Senin, 30 Juni 2014

IJTIHAD DALAM KERANGKA MUQASYID SYARI’AH -makalah



IJTIHAD DALAM KERANGKA MUQASYID SYARI’AH
MAKALAH

MUQARANAH MAZAHIB FIL USHUL II

“Diseminarkan Dalam Diskusi Lokal PMH Semester VII pada Mata Kuliah Muqaranah Mazahib fil Ushul II”


Oleh

HANDAYANI
310.006


Dosen Pembimbing:
ZAINAL AZWAR, M.Ag
  
PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM (PMH)
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
1434 H / 2013 M







BAB I
PENDAHULUAN
IJTIHAD DALAM KERANGKA MUQASYID SYARI’AH
A.    Latar Belakang Masalah
Para ulama sepakat bahwa Al-Quran dan Sunnah merupakan sumber ajaran yang asasi, akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa kedua sumber tersebut masih banyak hal yang bersifat global dan belum mencakup semua persoalan hukum yang senantiasa silih berganti seiring  dengan perjalanan waktu dan perubahan zaman.
Sunnah, para ulama melakukan ijtihad, oleh karena itu ijtihad menjadi hal yang sangat penting sebagai upaya pemecahan persoalan hukum.  Ijtihad dilakukan oleh para ulama dengan mempertimbangkan berbagai hal guna mencapai ketetapan hukum yang dapat dipertanggung jawabkan. Salah satu pertimbangan penting yang digunakan dalam penetapan hukum adalah mempertimbangkan maqasid al-syariah sebagai dasarnya. Teks tidak selalu memberi jawaban yang terperinci dan konkrit atas kemaslahatan, tetapi teks menjadi standar pasti terhadapnya, dan terbuka lebar ruang untuk berkreasi dan berijtihad dan selalu meluas dan terus berkesinambungan dalam menilai hal-hal baru, menyikapi perkembangan zaman.Makalah ini akan membahas hubungan maqasid al-syariah dengan ijtihad.

B.    Tujuan Pembuatan Makalah
Makalah ini penulis buat dengan tujuan untuk mengembangkan dan menambah pengetahuan dan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah “Muqaranah Mazahib fil Ushul II yang dibimbing oleh Bapak Zainal Azwar. M.Ag

C.    Batasan Makalah
Makalah Muqaran Mazahib fil Ushul II ini penulis batasi supaya tidak melenceng kepada pembahsan berikutnya. Penulis membahas tentang “Ijtihad dalam kerangka Muqasyid asy-Syari’ah di zaman Modern”
1.     Mengenal Ijtihad
2.     Mengenal Muqasyid Syari’ah
3.     Maqasid Syariah Sebagai  Kerangka Teoritis dalam Berijtihad


BAB II
PEMBAHASAN
IJTIHAD DALAM KERANGKA MUQASYID SYARI’AH

A.    Mengenal Ijtihad
1.     Pengertian Ijtihad
Secara etimologis, kata ijtihad merupakan bentuk masdar dari kata اجــتـهـد. Akar dari kata ini adalah الـجهـد yang berarti الوسع و الطاقة (kekuatan, kemampuan, kesanggupan)[1] Kata ijtihad berarti بـذل ما في وسعه (pengerahan seluruh kekuatan, kemampuan, kesanggupan).[2]
Secara terminologi Pengertian Ijtihad yang dikemukakan oleh Abu Zahrah adalah “Mencurahkan seluruh kemampuan secara maksiamal, baik untuk mengistinbathkan hukum syara’, maupun dalam penerapannya”.[3]
2.     Dasar Hukum Ijtihad
Banyak alasan yang menunjukan kebolehan melakukan ijtihad antara lain adalah:
a)     Surat an-Nisa’ ayat 59
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ
Artinya:  Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Perintah mengembalikan sesuatu yang diperbedakan kepada al-Qur’an dan Sunnah, menurut Ali Hasaballah, adalah peringatan agar orang tidak mengikuti hawa nafsunya, dan diwajibkan untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya dengan jalan ijtihad.[4]
b)     Hadis Nabi Muhammad SAW
Hadis yang diriwayatkan dari Mu’az bin jabal. Ketika dia akan diputus ke Yaman, menjawab pertanyaan Rasulullah dengan apa ia memutuskan hukum, ia menjelaskan secara berurutan, yaitu dengan al-Qur’an, kemudian dengan Sunnah Rasulullah, dan kemudian dengan melakukan ijtihad. Rasulullah SAW mengakui hal itu dengan mengatakan:
“Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik atas diri utusan dari Rasulullah dengan apa yang di ridhai oleh Allah dan Rasulullah-Nya.
Hadis Nabi Muhammad SAW
Artinya: “Dari al-Aris bin amr’ dari sekelompok orang teman-teman mu’az sesungguhnya rasulullah mengutus  mu’az ke yaman maka beliau bertanya kepada mu’az atas dasar apa anda memutuskan suatu persoalan, dia menjawab dasarnya adalah kitab allah, nabi bertanya: kalau tidak ada ditemukan dalam kitab allah? Dia menjawab dengan sunnah rasulullah SAW, beliau bertanya lagi kalau tidak ada ditemukan dalam sunnah Rasulullah? Mu’az menjawab aku akan berijtihad dengan penalaranku, maka nabi berkata: segala puji bagi allah yang telah memberi taufik atas diri utusan rasulullah SAW” (HR. Tirmizi).



3.     Syarat-Syarat Seorang Mujtahid
Para ulama telah merumuskan persyaratan seorang mujtahid dengan rumusan dan redaksi yang berbeda-beda. Namun dalam pembahasan ini akan dikemukakan syarat-syarat mujtahid yang dirimuskan oleh Wahbah Zuhaili sebagai berikut:
a.      Mengetahui makna ayat yang terdapat dalam al-Qur’an baik secara bahasa maupun secara bahasa maupun secara istilah syara’. Tidak perlu dihafal cukup mengetahui tempat ayat-ayat ini berada sehingga mudah untuk mencarinya ketika dibutuhkan.
b.     Mengetahui hadis-hadis ahkam baik secara bahasa maupun istilah. Tidak perlu dihafal sebagaimana juga al-Qur’an. Menurut ibn Arabi(w. 543 H) hadis ahkam berjumlah 3.000 hadis, sedangkan menurut riwayat dari Ahmad bin Hambal 1.200 hadis. Tetapi wahbah Zuhaili tidak sependapat, menurutnya yajng terpenting mujtahid mengerti seluruh hadis-hadis hukum yang terdapat dalam kitab-kitab besar seperti sahih bukhari, sahih Muslim, dan lain-lain.
c.      Mengetahui al-Qur’an dan Hadis yang telah dinasakh dan mengetahui ayat dan hadis yang menasakh. Tujuannya agar mujtahid tidak mengambil kesimpulan dari nas (al-Qur’an dan hadis) yang tidak berlaku lagi.
d.     Mengetahui sesuatu yang hukumnya telah dihukumi oleh ijma, sehingga ia tidak menetapkan hukum yang bertentangan dengan ijma.
e.      Mengetahui qiyas dan sesuatu yang berhubungan dengan qiyas yang meliputi rukun, syarat, illat hukum dan cara istinbatnya dari nash, maslahah manusia, dan sumber syariat secara keseluruhan. Pentingnya mengetahui qiyas karena qiyas adalah metode ijtihad.
f.      Menguasai bahasa Arab tentang nahwu saraf, maani, bayan, dan uslub-nya karena al-Qur’an dan hadis itu berbahasa Arab. Oleh karena itu, tidak mungkin dapat mengistinbatkan hukum yang berdasar dari keduanya tanpa menguasai bahasa keduanya.
g.     Mengetahui ilmu ushul fiqh, karena ushul fiqh adalah tiang ijtihad berupa dalil-dalil secara terperinci yang menunjukkan hukum melalui cara tertentu seperti amr, nahi, am, dan khas. Istinbat diharuskan untuk mengetahui cara-cara ini dan semuanya itu ada dalam ilmu ushul fiqh.
Mengetahui maqasid syariah dalam penetapan hukum, karena pemahaman nas dan penerapannya dalam peristiwa bergantung kepada maqasid syariah.[5]
4.     Hukum Berijtihad
Jika seseorang sudah memenuhi syarat-syarat untuk berijtihad sebagaimana tersebut di atas maka keberadaan seorang mujtahid dalam kegiatan memberikan ijtihadnya bisa wajib ain, wajib kifayah, bisa mandub, dan bisa pula haram.
a.      Wajib ain, yaitu bagi orang yang sudah mencukupi syarat ijtihad dan terjadi pada diri mujtahid itu sesuatu yang membutuhkan jawaban hukumnya. Ijtihad wajib diamalkan dan ia tidak boleh bertaklid kepada mujtahid lainnya. Hukum ijtihad juga wajib bagi mujtahid yang ditanya tentang hukum suatu masalah yang sudah terjadi dan menghendaki jawaban hukum segera sedangkan tidak ditemukan ijtihad lain.
b.     Wajib kifayah, jika ada mujtahid lain selain dirinya yang akan menjelaskan hukumnya.
c.      Sunnah, yaitu melakukan ijtihad pada dua hal. Pertama, terhadap permasalahan yang belum pernah terjadi tanpa ditanya, seperti yang dilakukan oleh imam Abu Hanifah yang dikenal dengan fiqh iftiradhi(fiqh pengandaian). Kedua, ijtihad pada masalah yang belum terjadi berdasarkan pertanyaan dari orang lain.
d.     Haram, yaitu ijtihad pada dua hal. Pertama berijtihad terhadap permasalahan yang sudah tegas (qat’i) hukumnya baik berupa ayat atau hadis dan ijtihad yang menyalahi ijma. Ijtihad boleh pada masalah selain itu. Kedua berijitihad bagi seseorang yang belum memenuhi syarat sebagai mujtahid, karena hasil ijtihadnya tidak akan benar tetapi menyesatkan, dasarnya karena menghukumi sesuatu tentang agama Allah tanpa ilmu hukumnya haram.[6]

5.     Tingkatan Mujtahid
Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid. Mujtahid memiliki tingkatan-tingkatan sebagai berikut:
a.      Mujtahid fi al-syar’i, disebut mustaqil. Ialah orang yang membangun suatu mazhab seperti Imam Mujtahid yang empat yaitu Abu Hanifah, Maliki, Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal.
b.     Mujtahid fi al-Mazhab, ialah mujtahid yang tidak membentuk mazhab sendiri tetapi mengikuti salah satu seorang imam mazhab. Mujtahid fi al-mazhab terkadang menyalahi ijtihad imamnya pada beberapa masalah.
c.      Mujtahid fi al-Masail, ialah mujtahid yang berijtihad hanya pada beberapa masalah dan bukan pada masalah-masalah yang umum, seperti al-Thahawi dalam mazhab Hanafi dan al-Ghazali dalam mazhab Syafi’i serta al-Khiraqy dalam mazhab Hambali
d.     Mujtahid Muqoyyad, yaitu mujtahid yang mengikat diri dengan pendapat ulama salaf dan mengikuti ijtihad mereka. Hanya saja mereka mengetahui dasar dan memahami dalalahnya dan inilah yang disebut dengan takhrij.

B.    Mengenal Muqasyid Syari’ah
Secara bahasa Maqashid Syari’ah terdiri dari dua kata yaitu Maqashid dan Syari’ah. Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, Maqashid merupakan bentuk jama’ dari maqsud yang berasal dari suku kata Qashada yang berarti menghendaki atau memaksudkan, Maqashid berarti hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan.[7] Sedangkan Syari’ah secara bahasa berarti Jalan menuju sumber air. Jalan menuju sumber air dapat juga diartikan berjalan menuju sumber kehidupan.
Al-Syatibi menegaskan bahwa doktrin Maqasid Al Syariah adalah satu, yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia baik di dunia maupun diakhirat. Oleh karena itu Asy-Syatibi meletakkan posisi maslahat sebagai ‘illat hukum atau alasan pensyariatan hukum Islam, berbeda dengan ahli ushul fiqih lainnya An-Nabhani misalnya beliau dengan hati-hati menekankan berulang-ulang, bahwa maslahat itu bukanlah ‘illat atau motif (al-ba‘its) penetapan syariat, melainkan hikmah, hasil (natijah), tujuan (ghayah), atau akibat (‘aqibah) dari penerapan syariat.
Di sini penulis menyimpulkan bahwa Maqashid Syari’ah adalah konsep untuk mengetahui nilai-nilai dan sasaran syara' yang tersurat dan tersirat dalam Alqur’an dan Hadits. dan ditetapkan oleh al-Syari' terhadap manusia adapun tujuan akhir hukum tersebut adalah satu, yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia baik didunia (dengan Mu’amalah) maupun di akhirat (dengan ‘aqidah dan Ibadah). sedangkan cara untuk tercapai kemaslahatan tersebut manusia harus memenuhi kebutuhan Dharuriat (Primer), dan menyempurnakan kebutuhan Hajiat (sekunder), dan Tahsiniat (tersier).

C.    Maqasid Syariah Sebagai  Kerangka Teoritis dalam Berijtihad
Penggunaan ijtihad dalam pengertian umum, relevan dengan interpretasi al-Qur’an dan as-Sunnah. Ketika suatu aturan syari’ah didasarkan pada implikasi yang luas dari sebuah teks al-Qur’an dan as-Sunnah, yang itu berbeda dengan aturan langsung dari teks yang jelas dan terinci, maka teks dan aturan syari’ah itu harus dihubungkan melalui penalaran hukum. Menurut Abdullah Ahmad an-Na’im, bahwa bagaimanapun juga sulit dibayangkan suatu teks-teks al-Qur’an atau as-Sunnah, betapun jelas dan rincinya, tidak memerlukan ijtihad untuk interpretasi dan penerapannya dalam situasi yang konkrit.[8]
Hadis Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dan selain keduanya mengatakan : “Jika seorang hakim memutuskan hukum dengan berijtihad dan kemudian benar maka ia mendapat dua pahala, dan jika memutuskan hukum dengan berijtihad dan kemudian salah maka ia mendapat satu pahala.” Hadis ini ternyata belum cukup untuk membuka pintu ijtihad dan menetapkan kebolehannya. Padahal hadis ini sangat menekankan pentingnya ijtihad. Ini adalah jaminan bahwa seorang mujtahid berhak untuk salah, dan kesalahan ini tidak membuatnya mendapat siksa dan hukuman. Disamping itu, ini adalah bukti akan kuatnya dorongan untuk berfikir, meneliti, dan memajukan ilmu pengetahuan.[9]
Fatwa merupakan hasil ijtihad para ahli yang dapat saja dilahirkan dalam bentuk tulisan maupun lisan. Benruk tulisan dan lisan para ulama itulah yang dikenal dengan fatwa keagamaan untuk kepentingan manusia. Kita tahu bahwa hukum Islam berlandaskan al-Qur’an dan al-Hadis sebagian besar bentuknya ditentukan berdasarkan hasil ijtihad para mujtahid yang dituangkan dalam bentuk mujtahid maka posisi fatwa sangat memperkuat tindakan ijtihad. Sebab fatwa dihasilkan dari ijtihad para ulama, sehingga apabila tidak berijtihad kemungkinan besar tidak akan muncul atau lahir fatwa keagamaan.
Ijtihad juga kadang-kadang mengalami perubahan-perubahan yang mendasar, hal ini disebabkan beberapa hal antara lain :[10]
a.      Adanya perubahan kepentingan masyarakat
b.     Adanya pengaruh adat kebiasaan dan urf(kebudayaan)
c.      Faktor lingkungan, ruang dan waktu
d.     Faktor perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi(iptek).
Faktor-faktor tersebut memberikan pertanda bahawa ijtihad itu bersifat kondisional artinya situasi  dan kondisi masyarakat sangat mempengaruhi pola piker para mujjtahid itu sendiri.
Para ahli ushul fikih sepakat bahwa lapangan ijtihad hanya berlaku dalam kasus yang tidak terlepas dalam nash atau yang terdapat dalam teks al-Qur’an dan as-Sunnah yang masuk kategori zhanni al-dalalah.[11] Oleh karena itu juga hasil ijtihad bersifat zhanni, artinya bukan satu-satunya kebenaran (tidak qat’i) tetapi mengandung kemungkinan lain.
Sedangkan nash yang masuk kategori dalil sharih yang qath’iyu al-wurud (pasti kedatangannya dari syar’i) dan qath’iyu al-dalalah (pasti penunjukannya kepada makna tertentu), maka tidak ada jalan untuk diijtihadkan. Meskipun dalam pandangan an-Na’im, hal itu sulit dibayangkan.[12] Dalam melihat metode ijtihad apa yang harus dikembangkan dan kemungkinan peranan maqasyid al-syari’at yang lebih besar dalam metode tersebut, penelaahan harus bertitik tolak dari objek itu sendiri. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa objek (lapangan) ijtihad adalah segala sesuatu yang tidak diatur secara tegas dalam nash serta masalah-masalah yang tidak mempunyai landasan nash (ma la nash fiih). Oleh karenanya bertitik tolak dari itu, maka ada dua corak penalaran yang di dalamnya terdapat metode-metode ijtihad yang perlu dikembangkan dalam upaya penerapan-penerapan maqasyid al-syari’at. Kedua corak itu ialah penalaran ta’lili dan istislahi.
Corak penalaran ta’lili adalah upaya penggalian hukum yang bertumpu pada penentuan illat-illat hukum yang terdapat dalam suatu nash. Dalam perkembangan pemikiran ushul fikih, corak penalaran ta’lili ini mengambil bentuk qiyas dan istihsan. Adapun corak penalaran istislahi adalah upaya pengambilan hukum yang bertumpu pada prinsip-prinsip kemaslahatan. Corak penalaran ini tampak pada metode al-masalihu al-mursalah dan saddu az-zari’ah.
Menurut al-Syatibi, antara ijtihad dengan maqasyid al-syari’at tidak dapat dipisahkan. Ijtihad pada intinya adalah upaya penggalian hukum syara’ secara optimal. Upaya penggalian hukum syara’ itu berhasil apabila seorang mujtahid dapat memahami maqasyid al-syari’at.[13] Oleh karenanya pengetahuan tentang maqasyid al-syari’at adalah salah satu syarat yang dimiliki oleh seorang mujtahid.
Mengenai kedudukan ijtihad, apakah merupakan sumber hukum Islam ataukah sebagai metode penetapan hukum Islam, maka ada dua pandangan mengenai hal tersebut. Ada kelompok yang berpandangan bahwa ijtihad adalah sumber hukum Islam berdasar atas hadits dari Muaz bin Jabal. Hadits ini dipahami oleh kelompok lain yang berpandangan bahwa ijtihad adalah metode penetapan hukum Islam, sebab hadits tersebut mengisyaratkan bahwa sumber utama fiqih adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Jika tidak terdapat dalam kedua sumber tersebut, baru digunakan ijtihad dengan tetap merujuk kepada kedua sumber dimaksud. Ijtihad adalah merupakan kegiatan yang tidak mudah, karena memerlukan analisis yang tajam terhadap nash serta jiwa yang terkandung di dalamnya dengan memperhatikan aspek kaedah kebahasaan dan tujuan umum disyariatkannya hukum Islam (maqasyid al-syari’at).







BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Antara ijtihad dengan maqasyid al-syari’at tidak dapat dipisahkan. Ijtihad pada intinya adalah upaya penggalian hukum syara’ secara optimal. Upaya penggalian hukum syara’ itu berhasil apabila seorang mujtahid dapat memahami maqasyid al-syari’at. Oleh karenanya pengetahuan tentang maqasyid al-syari’at adalah salah satu syarat yang dimiliki oleh seorang mujtahid.
Kemaslahatan dijadikan sebagai argumen dalam penetapan hukum syariat serta menjadi prioritas dalam berijtihad. Tetapi banyak berbagai pengertian kemaslahatan diantaranya adalah kemaslahatan yang dibutuhkan manusia dan bermanfaat bagi mereka sangat beragam bentuk dan coraknya. Jika diringkas maka akan didapatkan lima kemaslahatan utama yaitu kemaslahatan agama (maslahah ad-din), kemaslahatan jiwa (maslahah an-nafs), kemaslahatan reproduksi dan berkeluarga (maslahah an-nasl), kemaslahatan terhadap akal (maslahah al-aql), dan kemaslahatan terhadap harta benda (maslahah al-mal).

B.     SARAN
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan makalah berikutnya.




DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997
Ibrahim Unais dkk. (ed.), al-Mu’jam al- Wasi
Satria Effendi, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2009
Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, Damaskus:Daar al-Fikr,1986
Ahmad Qorib, Ushul Fikih 2, Cet. II,  Jakarta: PT. Nimas Multima, 1997
Abdullah Ahmad an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam, Yogyakarta: LkiS, 1997
Ahmad Al-Raysuni, Muhammad Jamal Barut, Ijtihad antara teks, realitas, dan kemaslahatan social, Jakarta: Erlangga, 2002
Rohadi Abd. Fata, Analisa Fatwa Keagamaan dalam Fiqh Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1991
Fathurahhman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih, Jakarta: Logos, 1995
Mukhyar Yahya dan Fachurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Bandung: al-Ma’arif,1986
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al- Syatibi,Jakarta: P.T. Raja grafindo Persada, 1996



[1]Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 1558
[2]Ibrahim Unais dkk. (ed.), al-Mu’jam al- Wasi, hal. 142
[3]Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), Hal. 246
[4]Satria Effendi, Ushul Fiqh, Hal. 247 
[5]Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, (Damaskus:Daar al-Fikr,1986)
[6]Satria Effendi, M.Zein, Ushul Fiqh, hal. 255-256
[7]Ahmad Qorib, Ushul Fikih 2, Cet. II,  (Jakarta: PT. Nimas Multima, 1997), hal. 170
[8]Abdullah Ahmad an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam, (Yogyakarta: LkiS, 1997), hal.54
[9]Ahmad Al-Raysuni, Muhammad Jamal Barut, Ijtihad antara teks, realitas, dan kemaslahatan social, (Jakarta: Erlangga, 2002), hal. 1
[10]Rohadi Abd. Fata, Analisa Fatwa Keagamaan dalam Fiqh Islam, ( Jakarta : Bumi Aksara, 1991), hal. 43-44
[11] Fathurahhman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih, (Jakarta: Logos, 1995), hal.16
[12]Mukhyar Yahya dan Fachurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, (Bandung:al-Ma’arif,1986), hal.373
[13]Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al- Syatibi, (Jakarta: P.T. Raja grafindo Persada, 1996), hal. 71