Jumat, 11 Januari 2013

SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM


TUGAS
TARIKH TASYRI’
Diajukan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Tarikh Tasyri’
 






Oleh :
HANDAYANI
310.006

Dosen Pembimbing :
Drs. ADITIAWARMAN M.Ag

JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
IAIN IMAM BONJOL PADANG
1432 H / 2011 M



SEJARAH PERTUMBUHAN
DAN PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM

1.PERTUMBUHAN HUKUM ISLAM DI MASA RASUL
            1.Situasi masyarakat arab pra islam
Sebelum nabi SAW diutus, orang-orang rab adalah umat yang tidak memiliki aturan dan mereka di kendalikan oleh kebiadaban, dianungi oleh kegelapan dan kejahilan, serta tidak ada agama yang mengikat dan undang-undang yang harus mereka patuhi. Akibat dari ini penuhnya jiwa mereka dengan akidah yang batil. Setiap kelompok dari mereka melihat kebenaran dari apa yang tumbuh dan di wariskan baak-bapak mereka, dan melihat keagungan dari apa yang tersebar dan dikenal diantara kabilahnya. Hanya sedikit dari mereka yang berjalan dengan aturan yang dapat mengelesaikan perselisihan mereka, adap yang dianggap baik serta langkah yang mulia.
            Namun demikian, ketetapan itu bukan merupakan undang-undang yang tertulis yang di jiadikan rujukan dalam mengelesaikan perselisihan dan menjaga hak-hak mereka, tapi hanya merupakan ketetapan yang sedikit sekali pemmfaatanya. tidak cukup merealisasikan aturan dan mencegah sipembuat kerusakan. [1]

            2. Kondisi Hukum Islam Pada Masa Kenabian
Islam datang untuk seluruh umat manusia, akan  tetapi di mulai dengan perbaikan orang-orang arab yang Allah pilih sebagai penolong agama dan pengerunya. keadaan orang-orang arab pada masa itu, sebagaimana telah kita  ketahui dua perkara: Behalaisme dalam agama kekacauan dalam tatahanan masyarakat. keaadaan seperti ini mengharuskan adanya pengelamatan dari kebiadaban dan  pembebasan mereka untuk ,mengokong agama Allah, dengan menanamkan kaidah tauhid pada hati mereka, mengarahkan mereka untuk mengiklasakn ibadah kepada dzat yang maha tinggi dan melepaskandari  jiwa mereka  akhlak yang tercela, menghapuskan adat yang buruk serta mencetak mereka berahklak mulia, berperangai terpuji, serta meletakan aturan yang jitu yang mencakup seluruh permasalahan mereka, agar mereka berjalan di  atas petunjuk Allah dalam segala aspek kehidupan.[2]
A.    PEMBENTUKAN HUKUM DI MEKKAH
Pada  awal mulanya, islam berorientasi  memperbaiki akidah yang merupakan fondasi tempat berdiri hal-hal yang lain. Setelah selesai tujuan pertama ini , ia melanjutkan oreantasi berikutnya yaitu meletakkan aturan kehidupan.
Oleh karena itu, pada surat makkiyah dalam Al qur’an seperti surat Yunus, Ar Ra’du, Furqan dan lain-lain tidak terdapat ayat-ayat yang membahas tentang hukum aktual(amaliyah). Akan tetapi, justru yang banyak pembahasannya adalah seputar aqidah, akhlak, dan kisah-kisah umat terdahulu.[3]
B.     PEMBENTUKAN HUKUM DI MADINAH
Mulai setelah hijrah, tasyri islam beroreantasi pada tujuan kedua, maka disyariatkan hokum hokum yang meliputi  segala aspek kehidupan individu dan kelompok, baik dalam ibadat, jihad, pidana, kewarisan, wasiat, pernikahan, thalak, sumpah, peradilan dan segala hal yang mencakup ilmu fiqih.
Jadi, pada masa Rasul pertumbuhan hukum Islam dapat disimpulkan, bahwa:
1.      Kekuasaan pembentukan hukum pada masa ini dipegang oleh Nabi sendiri, tanpa campur tangan orang lain. Sumbernya adalah Alqur’an dan Sunnah, karena itu tidak ada tempat untuk berselisih dalam hukum.
2.      Bahwasanya ayat-ayat hukum itu turun berkenaan dengan suatu peristiwa atau jawaban dari suatu pertanyaan.
3.      Bahwasanya hukum islam tidak ditetapkan sekaligus, akan tetapi ditetapkan sebagian-sebagian dan berturut-turut didasari ayat atau hadis.[4]


2. PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN IJTIHAD
          Ijtihad bukanlah sumber hukum pada masa nabi, sumber hukum pada masa nabi hanyalah Al qur’an dan Sunnah, tetapi Rasulullah pernah melakukan ijtihad dalam sebagian hukum dan mengakui ijtihad sahabat dalam sebagian yang lainnya. Seperti izin beliau pada perang tabuk bagi orang-orang yang punya udzur berjihad dari kalangan orang-orang munafik untuk tidak ikut perang dan persetujuan beliau tehadap pendapat Abu Bakar yakni menerima tebusan tawanan perang badar. Pada masa Rasul ini, ijtihad dianggap sebagai salah satu sumber hukum disamping Alqur’an dan sunnah.
          Nabi berijtihad ketika kebutuhan mendesak dan terlambat datangnya wahyu, kemudian setelah itu turun wahyu yang menguatkan ijtihadnya atau mengingatkan bila ada kesalahan, karenanya wahyu merupakan rujukan dalam ijtihadnya. Adapun ijtihad sahabat, juga dilakukan ketika terjadi kesulitan Nabi atau ketika khawatir hilangnya suatu kesempatan. Ketika mereka kembali kepada Rasulullah, mereka menjelaskan hukum yang mereka ijtihadkan, benar atau salah. Bila demikian rujukan mereka adalah sunnah.[5]
          Sebagian sahabat pernah berijtihad pada masa Rasulullah, ketika memvonis suatu masalah persengketaan yang terjadi dan ketika menetapkan suatu hukum terhadap suatu permasalahan. Seperti:
“Ali Bin Abi Thalib ketika diutus Rasulullah ke Yaman dalam rangka sebagai seorang qadhi atau hakim. Rasulullah menitipkan sabda kepadanya: Sesungguhnya Allah menunjuki hatimu dan mengokohkan lidahmu. Kalau ada 2 orang bersengketa dihadapanmu, janganlah engkau memvonis atau menetapkan suatu hukum untuk keduanya sebelum engkau mendengar penjelasan dari pihak kedua sebagaimana engkau mendengar penjelasan dari pihak pertama, karena hal ini akan lebih memperjelas bagimu dalam memutuskan hukum”.[6]
          Pada masa sahabat, mereka telah menyebarkan kewajiban tasyri ini dengan cara menjelaskan dan menyebarluaskan serta memberi fatwa hukum tentang sesuatu yang belum ada ketetapan hkum nya. Merekalah pemegang tasyri’ pada periode ini selaku pengganti Rasulullah. Mereka adalah orang yang dekat dengan Rasul, bahkan banyak dari kalangan sahabat sebagai Dewan Pertimbangan bagi Nabi dalam mengaktualkan ijtihadnya. Mereka mampu menjelaskan nash-nash dan berijtihad tentang permasalahan dari peristiwa yang tidak ada ketetapannya menurut konteks nash.[7]
      
          Pada masa sighar sahabat dan tabi’in, awalnya para mufti kebanyakan bertempat tinggal di Madinah. Setelah kekuasaan islam bertambah luas, mereka tinggal berpencar di berbagai kota dan tempat. Oleh karena itu, pembentukan hukum pada awal masa ini dengan ijma’, kemudian mereka mengadakan ijtihad perorangan. Masing-masing sahabat menghadapi persoalan yang berbeda-beda, sesuai dengan keadan masyarakat setempat, sehingga muncullah hasil ijtihad yang berbeda pula.[8]
          Periode kesempurnaan fiqh, periode ini disebut juga dengan periode pembukuan dan munculnya para Imam Mujtahid. Dinamakan demikian karena, pada masa ini timbul gerakan penulisan dan usaha-usaha pembukuan terhadap tafsir Alqur’an, Sunnah Nabi, Fatwa-fatwa sahabat, Tabi’in, Tabi’tabi’in, fiqh para Imam Mujtahid, dan Ilmu ushul Fiqh. Dalam periode ini, muncul tokoh-tokoh besar yang berpengaruh besar terhadap pembentukan undang-undang dan meng-istinbat-kan hukum-hukum bagi peristiwa yang terjadi dan yang akan terjadi.[9]







SUMBER HUKUM MASA: RASUL, SAHABAT, TABI’IN DAN KEEMASAN

Ø  Masa Rasul
         Pada periode Rasulullah SAW hanya ada dua sumber yaitu: wahyu ilahi(Al qur’an) dan ijtihad Rasulullah sendiri. Al qur’an merupakan sumber pokok agama dan asasnya. Di dalamnya Allah menerangkan ilmu segala sesuatu dan menjelaskan hal-hal kebenaran dan kebatilan. Kalau terjadi suatu peristiwa yang memerlukan adanya ketetapan hukum, karena terjadi perselisihan, ada pertanyaan, atau permintaan fatwa maka Allah menurunkan wahyu kepada Rasulullah satu atau beberapa ayat yang menerangkan tentang hukum-hukumnya. Kemudian Rasulullah menyampaikan wahyu tersebut kepada umat islam. Dan wahyu inilah yang menjadi hukum yang wajib diikuti.
         Kalau terjadi masalah yang memerlukan ketetapan hukum sedangkan Allah tidak menurunkan wahyu tentang hal tersebut, maka Rasulullah berijtihad untuk menetapkan hukum suatu masalah, atau menjawab suatu pertanyaan atau memenuhi permintaan fatwa hukum. Hasil ijtihad Rasulullah inilah yang menjadi hukum atau undang-undang yang wajib diikuti.[10]

Ø  Masa Sahabat
         Setelah wafatnya Rasulullah, para sahabat besarlah yang memikul beban perjuangan islam. Memreka menghadapi tugas yang sulit dan perkara yang besar, karena meluasnya wilayah islam keluar jazirah Arab. Karena hal inilah orang-orang muslim mendapatkan dirinya dihadapkan kepada peristiwa yang belum pernah dialami dalam sepanjang hidupnya.
         Peristiwa dan kejadian itu semua sibuk mencari penyelesain hukum-hukumnya dalam Alqur’an dan Sunnah. Tampak jelas bahwa kedua sumber tersebut belum menetapkan hukum masalah-masalah yang menlanda kaum muslimin itu, sehingga menjadi tali kekang bagi mereka untuk berijtihad dan menerapkan kaidah-kaidah umum yang ditetapkan dalm Alqur’an dan Sunnah terhadap peristiwa tersebut. Untungnya Rasulullah telah menyiapkan bagi mereka jalan berijtihad, melatih dan meridhai mereka serta menetapkan pahala bagi ijtihad mereka, benar atau salah. Karenanya, mereka semangat mencurahkan kemampuannya mengeluarkan hukum-hukum masalah yang mereka hadapi.[11]
        Jadi, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi sumber hukum pada masa ini adalah:
1.      Alqur’anul Karim
2.      Sunnah Rasulullah
3.      Ijtihad Sahabat.

Ø  Masa Tabi’in
         Sumber tasyri’ pada masa ini adalah Alqur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Mereka sependapat bahwa semua sumber atau dasar syari’at adalah Al qur’an dan Sunnah. Senua hukum yang berlawanan dengan kedua sumber hukum tersebut ditolak. Pada masa ini muncul Madrasah Al Hadis dan Madrasah Ra’yu, kedua aliran tersebut berbeda dalam metode ijtihad. Madrasah hadis yang bermukim di Madinah dikenal sangat kuat berpegang pada hadis karena mereka banyak mengetahui hadis Rasulullah. Sedangkan, madrasah ra’yu yang bermukim di Iraq dalm menjawab permasalahan hukum lebih banyak menggunakan logika dalm berijtihad, karena hadis-hadis Rasulullah yang sampai kepada mereka terbatas, sedangkan kasus yang mereka hadapi sangat berat dan beragam.[12]

Ø  Masa Keemasan
         Sumber hukum pada masa keemasan ini, diantaranya:
1.      Al qur’an
2.      Sunnah
3.      Ijma’
4.      Ijtihad dengan metode qiyas atau ijtihad dengan salah satu metode istinbat yaitu: istihsan, istishab, fatwa sahabat, Al’urf, Maslahah Mursalah, Sadduz Zar’iyyah, Syar’u man qoblana.
           Kalau seorang mufti mendapatkan ktetapan hukum hukum suatu masalah dalam Alqur’an atau Sunnah, maka dia harus berpedoman kepada ketetapan nash tersebut. Dan kalau tidak mendapatkan ketetapan hukumnya dalam Alqur’an dan sunnah, namun dia mengetahui ketetapan hukumnya berdasarkan ijma’ para mujtahid, maka dia harus berpegang fatwa hukum berdasarkan ijma’ tersebut. Selanjutnya, kalau tidak mendapatkan ketetapan hukum suatu masalah dalam Alqur’an dan Sunnah dan tidak ada juga ketetapan ijma’ ulama, maka barulah ia berijtihad dan beristinbat dan beristinbat dengan metode istinbat yan ditunjukkan syari’at.[13]



PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM MASA KEEMASAN
       
         Periode ini juga dikenal sebagai orde kodifikasi ilmu pengetahuan dan secara lebih spesifik, kodifikasi fiqh, dan kaidah-kaidahnya (ushul fiqh dan sumber-sumber fiqh), penulisan sunnah, metode penulisan fiqh, ushul fiqh, dan tafsir Qur’an.[14]
         Faktor yang melatarbelakangi berkembangnya hukum islam dan gerakan ijtihad pada periode ini cukup banyak, diantaranya:


1.      Wilayah kekuasaan pemerintahan Islam pada periode ini sudah sangat luas.
2.      Fiqh islam mencapai puncak kematangan dan kesempurnaan, mencakup semua lini kehidupan, prinsip-prinsip dasarnya menyentuh semua aspek humanity, religi, dan duniawi.
3.      pada periode ini, para ulama dalam menetapkan hukum dan perundang-undangan dan memberi fatwa telah menguasai metode tasyri’ secara luas dan mudah.
4.      Pada periode ini umat islam sangat bersemangat dalam seluruh aktivitasnya, baik dalam hal ibadah, muamalah agar penerapannya sesuai dengan hukum islam.
5.      Periode ini muncul tokoh-tokoh yang mempunyai bakat dan kemampuan yang didukung oleh faktor situasi dan kondisi yang ada, sehingga hukum islam semakin berkembang, seperti, Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad Bin Hanbal.[15]
6.      Terjadinya perbedaan yang tajam di antara para ulama terhadap sebagian sumber tasyri’, seperti berhujjah dengan perbuatan penduduk madinah dan ucapan sahabat selain itu mereka juga berselisih tentang cara memakai dalil sunnah, ijma’ dan qiyas.
7.      Ilmu pengetahuan dengan berbagai macam jenisnya sudah dibukukan, terutama Al qur’an dan As sunnah serta Ushul Fiqh.
8.      Munculnya beberapa istilah fiqh untuk memberikan identitas terhadap dalil-dalil tertentu untuk lebih mudah dipahami, seperti nama, rukun, syarat, sah, batal, dan beberapa istilah lain yang tidak familiar sebelumnya.
9.      Ruang perbedaan pendapat diantara fuqaha’ semakin meluas sehingga berdampak pada banyaknya masalah-masalah fiqh yang muncul disebabkan jumlah mujtahid yang memadai di setiap negeri. Dan setiap negeri mempunyai masalah tersendiri sehingga sulit bagi fuqaha untuk bertemu di satu tempat untuk membahasnya. Akan tetapi, perbedaan yang terjadi di antara mereka tidak menimbulkan rasa benci, bahkan setiap orang meyakini pendapatnya benar, tetapi ada kemungkinan salah dan pendapat orang lain salah tetapi ada kemungkinan benar.



DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahhab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta, PT
RAJA GRAFINDO PERSADA, 2002)
Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, (Bandung, Pustaka Setia, 2007)
Muhammad Ali As Sayis, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta, AKADEMIKA PRESSINDO, 1996)


[1] Muhammad Ali As Sayis, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta, AKADEMIKA PRESSINDO, 1996), hlm., 13-14
[2] Ibid., hlm. 14
[3] Abdul Wahhab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta, PT RAJA GRAFINDO PERSADA, 2002), hlm. 9
[4] Muhammad Ali As Sayis, Op. Cit., hlm. 16-17
[5] Ibid., hlm. 17-18
[6] Abdul Wahhab Khallaf, Op. Cit., hlm. 11
[7] Ibid., hlm. 46
[8] Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, (Bandung, Pustaka Setia, 2007), hlm. 70
[9] Ibid. hlm. 105
[10] Abdul Wahhab Khallaf, Op. Cit., hlm. 13
[11] Muhammad Ali Sayis, Op. Cit., hlm. 58-59
[12] Dedi Supriyadi, Op. Cit., hlm. 87
[13] Abdul Wahhab Khallaf, Op. Cit., hlm. 81-82
[14] Dedi Supriyadi, Op. Cit., hlm. 110
[15] Abdul Wahhab Khallaf, Op. Cit., hlm. 71-73

0 komentar:

Posting Komentar