Jumat, 11 Januari 2013



 TARIKH TASRIKH










  PENDAHULUAN
Tarikh tasyri Islam seperti dikemukakan Ali Al-Ayafi’I adalah ilmu yang membahas keadaan hukum-hukum pada masa nabi dan sesudahnya termasuk penjelasan dan periodesasinya. Yang pada perkembangannya hukum itu menjelaskan karakteristiknya.
Menurut batasan diatas tampak bahwa tarikh tasyri Islam merupakan pembahasan tentang segala aktifitas manusia dalam pembentukan perundang-undangan Islam dimasa lampau, baik masa nabi, sahabat maupun tabi’in.
Pada periode ini Islam tumbuh dan berkembang menjadi pesat serta membuahkan khazanah hukum Islam. Sehingga periode ini dikenal dengan periode keemasan bagi perundang-undangan Hukum Islam. Para ulama’ mempunyai ilmu pengetahuan dan semangat yang tinggi, juga kemantapan iman yang kuat dengan dibantu oleh para tokoh masyarakat atau disebut juga para imam madzhab dan sahabat-sahabatnya.
Dinamakan periode pembukuan karena usaha atau gerakan untuk membukukan serta menulis terhadap Hukum Islam ini mengalami kemajuan yang sangat pesat. Yang sempat dibukukan pada kesempatan itu adalah fatwa-fatwa dari kalangan para sahabat , tabi’in , as-Sunnah serta berbagai komentar secara mendalam tentang tafsir al-Qur’an dan lainnya.
Disini akan dibahas masalah pembentukan hukum Islam pada masa tabi’in (muawiyah) karena muai terjadinya perkembangan-perkembangan hukum Islam yang semakin pesat.










II.    PEMBAHASAN
A.    Faktor Yang Mempengruhi Perkembangan Tasyri’
Sejak masa khulafaur rasyidin berakhir, fase selanjutnya dikenal dengan tabi’in atau sahabat yang pemerintahannya dipimpin oleh Bani Umayah. Pemerintahan Bani Umayah menggunakan sistem monarki yang menggantikan sistem pemerintahan sebelumnya, yang bersifat kekholifahan.
Umat Islam pada saat itu terpecah menjadi tiga kelompok; Khowarij sebagai penentang Ali, Syi’ah sebagai pendukung Ali, dan kelompok mayoritas (jumhur). Munculnya keompok-kelompok itu berpengaruh besar dalam mewarnai proses perkembangan hukum Islam.
Pada fase ini perkembangan hukum Islam ditandai dengan munculnya aliran-aliran politik yang secara implisit mendorong terbentuknya aliran hukum. Walaupun panasnya suasana politik yang dipengaruhi oleh golongan-golongan pemberontak yakni golongan Khawarij dan Syi’ah mewarnai pada periode ini, akan tetapi fase-fase ini disebut juga masa keemasan Islam yang mana tumbuh banyak perkembangan-perkembangan keilmuan, adapun faktor-faktor yang mempengaruhi diantaranya:
1.      Bidang politik
Pada fase ini perkembangan hukum Islam ditandai dengan munculnya aliran-aliran politik yang secara implisit mendorong terbentuknya aliran hukum. Pada bidang ini timbul tiga golongan politik, yaitu: Khawarij, Syiah dan Jumhur Ulama. Masing-masing kelompok tersebut berpegang kepada prinsip mereka sendiri[1].
2.      Perluasan Wilayah
Sebagimana yang kita ketahui perluasan wilayah Islam sudah berjalan pada periode khalifah (Sahabat) yang kemudian berlanjut pada periode Tabiin mengalami perluasan wilayah yang sangat pesat[2] dengan demikian telah banyak daerah-daerah yang telah ditaklukan oleh Islam, sehubungan dengan itu semangat dari para ulama untuk mengembalikan segala sesuatunya terhadap sumber-sumber hukum Islam, yang seiring banyak terjadi perkembangan kebutuhan hukum untuk terciptanya kemaslahatan bersama.
3.      Perbedaan Penggunaan Ra’yu
Pada periode ini para ulama dalam mengemukakan pemikirannya dapat digolongkan menjadi dua golongan yaitu; aliran Hadits yaitu para ulama yang dominan menggunakan riwayat dan sangat “hati-hati” dalam penggunaan ra’yu. Dan kedua adalah ulama aliran ra’yu yang banyak dalam penggunaan pemikirannya dengan  ra’yu dibandingkan dengan Hadits, dengan demikian adanya perkembangan pemikiran yang dapat mendorong perkembangan hukum Islam.[3]
4.      Fahamnya Ulama Tentang Ilmu Pengetahuan
Selain telah dibukukannya sumber-sumber hukum Islam yaitu Al-Quran dan Al-hadits sebagi pedoman para ulama dalam penetapan hukum, para ulama pun sudah faham betul dengan keadaan yang terjadi serta para ulama-ulama yang dahulu dalam menghadapi kesulitan-kesulitan suatu peristiwa dapat terpecahkan sehingga keputusan-keputasan itu dapat dijadikan yurispudensi pada masa hakim saat ini.
5.      Lahirnya Para Cendikiawan-Cendikiawan Muslim
Dengan lahirnya para cendikiawan-cendikiawan muslim seperti Abi Hanifah, Imam Maliki, Imam Syafi’I dan juga para sahabat-sahabatnya dengan pemikiran-pemikiran yang dimiliki telah berperan dalam pemprosesan suatu hukum yang berkembang dalam masyarakat.
6.      Kembalinya Penetapan Hukum Pada Ahlinya
Berkembangnya keadaan yang terjadi di sekitar membuat banyak permaslahan-permasalahan baru yang terjadi, dengan demikian umat Islam baik itu para pemimpin negara maupun hakim-hakim pengadilan mengembalikan permasalahan-permasalahan terjadi pada para mufti-mufti dan tokoh-tokoh ahli perundang-undangan.
Pada masa Abu Bakar dan Ustman sahabat dilarang keluar dari madinah, agar tidak menyebarkan hadits secara sembarangan dan dapat bermusyawarah bersama dalam menghadapi persoalan-persoalan hukum yang penting.

  1. Sumber-Sumber Tasyri Pada Zaman Tabi’in
Sebagaimana pada periode Sahabat-sahabat besar, sumber perundang-undangannya juga tidak jauh berbeda, sumber-sumber perundang-undangan pada periode ini ada empat macam,[4] yakni:
    1. Al-Qur’an
    2. As-Sunnah
    3. Al-Ijma’
    4. Al-Qiyas
           
Apabila terjadi suatu peristiwa para ahli fatwa merujuk pada kitabulla. Mereka memperhatikan nash yang menunjuk kepada hukum yang dimaksud, dan memahami nash itu. Pada periode ini ada dua hal yang bisa mempengaruhi segi pemeliharaannya, yakni; penelitiannya dan penjagaannya dari segala macam perubahan. Dari segolongan umat Islam ada juga yng bersungguh-sungguh menghafal al-Qur’an dan memperbaiki system atau bentuk penulisannya serta pemberian baris dan harokat.
Jika yang mereka maksud tidak terdapat dalam kitabullah mereka baru beralih memperhatikan Sunnah Rasul. Karena jumhur beranggapan bahwa as-Sunnah itu menyempurnakan pembinaan hukum yang berfungsi untuk menerangkan al-qur’an. Dan dikalangan jumhur tidak ada orang yang menentang pendapat ini. Orang yang pertama kali memperhatikan kekurangan ini adalah Imam bin Abdul aziz pada awal abad ke II H. Ia menulis pada pekerjanya di Madinah Abu Bakar Bin muhammad bin Amr bin Hazm[5]:
“Lihatlah hadits-hadits Rasulullah s.a.w. atau sunnah beliau yang ada, kemudian tulislah karena sesungguhnya saya takut terhapusnya ilmu dan perginya (meninggalnya) ulama’. (Diriwayatkan oleh Malik dalam Mwatha’ dan riwayat Muhammad bi hasan)
Jika mereka tidak mendapatkan pula dalam nash-nash hadits barulah mereka berijtihad dengan mempergunakan Qiyas memperhatikan ruh (jiwa) syari’at dan memperhatikan kemashlahatan umat. Apabila ijtihad para sahabat itu dilakukan bersama-sama dengan mengambil keputusan bersama, maka itu disebut dengan Ijma’ sahabat.[6]
Pada zaman Nabi dan kholifah, berjalannya hukum Islam senantiasa sejalan dengan kebijaksanaan para pemegang kekuasaan pemerintahan karena kekuasaan kehakiman dipegang dan dijalankan langsung oleh pemimpin Negara. Akan tetapi setelah kepemimpinan berpindah ketangan Bani Umayah.
Perkembangan hukum Islam menunjukan arah yang berlainan. Hukum yang seharusnya berfungsi sebagai sandaran tempat kembali bagi pihak-pihak yang berselisih, sejak zaman muawiyah berubah sifatnya menjadi alat dan pelindung bagi kepentingan-kepentingan golongan yang sedang barkuasa.
Karena pada tahun-tahun permulaan, perhatian pemerintah tercurahkan untuk menghadapi peperangan dengan Negara-negara lain, maka perkembangan hukum Islam banyak sekali mendapat pengaruh dari keputusan-keputusan para qodhi yang diangkat Gubernur dan fatwa-fatwa para ahli hukum diluar pemerintahan yang dianggap mampu dan berpengetahuan luar tentang Al-Qur’an dan Al-sunnah.
Secara umum tabi’in mengikuti langkah-langkah penetapan hukum yang dilakukan oleh sahabat dalam mengeluarkan hukum. Langkah-langkah yang mereka lakukan diantaranya mencari ketentuan dalam Al-Qur’an. Apabila ketentuan itu tidak ada, mereka mencari dalam As-Sunnah. Apabila tidak ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, mereka kembali kepada pendapat sahabat. Apabila pendapat sahabat tidak diperoleh, mereka berijtihad.
Dengan demikian sumber hukum pada masa tabi’in adalah Al-Qur’an, Al-Sunnah, ijmak sahabat, dan ijtihad.

  1. Pengaruh Ahli Hadits dan Ahli Ra’yu Terhadap Tasyri
Pada masa tabi’in ini para ulama’ dibedakan menjadi dua aliran yaitu Al-Hadits (madrasah al-madinah), al-hadits ra’yu (madrasah al-kufah). Al-hadits adalah golongan yang banyak menggunakan riwayat dan sangat berhati-hati dalam penggunaan ra’yu. Imam malik brpendapat bahwa, ijma’ penduduk madinah merupakan hujjah yang wajib diikuti. Dalam perkembangan selanjutnya aliran ini terpecah, seperti aliran maikiyah, syafi’iyah, hanbaliyah, dan hanafiyah.
Adapun ahli ra’yu lebih banyak menggunakan ra’yu ditambah hadits. Munculnya dua aliran pemikiran hukum ini semakin mempercepat perkembangan ikhtilaf. Dan pada saat yang sama, semakin memotifasi perkembangan hukum Islam.
Kedua aliran tersebut, masing-masing memiliki pendapat dan pengikut sendiri. Disisi lain munculnya dua aliran pemikiran hukum ini merupakan bukti bahwa dalam Islam terdapat kebebasan berfikir dan masing-masing saling menghargai perbedaan pendapat diantara mereka.

  1. Pemikiran Hukum Islam
1.      Khawarijj
a. Pemimpin tidak harus dari Quraisyi, setiap orang berhak menjadi pemimpin, baik yang berasal dari kalangan merdeka maupun budak.
b.      Dalam Al-Qur’an terdapat sangsi bagi pelaku zina, yaitu dicambuk seratus kali. Disamping itu dalam Al-Sunnah, ditentukan bahwa sangsi bagi pelaku zina itu dirajam. Khawarij tidak menerima dan tidak melaksanakan tambahan sangsi bagi pelaku zina yang terdapat dalam As-Sunnah.
c.       Menikahi cucu perempuan dibolehkan, sebab yang diharamkan dalam Al-Qur’an adalah anak, sedangkan cucu tidak diharamkan.
d.      Menikah dengan perempuan yang bukan sekte khawarij tidak sah sebab mereka dianggap kafir.
e.       Pemikiran khawarij pada umumnya terpaku pada teks ayat Al-Qur’an bahkan cenderung mengabaikan hadits yang dianggap tidak terlalu kuat untuk menafsirkan Al-Qur’an, dalam masalah politik mereka menampilkan pemikiran yang demokratis.
2        Syiah
a.       Menurut sti’ah, hokum Islam secara umum ada dua, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits.
b.      Nikah mut’ah diperbolehkan dan tidak menjadi sebab saling mewarisi antara suami dan Istri dan tidak memerlukan talak.
c.       Lelaki muslim tidak boleh menikah dengan wanita nasrani.
d.      Dalam masalah politik, pengganti nabi Muhammad mestinya Ali bin Abi Thalib, sedangkan Abu Bakar telah merebut kepemimpinan Ali.
3        Jumhur
a.       Kepemimpinan mesti dipegang oleh Quraisy.
b.      Penolakan terhaap keabsahan nikah mut’ah.
c.       Pendapat ini sejalan dengan pendapat Umar bin Khattab.
d.      Nabi Muhammad tidak mewariskan harta, karena terdapat sebuah hadits yang menyatakan bahwa “kami seluruh nabi tidak mewariskan harta-harta yang kami tinggalkan adalah shadaqah.
e.       Jumlah perempuan yang boleh dipoligami dalam satu periode sampai empat orang sebagai penafsiran atas surat an-nisa’ ayat 3 dan hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dan muslim



III.  KESIMPULAN
Faktor yang mendorong perkembangan hukum Islam diantaranya yaitu: Adanya partai politik yang mengklaim bahwa dirinya paling benar. Selain itu luasnya wilayah Islam juga ikut mempengaruhi. Bahkan, perbedaan hujjah juga berpengruh besar terhadap penentuan hukum Islam.
Secara garis besar, sumber-sumber hukum Islam pada masa tabi’in adalah Al-Qur’an. Al-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
Penerapan tasyri’ pada masa ini dipegang oleh tabi’in yang selalu menyertai sahabat yang ahli dalam bidang fatwa dan tasyri’. Pada masa ini pula mulai timbul pertukaran pemikiran dan perselisihan paham diantara pemuka tasyri’ yang disebabkan oleh  perbedaan dalam memahami ayat-ayat hukum, cara berijtihad yang berbeda, perbedaan pandangan tentang maslahah, tingkat kecerdasan pikiran, tempat tinggal para pemuka tasyri’ yang berlainan(tidak dalam satu lingkungan), dan cara penggunaan ra’yu yang berbeda.
Pada masa tabi’in ulama’ dibedaan menjadi dua aliran, yaitu al-hadits dan al-ra’yu. Muculnya dua aliran tersebut semakin mempercepat perkembangan iktilaf.
Khawarij pemikirannya terpaku pada teks Al-Qur’an. Syiah pemikirannya terpaku pada Al-Qu’an dan al-hadits yang hanya dari ulama’ syi’ah. Jumhur pemikirannya terpaku pada Al-Qur’an, hadits, ijmak dan ijtihad.

















DAFTAR PUSTAKA



Al-Hudhori, Muhammad. Tarikh at-Tasyi’ al-Islami. al-Haromain.
Hasbi as-shiddieqy,Teungku Muhammad.Pengantar ilmu Fiqh.PT.Pustaka Rizki Putra.Semarang.
Hudhari Bik.1980.Tarjamah tarikh al-tasyri’ al-islamy.Alih bahasa Muhammad Zuhri.P.T.Darul Ikhya. Semarang.
Mubarok, Jaih. 2003. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam.  Bandung: Rosda.
Roibin. 2007. Tasyri’ dalam Lintas Sejarah.
http://el-ghazali.blogspot.com. diakses: 17-04-2009,







[1] Akses di http://al-ghazali.com
[2] Roibin, Tasyri’ dalam lintas sejarah, 2007.
[3] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: Rosda kArya, 2003), hal 55.
4 Roibin, Op, Cit, hal. 57.
[5] Hudhari Bik, Tarjamah Tarikh Tasyri’ al-Islami, hal.299.
[6] M. Hasby Ash Shiddiqiey. Pengantar Ilmu fiqh. Pustaka Rizki Putra, hal. 45

 


  PENDAHULUAN
Tarikh tasyri Islam seperti dikemukakan Ali Al-Ayafi’I adalah ilmu yang membahas keadaan hukum-hukum pada masa nabi dan sesudahnya termasuk penjelasan dan periodesasinya. Yang pada perkembangannya hukum itu menjelaskan karakteristiknya.
Menurut batasan diatas tampak bahwa tarikh tasyri Islam merupakan pembahasan tentang segala aktifitas manusia dalam pembentukan perundang-undangan Islam dimasa lampau, baik masa nabi, sahabat maupun tabi’in.
Pada periode ini Islam tumbuh dan berkembang menjadi pesat serta membuahkan khazanah hukum Islam. Sehingga periode ini dikenal dengan periode keemasan bagi perundang-undangan Hukum Islam. Para ulama’ mempunyai ilmu pengetahuan dan semangat yang tinggi, juga kemantapan iman yang kuat dengan dibantu oleh para tokoh masyarakat atau disebut juga para imam madzhab dan sahabat-sahabatnya.
Dinamakan periode pembukuan karena usaha atau gerakan untuk membukukan serta menulis terhadap Hukum Islam ini mengalami kemajuan yang sangat pesat. Yang sempat dibukukan pada kesempatan itu adalah fatwa-fatwa dari kalangan para sahabat , tabi’in , as-Sunnah serta berbagai komentar secara mendalam tentang tafsir al-Qur’an dan lainnya.
Disini akan dibahas masalah pembentukan hukum Islam pada masa tabi’in (muawiyah) karena muai terjadinya perkembangan-perkembangan hukum Islam yang semakin pesat.










II.    PEMBAHASAN
A.    Faktor Yang Mempengruhi Perkembangan Tasyri’
Sejak masa khulafaur rasyidin berakhir, fase selanjutnya dikenal dengan tabi’in atau sahabat yang pemerintahannya dipimpin oleh Bani Umayah. Pemerintahan Bani Umayah menggunakan sistem monarki yang menggantikan sistem pemerintahan sebelumnya, yang bersifat kekholifahan.
Umat Islam pada saat itu terpecah menjadi tiga kelompok; Khowarij sebagai penentang Ali, Syi’ah sebagai pendukung Ali, dan kelompok mayoritas (jumhur). Munculnya keompok-kelompok itu berpengaruh besar dalam mewarnai proses perkembangan hukum Islam.
Pada fase ini perkembangan hukum Islam ditandai dengan munculnya aliran-aliran politik yang secara implisit mendorong terbentuknya aliran hukum. Walaupun panasnya suasana politik yang dipengaruhi oleh golongan-golongan pemberontak yakni golongan Khawarij dan Syi’ah mewarnai pada periode ini, akan tetapi fase-fase ini disebut juga masa keemasan Islam yang mana tumbuh banyak perkembangan-perkembangan keilmuan, adapun faktor-faktor yang mempengaruhi diantaranya:
1.      Bidang politik
Pada fase ini perkembangan hukum Islam ditandai dengan munculnya aliran-aliran politik yang secara implisit mendorong terbentuknya aliran hukum. Pada bidang ini timbul tiga golongan politik, yaitu: Khawarij, Syiah dan Jumhur Ulama. Masing-masing kelompok tersebut berpegang kepada prinsip mereka sendiri[1].
2.      Perluasan Wilayah
Sebagimana yang kita ketahui perluasan wilayah Islam sudah berjalan pada periode khalifah (Sahabat) yang kemudian berlanjut pada periode Tabiin mengalami perluasan wilayah yang sangat pesat[2] dengan demikian telah banyak daerah-daerah yang telah ditaklukan oleh Islam, sehubungan dengan itu semangat dari para ulama untuk mengembalikan segala sesuatunya terhadap sumber-sumber hukum Islam, yang seiring banyak terjadi perkembangan kebutuhan hukum untuk terciptanya kemaslahatan bersama.
3.      Perbedaan Penggunaan Ra’yu
Pada periode ini para ulama dalam mengemukakan pemikirannya dapat digolongkan menjadi dua golongan yaitu; aliran Hadits yaitu para ulama yang dominan menggunakan riwayat dan sangat “hati-hati” dalam penggunaan ra’yu. Dan kedua adalah ulama aliran ra’yu yang banyak dalam penggunaan pemikirannya dengan  ra’yu dibandingkan dengan Hadits, dengan demikian adanya perkembangan pemikiran yang dapat mendorong perkembangan hukum Islam.[3]
4.      Fahamnya Ulama Tentang Ilmu Pengetahuan
Selain telah dibukukannya sumber-sumber hukum Islam yaitu Al-Quran dan Al-hadits sebagi pedoman para ulama dalam penetapan hukum, para ulama pun sudah faham betul dengan keadaan yang terjadi serta para ulama-ulama yang dahulu dalam menghadapi kesulitan-kesulitan suatu peristiwa dapat terpecahkan sehingga keputusan-keputasan itu dapat dijadikan yurispudensi pada masa hakim saat ini.
5.      Lahirnya Para Cendikiawan-Cendikiawan Muslim
Dengan lahirnya para cendikiawan-cendikiawan muslim seperti Abi Hanifah, Imam Maliki, Imam Syafi’I dan juga para sahabat-sahabatnya dengan pemikiran-pemikiran yang dimiliki telah berperan dalam pemprosesan suatu hukum yang berkembang dalam masyarakat.
6.      Kembalinya Penetapan Hukum Pada Ahlinya
Berkembangnya keadaan yang terjadi di sekitar membuat banyak permaslahan-permasalahan baru yang terjadi, dengan demikian umat Islam baik itu para pemimpin negara maupun hakim-hakim pengadilan mengembalikan permasalahan-permasalahan terjadi pada para mufti-mufti dan tokoh-tokoh ahli perundang-undangan.
Pada masa Abu Bakar dan Ustman sahabat dilarang keluar dari madinah, agar tidak menyebarkan hadits secara sembarangan dan dapat bermusyawarah bersama dalam menghadapi persoalan-persoalan hukum yang penting.

  1. Sumber-Sumber Tasyri Pada Zaman Tabi’in
Sebagaimana pada periode Sahabat-sahabat besar, sumber perundang-undangannya juga tidak jauh berbeda, sumber-sumber perundang-undangan pada periode ini ada empat macam,[4] yakni:
    1. Al-Qur’an
    2. As-Sunnah
    3. Al-Ijma’
    4. Al-Qiyas
           
Apabila terjadi suatu peristiwa para ahli fatwa merujuk pada kitabulla. Mereka memperhatikan nash yang menunjuk kepada hukum yang dimaksud, dan memahami nash itu. Pada periode ini ada dua hal yang bisa mempengaruhi segi pemeliharaannya, yakni; penelitiannya dan penjagaannya dari segala macam perubahan. Dari segolongan umat Islam ada juga yng bersungguh-sungguh menghafal al-Qur’an dan memperbaiki system atau bentuk penulisannya serta pemberian baris dan harokat.
Jika yang mereka maksud tidak terdapat dalam kitabullah mereka baru beralih memperhatikan Sunnah Rasul. Karena jumhur beranggapan bahwa as-Sunnah itu menyempurnakan pembinaan hukum yang berfungsi untuk menerangkan al-qur’an. Dan dikalangan jumhur tidak ada orang yang menentang pendapat ini. Orang yang pertama kali memperhatikan kekurangan ini adalah Imam bin Abdul aziz pada awal abad ke II H. Ia menulis pada pekerjanya di Madinah Abu Bakar Bin muhammad bin Amr bin Hazm[5]:
“Lihatlah hadits-hadits Rasulullah s.a.w. atau sunnah beliau yang ada, kemudian tulislah karena sesungguhnya saya takut terhapusnya ilmu dan perginya (meninggalnya) ulama’. (Diriwayatkan oleh Malik dalam Mwatha’ dan riwayat Muhammad bi hasan)
Jika mereka tidak mendapatkan pula dalam nash-nash hadits barulah mereka berijtihad dengan mempergunakan Qiyas memperhatikan ruh (jiwa) syari’at dan memperhatikan kemashlahatan umat. Apabila ijtihad para sahabat itu dilakukan bersama-sama dengan mengambil keputusan bersama, maka itu disebut dengan Ijma’ sahabat.[6]
Pada zaman Nabi dan kholifah, berjalannya hukum Islam senantiasa sejalan dengan kebijaksanaan para pemegang kekuasaan pemerintahan karena kekuasaan kehakiman dipegang dan dijalankan langsung oleh pemimpin Negara. Akan tetapi setelah kepemimpinan berpindah ketangan Bani Umayah.
Perkembangan hukum Islam menunjukan arah yang berlainan. Hukum yang seharusnya berfungsi sebagai sandaran tempat kembali bagi pihak-pihak yang berselisih, sejak zaman muawiyah berubah sifatnya menjadi alat dan pelindung bagi kepentingan-kepentingan golongan yang sedang barkuasa.
Karena pada tahun-tahun permulaan, perhatian pemerintah tercurahkan untuk menghadapi peperangan dengan Negara-negara lain, maka perkembangan hukum Islam banyak sekali mendapat pengaruh dari keputusan-keputusan para qodhi yang diangkat Gubernur dan fatwa-fatwa para ahli hukum diluar pemerintahan yang dianggap mampu dan berpengetahuan luar tentang Al-Qur’an dan Al-sunnah.
Secara umum tabi’in mengikuti langkah-langkah penetapan hukum yang dilakukan oleh sahabat dalam mengeluarkan hukum. Langkah-langkah yang mereka lakukan diantaranya mencari ketentuan dalam Al-Qur’an. Apabila ketentuan itu tidak ada, mereka mencari dalam As-Sunnah. Apabila tidak ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, mereka kembali kepada pendapat sahabat. Apabila pendapat sahabat tidak diperoleh, mereka berijtihad.
Dengan demikian sumber hukum pada masa tabi’in adalah Al-Qur’an, Al-Sunnah, ijmak sahabat, dan ijtihad.

  1. Pengaruh Ahli Hadits dan Ahli Ra’yu Terhadap Tasyri
Pada masa tabi’in ini para ulama’ dibedakan menjadi dua aliran yaitu Al-Hadits (madrasah al-madinah), al-hadits ra’yu (madrasah al-kufah). Al-hadits adalah golongan yang banyak menggunakan riwayat dan sangat berhati-hati dalam penggunaan ra’yu. Imam malik brpendapat bahwa, ijma’ penduduk madinah merupakan hujjah yang wajib diikuti. Dalam perkembangan selanjutnya aliran ini terpecah, seperti aliran maikiyah, syafi’iyah, hanbaliyah, dan hanafiyah.
Adapun ahli ra’yu lebih banyak menggunakan ra’yu ditambah hadits. Munculnya dua aliran pemikiran hukum ini semakin mempercepat perkembangan ikhtilaf. Dan pada saat yang sama, semakin memotifasi perkembangan hukum Islam.
Kedua aliran tersebut, masing-masing memiliki pendapat dan pengikut sendiri. Disisi lain munculnya dua aliran pemikiran hukum ini merupakan bukti bahwa dalam Islam terdapat kebebasan berfikir dan masing-masing saling menghargai perbedaan pendapat diantara mereka.

  1. Pemikiran Hukum Islam
1.      Khawarijj
a. Pemimpin tidak harus dari Quraisyi, setiap orang berhak menjadi pemimpin, baik yang berasal dari kalangan merdeka maupun budak.
b.      Dalam Al-Qur’an terdapat sangsi bagi pelaku zina, yaitu dicambuk seratus kali. Disamping itu dalam Al-Sunnah, ditentukan bahwa sangsi bagi pelaku zina itu dirajam. Khawarij tidak menerima dan tidak melaksanakan tambahan sangsi bagi pelaku zina yang terdapat dalam As-Sunnah.
c.       Menikahi cucu perempuan dibolehkan, sebab yang diharamkan dalam Al-Qur’an adalah anak, sedangkan cucu tidak diharamkan.
d.      Menikah dengan perempuan yang bukan sekte khawarij tidak sah sebab mereka dianggap kafir.
e.       Pemikiran khawarij pada umumnya terpaku pada teks ayat Al-Qur’an bahkan cenderung mengabaikan hadits yang dianggap tidak terlalu kuat untuk menafsirkan Al-Qur’an, dalam masalah politik mereka menampilkan pemikiran yang demokratis.
2        Syiah
a.       Menurut sti’ah, hokum Islam secara umum ada dua, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits.
b.      Nikah mut’ah diperbolehkan dan tidak menjadi sebab saling mewarisi antara suami dan Istri dan tidak memerlukan talak.
c.       Lelaki muslim tidak boleh menikah dengan wanita nasrani.
d.      Dalam masalah politik, pengganti nabi Muhammad mestinya Ali bin Abi Thalib, sedangkan Abu Bakar telah merebut kepemimpinan Ali.
3        Jumhur
a.       Kepemimpinan mesti dipegang oleh Quraisy.
b.      Penolakan terhaap keabsahan nikah mut’ah.
c.       Pendapat ini sejalan dengan pendapat Umar bin Khattab.
d.      Nabi Muhammad tidak mewariskan harta, karena terdapat sebuah hadits yang menyatakan bahwa “kami seluruh nabi tidak mewariskan harta-harta yang kami tinggalkan adalah shadaqah.
e.       Jumlah perempuan yang boleh dipoligami dalam satu periode sampai empat orang sebagai penafsiran atas surat an-nisa’ ayat 3 dan hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dan muslim.











III.  KESIMPULAN
Faktor yang mendorong perkembangan hukum Islam diantaranya yaitu: Adanya partai politik yang mengklaim bahwa dirinya paling benar. Selain itu luasnya wilayah Islam juga ikut mempengaruhi. Bahkan, perbedaan hujjah juga berpengruh besar terhadap penentuan hukum Islam.
Secara garis besar, sumber-sumber hukum Islam pada masa tabi’in adalah Al-Qur’an. Al-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
Penerapan tasyri’ pada masa ini dipegang oleh tabi’in yang selalu menyertai sahabat yang ahli dalam bidang fatwa dan tasyri’. Pada masa ini pula mulai timbul pertukaran pemikiran dan perselisihan paham diantara pemuka tasyri’ yang disebabkan oleh  perbedaan dalam memahami ayat-ayat hukum, cara berijtihad yang berbeda, perbedaan pandangan tentang maslahah, tingkat kecerdasan pikiran, tempat tinggal para pemuka tasyri’ yang berlainan(tidak dalam satu lingkungan), dan cara penggunaan ra’yu yang berbeda.
Pada masa tabi’in ulama’ dibedaan menjadi dua aliran, yaitu al-hadits dan al-ra’yu. Muculnya dua aliran tersebut semakin mempercepat perkembangan iktilaf.
Khawarij pemikirannya terpaku pada teks Al-Qur’an. Syiah pemikirannya terpaku pada Al-Qu’an dan al-hadits yang hanya dari ulama’ syi’ah. Jumhur pemikirannya terpaku pada Al-Qur’an, hadits, ijmak dan ijtihad.

















DAFTAR PUSTAKA



Al-Hudhori, Muhammad. Tarikh at-Tasyi’ al-Islami. al-Haromain.
Hasbi as-shiddieqy,Teungku Muhammad.Pengantar ilmu Fiqh.PT.Pustaka Rizki Putra.Semarang.
Hudhari Bik.1980.Tarjamah tarikh al-tasyri’ al-islamy.Alih bahasa Muhammad Zuhri.P.T.Darul Ikhya. Semarang.
Mubarok, Jaih. 2003. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam.  Bandung: Rosda.
Roibin. 2007. Tasyri’ dalam Lintas Sejarah.
http://el-ghazali.blogspot.com. diakses: 17-04-2009,


0 komentar:

Posting Komentar