuanya dan dipergunakan dengan mana semestinya.
BAB
II
ISI
Pengenalan
Metode Penelitian Hadits
A. Pengenalan Metode Penelitian Hadits
Melakukan
studi hadits adalah untuk meneliti kualitas hadits. kualitas hadits sangat
perlu diketahui dalam hubangannya dengan kahujjahan (argumentasi) hadits yang
bersangkutan.hadits yang kualitasnya tidak memenuhui syarat tidak dapat
diganakan sebagai hujjah. Pemenuhan syarat itu diperlukan karena hadits
merupakan salah satu sumber ajaran Islam.
Hadits
yang diteliti adalah hadits yang berstatus Ahad.
Untuk hadits yang berstatus mutawatir ulama tidak menganggap perlu diteliti
lebih lanjut sebab hadits hadits yang bersangkutan berasaldari Nabi. Menurut
Syuhudi Ismail bagian-bagian hadits yang
menjadi objek penelitian ada dua yaitu Sanad
dan Matan. Sanad adalah rangkaian para periwayat yang menyampaikan riwayat
Hadits. Sedangkan Matan adalah materi atau isi hadits itu sendiri.[1]
Sanad
hadits mengandung dua bagian peneliti yaitu:
· Nama-nama
periwayat yang terlibat dalam periwayatan hadits yang bersangkutan
· Lambang-lambang
periwayatan hadits yang telah diinginkan oleh masing-masing periwayatn dalam
meriwayatan hadits yang bersangkutan.[2]
Untuk
meneliti matan hadits dari segi kandunganya diperlukan penggunaan pendekatan
bahasa Arab yang digunakan oleh Nabi dalam menayampaikan hadits dengan selalu
dalam susunan yang baik dan benar. disampingi itu pendekatan lain juga
dibutuhkan seperti rasio, dan sejarah.
Para
peneliti hadits dalam melakukan penelitian berbekal metodologi yang baku dan ketat. Mereka menggolngkan hadits
kedalam empat golongan utama, yaitu shahih
(asli), hasan (baik), dha’if (lemah), maudu’ (palsu). Apabila kita meneliti
sebuah hadits maka ia harus melucuti hadits tersebut satu persatu mulai dari
sanadnya, matanya, rawinya, caranya dengan metode yang disebut takhijul-hadits.[3]
1. Pengenalan Jenis Kitab-Kitab Hadits
Standar
a.
IMAM
BUKHARI (194-256 H/810-870M)
Baliau
adalah amirul mukmini dalam hadits. Dia bernama Abu Abdullah Muhammad ibnu
Ismail ibnu Ibrahim ibnu Al-mugirah ibnu Bardizbah. Kakenya yang bernama
Bardizbah ini beragama majusi, Putra
yang bernama mugirah memeluk agama Islam dibawah bimbingan Yaman al-ju’fi
gubernur bukhara. “sehingga dia dipanggil mugirah al-ji’fi”.[4]
Imam
bukhari wafat pada malam idul fitri tahun (256 H) 31 Agustus 870 M dalam usia
62 tahun kurang 13 hari. baliau dikebumikan di desa kecil yang terletak enam
Mil dari Kota Samarkand.
· Guru
Imam Bukhari
Dalam
perjalanan ke berbagai negeri. Imam Bukhari bertemu dengan guru-guru terkemuka
yang dapat depercaya. Beliau mengetakan “Aku menulis hadits dari 1.080
guru.yang semuanya adalah ahli hadits dan berpendirian bahwa iman itu adalah
ucapan dan perbatan”. Diantara guru-guru itu adalah: Ali Bin Al-Madini, Ahmadd
bin habal, Yahya bin Ma’ai, Muhammad bin yusuf al-firyabi, dan lain-lain.
Jumlah guru yang haditsnya diriwayatkan dalam kitab sahihnya sebanyak 289 guru.
· Murid-muridnya
Orang
yang meriwayatkan hadits dari Imam
Bukhari yang tidak terhitung jumlahnya, sehingga ada yang berpendapat, ada
sekitar 90.000 orang yang mendengar langsung dari Imam Bukhari. Di antara
sekian banyak muridnya yang paling menonjol
adalah Muslim bin al-hajjaj,
Tirmizi, Nasa’I dan lain-lain.[5]
· Karya-karya
Imam Bukhari
Ø Al-jami’us
Sahih
Ø Adabul
Mufrad
Ø At-tarikh
as-Sagir
Ø At-tarikh
as-Awsat
Ø At-tarikh
al-kabir
Ø At-sir
al-kabir
Ø Al-Musnad
al-kabir
Ø Kitabul’lal
Ø Raf’ul
Yadain fis-salah
Ø Birrul
Walidain
Ø Kitabbul
Asyribah
Ø Al-kira’ah khalfal imam
Ø Kitab
ad-duafa
Ø Asami
as-Sahabah
Ø Kitab
al-kuna
v Al-jami’us Sahih
Para
ulama sebelum Bukhari tidak hanya mengumpulkan hadits-hadits sahih saja. tetapi
mereka menghimpun hadits Sahih, Hasan,
dan Da’if. untuk membedakan ketiga hadits tersebut, mereka menyerahkan kepada
pembaca dan pelajar untuk mengkritik dan meneliti. membedakan hadits yang
maqbul (diterima), dengan mardud (ditolak), setelah itu Bukhari menyusun kitab
khusus yang berisi hadits-hadits sahih dengan nama Al-jami’ul Sahih al-musnad as-Sahih
al-mukhtasar min umuri Rasulullah wa sunihi wa ayyamihi.[6]
Syarat-syarat hadits
sahih menurut Bukhari
syarat
hadits sahih yang telah disepakati oleh para ulam adalah sebagai berikut:
o
Perawi hadits harus muslim, berakal,
jujur, tidak mudalis, dan tidak mukhtalit, adil, kuat ingatan, dan selalu
memelihara apa yang diriwayatkan, sehat pikirannya, pancainderanya dipakai
untuk mendengar dan hafal, sedikit salahnya, dan baik aqidahnya.
o
Sanadnya bersambung, tidak mursal, tidak
munqati, tidak mu’dal.
o
Matan hadits tidak janggal dan tidak
cacat.
§ Jumlah
kitab jami’us Sahih
Ibnu salah dalam muqadimahnya
menyebutkan, jumlah hadits sahih Bukhari sebanyak 7.275 buah, termasuk hadits
yang terulang, atau sebanyak 4.000 hadits tenpa pengulangan. Perhitungan itu
diikuti oleh syikh muhyidin an-nawawi dalam
kitabnya at-Taqrib.
b.
IMAM
MUSLIM (206 H-261 M)
Nama
lengkap baliau ialah Imam Abdul Hasain bin al-hajjaj bin muslim bin kausyaz
al-Qusyairi an-Naisaburi. Dia dilahirkan di Naisabur tahun 206 H. sebagaimana
dikatakan oleh al-hakim abu abdullah dalam kitab sahih dan kitab ilmu hadits
dia adalah ulama terkemuka yang namanya tetap dikenal sampai kini.
wafatnya
Imam Muslim setelah mengurangi kehidupan yang penuh berkah. Muslim wafat pada
hari Ahad sore, dan di makamkan dikampung Nas
abad daerah Naisabur pada hari senen, 25 Rajab 261H. Dalam usia 55 tahun. Selama hidupnya, muslim
menulis kitab yang bermanfaat.
·
Guru-guru Imam Muslim
Imam
muslim mempunyai guru hadits sangat banyak sekali, di antaranya adalah: Usman
bin Abi Syaibah, Syaiban bin farukh, Abu khamil al-juri, Zuhair bin Harab, Amar
an-Naqid, muhammad bin Musanna, Muhammad bin Yasar, Harun bin sa’id al-Aili,
Qutaibah bin sa’id dan lain sebagainya.
·
Murid-murid Imam Muslim
Banyak
para ulama yang meriwayat hadits dari muslim, bahkan di antaranya terdapat
ulama besar yang sebaya dengan dia. di antaranya, Abu Hatim ar-Razi, musa bin
harun, Ibrahim bin Muhammad bin syufyan
al-faqih az-zahid. Nama terakhir ini adalah perawi ulama bagi sahih muslim. dan
masih banyak lagi muridnya yang lain.
·
Kitab tulisan Imam Muslim
Ø Al-jami’us
Sahih
Ø Al-musnadul
kabir alar rijal
Ø Kitab
al-asma’wal kuna
Ø Kitab
al-llal
Ø Kitab
Al-Aqran
Ø Kitab
sualatihi ahmad bin hambal
Ø Kitab
al-intifa’ bin uhubis siba’
Ø Kitab
al-muhadramain
Ø Kitab
Man Laisa Lahu illa Rawin Wahidin
Ø Kitab
Auladus Sahabah
Ø Kitab
Auhamul muhaditsin
kitab yang terkenal
sampai saat sekarang ini adalah Al-jami’us
sahih atau sahih muslim[7].
v Kitab Sahih Muslim
Kitab ini adalah
salah satu dari dua kitab yang paling sahih setelah al-quran. kedua kitab sahih
ini diterima umat islam dengan baik .
Imam Muslim
sangat teliti dalam mempelajari para rawi, menyeleksi yang dirwayatkan, dan
membandingkan antara riwayat yang satu dengan yang lainnya, meneliti susunan
lafaznya dan memberikan petunjuk bila terdapat perbedaan pada lafaz-lafaz itu.
Dari usaha ini menghasilkan kitab sahih yang menjadi rujukan bagi para ulama.
Muslim menyaring
hadits yang dimasukan dalam kitabnya itu dari ribuan yang telah didengarkannya.
Dia pernah berkata “Aku menyusun kitab
sahih ini hasil saringan dari 300.000 hadits”.[8]
Kitab sahih ini
adalah hasil dari kehidupan yang penuh berkah, yang ditulis dimana saja ia
berada, baik dalam waktu sempit maupun dalam waktu lapang. Dia mengumpulkan,
menghfal, menyaring, dan menulis sehingga menjadi sebuah kitab sahih yang baik
dan teratur. Dan beberapa muridnya menyelesaikan penyusunan kitab sahih itu
dalam dalam waktu 15 (lima belas tahun).
Ahmad
bin Salamah mengatakan “Aku menulis bersama muslim
untuk menyusun kitab sahih itu selama lima belas tahun. Kitab itu berisi 12.000
hadits.
Orang yang
mengutamakan sahih Muslim ini disebabkan:
a. Karena
kebagusan dan susunan yang teratur.
b. Hadits
yang meriwayatkanya sejalan dan dalam satu tema dikumpulkan di satu tempat,
tanpa memotong hadits untuk dimasukan ke bab lain.
c. disamping
itu, dia hanya meriwayatkan hadits marfu’ dan tidak meriwayatkan hadits mauquf dan muallaq.
Kitab
syarah sahih Muslim yang termasyhur adalah:
·
Al-Mu’allimu
bi fawa’idi kitabi muslim. Disusun oleh Abu Abdillah muhammad
bin Ali al-Maziri. Beliau wafat tahun 536 H. kitab ini tersimpan dari Darul Kutubul Misriyah.
·
Ikmalul
mu’allimi fi syarhi sahih Muslim. Karya imam Qadi Iyad
bin Musa al-Yahsabi al-Maliki, wafat tahun 544 H. kitab ini masih belum
dicetak.
·
Al-Minhaj
fi syarhi Sahih Muslim bin Hajjaj. disusun oleh imam
al-Hafiz Abu Zakaria Muhyidin bin Syaraf an-nawawi as-syafi’i.
c. Imam abu Dawud (202-275 H/817-889
M)
Nama
lengkap Abu Dawud adalah sulaiman bin al-asy’as bin Ishak bin basyir bin syidad bin Amar al-azdi
as-sijjistani. dia adalah Imam dan tokoh ahli hadits, serta pengarang kitab
sunan. Dia dilahitkan tahun 202 H. di
Sijistan.
wafatnya
abu dawud di basrah, tempat tinggal
atas permintaan Amir sebagaimana telah diceritakan, dia wafat tanggal 16 syawal
275 H. [9]
·
Guru-guru imam Abu Dawud
Jumlah guru imam
Abu Dawud sangat banyak. di antara gurunya yang paling menonjol antara lain.
Ahmad bin Hambal, al-Qan’abi, Abu Amar ad-Darir, Muslim bin Ibrahim, abdullah
bin raja dan lain-lain.
·
Murid-murid Imam Abu Dawud
Ulama
yang pernah menjadi muridnya dan yang meriwayatkan haditsnya antara lain Abu
Isa at-tirmizi, Abu Abdur Rahman an-nisa’I, putranya sendiri Abu bakar bin abu
Dawud, abu awana, dan lain-lain.
v Kitab
karangan Abu Dawud
Ø Kitab
as-sunan
Ø Kitab
al-masiril
Ø kitab
al-Qadar
Ø An-Nasikh
wal Mansukh
Ø Fada’ilul
A’mal
Ø Kitab
az-Zuhud
Ø Dalailun
Nubuwah
Ø ibtadu’ul
wahyu
Ø Ahbarul
khawarij
Di antara yang
tersebut di atas yang paling populer adalah kitab as-Sunan yang biasa dikenal
adalah sunah Abu Dawud.
v Kitab
Abu Dawud
Penyusunan kitab
hadits baik berupa Jami’ ataupun Musnad dan sebagainya disamping memuat hadits
hukum, juga mencantumkan hadits mengenai amalan yang terpuji (fada’ilul amal),
kisah-kisah, nasihat-nasihat, adab dan tafsir. Cara seperti masih berlangsung
sampai periode Abu Dawud. maka Abu Daud menyusun kitab khusus memuat sunnah dan
hadits hukum. Ketika selesai menyusunya, Abu Daud mempelihara kitab itu kepada
Imam Ahmad bin Hambal. Imam Ahmad bin Hambal mengatakan bahwa kitab itu bagus
dan baik.
Abu
Dawud tidak hanya memuat hadits sahih saja sebagaiman bukhari dan muslim tetapi
dia juga memasukan hadits hasan dan da’if yang tidak ditinggalkan (dibuang)
oleh ulama hadits. Apabila dia mencantumkan hadits da’if maka menjelaskan kelemahan hadits itu.
Dalam kitab sunan Abu Dawud memuat
Rasulullah sebanyak 500.000 hadits.
d.
Imam
Tirmizi (209-279 H/824-892 M)
Nama lengkap
Tirmizi adalah Abu isa muhammad bin musa bin ad-dahhak as-Sulama at-tirmizi.[10]Beliau
adalah ulama hadits ternama dan penulis beberapa kitab terkenal. Dia dilahirkan
di kota Timiz.
wafatnya Imam
Tirmizi setelah melakukan perjalanan panjang dan berdiskusi, serta mengarang,
pada akhirnya dia hidup sebagi tuna netra.
beberapa tahun kemudian dia meninggal dunia. Dia wafat di Timiz pada malam
senen 13 rajab tahun 279 H. Dalam usia 70 tahun
· Guru-gurunya
Ia
belajar dan meriwayatkan hadits dari beberapa ulama besar. Di antaranya adalah
Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan lain-lain.
·
Murid-murid Imam Tirmizi
Murid yang mempelajari dan meriwayatkan hadits dari
Tirmizi antara lain: Makhul bin al-fadlal, muhammad bin Mahmud Anbar, Ahmad bin
Syakir dan lain-lain.
v Karya-karya
imam Tirmizi
Ø Kitab
al-jami’ terkenel dengan sebutan sunan
Tirmizi
Ø Kitab
al-illat, ktab ini terdapat di akhir kitab al-jami’
Ø Kitab
at-tarikh
Ø Kitab
as-syama’il an-Nabawiyah
Ø Kitab az-zuhud
Ø Kitab
al-Asma wal Kuna
v Jami’
At-Tirmizi
Kitab ini adalah
salah satu hasil karya imam Tirmizi terbesar dan paling berharga. Ia termasuk
salah satu dari Kutubus Sittah (enam
hadits pokok) dan kitab hadits yang ternama. al-jami’ ini terkenal dengan nama
Sunan Tirmizi. Namun nama pertamalah
yang termasyhur. Sebagaian ulama tidak keberatan menyebutkan kitab itu
sebagai Sahih Tirmizi.
e.
Imam
Nasa’I (215-303 H/839-915 M)
Dia adalah ulama
terkemuka melebihi ulama lain di masanya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh az-Zahabi dalam
kitabnya yang berjudul Tazkirah, nama lengkap imam Nasa’I adalah Abu Abdur
Rahman Ahmad bin Ali bin Syu’ab bin Ali bin Sinan bin bahar al-khurasani
al-Qadi. Dilahirkan di daerah Nasa
pada tahun 215 H. ada yang berpendapat, dia dilahirkan tahun 214 H.
Wafatnya imam
Nasa’i di Makah dan kemudian dimakamkan
di suatu tempat antara safa dengan marwa tahun 303 H.
·
Karya-karya imam Nasa’i
Ø As-sunanul
kubra
Ø As-sunanus
sugra, terkenal dengan nama al-mujtaba
Ø Al-khasa’is
Ø fada’ilus
sahabah
Ø Al-manasik
Di
antara karya tersebut, yang paling besar dan terkenal adalah kitab as-sunan.
f.
Imam
Ibnu Majah (209-273 H/824-887 M)
Nama lengkapnya Abu Abdullah bin Yazid bin Majah
ar-rabi’I al-Qazwini, dilahirkan di Qazwin tahun 209 H. dan wafat tanggal 22
ramadhan 273 H. Jenazahnya di sholatkan oleh saudaranya
·
Guru-guru imam Ibnu Majah
Ibnu Majah belajar dan
meriwayatkan hadits dari Abu Bakar bin
Abi Syaibah, muhammad bin Abdulah bin Namir, Hisyam bin Ammar dan ulama lainya.
·
Karya-karya imam Ibnu Majah
Ø Kitab
as-sunan, salah satu dari kuttubus sittah (enam kitab hadits)
Ø Tafsir
al-quran
Ø kitab
tarikh, berisi sejarah sejak masa sahabat sampai masa Ibnu Majah
v Sunan
ibnu Majah
Kitab ini adalah
salah satu karya Ibnu Majah yang terbesar dan masih beredar sampai sekarang.
beliau menyusun sunan menjadi bebrapa kitab. Sunan ini terdiri dari 32 kitab
dan 1.500 bab. Jumlah haditsnya sebanyak 4.000 buah. Kitab sunan ini disusun
secara baik dan indah. beliau memulai sunan ini dengan bab mengikuti sunah
Rasulullah saw. Dalam bab ini dia membahas hadits yang menunjukan kekuatan
sunah, kewajiban untuk mengikuti dan mengamalkannya.
Kedudukan sunan Ibnu Majah di antara kitab hadits.
Sebagian ulama sudah sepakat, bahwa kitab hadits yang
pokok ada yaitu:
§ Sahih
Bukhari
§ sahih
Muslim
§ Sunan
Abu Dawud
§ Sunan Nasa’i
§ Sunan Tirmizi
2.
Cara
Praktis Mencari Hadits
Al-takhrij
merupakan masdar dari akar kata kharraja,
yakharriju, takhrijan. secata etimologi
Al-takhrij berarti perhimpunan dua hal yang
salingberlawanan dalam satu hal, seperti tanah gersang dengan tanah subur.[11]
Menurut Abuddin Nata sebagimana halnya Al-quran,
Al-haditspun telah banyak diteliti oleh para ahli, bahkan dapat dikatakan
penelitian terhadap Al-hadits lebih banyak kemungkinanya dibandingkan
penelitian terhadap Al-quran, dari segi datang
(Al-wurud)nya hadits tidak seluruhnya diyakini berasal dari Nabi.
secara
terminologi takhrij menunjukan letak hadits dalam sumber-sumber yang asli
(sumber primer) dimana diterangkan rangkaian sanadnya.[12]
Ada
beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan takhrij hadits:
·
Memperhatikan sahabat yang
meriwayatkanya, jika disebutkan.
·
memperhatikan lafaz-lafaz pertama dari
matan hadits.
·
memperhatikan salah satu lafaz hadits.
·
memperhatikan tema hadits.
·
memperhatikan sifat khusus sanad/matan
hadits.[13]
Dengan demikian, untuk melakukan takhrij hadits
hadits al-hadits dapat ditempuh salah satu metode dari beberapa metode berikut:
a. metode
takhrij melalui pengetahuan tentang nama sahabat perawi hadits.
Metode ini hanya
di pergunakan bila nama sahabat itu tercantum pada hadits yang akan ditakhrij.
Apa bila nama sahabat tercantum pada hadits tersebut, atau tidak tercantum
tetapi dapat diketahui dengan cara tertentu, kemudian ditentukan pula metode
takhrij yang didasarkan pada pengetahuan
nama sahabat, perawi hadits, maka digunakan 3 macam kitab yaitu:
·
Kitab Musnad adalah kitab-kitab yang
disusun berdasarkan urutan nama sahabat.
·
Kitab Mu’jam adalah kitab yang disusun
menurut nama-nama sahabat, guru, negeri atau lainya.
b. Metode takhrij melalui lafaz awal dari matan hadits.
Metode ini dipakai apabila permulaan lafaz-lafaz hadits itu
dapat diketahui dengan tepat.
Jenis-jenis kitab yang
dipakai dalam metode ini antara lain:
·
Kitab-kitab hadits yang disusun untuk
hadits-hsdits yang populer dalam msyarakat.
·
Kitab-kitab hadits yang disusun secara
al-fabetis
c. Metode
takhrij melalui pengetahuan tema hadits
Metode ini hanya
menggunakan satu kitab petunjuk saja, yaitu: al-mu’jam al-murfarhas Li
al-faizhi al-hadits al-Nabawi, kitab sumber yang dijadikan rujukan oleh kitab
ini ada sembilan yaitu:
·
Sahih bukhari
·
Sahih muslim
·
Sunan Tirmizi
·
Sunan abu dawud
·
Sunan nasa’i
·
Sunan ibnu majah
·
Muwathah malik
·
Musnad ahmad
·
Al-darimi
d. Metode
tekhrij melalui pengetahuan tema hadits.
Metode ini akan
mudah digunakan oleh orang yang sudah terbiasa dan ahli dalam hadits. Yang
dituntut dalam metode ini adalah kemampuan menentukan tema atau salah satu tema
dati suatu hadits yanmg hendak ditakhrijkan. Misalnya: hadits mengenai mandi
kita cari di bab thaharah.
e. Metode
takhrij melalui pengetahuan tentang sifat khusu atau sanad hadits itu.
Yang
dimaksud dengan metode takhrij ini adalah memperhatikan keadaan-keadaan dan
sifat hadits yang baik pada matan atau sanadnya, kemudian mencari asal-asal hadits
itu dalam kitab-kitab yang khusus mengumpulkan hadits-hadits yang mempunyai
keadaan atau sifat-sifat tersebut, baik dalam matan maupun dalam sanadnya.
B. Pengenalan
metodologi pemahaman hadits
a.
Al-Tafsir al-Tahlily (metode Analisis)
Al-Tafsir al-Tahlily
adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat
al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Di dalam tafsirnya, penafsir mengikuti urutan
ayat-ayat sebagai mana yang telah tersusun dalam mushaf ( Penjelas tentang
mushaf Silahkan Rujuk M. M. Al-A’Zami. The History The Qur’anic Text)
Para penafsir tahliliy
ini ada yang terlalu bertele-tele dengan uraian yang panjang lebar, ada pula
yang terlalu sederhana dan ringkas. Biasanya mufasir mempunyai kecenderungan
(corak penafsiran) yang beraneka ragam, seperti:
·
Al-Tafsir bi al-Ma’tsur
Al-Tafsir bi al-Ma’tsur
adalah penafsiran ayat dengan ayat; penafsiran ayat dengan hadits Rasulullah
SAW. Yang menjelaskan makna sebagian ayat yang dirasa sulit dipahami oleh para
sahabat; atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para sahabat; atau
penafsiran hasil ijtihad para tabi’in.
Diantara kitab-kitab
yang memuat tafsir bi al-Ma’tsur adalah
- Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, karya Ibn
Katsir (w. 774 H)
- Al-Dar al-Mansuri fi al-Tafsir bi
al-Ma’tsur, karya al-Suyuthy (w. 991 H)
- Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an
al-Karim, karya Ibn Jarir al-Tabary (W. 310 H)
·
Al-Tafsir bi al-Ra’yi (bercorak Rasional)
Al-Tafsir bi al-Ra’iy
adalah penafsiran al-Qur’an dengan ijtihad, terutama setelah mufasir itu sudah
sangat mengerti dengan perihal bahasa Arab, asbab al-nuzul, nasikh wa mansukh,
dan hal-hal lain yang diperlukan oleh lazimnya seorang penaf
Diantara kitab
tafsir “ bi al-Ra’yi” ini adalah
- Mafatih
al-Gha’ib, oleh al-fakhr al-Razi (w. 606 H)
- Libabi
al-Takwili fi ma’aniy al-Tanzil, karya al-Khazin (w. 741 H)
·
Al-Tafsir al-Shufi (bercorak Tasauf)
Al-Tafsir
al-Shufi terbagi kepada dua bentuk:
- Tasauf teoritis yaitu para penganut aliran ini mencoba meneliti dan
mengkaji al-Qur’an berdasarkan teori-teori mazhab dan sesuai dengan ajaran
mereka. penafsir ini tampak berlebih-lebihan dalam menafsirkan ayat al-Qur’an,
dan tafsirannya sering keluar dari arti zahir yang dimaksud syara’ yang
didukung oleh kajian bahasa.
Al-Zahabi mengatakan kitab tafsir yang bercorak tasauf teoritis hanyalah
penafsiran ayat-ayat al-Qur’an secara acak dan parsial yang dinisbatkan kepada
Ibn Arabi dan yang terdapat di dalam kedua kitabnya, al-Futuhat al-Makkiyyah
dan al-Fushush, serta di dalam kitab tafsir yang bercorak beraneka ragam.
b.
Maudhu’iy
Tafsir Mudhu’i disebut
juga dengan tafsir tawhidi yakni, usaha untuk mengkaji dan mempelajari
ayat-ayat Alquran dengan menampilkan suatu topik diantara topik-topik yang ada
yang menyangkut kehidupan akidah, kemasyarakatan, kauniyyah, sejarah dan
sebagainya.
Sungguh banyak cara
untuk ditempuh oleh para pakar Alquran untuk menyajikan kandungan dan
pesan-pesan firman Allah itu. Ada yang menyajikannya sesuai urutan ayat-ayat
sebagaimana termaktub dalam Mushaf (tahliliy), misalnya dari ayat pertama surat
al-Fatihah hingga ayat terakhir, kemudian berlanjut ke ayat pertama surat kedua
(Al-Baqarah) hingga berakhir pula, dan seterusnya. Ada juga yang memilih topik
(tematik) tertentu kemudian menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan topik
tersebut, dimana pun ayat itu ditemukan. Selanjutnya dalam menyajikan kandungan
dan pesan-pesan yang berkaitan dengan topik yang dipilihnya itu tanpa terikat
dengan urutan ayat dan surat sebagaimana terlihat dalam Mushaf, dan tanpa
menjelaskan hal-hal yang tidak berkaitandengan topik walaupun hal yang tidak
berkaitan itu secara tegas dikemukakan oleh ayat yang dibahasnya.
Apa yang dinamai
metode tahliliy atau tajzi’I adalah bagaikan hidangan prasmanan, sedangkan
menyodorkan kepada para tamu sebuah kotak makanan adalah ilustrasi dari yang
dinamai oleh pakar dengan metode Mudhu’i (tematik) atau tauhidi (kesatuan).
Apabila anda sibuk dan ingin cepat, maka tentu saja anda mengambil kotak berisi
makanan yang telah tersedia. Sebaliknya, apabila anda santai dan ingin lebih
puas maka pilihlah prasmanan.
c.
Tekstual
Pemahamanhadits secara
tekstual dilakukan bila hadits yang bersangkutan, setelahdihubungkan dengan
segi-segi yang berkaitan dengannya, misalnya latar belakangterjadinya, tetap
menuntut pemahaman sesuai dengan apa yang tertulis dalam tekshadits yang
bersangkutan sehingga pemahamannya secara kontekstual dilakukanbila dibalik
teks suatu hadits, ada petunjuk kuat yang mengharuskan untukdipahami tidak
sebagaimana maknanya yang tersurat (tekstual). Contoh,berdasarkan hadits Nabi
tentang usus orang mukmin yang kafir. Yang artinya:“orang yang beriman itu
makan dengan satu usus (perut), sedangkan orang kafirmakan dengan tujuh usus.”
Secaratekstual hadits tersebut menjelaskan bahwa usus orang beriman berbeda
denganorang kafir. Padahal dalam kenyatannya yang lazim perbedaan anatomi
tubuhmanusia tidak disebabkan oleh perbedaan iman seseorang. Dengan
demikianpernyataan hadits itu merupakan ungkapan simbolik. Itu berarti hadits
di atasharus dipahami secara kontekstual. Ada pula hadits Nabi yang pemahamannya
hanya bisa dipahami secara kontekstual,sedangkan kalau dipahami secara tekstual
dirasa kurang tepat dalampemaknaannya.
d.
Kontekstual
Kata “kontekstual” berasal dari “konteks” yang dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia mengandung dua arti:
1) bagian sesuatu uraian atau kalimat
yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna;
2) situasi yang ada hubungan dengan
suatu kejadian. Kedua arti ini dapat digunakan karena tidak terlepas istilah
dalam kajian pemahaman Hadits.
Dari sini pemahaman kontekstual atas
hadits menurut Edi Safri, adalah memahami hadits-hadits Rasulullah dengan
memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa atau situasi yang
melatarbelakangi munculnya hadits-hadits tersebut, atau dengan kata lain,
dengan memperhatikan dan mengkaji konteksnya.
Dengan demikian asbab al-wurud dalam
kajian kontekstual dimaksud merupakan bagian yang paling penting. Tetapi kajian
yang lebih luas tentang pemahaman kontekstual tidak hanya terbatas pada asbab
al-wurud dalam arti khusus seperti yang biasa dipahami, tetapi lebih luas dari
itu meliputi: konteks historis-sosiologis, di mana asbab al-wurud merupakan
bagian darinya.
Pemahaman kontekstual atas hadits
Nabi berarti memahami hadits berdasarkan kaitannya dengan peristiwa-peristiwa
dan situasi ketika hadis diucapkan, dan kepada siapa pula hadis itu ditujukan.
Salam artinya, hadits habi saw hendaknya tidak ditangkap makna dan maksudnya
hanya melalui redaksi lahiriah tanpa mengkaitkannya dengan aspek-aspek
kontekstualnya. Meskipun di sini kelihatannya konteks historis merupakan aspek
yang paling penting dalam sebuah pendekatan kontekstual, namun konteks
redaksional juga tak dapat diabaikan. Yang terakhir ini tak kalah pentingnya
dalam rangka membatasi dan mengangkap makna yang lebih luas (makna filosofis)
sehingga hadits tetap menjadi komunikatif.
Dari sini maka dalam pendekatan
kontekstual, seperti apa yang dikatakan Qamaruddin Hidayat, seorang penafsir
atau pembaca lalu memposisikan sebuah teks (baca: hadits) ke dalam sebuah
jaringan wacana. Ibarat sebuah gunung es, sebuah teks adalah fenomen kecil dari
puncak gunung yang tanpak di permukaan. Oleh karena itu tanpa mengetahui latar
belakang sosial budaya dari mana dan dalam situasi apa sebuah teks muncul, maka
sulit mengangkap makna pesan dari sebuah teks.
e.
Pemahaman hadits: Historis, Sosiologis,
Antropologis, dan Psikologis
Hadits sebagai sebuah ucapan dan
teks sesungguhnya memiliki sekian banyak variabel serta gagasan yang
tersembunyi yang harus dipertimbangkan agar kita lebih bisa mendekati kebenaran
mengenai gagasan yang hendak disampaikan oleh Rasul. Tanpa memahami motiv di
balik penyampain sebuah hadits, suasana psikologis, dan sasaran ucapan Nabi,
maka mungkin sekali kita akan salah paham dalam membacanya. Menyadari bahwa
ucapan dan pengucapnya, suasana-psikologis dan sasaran ucapan saling bertautan,
maka dalam setiap pemahaman dan penafsiran yang dilakukan, ketiga hal ini
sangat berperan sekali.
Tiba di sini, maka kajian mendalam
terhadap sirah Nabawiyah menjadi bagian yang sangat penting. Sebab, pemahaman
terhadap sirah Nabawiyah akan memberikan perspektif yang lebih luas tetang
ruang dan waktu munculnya sebuah hadits. Kalau pendapat ini diterima maka
mereka yang mendalami sejarah Rasulullah Muhammad sudah tentu akan memiliki
pemahaman berbeda dari yang tidak mempelajarinya ketika sama-sama memahami
sebuah hadits.
Dalam Islam dan kehidupan kaum
muslim, Nabi memiliki banyak fungsi, antara lain sebagai rasul, panglima
perang, suami, sahabat dan lain-lain. Dengan demikian, hadits-hadits tersebut
tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan fungsi-fungsi itu. Hal ini juga
dikatakan oleh Mahmud Syaltut, “mengetahui hal-hal yang dilakukan Nabi dengan
mengkaitkannya pada fungsi beliau tatkala melakukan hal-hal itu sangat besar
manfaatnya”.
Sebagai contoh, Nabi melarang salah
seorang Anshar mengawini pohon kurma. Maka orang Anshar tersebut mematuhinya
karena menganggapnya sebagai wahyu atau masalah keagamaan. Ternyata hasilnya
kurang memuaskan dibanding dengan mengawinkannya, karena para rasul diutus
tidak lebih dari sekedar untuk perbaikan moral keagamaan. Rasul pun bersabda:
“Saya melarang dengan rakyu saya. Oleh karena itu, kamu jangan mencelanya…”
sampai akhirnya beliau bersabda: “انتم اعلم بامر
الدنياكم”.
Realitas sosial budaya juga menjadi pertimbangan yang penting.
Sebab, hadits pada umumnya adalah respons terhadap situasi yang dihadapi oleh
Rasul dalam ruang dan waktu tertentu, baik itu situasi yang bersifat umum
(sosial budaya) maupun situasi khusus (terhadap seorang atau beberapa orang
sahabat). Memahami situasi-situasi tersebut atau asbab al-wurud akan
mengantarkan penafsir atau pembaca berada dalam ruang dan waktu di mana hadits
itu diucapkan sehingga memberikan wawasan yang lebih luas mengapa (illat) dan
siapa yang menjadi sasaran (objek) hadits. Dari sini maka akan dapat ditangkap
maksud sebenarnya yang dituju oleh hadits tersebut dengan baik serta akan
memberikan jalan keluar bagi hadits-hadits yang secara lahir tanpak
bertentangan.
Rasul tentu saja sangat
memperhatikan situasi dan kondisi sosial budaya serta alam lingkungan. Itu
sebabnya kita menemukan dalam ruang dan waktu tertentu Rasul melarang suatu
perbuatan, tapi pada ruang dan waktu yang lain, Rasul malah menganjurkan
perbuatan tersebut, atau memberikan respon yang berbeda terhadap persoalan yang
sama dari dua sahabat yang berbeda. Ketika akidah umat dipandang belum begitu
kuat, Nabi saw misalnya melakukan pelarangan atas ziarah kubur. Tetapi, ketika
akidah mereka sudah kuat, larangan itu kemudian beliau cabut. Demikian pula
tentang etika buang hajat, ketika berada di lapangan terbuka Rasul melarang
orang membuang hajat menghadap atau membelakangi kiblat karena dikhatirkan akan
terlihat oleh orang yang sedang shalat. Tetapi ketika di dalam ruangan yang
relatif tertutup Rasul sendiri terlihat membuang hajat, menghadap atau
membelangi kiblat.
Di sini, jelas sekali terlihat bahwa
Rasulullah SAW, sangat mempertimbangkan situasi sosial budaya masyarakat dan
alam lingkungan. Sikap Nabi saw, yang seperti itu mengisyaratkan kepada kita
akan adanya pendekatan kontekstual atas hadits beliau. Namun, ketika yang
digunakan adalah pendekatan tekstual, maka hasilnya adalah bahwa di situ
terdapat nasikh dan mansukh. Tetapi, dengan memperhatikan suasana psikologis,
siapa saja yang akidahnya masih lemah, dan dapat musyrik karena ziarah kubur,
hadis pertama tetap berlaku baginya. Atau dengan memperhatikan alam lingkungan,
maka menghadap atau membelakangi kiblat bagi orang yang buang hajat di tempat
terbuka tetap dilarang. Berbeda dengan orang yang buang hajat di dalam ruang
tertutup.
Ketika melakukan pertimbangan sosial
budaya, maka illat sebagai sifat rasional yang menjadi dasar ketetapan Nabi
menjadi sangat penting. Illat ini harus dipahami dalam suasana sosial-budaya
dalam ruang dan waktu hadits diucapkan Rasul, lalu setelah itu ditarik dan
diletakkan ke dalam realitas sosial budaya di mana seorang penafsir dan pembaca
hidup, sehingga ‘illat dapat menjadi sebuah jembatan atau tambatan antara dua
realitas sosial-budaya yang berbeda.
Para ulama mengatakan “الحكم يدور مع العلة”. Maksudnya ketika illat itu masih terdapat dalam realitas
sosial budaya penafsir atau pembaca, hadits tersebut tetap dipahami dalam ruang
dan waktu di mana ia diucapkan. Tetapi, bila ‘illat itu tidak ada lagi dalam
realitas sosial budaya penafsir atau pembaca hadis, maka hadits tersebut tidak
lagi dipahami seperti pada waktu dan ruang hadits itu diucapkan.
Sebagai contoh, Rasul melarang
seorang perempuan bepergian kecuali bersama mahram: “Tidaklah seorang perempuan
bepergian kecuali bersama Mahram”. ‘Illat larangan hadis ini adalah
kekhawatiran akan terjadi sesuatu atasnya atau menimbulkan fitnah, karena
bepergian pada waktu itu adalah dengan onta atau keledai, menempuh gurun dan
belantara atau jalan yang sepi. Tetapi jika kekhawatiran diletakkan dalam
realitas sosial budaya kekinian, di mana perjalanan dapat dilakukan dengan
pesawat yang memuat 100 orang atau lebih penumpang, atau naik kereta yang
berisi ratusan penumpang dalam suasana yang ramai, maka kekhawatiran itu dalam
beberapa kondisi tidak signifikan lagi. Maka itu sebabnya ada beberapa ulama
yang membolehkan seorang perempuan tanpa suami atau mahram pergi haji bersama
rombongan perempuan lain yang terpercaya atau bersama perempuan lain yang aman.
Realitas sosial budaya yang
disebutkan di atas, adalah konteks historis yang bersifat umum. Di samping itu
juga ada konteks historis yang bersifat lebih khusus, yakni sasaran ucapan
Nabi. Ini dianggap penting karena mengandung illat untuk pengecualian. Yakni
membatasi ketentuan atau makna hadis sebatas keadaan sahabat atau orang yang
semisal dengan sahabat, bukan untuk semua orang. Ketika seorang sahabat meminta
izin kepada Rasul untuk berjihad (berperang), rasul menanyakan apakah orang
tuanya masih hidup. Mendengar penjelasan sahabat, maka rasul menyatakan bahwa
melayani orang tuanya sama nilainya dengan jihad. Sebagian besar ulama
mengasumsikan bahwa sahabat yang meminta izin tersebut belum cukup umur, atau
tidak layak untuk berperang. Karena itu untuk sahabat tersebut, rasul
menganjurkan lebih baik ia melayani orang tuanya, karena itu juga sama nilainya
dengan jihad.
Akan tetapi, untuk mendapatkan
pemahaman konteks-konteks hadits dengan tepat, maka tak pelak lagi upaya
penghimpunan sebanyak mungkin hadits yang berada dalam satu pembicaraan. Ini
dimaksudkan untuk mendapatkan kesimpulan yang tepat dari konteks-konteks hadis
itu.
Karena hadis-hadis pada dasarnya
saling terkait satu sama lain, bahkan seperti al-Quran “يفسروا بعضها بعضا”
(satu sama lain saling menafsirkan). Teknik ini tidaklah sulit utuk dilakukan,
sebab kitab-kitab hadits telah memilik sistematika yang baik.
Menyangkut dengan asbab al-wurud ini
Imam Syafi’ie Bin Muhammad mengingatkan, bahwa adakalanya hadits-hadits Rasul
merupakan jawaban sebatas pertanyaan yang diajukan sahabat. Tetapi dalam
periwayatannya tidak disebutkan secara sempurna oleh si-periwayat (tidak
menyebutkan pertanyaan yang melahirkan jawaban Rasul), atau orang lain yang
meriwatkan hadis itu hanya mengetahui dan mendengar jawaban rasul, namun tidak
mengetahui masalah atau pertanyaan yang melatar belakangi jawaban Rasulullah
tersebut.
BAB
III
PENUTUP
I.
Kesimpulan
Hadits yang diteliti adalah hadits
yang berstatus Ahad. Untuk hadits
yang berstatus mutawatir ulama tidak menganggap perlu diteliti lebih lanjut
sebab hadits hadits yang bersangkutan berasaldari Nabi. Menurut Syuhudi Ismail bagian-bagian hadits yang menjadi
objek penelitian ada dua yaitu Sanad dan
Matan. Sanad adalah rangkaian para periwayat yang menyampaikan riwayat
Hadits. Sedangkan Matan adalah materi atau isi hadits itu sendiri.
Al-takhrij merupakan masdar dari
akar kata kharraja, yakharriju, takhrijan.
secata etimologi Al-takhrij berarti
perhimpunan dua hal yang salingberlawanan dalam satu hal, seperti tanah gersang
dengan tanah subur.
II.
saran
Kami
dari penulis, menyadari sepenuhnya bahwa makalah kami ini jauh dari
kesempurnaan, untuk itu kami berharap
kepada pembaca, terutama dosen pembimbing mata kuliah ini berupa kritik dan
sarannya terhadap makalah ini yang bersifat membangun.
DAFTAR
PUSTAKA
Zainimal,
ulumul hadits, padang, IAIN IB
padang, 2002
Hakim,
rosniati, metodologi studi islam,
padang, hayfa press, 2009
Syubah
abu, kuttubus sittah, surabaya: pustaka progressif, 1993
[1]Hakim rosniati, metodologi
studi islam, (padang: hayfa press, 2009), hal. 69
[2]ibid, hal. 69-70
[3]ibid, hal.70
[4]syubah abu, kuttubus
sittah, (surabaya: pustaka progressif, 1993), hal. 37
[5]ibid, hal. 44
[6]ibi, hal. 46
[7]ibid, hal.61-62
[8]ibid, hal. 62
[9]ibid, hal. 73
[10]ibid, hal.83
[11]zainimal, ulumul hadits, (padang, IAIN IB padang,
2002), hal. 182
[12]hakim, rosniati, metodologi studi islam, (padang, hayfa
press, 2009), hal.71
[13]ibid, hal 71
ulumul hadis-tentag pengenalan metode penelitian hadis dan pengenalan metode pemahaman hadis