Jumat, 11 Januari 2013



MAKALAH
TARIKH TASYRI’
Tentang
Periode rasulullah ( masa pembentukan dan pembinaan hukum islam )
                                    





Oleh:
HANDAYANI
310.006

Dosen pembimbing:
Drs. ADITIAWARMAN AD. M.Ag

PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH
IAIN IMAM BONJOL PADANG
1432 H / 2011 M


PERIODE RASULULLAH
 (MASA PEMBENTUKAN DAN PEMBINAAN HUKUM ISLAM)


A.   Kehidupan bangsa arab sebelum islam.

Secara geografis, Negara Arab di gambarkan seperti empat persegi panjang ( bujur sangkar ) yang berakhir di Asia Selatan.
Negara Arab dikelilingi berbagai negara, sebelah utara oleh Siria, sebelah timur oleh Nejad, sebelah selatan oleh Yaman, dan sebelah barat oleh laut Erit[1].
      Philip K.hitty, juga mendeskripsikan luas negara Arab adalah seperempat negara-negara Eropa dan sepertiga negara Amerika Serikat. Negara Arab berada di semenanjung Asia bagian barat daya. Luas semenjung Arab adalah yang paling besar di Dunia 1.027.000 m[2].
Bangsa Arab kuno terbagi menjadi dua yaitu: orang-orang Kota dan orang Padang Pasir. Orang Arab kuno dimulai pada masa-masa kuno sampai pada masa orang-orang Arab modren. Ahmad Hashori menjelaskan bahwa penduduk Arab kuno adalah penduduk fakir miskin yang hidup di pinggiran desa terpencil, mereka senang berperang, membunuh, dan kehidupanya bergantung pada bercocok tanam dan turunya hujan. Mereka juga berpegang pada aturan Qabilah atau suku dalam kehidupan sosial. Adapun pendudukan Arab kota adalah orang-orang yang melakukan perdagangan dan sibuk dengan pergian. Mereka juga berpegang juga berpegangg teguh pada aturan Qabilah atau suku.[3]
            Karakteristik orang Arab adalah bangga dan sensitif. Bangga karena bangsa Arab memiliki sasta yang terkenal, kejayaan sejarah Arab, dan mahkota Bumi pada masa klassik dan bangsa Arab sebagai Bahasa ibu yang terbaik di antara bahasa-bahasa lain di Dunia.

Beberapa Sifat Lain Bangsa Arab pra Islam.

1.      Secara fisik, mereka lebih sempurna dibandingkan orang Eropa dalam berbagai organ tubuh.
2.      Kurang bagus dalam pengorganisasian kekuatan dan lemah dalam penyatuan aksi
3.      Faktor keturunan, keakrifan, dan keberanian lebih kuat dan berpengaruh.
4.      Mempunyai struktur kesukuan yang diatur oleh kepala suku.
5.      Tidak memiliki hukum yang reguler, kekuatan pribadi dan pendapat suku lebih kuat dan diperhatikan.
6.      Posisi wanita tidak lebih baik dari pada binatang. Wanita dianggap barang dan hewan ternak, tidak mempunyai hak. Setelah menikah, suami menjadi Raja dan penguasa[4].
Dalam bidang hukum, Mushthafa Sa’id Al-Khin sebagaimana dikutip oleh jaih mubarok menyebutkan bahwa bangsa Arab pra Islam menjadikan adat sebagai hukum dengan berbagai bentuknya. Mereka mengenal beberapa macam perkawinan di antaranya:
1.      Istibdha’ yaitu seorang suami meminta kepada istrinya untuk berjima’ dengan laki-laki yang dipandang mulia atau memiliki kelebihan tertentu, seperti keberanian dan kecerdasan.
2.      Poliandri, yaitu beberapa laki-laki berijmak dengan seorang perempuan.
3.      Maqtu’, yaitu seorang laki-laki menikahi ibu tirinya setelah bapaknya maninggal.
4.      Badal, yaitu tukar-menukar istri tanpa bercerai terlebih dahulu dengan tujuan memuaskan hubungan seks dan terhindar dari rasa bosan.
5.      Shighar, yaitu seorang wali menikahkan anak atau saudara perempuanya kepada seorang laki-laki tanpa mahar (musthafa sa’ard al-khinn, 1984 18-19)
Selain beberapa tipe perkawinan di atas, fyzee yang mengutip pendapat Abdur Rahim dalam buku kast Al-Gumma menjelaskan beberapa perkawinan lain yang terjadi pada bangsa Arab sebelum datangnya Islam sebagai berikut:

1.      Bentuk perkawinan yang diberi sanksi oleh Islam, yakni seseorang meminta kepada orang lain untuk manikahi saudara perempuanya atau budak dengan bayaran tertentu (mirip kawin kontrak).
2.      Prostitusi sudah dikenal.
3.      Mut’ah adalah praktik yang umum dilakukan oleh bangsa Arab sebelum Islam.

Analisis Anderson, menambahkan pula bahwa di Arab pada zaman pra-Islam, tampaknya telah ada berasal corak perkawinan, boleh jadi mulai perkawianan patrilineal dan patrilokal sampai perkawinan matrilineal dan matrilokal, termasuk perkawianan sementara waktu untuk bersenang-senang (mut’ah).
Uraian singkat di atas menunjukan bahwa kondisi sosial Arab sebelum Islam cendrung primitif meminjam istilah Goldziher, Arab cendrung ‘berbairsm’, bukan jahiliyah (bodoh, dungu dan tidak tahu). Jahiliyah adalah orang yang menyembah berhala, memakan mayat binatang, melakukan amoral, meninggalkan keluarga, dan melanggar perjanjian perkawinan dengan sistem mencari keuntungan yang dilakuakn kepada orang yang lemah.
B.     Fase makkah dan fase madinah
Periode ini berlangsung antara beberapa tahun saja, yaitu tidak lebih dari 22 tahun dan beberapa bulan saja.tetapi walaupun demikian membawa pengaruh yang besar, yaitu meninggalkan ketetapan hukum dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Periode ini terdiri dari dua fase, sebagai berikut:
  1. Fase Makkah
  2. fase Madinah
Fase Makkah ialah semenjak Rasulullah berda di Makkah, selama beberapa tahun dan beberapa bulan terhitung semenjak beliau diangkat sebagai Rasul sampai beliau berhijrah kemadinah.
Dalam fase ini umat Islam masih terisolir, masih lemah keadaannya. Oleh karenanya perhatian Rosul pada periode ini dicurahkan pada penyebaran dakwah untuk mengakui keesaan Allah. Sehingga pada fase ini tidak ada kesempatan kearah pembentukan undang-undang.
Fase Madinah adalah semenjak rosul berhijrah ke Madinah, selama kurang lebih 10 tahun. Terhitung mulai waktu hijrah sampai wafatnya. Pada fase ini islam sudah kuat, jumlah umat islampun sudah bertambah banyak, sudah mempunyai suatu pemerintahan. Keadaan inilah yang perlunya mengadakan tasri' dan pembentukan undang-undang.
Pemegang kekuasaan tasri' pada masa ini
Pemegang kekuasan tasyri' pada masa ini adalah Nabi sendiri. Tak seorang pun umat Islam selain beliau boleh menyendiri dalam menentukan hukum. Sebab setiap masalah langsung ditujukan pada Nabi, dan tak seorangpun berani berfatwa dengan hasil ijtihad sendiri.
Sumber-sumber perundangan pada periode nabi.
Penentuan hukum pada periode Nabi mempunyai dua sumber:
  1. Wahyu Ilahhi.
  2. Ijtihad Rosulullah sendiri.
Kalau terjadi sesuatu yang menghendaki adanya pembentukn hukum sebab ada perselisihan, peristiwa pertanyaan, fatwa maka Allah mewahyukan kepada Rasulnya. Dan kalau muncul sesuatu yang menghendaki peraturan sedang Allah tidak mewahyukan maka Rasulullah berijtihad untuk mengetahui ketentun hukumnya. Hukum dari hasil ijtihad beliau juga menjadi peraturan yang wajib diikuti. Setiap hukum yang disyariatkan pada periode Rosululloh itu sumbernya pada wahyu Ilahhi atau ijtihad Nabi.
Adapun yang berasal dari sumber kedua yaitu Ijtihad Nabi, merupakan pengungkapan manifestasi dari ilham Allah, artinya sewaktu Nabi melakukan ijtihadnya, Allah mengilhamkan kepada beliau hukum persoalan yang hendak dikietahui ketentuan hukumnya. 
Garis Perundang-undangan Pada Periode Nabi.
    Yang dikehendaki garis perundang-undangan (khittoh tasyri'iyah) ialah sitem yang ditempuh oleh pemuka pemuka tasyri dalam mengembalikan permasalahan pada sumber-sumber tasyri'. Oleh sebab itu periode ini adalah periode pembetukan hukum dan perletakan dasar-dasar undang-uandang. Sistem yang ditempuh Rasul ialah :Kalau timbul suatu masalah yang membutuhkan ketentuan hukum maka beliau menanti datangnya wahyu. Kalau wahyu tidak datang kepadanya maka beliau berijtihad dengan mengambil petunjuk menurut jiwa tayri'.
Prinsip-prinsip dasar yang menjadi dasar perundang-undangan pada periode pembentukanya ada empat prinsip:
  1. Berangsur-angsur atau secara bertahap dalam menetapkan hukum.
  2. Mempersedikit pembuatan undang-undng.
  3. Memudahkan dan meringankan beban.
  4. Berlakunya undang-undang sepanjang kemaslahatan manusia.
Pengaruh Perundang-undangan yang Diwariskan Pada Periode Nabi.

         Sumber pertama perundang-undangan ialah wahyu Allah yang dari padanya timbul ayat-ayat hukum dalam al Qur'an, sedangkan sumber kedua adalah ijithad Rosul yang dari padanya timbulah hadits-hadits hukum.
Jumlah Ayat-ayat Hukum Dalam Koleksi ini
Jumlah materi ayat-ayat hukum dalam koleksi ini tidaklah banyak. Jumlah ayat hukum yang berhubungan dengan ibadah dan hal-hal yang berhubungan denganya semisal jihad, sekitar 140 ayat, yang berkaitan dengan muamalat, ahwal syahsiyah, jinayah, peradilan dan kesaksian berjumlah kurang lebih 200 ayat. Jumlah hadits –hadist hukum dalam berbagai macam hukum kurang lebih 4500 hadits.



[1]H. Lamens, S. J. Islam: beliefs and instutions, New Delhi: oriental books reprint copration, 1979, hal. 1
[2]Supriadi dedi, Sejarah Hukum Islam, (Bandung: pustaka setia, 2007), hal. 21
[3]Ibid, hal 25
[4]Hasbi ash-shiddieqy, sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum islam, (Jakarta: bulan bintang, 1970), hal. 256

2 komentar:

  1. Terimakasih telah mengunjungi blok saya,mudah mudahan bisa menambah khazana keilmuan kita bersama

    BalasHapus