Jumat, 11 Januari 2013

AS SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM


MAKALAH


USHUL FIQH


Tentang


AS SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM





Oleh :


Handayani


310.006





Dosen pembimbing :


AL FADHLI, M.Ag








JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM


FAKULTAS SYARI’AH


INSITUT AGAMA ISLAM NEGERI


IAIN IMAM BONJOL PADANG


2011 M / 1432 H








BAB I


PENDAHULUAN


Kekuatan sunnah sebagai sumber hukum ditentukan oleh dua segi: pertama dari segi kebenaran materinya dan kedua dari segi kekuatan penunjukannya terhadap hukum. Dari segi kebenaran materinya, kekuatan sunnah mengikuti kebenaran pemberitaannya yang terdiri dari tiga tingkat, yaitu: mutawatir, masyhur dan ahad.


Sunnah yang mempunyai martabat tertinggi dalam kedudukan sebagai sumber hukum adalah Sunnah yang qath’i dari segi sanad-nya, yaitu kebenaran materinya datang dari Nabi dan Qath’i dari segi dilalah atau penunjukannya terhadap hukum. Namun jumlah sunnah yang qath’i ini sangat terbatas. Adapun yang banyak jumlahnya adalah Sunnah yang zhanni dari segi materinya atau dari segi dilalahnya (penunjukan) atau dari segi keduanya.








BAB II


PEMBAHASAN


1.      Pengertian Sunnah


Kata sunnah (          ) berasal dari bahasa arab (     ) secara etimologi berarti: cara yang biasa dilakukan, apakah cara itu sesuatu yang baik, atau buruk. Penggunaan kata sunnah dalam arti ini terlihat dalam sabda Nabi:

















Dalam Al Qur-an terdapat kata “Sunnah” dalam 16 tempat yang tersebar dalam beberapa surat dengan arti “kebiasaan yang berlaku” dan “jalan yang diikuti”. Umpamanya dalam firman Allah dalam surat Ali ‘Imran: 137











Sesungguhnya telah berlaku sebelum kamu sunnah-sunnah Allah. Karena itu berjalanlah kamu di muka bumi.......”


Kemudian dalam surat Al Isra’:77











“(Kami menetapkan yang demikian) sebagai suatu sunnah terhadap rasul-rasul Kami yang kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu dapati perubahan bagi ketetapan Kami.”[1]


Para ulama Islam mengutip kata sunnah dari Al Qur-an dan bahasa Arab yang mereka gunakan dalam artian khusus yaitu: “cara yang biasa dilakukan dalam pengamalan agama”. Kata sunnah dalam periode awal Islam dikenal dalam artian seperti ini.


Sunnah dalam istilah ulama ushul adalah: “apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun pengakuan dan sifat Nabi”. Sedangkan Sunnah dalam istilah Ulama Fiqh adalah: “sifat hukum bagi suatu perbuatan yang dituntut melakukannya dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti” dengan pengertian diberi pahala orang melakukannya dan tidak diberi bagi orang yang tidak melakukannya.


Perbedaan ahli Ushul dengan ahli Fiqh dalam memberikan arti pada sunnah sebagaimana disebutkan di atas adalah karena mereka berbeda dalam segi peninjauan. Ulama Ushul menempatkan sunnah sebagai salah satu sumber atau dalil hukum fiqh. Untuk maksud itu ia mengatakan, “Hukum ini ditetapkan berdasarkan Sunnah”. Sedangkan Ulama Fiqh menempatkan Sunnah sebagai salah satu dari hukum syara’ yang lima yang mungkin berlaku terhadap satu perbuatan. Untuk maksud itu ia berkata, “perbuatan hukumnya adalah sunnah”. Dalam pengertian ini Sunnah adalah “hukum”, bukan “sumber hukum”.


Kata “sunnah” sering diidentikkan dengan kata “hadis”. Kata “hadis” ini sering digunakan oleh ahli Hadis dengan maksud yang sama dengan kata “sunnah” menurut pengertian yang digunakan kalangan Ulama Ushul.


Dikalangan ulama ada yang membedakan sunnah dari hadis, terutama karena dari segi etimologi kedua kata itu memang berbeda. Kata hadis lebih banyak mengarah kepada ucapan-ucapan Nabi, sedangkan sunnah lebih banyak mengarah kepada perbuatan dan tindakan Nabi yang sudah menjadi tradisi yang hidup dalam pengamalan agama.[2]


Semua Ulama Ahl As Sunnah baik dalam kelompok ahli fiqh, Ulama Ushul fiqh maupun dalam Ulama Hadis sepakat mengatakan bahwa kata Sunnah atau Hadis itu hanya merujuk kepada Nabi dan berlaku pada Nabi dan tidak digunakan untuk selain dari Nabi.





2.      Macam-macam Sunnah


Sunnah menurut pengertian ahli Ushul sebagaimana disebutkan di atas terbagi kepada tiga macam:


Pertama, Sunnah qauliyah (                      ), yaitu ucapan Nabi yang didengar oleh sahabat beliau dan disampaikan kepada orang lain. Misalnya, sabda Rasulullah yang diriwayatkan Abu Hurairah:








“tidak sah sholatnya seseorang jika tidak membaca surat Al Fatihah”(HR. Bukhari dan Muslim).


Kedua, Sunnah Fi’liyyah (                         ), yaitu perbuatan yang dilakukan oleh  Nabi Muhammad SAW yang dilihat atau diketahui oleh sahabat, kemudian disampaikan pada orang lain dengan ucapannya. Misalnya, tata cara sholat yang ditunjukkan Rasulullah kemudian disampaikan sahabat yang melihat atau mengetahuinya kepada orang lain.[3]


Ketiga, Sunnah Taqririyah (                           ), yaitu perbuatan seorang sahabat atau ucapannya yang diketahui oleh Nabi, tetapi tidak dicegah atau tidak ditanggapi oleh Nabi. Umpamanya seorang sahabat memakan daging dhab di hadapan Rasulullah, nabi mengeahui apa yan dimakan sahabat itu, tetapi nabi tidak melarang atau menyatakan keberatan atas hal itu. Kisah tersebut disampaikan oleh sahabat yang mengetahuinya: “saya melihat seseorang memakan daging dhab di dekat Nabi, Nabi mengetahui tapi Nabi tidak melarang melakukan perbuatan itu.”[4]





3.      Kehujjahan Sunnah


a.       Dalil Al qur’an


Tentang kewajiban mempercayai segala yang disampaikan oleh Rasulullah kepada umatnya, QS. ‘Ali imron: 179











“....maka berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu beriman dan bertaqwa maka bagimu pahala yang besar.”


b.      Dalil Hadis


Dalam hadis dikatakan:











“aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh kepada keduanya yaitu Kitab Allah (Al Qur’an) dan Sunnah Rasul-Nya”


c.       Ijma’


Umat islam telah sepakat menjadikan AsSunnah sebagai salah satu hukum beramal, karena sesuai dengan yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Mereka menerima As Sunnah seperti halnya menerima Al Qur’an, keduanya dijadikan sumber hukum.[5]





a.      Fungsi Sunnah


Al qur-an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka sunnah disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani dalam hubungan dengan Al Qur-an, ia menjalankan fungsi sebagai berikut:


a.      Bayan At Tafsir


Adalah menerangkan ayat-ayat yang sangat umum atau mujmal. Fungsi hadis dalam hal ini adalah memberikan perincian dan penafsiran terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang masih mujmal, memberikan taqyid ayat-ayat yang masih muthlaq, dan memberikan takhsish ­ayat-ayat yang masih umum.


Contohnya, kita diperintahkan sholat, namun Al Qur’an tidak menjelaskan bagaimana tata cara sholat, tidak menerangkan rukun-rukunnya dan waktu pelaksanaannya, maka dalam hadis dijelaskan oleh Nabi, dengan sabdanya:











“sholatlah sebagaimana kalian melihat aku sholat”


Contoh lain dalam masalah zakat misalnya, umat islam wajib membayar zakat, dalam Al Qur’an kita diperintahkan, tapi berapa ukurannya dijelaskan dalam hadis Nabi:








“Berikanlah dua setengah persen dari harta-hartamu”(zakat emas dan perak)


b.      Bayan At Taqrir


Sering juga disebut dengan bayan At Ta’kid adalah hadis yang berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al Qur’an. Dalam hal ini hadis hanya memperkokoh isi kandungan Al Qur’an. Contohnya:


Surat Al Baqoroh ayat 185:








“......karena itu barang siapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, herndaklah berpuasa.....”


Ayat di atas di taqrir oleh hadis Nabi, yaitu:








“......apabila kalian melihat bulan, berpuasalah, begitu pula apabila melihat bulan itu, berbukalah.....”[6]


c.       Itsbat atau Insya’


Yaitu menetapkan hukum yang secara jelas tidak tidak terdapt dalam Al Qur’an. Dengan demikian kelihatan bahwa sunnah menetapkan sendiri hukum yang tidak ditetapkan dalam Al Qur’an.[7] Sebenarnya bila diperhatikan dengan teliti akan jelas bahwa apa yang ditetapkan sunnah itu pada hakikatnya adalah penjelasan terrhadap apa yang disinggung Al Qur’an atau memperluas apa yang disebut dalam Al Qur’an secara terbatas.


Contoh hukum baru yang ditetapkan Rasulullah adalah tidak boleh mengawini seorang wanita sekaligus dengan bibi (HR. Bukhari dan Muslim), tidak boleh memakan daging himar kampung (tunggangan atau pembawa beban) dan binatang buas (HR. Ahmad bin Hanbal dan Abu Daud).[8]










































































BAB III


PENUTUP


1.      Kesimpulan


As Sunnah berarti kebiasaan yang baik ataupun buruk. Jika dikaitkan dengan sumber hukum yang dimaksud dengan Sunnah ialah segala sesuatu yang diperhatikan, dilarang atau dianjurkan oleh Rasullah baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan. Dengan pengertian seperti ini maka sunnah dibagi menjadi tiga, yaitu: sunnah qauliyah, sunnah fi’liyyah, sunnah taqririyah.


Kedudukan sunnah sebagai sumber hukum dijadikan hujjah karena banyak dalil Al Qur’an, dalil Hadis, dan Ijma’ Ulama. Dengan dijadikannya hujjah dalam sumber hukum maka sunnah mempunyai hubungan kuat dengan Al Qur’an yaitu sebagai penjelas (bayani).





2.      Saran


Makalah ini masih banyak kekurangan dan kekhilafan, oleh karena itu pemakalah mengaharapkan adanya kritikan dan saran demi kesempurnaan makalah ini.












































DAFTAR PUSTAKA





Haroen, Nasroen, Ushul Fiqh 1, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997


Sholahudin, M., Agus Suyadi, Ulumul Hadis, Pustaka Setia, Bandung, 2009


Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh jilid 1, Kencana, Jakarta, 2008







[1]               Syarifuddin, Amir, Ushul fiqh jilid 1, (Jakarta, Kencana, 2008),  hal. 80-81




[2]               Ibid., hal. 82




[3]               Haroen, Nasroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 39




[4]               Syarifuddin, Amir, Op. Cit., hal. 83




[5]               Sholahudin, Agus, & Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung, Pustaka Setia, 2009), hal. 75-77




[6]               Ibid., hal. 79 & 82




[7]               Syarifuddin, Amir, Op. Cit., hal. 95




[8]               Haroen, Nasroen, Op. Cit., hal. 52



MAHKAMAH SYAR’IYAH DI PROVINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM (NAD)




MAKALAH


SEJARAH PERADILAN ISLAM





Tentang


MAHKAMAH SYAR’IYAH DI PROVINSI


NANGROE ACEH DARUSSALAM  (NAD)








Diajukan Untuk Sebagai Tugas Dalam Perkuliahan SPI










 





Oleh:


Handayani


310.006





Dosen Pembimbing:


Prof. Dr. H. Asasriwarni. MA





PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM (PMH)


FAKULTAS SYARI’AH


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)


IMAM BONJOL PADANG


1432 H / 2011M














MAHKAMAH SYAR’IYAH DI PROVINSI


NANGROE ACEH DARUSSALAM  (NAD)


A.    Lahirnya Departemen Agama dan Peraturan-Peraturannya


Pada tanggal 03 Januari 1946 lahirlah Departemen Agama yang awalnya bernama Kementrian Agama, sebagai salah satu bagian dari aparatur pemerintah Republik Idonesia. Dalam kementrian Agama kewenangan yang menyangkut bidang kehidupan beragama, ditempatkan dalam satu wadah. Lahirnya Departemen Agama tersebut adalah hasil keputusan aklamasi anggota Badan pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) berdasarkan usul dalam siding Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) tanggal 11 Nopember 1945 yang bunyinya sebagai berikut :


“ Mengusulkan supaya dalam Negara Indonesia yang sudah merdeka ini janganlah hendaknya urusan agama hanya disambilkan kepada Kementrian Agama yang khusus dan tersendiri.”[1]


Tokoh-tokoh yang menyampaikan usul tersebut adalah KH. Abu Dardiri (Banyumas, Jawa Tengah), M. Saleh Suaidi dan M. Sukoso Wirjosaputro yang kemudian didukung oleh Moh. Natsir, Dr. Mawardi, Dr. Marzuki Mahdi dan N. Kartosudarmo, dan lain-lain.


Menurut informasi lisan dari salah seorang ex anggota BPKNIP, usul itu diterima dengan aklamasi oleh semua anggota. Dan dengan demikian pada saat itu tidak ada satu suarapun yang menolak pembentukan Departemen Agama. Bahkan menurut sumber informasi tersebut, pada waktu itu antara KNIP sebagai lembaga legislative dengan cabinet sebagai lembaga eksekutif tidak Nampak perbedaan yang tegas. Sebab, semuanya sama-sama berpikir untuk mempertahankan dan menegakkan kemerdekaan Indonesia.


Hal ini terbukti dari kenyataan bahwa Presiden Soekarno waktu itu member isyarat kepada Wakil presiden moh. Hatta, yang kemudian berdiri dan Wakil Presiden itu menyatakan secara spontan bahwa : adanyaKementrian Agama tersendiri mendapatkan perhatian pemerintah. Sebagai realisasi dari perhatian pemerintah itu, dikeluarkan Penetapan Pemerintah Nomor1/SD tanggal 03 Januari 1946, yang diantaranya berbunyi : Presiden Republik Indonesia mengingat usul Perdana Menteri dan Badan Pekerja komite Nasional Indonesia Pusat, memutuskan : “Mengadakan Kementrian Agama”.


Dengan lahirnya Departemen Agama, mungkin ada golongan yang menganggap bahwa kehadiran Departemen Agama itu dirasakan sebagai konsesi yang terlalu besar bagi mereka yang menikmati hak-hak istimewa sebelum kemerdekaan Indonesia. Namun hendaknya disadari, bahwa consensus untuk mempertahankan bentukan bangsa ini telah diusahakan oleh para pendiri Negara melalui pertuakran pikiran dan proses historis, sehingga kita tiba pada kenyataan yang kita terima dewasa ini.Selanjutnya bila ada pikiran-pikiran untuk merubah consensus nasional itu, dikhawatirkan bahwa consensus yang telah dicapai sejak dari Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia hingga dewasa ini, semuanya akan menjadi mentah kembali, yang akan mengakibatkan goyahnya persatuan dan kesatuan bangsa.[2]


Dan selanjutnya kehadiran Departemen Agama di Negara Republik Indonesia tercinta ini, merupakan jaminan atas terlaksananya Bab Agama dari UUD tahun 1945, yang memberikan jaminan terhadap kebebasan untuk menganut agama masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu.


Sebagai tindak lanjut terbentuknya Kementrian Agama dikeluarkan Maklumat Kementerian Agama nomor 2 tanggal 23 April 1946 yang menetapkan bahwa :


1.      Shumuka yang dalam zaman Jepang termasuk kekuasaan Presiden berubah nama menjadi Jawatan Agama Daerah di bawah kementerian Agama.


2.      Hak Mengangkat Penghulu Landraat(sekarang bernama Pengadilan Negeri). Ketua dan Anggota Landraat Agama diserahkan kepada Kementerian Agama


3.      Hak untuk mengangkat Penghulu Masjid yang dahulu ada dalam tangan bupati, diserahkan kepada Kementerian Agama.


Sebelum keluarnya Maklumat Kementerian Agama tersebut diatas, Menteri Agama yang pertama, H. Rasyidi, BA pada konferensi Jawatan Agama seluruh Jawa dan Madura di Surakarta tanggal 17 s/d 18 maret 1946 menyatakan sebagai berikut :


Untuk memenuhi kewajiban Pemerintah terhadap UUUD BAB XI pasal 29 yang menerangkan, bahwa ”Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”. Dan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut kepercayaanya itu”. (ayat 1 dan 2).


Maka dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah NOmor 33 Tahun 1948, jo Nomor 8 Tahun 1950 yang isinya menetapkan tugas-tugas kewajiban Departemen Agama sebagai berikut :


a.       Melaksanakan azas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan sebaik-baiknya;


b.      Menjaga bahwa tiap-tiap penduduk mempunyai kemerdekaan untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya;


c.       Membimbing, menyokong, memelihara dan mengembangkan aliran-aliran agama yang sehat;


d.      Menyelenggarakan, memimpin, dan mengawasi pendidikan agama di sekolah-sekolah negeri;


e.       Menjalankan, memimpin, menyokong serta mengamat-amati pendidikan dan pengajaran di madrasah-madrasah dan perguruan agama lainnya;


f.       Menyelenggarakan segala sesuatu yang bersangkut paut dengan pelayanan rohani kepada anggota-anggota tentara, asrama, rumah-rumah penjara dan tempat-tempat lain yang dipandang perlu;


g.      Mengatur, mengerjakan dan mengamat-amati segala hal yang bersangkutan dengan pencatatan pernikahan, rujuk dan talak orang islam;


h.      Memberikan bantuan materiil untuk perbaikan dan pemeliharaan tempat-tempat peribadatan, masjid-masjid, gereja-gereja, dan lain-lain;


i.        Menyelenggarakan, mengurus dan mengawasi segala sesuatu yang bersangkut paut dengan pengadilan agama dan Mahkamah Islam Tinggi;


j.        Menyelidiki, menentukan, mendaftar dan mengawasi pemeliharaanwakaf-wakaf;


k.      Mempertinggi kecerdasan umum dalam kehidupan bermusyawarah dan hidup beragama.[3]


Dengan ketentuan seperti termaktub dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1949 tersebut Nampak bahwa tugas Departemen Agama dalam Pemerintahan Republik Indonesia ini ialah sebagai pendukung dan pelaksana utama daripada azas Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai Sila Pertama dalam falsafah Negara “Pancasila’. Disamping itu, dari formulasi ke 12 pasal dalam Peraturan Pemerintah tersebut Nampak bahwa Pemerintah secara serius merasa wajib memajikan perkembangan rakyat, baik rohani maupun jasmani. Tegasnya Negara berjanji akan memelihara kerohanian rakyat sebagai manifestasi dari segala persoalan yang bertalian dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, yang pada hakekatnya merupakan janji membantu perkembangan kerohanian rakyat, yang dalam pelaksanaannya diserahkan kepada Kementrian Agama, atas dasar penghormatan yang sama terhadap keyakinan agama setiap rakyat Indonesia.


PP Nomor 33/1948 jo Nomot 8/1950 dipertegas lagi berdasarkan Keppres Nomor 45 Tahun 1974, lampiran 14, Bab 1 Pasal 2 yang berbunyi :


“Tugas pokok Departemen Agama adalah menyelenggarakan sebagian dari tugas umum pemerintah dan pembangunan di bidang agama”.


Dengan demikian dapatlah disimpulkan lahirnya Departemen Agama merupakan produk dari struktur sosiso cultural yang telah berakar dalam system pemerintahan sejak zaman kerajaan-kerajaan/kesultanan-kesultanan ibarat dua sisi mata uang yang berbeda maka tegaknya Negara Republik Indonesia, eksisnya Departemen Agama, Hapusnya Departemen Agama berarti Runtuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.


B.     Latar belakang lahirnya mahkamah syar’iyah di provinsi nangroe aceh darussalam (NAD)


Kata azyumardi azra, bila dilihat dari sudut pandang sosio-historis kerajaan aceh darussalam yang didirikan oleh sultan Ali Mughayat Syah (916-936 H), adalah sebuah kerajaan yang ditegakkan atas dasar-dasar islam. Dalam adat mahkota Alam atau Qanun Meukuta Alam-Undang-Undang Dasar kerajaan Aceh Darussalam, yang diciptakan atas arahan Sultan Iskandar Muda, misalanya disebutkan bahwa sumber-sumber hukum yang dipakai dalam negara adalah merujuk kepada Al-Qur’an, Al-Hadist, Ijma’ dan Qiyas. Bahkan Sultan Iskandar Muda menganti Hukum-Hukum Tradisional dengan hukum berdasarkan syari’ah/fiqih.


Kemudian masyarakat Aceh, sepanjang sejarah telah telah menjadikan syari’at Islam sebagai pedoman dalam hidupnya. Penghayatan dan pengamalan Syari’at Islam dalam rentang sejarah cukup panjang itu telah melahirkan suasan masyarakat dan budaya Aceh yang islami. Budaya dan Adat yang lahir dari ijtihad para ulama,kemudian di pratekkan dan dikembangkan dan dilestarikan oleh  masyarakat. Bahkan, dalam perjalan sejarah srjak abad ke-17 sampai dengan pertengahan abad ke-19 nangroe Aceh darussalam mencapai puncak kejayaannya dalam bidang ilmu pengetahuaan, politik, hukum,pertahanan dan ekonomi. Puncak keemasan NAD tersebut tidak dapat dilepaskan dari pemberlakuaan syari’at Islam sebagai pedoman  hidup raknyat NAD dalam segala aspek kehidupan masyarakat bangsa dan bernegara.[4]


Untuk menjamin penegakan ketentuan-ketentuan dalam berbagai bidang kehidupan, di Kesultana NAD didirikan peradilan-peradilan Islam yang lebih populer disebut Mahkamah Syari’ah. Bagi kesultanan waktu itu, sudah menjadi keharusan mutlak untuk membina dan menegkkan hukum, sebagai konsekwensi diri sebagai negara hukum. Agar ketentuan hukum sesuai dengan Qonun Mankuta Alam, maka dibentuk lembaga-lembaga pelaksana serta mengangkat pejabat-pejabat yang ditugaskan untuk mengawasi atau melaksanakan hukum yaitu:[5]


1.      Balai Majelis Mahkamah Agung.


2.      Qadli Malikul Adil.


3.      Mufti Empat.


4.      Qadli Panglima Sagoe


5.      Qadli Mukim


6.      Imam Rawatib


Adapun Mahkamah (pengadilan) yang bertugas mengadili segala macam perkara, terdiri dari beberapa tingkay yaitu:


·         Hukum Peujrb


·         Mahkamah mukim


·         Mahkamah Uleebalang


·         Mahkamah Panglimah Sagoe


·         Mahkamah agung


Adapun wewenang yang diberikan kepada pengadilan-pengadilan itu, tidak saja hanya menangani perkara-perkara pelanggaran ibadah, seperti sholat dan puasa, tetapi juga, diberi wewenang untuk menangani seluruh kasus-kasus yang berkaitan dengan perdata dan pidana islam. Setelah indonesia melepas dari penjajahan belanda, tuntutan untuk menerapkan syariat islam semakin kuat.


C.     Dasar Hukum Mahkamah Syari’ah di Propinsi NAD


Adapun beberapa peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dan yang mengatur keberadaan mahkamah syariah di propinsi NAD yaitu:


1.      UUD No 4 b Tahun 1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan propinsi NAD.


2.      UUD No 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi propinsi NAD.


3.      Peraturan daerah propinsi NAD no 5 2000 tentang pelaksanaan sariat islam.


4.      Peraturan daerah propinsi NAD no 7 tahun 2000 tentang penyelenggaraan kehidupan adat.


5.      Qanun propinsi NAD no 10 tahun 2002 tentang peradilan syariat islam, dll.[6]





D.    Wewenang Mahkamah Syariah di propinsi NAD


Sebagai realisasi dari undang-undang, pemerintahan mengeluarkan peraturan daerah propinsi NAD no 5 tahun 2000 tentang pelaksanaan syariat islam. Peraturan daerah ini menegaskan agar hak-hak istimmewa daerah aceh berdasarkan undang-undang no 44 tahun 1999, dapat diterapkan secara luas. Pada pasal ayat 1 perda no 5 tahun 2000, dinyatakan bahwa “untuk mewujudkan keistimewaan aceh di bidang kehidupan beragama, setiap orang atau badan hukum yang berdomisili di daerah, berkewajiban menjunjung tinggi pelaksanaan syariat islam dalam kehidupannya:[7]


a.       Akidah


b.      Ibadah


c.       Muamalah


d.      Akhlak


e.       Pendidikan dan dakwah islamiyah


f.       Bait al-mal


g.      Kemasyarakatan


h.      Syariat islam


i.        Pemebelaan islam


j.        Qadha


k.      Jinnayah


l.        Munakahat dan mawaris


Kewenangan mahkamah syariah ini hanya diberlakukan bagi pemeluk agama islam saja (pasal 25 ayat 3) denga demikian undang-undang no 18 tahun 2001 sebagai dasar yuridis pengakuan mahkamah syariah sebagai konstitusi pengawal pelaksanaan syariat islam di NAD.[8]


























DAFTAR PUSTAKA


Ritonga. Iskandar, Mahkamah Syari’ah di NAD, Padang : LPPBHI 2004


Asasriwarni, Peradilan Agama di Indonesia, Padang : Hayfa Press, 2006


www.google.com







[1] www.google.com




[2] Ibid.




[3] Asasriwarni, Peradilan Agama di Indonesia, Padang : Hayfa Press, 2006, h. 90




[4], h. 90




[5] Ibid.




[6] Ritonga. Iskandar, Mahkamah Syari’ah di NAD, Padang : LPPBHI 2004, h. 6




[7] Iskandar Ritonga, Mahkamah Syari’ah di NAD, Padang : LPPBHI 2004, h. 6




[8] Ibid.