Minggu, 06 Januari 2013


LAFAL AL-KHASH
(Pengertian, Bentuk-Bentuk, dan Kehujjahan)
Makalah
Ushul fiqh iii

“Dipresentasikan dalam diskusi lokal PMH pada mata kuliah Ushul Fiqh III”
 





Oleh :
HANDAYANI
310.006

                                                                                    Dosen pembimbing:                                   
ZAINAL AZWAR, M.Ag

JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM ( PMH ) FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN )
IMAM BONJOL PADANG
1433 H / 2012 M
KATA PENGANTAR

            Pertama-tama marilah kita ucapkan kepada Allah zat wajjibbal wujud khadirat butjalil yang telah menyingkap tirai rembulan malam  di kegelapan malam, yang mengisi seratus satu macam legenda kehidupan langit berbyanyi bumi bersiul ikut menyaksikan kehindahan alam, subhanallah ternyata lukisan seni tak seindah lukisan sang Illahi.
            Sebagai langkah yang kedua, salawat beriringan salam kita ucapkan buat Nabi Muhammad SAW sebagai agent of changed buat umat manusia, yang membawa umat manusia dari yang tidak berilmu pengetahhuan sampai kehidupan yang berilmu pengetahuan (who has changed his imber from the dakness period into the knowladge  period as we feel right now)
Selanjutnya, makalah yang penulis susun ini berjudul “LAFAL AL-KHASH (Pengertian, Bentuk-Bentuk, dan Kehujjahan” yang didisain dari Mata Perkuliahan yang bertujuan agar mahasiswa mengerti dengan dasar-dasar pengambilan hukum-hukum Islam.
            Saya sebagai pemakalah sangat menyadari bahwa makalah saya ini masih banyak kekurangan serta masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, saya sangat mengharapkan kritikan dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.
            Akhir kata, penulis ucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada Dosen pembimbing  yang telah memberikan tugas serta kepercayaan kepada penulis untuk membuat dan menyusun makalah ini, semoga makalah ini benar-benar bermanfaat bagi pembaca khususnya mahasiswa terutama bagi penulis yang membuat makalah ini.

Padang, 25 September 2012


HANDAYANI
310.006

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konteks Syar’iyyah di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis merupakan dua sumber hukum yang redaksinya menetapkan hukum syar’i. konteks Al-Qur’an dan Al-Hadis tersebut bisa  berupa lafadz umum  atau khusus. Lafadz yang umum atau al-‘am, ketetapan hukumnya harus diartikan kepada semua satuannya secara pasti bila disana tidak ada dalil yang mengkhususkannya. Jika terdapat dalil yang mengkhususkan maka mengenai arahan hukumnya apakah pasti (qoth’iy) atau dugaan (dzonny).
Al-Qur’an dan Al-Hadis juga ada yang berupa lafadz khusus (khash), maka hukum bisa ditetapkan secara pasti selama tidak ada dalil yang mentakwilkan atau memindahkan dan menghendaki arti yang lain. Dalam lafadz khash ini terdapat lafadz mutlak yang dapat menetapkan hukum secara absolute dengan catatan tidak ada dalil yang mengikatnya. Jika lafadz itu berbentuk perintah (‘amar), maka obyek yang diperintahkannya wajib, atau berbentuk larangan (nahi) maka obyek yang dilarang itu haram. Hal tersebut bila tidak ada dalil yang merubah dari keharusannya atau ketidak bolehanya.
B . Tujuan Penulisan
Makalah ini penulis buat dengan tujuan untuk mengembangkan diri, menambah ilmu pengetahuan, dan sebagai  untuk memenuhi tugas pada mata kuliah “Ushul Fiqh III”  yang dibimbing oleh Bapak ZAINAL AZWAR, M.Ag.
C.    Batasan Makalah
Makalah ini penulis batasi pembahasannya pada pokok pembahasan “USHUL FIQH III”. Tentang:
1.      Pengertian lafal al-Khash
2.      Bentuk-bentuk lafal al-khash
3.      Kehujjahan al-Khash

BAB II
PEMBAHASAN
LAFAL AL-KHASH
(Pengertian, Bentuk-Bentuk, dan Kehujjahan)

A.    Pengertian Lafal  al-Khash

اللَّفْظُ الَّذِيْ وُضِعَ لِمَعْنىً وَاحِدِ عَلَى سَبِيْلِ اْلإِنْفِرَادِ
Artinya: Lafadz yang dari segi kebahasan, ditentukan untuk satu arti secara mandiri.[1]
Menurut bahasa khash artinya tertentu, sedangkan menurut istilah ushul fiqih khash ialah lafadz  khash  telah mengandung makna yang  jelas baik jenis, jumlah, bentuk maupun ketentuan lainnya. Jika suatu nas mengandung arti khash maka dapat ditetapkan sebuah hukum yang pasti. Selama tidak terdapat dalil yang mentakwilnya, atau menghendaki arti lain dari padanya.[2]
Pengertian khas (khusus) adalah lawan dari pengertian ‘am (umum). Dengan demikian bila telah memahami pengertian lafazh ‘am secara tidak lansung, juga dapat memahami pengertian lafazh khas.
Pengertian al-khash menurut para tokoh-tokoh ushul fiqh adalah sebagai berikut:
a.       Adib Shalih
Mendefenisikan Lafal al-Khash yang mengandung satu pengertian secara tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas.
b.      Abu Zahra
Mendefenisikan Lafal al-Khash dalam nash syara’, menunjukan kepada pengertianya yang yang khas secara qaht’I (pasti) dan hukum yang terkandung dikandungya bersifat pasti (qaht’i) selama tidak ada indikasi yang menunjukan pengertian lain. Pendapat Abu Zahra ini disepakati oleh para ulama Ushul Fiqh.[3]
c.       Al Amidi
Mendefinisikan al-Khash adalah satu lafazh yang tidak patut digunakan bersama oleh jumlah yang banyak.
d.      Al Khudahari Beik
Mendefinisikan al-Khash adalah lafazh yang dari segi kebahasaan ditentukan untuk satu arti secara mandiri.
e.       Abdul Wahhab Abdul Salam Thawilah
 Berpendapat bahwa setiap lafal yang diungkapkan  untuk menunjukkan satuan maknawi tertentu.
f.       Abdul Wahhab Khallaf
Mendefinisikan yaitu lafal yang dipakai untuk  menunjukkan seseorang, misalnya Muhammad atau semacamnya misalnya laki-laki.[4]
            Jadi pengertian al-Khash menurut penulis sendiri adalah suatu lafal yang telah jelas hukum yang terkandung di dalam nash, baik itu al-Qur’an maupun hadis Nabi sendiri, sebelum ada dalil yang menghendaki arti lain, hukum yang diambil dari khash ini adalah pasti (qath’i) bukan zhanny.
Contoh lafal al-Khash  adalah surat al-Maidah ayat 89
ÿçmè?t»¤ÿs3sù ãP$yèôÛÎ) ÍouŽ|³tã tûüÅ3»|¡tB ô`ÏB ÅÝy÷rr& $tB tbqßJÏèôÜè? öNä3ŠÎ=÷dr& ÷rr& óOßgè?uqó¡Ï. .........
Artinya: Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi Pakaian kepada mereka (Q. S. al-Maidah ayat 89)
            Kata ‘asyarah dalam ayat tersebut diciptakan hanya untuk bilangan sepuluh. Tidak lebih dan tidak pula kurang. Arti sepuluh itu sendiri sudah pasti tidak ada kemungkinan pengertian lain. Begitulah dipahami setiap lafal khash dalam al-Qur’an, selama tidak ada dalil yang memalingkanya kepada pengertian lain.[5]
B.     Bentuk-Bentuk al-Khash
Telah dapat diketahui bersama bahwa betuk lafadz ‘am dalam al qur’an dan al-hadits itu banyak sekali, begitu juga dalam lafadz khash, yang bentuknya dapat disimpulkan menjadi 4 macam:
1.      Lafadz khash berbentuk mutlak, yaitu lafadz khash yang tidak ditentukan dengan sesuatu.
Maksudnya, jika di dalam nash itu ditemukan lafadz khash, maka lafadz ini harus diartikan sesuai dengan arti yang haqiqi, selama tidak ada dalil lain yang memalingkan arti hakiki ke arti lain.
Contoh dalam Firman Allah Q. S Annur ayat 4
tûïÏ%©!$#ur tbqãBötƒ ÏM»oY|ÁósßJø9$# §NèO óOs9 (#qè?ù'tƒ Ïpyèt/ör'Î/ uä!#ypkà­ óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_ ....
Artinya: Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik[1029] (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera...
Hukuman 80 kali cambuk bagi penuduh zina, tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang.
2.      Lafadz khash berbentuk khash (muqayad), yaitu lafadz  yang ditentukan dengan sesuatu.
Contoh dalam Firman Allah Q. S. al- Maidah: 6 masalah bersuci, yaitu:
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sŒÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tƒÏ÷ƒr&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (#qßs|¡øB$#ur öNä3ÅrâäãÎ/ öNà6n=ã_ör&ur n<Î) Èû÷üt6÷ès3ø9$# 4 bÎ)ur öNçGZä. $Y6ãZã_ (#r㍣g©Û$$sù 4 bÎ)ur NçGYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!%y` Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãMçGó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y6ÍhŠsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNà6Ïdqã_âqÎ/ Nä3ƒÏ÷ƒr&ur çm÷YÏiB 4 $tB ߃̍ムª!$# Ÿ@yèôfuŠÏ9 Nà6øn=tæ ô`ÏiB 8ltym `Å3»s9ur ߃̍ムöNä.tÎdgsÜãŠÏ9 §NÏGãŠÏ9ur ¼çmtGyJ÷èÏR öNä3øn=tæ öNà6¯=yès9 šcrãä3ô±n@ ÇÏÈ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit[6] atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh[7] perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
Ayat ini menjelaskan tentang hukum wudhu, sebabnya adalah bersuci dengan cara berwudhu, ayat ini menjelaskan tentang hukum bertayamum sebabnya adalah bersuci. Kalau tidak menemukan air untuk berwudhu.
3.      Lafadz khash berbentuk Amr
Jika lafadz khash berbentuk amar atau berbentuk kata yang mengandung arti amar atau berbentuk khabar, maka hukumnya adalah wajib.
Contoh dalam firman Allah Q. S. al-Maidah ayat 38
ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtƒÏ÷ƒr& Lä!#ty_ $yJÎ/ $t7|¡x. Wx»s3tR z`ÏiB «!$# 3 ª!$#ur îƒÍtã ÒOŠÅ3ym ÇÌÑÈ
Artinya:
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
            Menurut pemahaman makalah bahwa surat al-Maidah ayat 38 berbicara tentang pencuri baik laki-laki maupun perempuan dipotong kedua tanganya, sebagai pembalasan apa yang telah dipebuatnya.


4.      Lafadz khash berbentuk nahiy
Nahi ialah tuntutan untuk meninggalkan perbuatan dengann cara penguasaan dan bentuknya : “Jangan lakukan” dan sebagainya. Jika ada lafadz nahiy dibawakan dalam bentuk lafadz khash atau berbentuk yang mengandung arti nahiy, maka hukum yang terkandung didalamnya adalah haram.
Contoh terdapat dalam firman allah Q. S. al-Baqarah ayat 221
Ÿwur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sム4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷sB ׎öyz `ÏiB 7px.ÎŽô³B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr& 3 Ÿwur (#qßsÅ3Zè? tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sム4 Óö7yès9ur í`ÏB÷sB ׎öyz `ÏiB 78ÎŽô³B öqs9ur öNä3t6yfôãr& 3 y7Í´¯»s9'ré& tbqããôtƒ n<Î) Í$¨Z9$# ( ª!$#ur (#þqããôtƒ n<Î) Ïp¨Yyfø9$# ÍotÏÿøóyJø9$#ur ¾ÏmÏRøŒÎ*Î/ ( ßûÎiüt7ãƒur ¾ÏmÏG»tƒ#uä Ĩ$¨Y=Ï9 öNßg¯=yès9 tbr㍩.xtGtƒ ÇËËÊÈ
Artinya:
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
Larangan pada ayat ini menunjukan hukum haram. Akan tetapi jika ada tanda yang menunjukan bahwa arti ayat tersebut harus dipalingkan ke arti majazi, maka pengertian hukumnya harus disesuaikan dengan tanda tersebut, sehingga memungkinkan mengandung arti makruh, do’a, irsyad, dan sebagainya.[8]


C.    Kehujjahan Lafal al-Khash
Dalalah khas menunjuk kepada dalalah qath’iyyah terhadap makna khusus yang dimaksud dan hukum yang ditunjukkannya adalah qath’iy, bukan dzanniy, selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada makna yang lain. Misalnya, firman Allah Q. S. al-Baqarah ayat 196
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ
Artinya: Tetapi jika ia tidak menemukan binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji..(Al-Baqaarah :196)
      Lafadz  tsalatsah (tiga) dalam ayat di atas adalah khas, yang tidak mungkin diartikan kurang atau lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafadh itu. Oleh karena itu dalalah maknanya adalah qath’iy dan dalalah hukumnya pun qath’iy.
Akan tetapi, apabila ada qarinah, maka lafadh khas harus ditakwilkan kepada maksud makna yang lain. Sebagai contoh hadits Nabi yang berbunyi:
فِيْ كُلِّ أَرْبَعِيْنَ شَاةً شَاةٌ

Artinya: Pada setiap empat puluh kambing, wajib zakatnya seekor kambing.
      Menurut jumhur ulama, arti kata empat puluh ekor kambing dan seekor kambing, keduanya adalah lafadh khas. Karena kedua lafadh tersebut tidak mungkin diartikan lebih atau kurang dari makna yang ditunjuk oleh lafadh itu sendiri. Dengan demikian, dalalah lafadh tersebut adalah qath’iy. Tetapi menurut Ulama Hanafiyah, dalam hadits tersebut terdapat qarinah yang mengalihkan kepada arti yang lain. Yaitu bahwa fungsi zakat adalah untuk menolong fakir miskin. Pertolongan itu dapat dilakukan bukan hanya dengan memberikan seekor kambing, tetapi juga dapat dengan menyerahkan harga seekor kambing yang dizakatkan.[9]


BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
اللَّفْظُ الَّذِيْ وُضِعَ لِمَعْنىً وَاحِدِ عَلَى سَبِيْلِ اْلإِنْفِرَادِ
Artinya: Lafadz yang dari segi kebahasan, ditentukan untuk satu arti secara mandiri.
Menurut bahasa khash artinya tertentu, sedangkan menurut istilah ushul fiqih khash ialah lafadz  khash  telah mengandung makna yang  jelas baik jenis, jumlah, bentuk maupun ketentuan lainnya. Jika suatu nas mengandung arti khash maka dapat ditetapkan sebuah hukum yang pasti. Selama tidak terdapat dalil yang mentakwilnya, atau menghendaki arti lain dari padanya.
Bentuk-bentuk lafal al-Khash
1.      Lafadz khash berbentuk mutlak, yaitu lafadz khash yang tidak ditentukan dengan sesuatu.
2.      Lafadz khash berbentuk khash (muqayad), yaitu lafadz  yang ditentukan dengan sesuatu.
3.      Lafadz khash berbentuk Amr
4.      Lafadz khash berbentuk nahiy
Kehujjahan al-Khash
Dalalah khas menunjuk kepada dalalah qath’iyyah terhadap makna khusus yang dimaksud dan hukum yang ditunjukkannya adalah qath’iy, bukan dzanniy, selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada makna yang lain.

B.     KRITIK DAN SARAN
Kami dari penulis, menyadari sepenuhnya bahwa makalah kami ini jauh dari kesempurnaan, dan keterbatasan referensi untuk itu  kami berharap kepada pembaca atau peserta diskusi, terutama dosen pembimbing mata kuliah ini berupa kritik dan sarannya terhadap makalah ini yang bersifat membangun.

DAFTAR REFERENSI

al-Qur’an al-Karim
Hadis Rasulullah SAW
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cet ke-5, 2009

As’ad, Mahrus, dan A. Wahid, Memahami Fiqih, Bandung: CV, Armico, 2006
Efendi, Satria, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cet ke-3, 2009

Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005


[1] Amir, Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cet ke-5, 2009), hal. 87
[2]Mahrus As’ad. A. Wahid, Memahami Fiqih, (Bandung: CV, Armico, 2006), hal. 78
[3]Satria, Efendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cet ke-3, 2009), hal. 205
[4]Abdul, wahab khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), hal. 241
[5]Satria, Efendi, Ibid. hal. 205
[6]Maksudnya: sakit yang tidak boleh kena air.
[7]Artinya: menyentuh. menurut Jumhur ialah: menyentuh sedang sebagian Mufassirin ialah: menyetubuhi.
[8] Abdul, Wahab Khallaf, Ibid, hal. 242
[9]Amir, Syarifuddin, Ibid, hal. 88 

0 komentar:

Posting Komentar