Jumat, 11 Januari 2013




TUGAS MAKALAH
Tentang
HUBUNGAN PARADILAN ISLAM DENGAN PRANATA HUKUM: IJTIHAD, IFTA’ DAN TAHK



 






Oleh:
HANDAYANI
      310.006
Dosen Pembimbing:
Nurhasnah, M.Ag


JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIA’H
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
IAIN IMAM BONJOL PADANG
1433 H / 2012 M




HUBUNGAN PERADILAN DENGAN PRATA HUKUM: IJTIHAD, IFTA’ DAN TAHKIM



A.    Pendahuluan
Dalam peradilan islam akan banyak kasus-kasus yang tidak ditemui nash yang sharih untuk kassus itu. Tetapi para hakim harus memutuskan kasus itu dan tidak boleh asal dalam mengambil keputusan tetapi melalui metode-metode seperti ijtiha, ifta’, ataupun tahkim, baru para hakim dapat memutuskan perkara itu.
Oleh sebab itu kami pemakalah akan membahas bagaimana sebenarnya hubungan peradilan islam dengan pranata hukum ijtihad, ifta’ dan tahkim.
B.     Hubungan peradilan dengan ijtihad
Al-ijtihad berasalm dari kata jahada yaitu mencurahkan segala kemampuan atau memikul beban, artinyausaha sungguh-sungguh yang dilakukan seorang mujtahid untuk mencapai putusan syara’ tentang kasus penyelesaiannya belum tertera dalam al-Quran dan al-Sunnah Rasulullah.[1]
Berdasarkan defenisi di atas dapat dipahami bahwa hasil produk hukum yang dihasilkan dari ijtihad yang dihasilkan dari ijtihad akan tergantung pada tingkat keintelektualan seorang mujtahid, sehingga dikhawatirkan akan terjadi perbedaan hukum yang dihasilkan.
Ijtihad sudah dimulai sejak masa-masa awal islam. Kemudian berkembang pada masa-masa sahabat, tabiin, dan generasi selajutnya hingga sekarang, sesuai dengan pasang surutdan cirri-ciri khgas ijtihad pada masing-masing generasi.[2]
Hubungan kualitas ijtihad dengan peradilan merupakan sebagai metode istinbat yang digunakan para hakim diperadilan islam dalam mewujudkan suatu produk hukum yang berkenaan dengan ketentuan-ketentuan undang-undang atau dengan jalan menyimpulkan dari hukum yang wajib diterapkan ketika tidak ditemui nash yang sharih untuk itu.[3]
Ijtihad sangat perlu dalam peradilan, karena sering ditemui suatu yang tidak ada ketentuan hukumnya tapi ada tanda-tanda atau cara-cara untuk petunjuk mujtahid melakukan ijtihad. Ketika melahirkan bentuk hukum yang belum jelas atau hanya ada isyarat maka jalan satu-satunya adalah ijtihad.
Aktifitas ijtihad pada masa Rasul sampai sekarang terdapat bermacam variasi. Adakalnya ijtihad itu langsung terhadap nash-nash al-Quran dan al-Sunnah, dan ada kalanya dilakukan ijtihad dengan cara mentarjih hasi ijtihad para pukaha sebelumnya. Bahkan ada pula yang melakukan ijtihad dengan menerapkan hukum yang telah ada terdahulu.

Bila seorang hakim berijtihad tetang suatu perkara yang ditanganinya, kemudian dia sampai kepada suatu pendapat tetang kedudukan hukumnya, lalu muncul lagi hukum yang baru sebelum dijatuhkan putusan maka dalam hal ini dia harus memutuskan perkara tersebut dengan pendapatnya yang baru karena pendapatnya yang pertama secara langsung telah dibatalkan.[4] Ijtihad akan berkembang terus sesuai dengan situasi, waktu dan tempat.
Ijtihad bukanlah suatu yang dianggap bid’ah ataupun mengada-ada, tetapi ijtihad adalah suatu pola pikir, atau pola tindak yang dibolehkan Rasulullah serta mempunyai landasan yang kuat dalam al-Qurandan hadist diantaranya:
Surat an-nisa’ ayat 59
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù  ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur ….. ÇÎÒÈ  
                Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), ….
Dari firman allah di atas dapat disimpulkan bahwa dalam menetapkan hukum kita harus merujuk terhadap al-quran dan sunnah. Walaupun ada diantara kita yang berlainan pendapat kita kembalikan itu semua kedalam al-Quran dan Sunnah Rasulullah.
C.     Hubungan Peradilan Dengan ifta’

Dalam sejarah hukum islam, fatwa memegang peran penting dalam kehidupan umat, mulai dari zaman klasik, pertengahan  dan zaman modern. Pada awalnya fatwa-fatwa yang dikeluarkan  pleh para mufti tidak terdokumentsi dengan baik karena kebiasaan membukukan fatwa belum tersosialisasi dikalangan umat islam. Fatwa adalah suatu pendapat ulama tentang sesuatu yang berbeda pendapatnya dengan pendapat ulama lain.
Seorang mufti memberikan fatwa pada hakikatnya menyampaikan hukum Allah kepada manusia, atau dapat dikatakan memberikan jawaban terhadap pertanyaanyang diajukan  oleh sipeminta fatwa. Fatwa ini sifatnya tidak mengikat karena itu tidak harus diikuti oleh sipeminta fatwa. Karena itu fatwa berbeda dengan keputusan hakim, bila dilihat dari segi kekuatan hukumnya. Fatwa seorang mufti sifatnya tidak mengikat, artinya orang yang meminta fatwa tersebut boleh menerima fatwa tersebut dan mengamalkannya, dan boleh pula menolaknya. Sedangkan putusan hakim sifatnya mengikat dan harus dilaksanakan oleh pihak yang dihukum. Alat-alat negarapun berusaha untuk melaksanakan putusan tersebut.[5]
Fatwa-fatwa ulam baru dapat dijadikan sebagai sumber penetapan hukum jikalau telah mendapat legitimasi dari yang berwenang, sebab sebelum mendapat legitimasi maka fatwa masi dianggap sebagai fatwa yang beredar secara non resmi, dan secara otomatis belum bisa dijadikan sebagai landasan resmi.
Hubungan fatwa ulama dengan peradilan islam adalah fatwa bisa dijadikan sebagai landasan hukum dalam peradilan , tetapi apabila fatwa tersebut telah mendapat legitimasi dari pihak yang berwenang. Demikian dapat dipahami bahwa yang dikeluarkan oleh mufti sekalipun tidak putusan hakim dan bersifat tidak mengikat namun dia merupakan petunjuk bagi bagi hakim dan merupakan majlis pertimbangan, jadi jelas bahwa fatwa-fatwa itu tidak merupakan aturan mengikat selama belum diakui oleh pengadilan.
 Hubungan peradilan dengan ifta’ dapat dilihat dari fatwa-fatwa yang menjadi pertimbangan majlis. Dapat juga dilihat dari fatwa yang telah mendapat legitimasi dari peradilan. Apabila telah mendapat legitimasi fatwa ulam dapat dijadikan landasan hukum.
D.    Hubungan Peradilan Dengan Tahkim
Pengertian tahkim secara bahasa adalah ‘menyerahkan putusan pada seorang dan menerima putusan itu”
Sedangkan mennurut istilah tahkim diartikan: dua orang dua orang atau lebih mentahkimkan kepada seorang diantara mereka untuk diselesaikan sengketa dan ditetapakan hukum syara’ atas sengketa mereka itu.[6]   
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam taahkim diartikan: berlindungnya dua pihak yang bersengketa kapada orang yang mereka sepakati dan disetujui serta rela menerima putusannya untuk menyalesaikan sengketanya: berlindungnya dua pihak yang bersengketa kepada orang yang mereka tunjuk (sebagai penengah) untuk memutuskan atau menyelesaikan perselisihan yang terjadi diantara mereka.[7]
Kedua defenisi tersebut menunjukan bahwa pemilihan atau pengangkatan hakam berdasarkan persetujuan keedua belah pihak yang  terlibak dalam persengketaan tersebut.
Lembaga tahkim telah dikenal sejak jauh pada masa sebelum islam. Orang-orang nashrani apabila mengalami perselisihan mereka mengadu kepada Paus untukndiselesaika secara damai.
Ada beberapa perselisihan yang tercatat dalam sejarah yang diselesaikan secara tahkim antara lain:
1.      Perselisihan yang terjadi antara al-Qomar dan Amr bin Tufail yang berebut kekuasaan menjadi kepala suku. Untuk menyelesaikan perselisihannya mereka meminta kepala suku lain untuk diangkat menjadi Hakam. Peristiwa ini terjadi pada tahun 620.
2.      Peristiwa tahkim pada waktu pelaksanaan renovasi ka’bah. Ketika itu terjadi perselisihan  antara masyarakat  Arab dalam permasalahan meletakkan kembali Hajar Aswat ketempat semula. Mereka semua merasa berhak dan merupakan kehormatan bagi mereka meletakan Hajar Aswat tersebut.. mereka sepakat siapa yang dulu bangun pagi besok harinya, dialah yang berhak meletakan hajar Aswat tersebut. Ternyata mereka sama sama bangunn jadi tidak ada yang berhak yang berhak meletakan Hajar Aswat tersebut.lalu mereka meminta kepada Muhammad, yang waktu itu belum diangkat menjadi Rasul, untuk memutuskan persoalan meraka. Dengan bijaksana Muhammad membentangkan selendangnya dan meletakan Hajar Aswat diatasnya, lalu masing-masing suku diminta memegang pinggir selendang tersebut.kebijakan Muhammad tersebut disambut dan diterima baik oleh masing0masing orang yang ikut berselisih pada waktu itu.
Lembaga tahkim merupakan bagian dari lembaga peradilan. Hakam atau juru damai dalam tahkim terdiri dari dua orang atau lebih. Perbedaan hakam dengan hakim adalah: 1)hakim harus memeriksa dan meneliti kasus yang masuk kepadanya dan dilengkapi dengan bukti, sedangkan hakam tidak harus demikian. 2) wilayah dan wewenang hakim ditentukan oleh pengangkatan dan tidak tergantung kepada kerelaan dan persetujuan pihak-pihak yang diadilinya.  Sedangkan hamka mempunyai wewenang wewenag yang terbatas pada kerelaan dan persetujuan pihak-pihak yang mengangkat nya yang menjadi hamka.
E.     Kesimpulan
Dilihat dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa ijtihad, ifta’ dan tahkim berhubungan dengan peradilan. Ijtihad merupakan metode istinbat hukum hukum dalam peradilan islam, ifta’ bisa dijadikan penetapan hukum diperadilan apabila telah mendapat legitimasi dari pengadilan,lembaga tahkim merupakan bagian dari lembaga peradilan, namun orang-orang yang menjadi hakam bukanlah orang yang berkomponen mengadili.






DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Al-Karim.
Asassriwarni, Sejarah Peradilan Islam, (Padang: IAIN Press, 2000)
Abdul Aziz Dahlan dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ihktiar Baru Van
            Hoeve, 1996.


[1] Asasriwarni, Sejarah Peradilan Islam, (Padang: IAIN Press, 2000) h. 20
[2] Abdul Aziz Dahlan dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ikhtisar Baru Van  Hoove 1996), h. 670
[3] Asaswaarni, op.cit, h. 21
[4] Ibid, h. 22
[5] Ibid, h. 24
[6] Ibid, h. 25
[7] Abdul Azia Dahlan dkk, op.cit, h. 1750

0 komentar:

Posting Komentar