Jumat, 11 Januari 2013

RIBA



RIBA
1. Arti Riba
Riba menurut etimologi adalah kelebihan atau tambahan, menurut terminologi, riba artinya kelebihan pembayaran tanpa ganti rugi atau imbalan, yang disyaratkan bagis salah seorang dari dua orang yang melakukan transaksi
Misalnya, Si A memberi pinjaman kepada si B dengan syarat si B harus mengembalikan uang pokok pinjaman dan sekian persen tambahannya
Riba berasal dari bahasa arab yaitu ziyadah, yang berarti tambahan pembayaran atas uang pokok pinjaman1[1]
Aljurjani mendefinisikan riba sebagai berikut;
Kelebihan/tambahan pembayaran tanpa ada ganti/imbalan,yang diisyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang membuat akad {transaksi}[2]
Sedangkan menurut ulama fiqh,adalah sebagai berikut;
a)      menurut ulama hanabillah, riba ialah pertambahan sesuatu yang di khususkan.
b)       menurut ulama hanaiyah,riba ialah tambahan pada harta pengganti dalam pertukaran harta dengan harta.
Kata Ar-Riba adalah isim maqshur, berasal dari rabaa yarbuu, yaitu akhir kata ini ditulis dengan alif. Asal arti kata riba adalah ziyadah ‘tambahan’; adakalanya tambahan itu berasal dari dirinya sendiri, seperti firman Allah swt:

(ihtazzat wa rabat) “maka hiduplah bumi itu dan suburlah.” (QS Al-Hajj: 5).

Dan, adakalanya lagi tambahan itu berasal dari luar berupa imbalan, seperti satu dirham ditukar dengan dua dirham.
2. Dasar Hukum Keharaman Riba
·         Sebagai dasar riba dapat diperhatikan Firman Allah SWT, sebagai berikut;
وَاَحَلَ اللهُ اْلبَيْعَ وَحَرَّ مَ الرِّبوا. (البقرة:275)
Artinya.
“Sesungguhnya Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Al- Baqoroh / 2:275)
Riba hanyalah berlaku pada benda – benda seperti emas, perak, makanan dan uang. Karena itu tidak diperbolehkan menjual emas dengan emas, perak dengan perak, kecuali jika harganya sebanding dan dilakukan dengan kontan. Tidak diperbolehkan menjual sesuatu barang, dimana barang tersebut belum berada ditangannya (misal A membeli barang tersebut kepada si B)
Tidak diperbolehkan pula menjual daging dengan binatang yang masih hidup. Tidak diperbolehkan juga menjual emas dengan ditukar dengan perak yang harga nilainya tidak sebanding. Demikian pula menjual makanan, tidak diperbolehkan dijual dengan makanan sejenis, kecuali jika sebanding harganya. Tidak diperbolehkan pula jual beli barang sejenis daripadanya dengan barang yang tidak seimbang harganya. Tidak diperbolehkan pula beli barang yang belum menjadi miliknya, misalnya menjual burung yang bebas terbang di udara dan lain – lain
Pada ayat ini juga disebutkaan:
يَآيُّهَاالَّذِيْنَ آمَنُوْ الاَتَأْ كُلُوالرِّ بوااضْعَافًا مُّضَعَفَةًوَّاتَّقُوْ اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (ال عمران:13)
Artinya :
“Hai orang – orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapatkan keberuntungan” (Ali imran/3 : 130)
Dalam sebuah hadits dijelaskan konsekuensi kaharaman itu, terdapat sanski sebagaimana sabda Rasulullah SAW.
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ آكِلَ الرِّبَا رَمُوَ كِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَلَ هُمْ سَوَاءٌ ( رواه مسلم عن جابر)

Artinya :
“Dari Jabir, Rasulullah SAW. Melaknat yang memakan riba, yang mewakilinya, penulisnya dan kedua saksinya dan Rasul berkata, mereka semua berdosa.” (Riwayat Muslim dari Jabir)
Setiap orang Islam dan mukalaf sebelum terlibat dalam satu urusan, terlebih dahulu wajib mengetahui apa – apa yang dihalalkan dan diharamkan Allah. Sesungguhnya Allah telah membebani kita dengan tugas – tugas mengabdi. Oleh karena itu,, mau tidak mau harus memelihara apa yang ditugaskan kepada kita. Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba
Allah telah mengayidi kata jual beli dengan alat memakrifatkan, yakni اَلْ dan اَلْبَيْعُ
Jual beli ini diikat oleh beberapa ikatan – ikatan, syarat, dan rukun yang harus dipelihara semua.
Jadi orang yang hendak jual beli wajib mengetahui hal – hal tersebut. Jika tidak, jelas akan makan riba, mau tidak mau
Rasulullah telah bersabda. “Pedagang yang jujur, besok pada hari kiamat digiring bersama dengan orang – orang yang jujur dan orang – orang yang mati sahid”.
Semua itu tidak lain kecuali karena sesuatu yang dia lakukan yaitu berperang melawan hawa nafsu dan keinginan (yang menyeleweng) serta memaksa nafsunya untuk menjalankan akad sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah. Jika tidak, maka tak samar lagi pasti mendapat apa yang akan diancamkan Allah kepada orang yang melanggar batas – batas
Kemudian sesungguhnya semua akad, seperti akad ijarah (persewaaan), qirad (andil berdagang), rohn (gode), wakalah, wadiah, ariah, sirkah, musaqah, dan sebagainya, wajib dijaga syarat – syarat dan rukun – rukunnya
Akad nikah (malah) membutuhkan kehati – hatian dan ketelitian untuk menghindari kejadian yang ada kaitannya dengan ketidaksempurnaan syarat dan rukun (jika tidak sah nikahnya lantas istri disetubuhi, maka berarti berzinah)
  • Riba, hukumnya berdasar Kitabullah, sunnah Rasul-Nya dan ijma’ umat Islam:
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka permaklumkanlah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kami tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS Al-Baqarah: 278-279).
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (QS Al-Baqarah: 275).

“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan shadaqah.” (QS Al-Baqarah: 276).

          Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda, “Jauhilah tujuh hal yang membinasakan.” Para sahabat bertanya, “Apa itu, ya Rasulullah?” Jawab Beliau, “(Pertama) melakukan kemusyrikan kepada Allah, (kedua) sihir, (ketiga) membunuh jiwa yang telah haramkan kecuali dengan cara yang haq, (keempat) makan riba, (kelima) makan harta anak yatim, (keenam) melarikan diri pada hari pertemuan dua pasukan, dan (ketujuh) menuduh berzina perempuan baik-baik yang tidak tahu menahu tentang urusan ini dan beriman kepada Allah.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari V: 393 no: 2766, Muslim I: 92 no: 89, ‘Aunul Ma’bud VIII: 77 no: 2857 dan Nasa’i VI: 257).

        Dari Jabir ra, ia berkata. “Rasulullah saw melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, dua saksinya dan penulisnya.” Dan Beliau bersabda, “Mereka semua sama.” (Shahih: Mukhtasar Muslim no: 955, Shahihul Jami’us Shaghir no: 5090 dan Muslim III: 1219 no: 1598).

        Dari Ibnu Mas’ud ra bahwa Nabi saw bersabda, “Riba itu mempunyai tujuh puluh tiga pintu, yang paling ringan (dosanya) seperti seorang anak menyetubuhi ibunya.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3539 dan Mustadrak Hakim II: 37).

        Dari Abdullah bin Hanzhalah ra dari Nabi saw bersabda, “Satu Dirham yang riba dimakan seseorang padahal ia tahu, adalah lebih berat daripada tiga puluh enam pelacur.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3375 dan al-Fathur Rabbani XV: 69 no: 230).

       Dari Ibnu Mas’ud ra dari Nabi saw, Beliau bersabda, “Tak seorang pun memperbanyak (harta kekayaannya) dari hasil riba, melainkan pasti akibat akhirnya ia jatuh miskin.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 5518 dan Ibnu Majah II: 765 no: 2279).

3. Macam – Macam Riba
      1. Menurut para ulama,
riba ada empat macam
a. Riba Fadli, yaitu riba dengan sebab tukar menukar benda, barang sejenis (sama) dengan tidak sama ukuran jumlahnya. Misalnya satu ekor kambing ditukar dengan satu ekor kambing yang berbeda besarnya satu gram emas ditukar dengan seperempat gram emas dengan kadar yang sama. Sabda Rasul SAW
عَنْ آبِى سَعِيْدٍ ن الْجُدْرِيِّ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ تَبِيْعُوْاالذَّهَبِ اِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ وَلاَ تُشِفُّوْا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلاَتَبِعُواالْوَرِقَ بِالْوَرِقِ اِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ وَلاَ تُشِقُوْابَعْضَهَاعَلَى بَعْضٍ وَلاَتَبِعُوْامِنْهَاغَائِبًابِنَاجِزٍ ( متفق عليه)
Artinya:
“ Dari Abi Said Al Khudry, sesungguhnya Rasulullah SAW. Telah bersabda, “Janganlah kamu jual emas dengan emas kecuali dalam timbangan yang sama dan janganlah kamu tambah sebagian atas sebagiannya dan janganlah kamu jual uang kertas dengan uang kertas kecuali dalam nilai yang sama, dan jangan kamu tambah sebagian atas sebagiannya, dan janganlah kamu jual barang yang nyata (riil) dengan yang abstrak (ghaib).” (riwayat Bukhari dan muslim)
Riba Fadli atau riba tersembunyi ini dilarang karena dapat membawa kepada riba nasi’ah (riba jail) artinya riba yang nyata
b. Riba Qardhi, yaitu riba yang terjadi karena adanya proses utang piutang atau pinjam meminjam dengan syarat keuntungan (bunga) dari orang yang meminjam atau yang berhutang. Misalnya, seseorang meminjam uang sebesar sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta) kemudian diharuskan membayarnya Rp. 1.300.000,- (satu juta Tiga ratus ribu rupiah)
Terhadap bentuk transsaksi seperti ini dapat dikategorikan menjadi riba, seperti sabda Rasulullah Saw.:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَرِبًا (رواه البيهقى)
Artinya
“Semua piutang yang menarik keuntungan termasuk riba.” (Riwayat Baihaqi)
c. Riba Nasi’ah, ialah tambahan yang disyaratkan oleh orang yang mengutangi dari orang yang berutang sebagai imbalan atas penangguhan (penundaan) pembayaran utangnya. Misalnya si A meminjam uang Rp. 1.000.000,- kepada si B dengan perjanjian waktu mengembalikannya satu bulan, setelah jatuh tempo si A belum dapat mengembalikan utangnya. Untuk itu, si A menyanggupi memberi tambahan pembayaran jika si B mau menunda jangka waktunya. Contoh lain, si B menawarkan kepada si A untuk membayar utangnya sekarang atau minta ditunda dengan memberikan tambahan. Mengenai hal ini Rasulullah SAW. Menegaskan bahwa:
عَنْ سَمَرَةِ بْنِ جُنْدُبٍ اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهى عَنْ بَيْعِ الَحَيَوَانِ بِالْحَيَوَانِ نَسِيْئَةً (رواه الخمسة وصححه الترمدى وابن الجاروه)
Artinya:
Dari Samrah bin Jundub, sesungguhnya Nabi Muhammad saw. Telah melarang jual beli hewan dengan hewan dengan bertenggang waktu.” (Riwayat Imam Lima dan dishahihkan oleh Turmudzi dan Ibnu Jarud)
d. Riba Yad, yaitu riba dengan berpisah dari tempat akad jual beli sebelum serah terima antara penjual dan pembeli. Misalnya, seseorang membeli satu kuintal beras. Setelah dibayar, sipenjual langsung pergi sedangkan berasnya dalam karung belum ditimbang apakah cukup atau tidak. Jual beli ini belum jelas yang sebenarnya. Sabda Rasulullah SAW.
الذَّ هَبُ بِالذَّهَبٍ وَاْْلفِضَّةُ بِالْفِضَّةِوَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيْرُبِالشَّعِيْرِ وَالتَّمْرُبِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءًبِسَوَاءٍ يَدًابِيَدٍفَاِذَااَجْتَلَفَتْ هَذِهِ اْلاَصْنَافُ فَبِعُوْ اكَيْفَ شِئْتُمْ اِذَاكَانَ يَدًا بِيَدٍ (رواه مسلم)
Artinya:
“Emas dengan emas, perak dengan perak, beras dengan beras, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, hendaknya serupa dan sama banyaknya, tunai dengan tunai, apabila berlainan jenisnya boleh kamu menjual sekehendamu asal tunai”. (Riwayat Muslim)
 2. Menurut jumhur ulama[3] membagi riba kepada dua macam;
a)      riba fadhl yaitu:tambahn zat harta pada akad jual beli yang diukur dan sejenis.dengan kata lain,riba fadhl adalah jual beli yang mengandung unsur jual beli yang mengandung unsur riba pada barang sejenis dengan adanya tambahan pada salah satu benda tersebut.
b)      riba nasi’ah[4] ialah memberikan kelebihan terhadap pembayaran dari yang ditangguhkan,memberikan kelebihan  pada yang benda dibanding utang pada benda yang ditukar atau ditimbang yang berbeda jenis atau selain dengan yang ditakar dan ditimbang yang sama jenisnya.  
4. Sebab – Sebab Diharamkannya Riba
            Allah SWT melarang riba antara lain karena perbuatan tersebut dapat merusak dan membahayakan diri sendiri dan merugikan serta menyengsarakan orang lain
a. Merusak Dan Membayakan Diri Sendiri
Orang yang melakukan riba akan selalu menghitung – hitung yang banyak yang akan diperoleh dari orang yang meminjam uang kepadanya.
Pikiran dan angan – angan yang demikian itu akan mengakibatkan dirinya selalu was – was dan khawatir uang yang telah dipinjamkan itu tidak dapat kembali tepat pada waktunya dengan bunga yang besar.
Jika orang yang melakukan riba itu memperoleh keuntungan yang berlipat ganda, hasilnya itu tidak akan memberi manfaat pada dirinya karena hartanya itu tidak akan memberi manfaat pada dirinya karena hartanya itu tidak mendapat berkah dari Allah SWT.
b. Merugikan Dan Menyengsarakan Orang Lain
Orang yang meminjam uang kepada orang lain pada umumnya karena sedang susah atau terdesak. Karena tidak ada jalan lain, meskipun dengan persyaratan bunga yang besar, ia tetap bersedia menerima pinjaman tersebut, walau dirasa sangat berat. Orang yang meminjam ada kalanya bisa mengembalikan pinjaman tepat pada waktunya, tetapi adakalanya tidak dapat mengembalikan pinjaman tepat pada waktu yang telah ditetapkan. Karena beratnya bunga pinjaman, si peminjam susah untuk mengembalikan utang tersebut. Hal ini akan menambah kesulitan dan kesengsaraan bagi kehidupannya.
Haram menjual barang yang belum diterima (oleh si penjual). menjual hewan dengan daging juga haram, hutang ditukar dengan hutang juga haram, begitupula dengan fuduly (si penjual bukan pemilik barangnya dan bukan sebagai wakil), menjual barang yang tidak dapat dilihat atau jual belinya orang yang tidak mukalaf, menjual barang yang tidak ada manfaatnya, menjual barang yang tidak bisa diserahkan, tanpa ijab qobul, menjual barang yang tidak di bawah hak milik seperti tanah mati atau orang merdeka, menjual barang yang samar atau najis, seperti anjing dan menjual barang yang memabukan atau yang diharamkan, semua adalah haram
Haram menjual sesuatu yang halal dan suci kepada orang yang diketahui bahwa sesuatu itu akan digunakan untuk bermaksiat
Haram menjual barang yang dapat memabukan dan menjual barang yang cacat tanpa diberitahukan cacatnya
Harta peninggalan mayit tidak sah dibagi – bagikan atau dijual sekalipun hanya sedikit, seperenam dirham misalnya, selagi hutang – hutang simayit belum dilunasi, dan wasiat – wasiatnya harus dipenuhi. Jika belum naik haji, padahal sudah berkewajiban maka harus dipungutlah dulu ongkos untuk haji dan umrah sebelum diwaris, kecuali (boleh dijual) untuk memenuhi hal – hal diatas (untuk hutang – hutang / untuk haji/umrah)
Jadi harta peninggalan mayit seperti digadaikan pada hal – hal di atas. Sebagaimana budak yang melukai, juga tidak boleh dijual sebelum dipenuhi hak yang berurusan dengan dirinya, kecuali jika yang memberi hutang (pada sayidnya) telah mengijinkan untuk menjual budak itu.
Haram melakukan (mempengaruhi) minat pembeli dengan maksud agar tidak membeli, kemudian disuruh membeli barang orang yang memepengaruhi tadi. Apabila sesudah barang ditetapkan (sudah sama – sama menyetujui antara penjual dan pembeli). Juga tidak boleh mempengaruhi penjual dengan maksud agar berpindah menjual kepadanya. Apabila jika dilakukan ketika masih hiyar, amat diharamkan (seperti masih tawan menawar)
Haram pula membeli barang saat paceklik (harga pangan mahal) dan orang yang sangat membutuhkan bahan makanan, dengan tujuan untuk ditahan (disimpan) dan akan dijual bila dengan harga yang lebih mahal
Haram berpura – pura nawar barang dengan harga mahal tapi tidak bermaksud ingin membeli tapi bermaksud membujuk orang lain (agar mau membeli dengan harga mahal)
Haram memisahkan antara budak perempuan dan anaknya sebelum tamyiz, semua itu haram. Demikian pula menipu atau berkhianat dalam urusan timbangan takaran, meteran, htungan dan atau berdusta
Haram menjual kapuk atau lainnya dari barang – barang dagangan kepada pembeli, tetapi disamping menjual juga memberi hutangnya kepada si pembeli beberapa dirham. Kemudian harga barang lebih mahal, hal ini dilakukan oleh si penjual karena demi hutangnya tersebut
Demikian juga umpamanya, memberi hutang kepada pembuat tenun (atau penjahit) atau lainnya dari pekerjaan buruh, tapi sebelum diberi hutangnya, terlebih dahulu para peminta hutang itu disuruh dengan upah yang terlalu sedikit, demi hutang tersebut. Hal ini disebut dengan istilah rubtah, ini juga amat haram.
Haram memberi hutangan kepada para petani yang bayarnya secara tempo sampai saat panen, tapi dengan janji supaya hasil panen mereka dijual kepada si pemberi utangan tersebut dengan harga dibawah harga umum. Hal ini disebut dengan muqda.
Riba, hukumnya berdasar Kitabullah, sunnah Rasul-Nya dan ijma’ umat Islam:
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka permaklumkanlah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kami tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS Al-Baqarah: 278-279).

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (QS Al-Baqarah: 275).

“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan shadaqah.” (QS Al-Baqarah: 276).

          Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda, “Jauhilah tujuh hal yang membinasakan.” Para sahabat bertanya, “Apa itu, ya Rasulullah?” Jawab Beliau, “(Pertama) melakukan kemusyrikan kepada Allah, (kedua) sihir, (ketiga) membunuh jiwa yang telah haramkan kecuali dengan cara yang haq, (keempat) makan riba, (kelima) makan harta anak yatim, (keenam) melarikan diri pada hari pertemuan dua pasukan, dan (ketujuh) menuduh berzina perempuan baik-baik yang tidak tahu menahu tentang urusan ini dan beriman kepada Allah.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari V: 393 no: 2766, Muslim I: 92 no: 89, ‘Aunul Ma’bud VIII: 77 no: 2857 dan Nasa’i VI: 257).

        Dari Jabir ra, ia berkata. “Rasulullah saw melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, dua saksinya dan penulisnya.” Dan Beliau bersabda, “Mereka semua sama.” (Shahih: Mukhtasar Muslim no: 955, Shahihul Jami’us Shaghir no: 5090 dan Muslim III: 1219 no: 1598).

        Dari Ibnu Mas’ud ra bahwa Nabi saw bersabda, “Riba itu mempunyai tujuh puluh tiga pintu, yang paling ringan (dosanya) seperti seorang anak menyetubuhi ibunya.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3539 dan Mustadrak Hakim II: 37).

        Dari Abdullah bin Hanzhalah ra dari Nabi saw bersabda, “Satu Dirham yang riba dimakan seseorang padahal ia tahu, adalah lebih berat daripada tiga puluh enam pelacur.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3375 dan al-Fathur Rabbani XV: 69 no: 230).

       Dari Ibnu Mas’ud ra dari Nabi saw, Beliau bersabda, “Tak seorang pun memperbanyak (harta kekayaannya) dari hasil riba, melainkan pasti akibat akhirnya ia jatuh miskin.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 5518 dan Ibnu Majah II: 765 no: 2279).













DAFTAR PUSTAKA

http://desailmu.blogspot.com/2011/03/makalah-riba.html




[1] Maulana muhammad ali, the religion of islam, lahore, the ahmadiyah anjuman isha’at islam, 1950, hlm.721.
[2] Aljurjani, Al-ta’rifat, cairo, mustafa al-babi al-halabi wa auladuh, 1938, hlm.97.
[3] Ibn Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah al-Miqtashid, juz II.hlm.129.
[4] Alauddin Alkasani, Bada’i Ash-Shan’i fi Tartib Asy-Syara’i, juz V.hlm.183.

0 komentar:

Posting Komentar