Minggu, 06 Januari 2013

makalah-kaidah-kaidah fikih-kaidah asasi IV


KAIDAH ASASI IV
 ا لضر ر يزا ل
MAKALAH
AL-QAWA’ID AL-FIQIYYAH
“Dipresentasikan dalam diskusi Lokal PMH pada Matakuliah al-Qawa’id al-Fiqiyyah”




Oleh:
HANDAYANI
 : 310.006

Dosen Pembimbing:
AIDIL NOVIA, MA

JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM (PMH)
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
 IMAM BONJOL PADANG
1433 H / 2012 M
BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua. Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu Qawaidul fiqhiyah. Maka dari itu, kami selaku penulis mencoba untuk menerangkan tentang kaidah-kaidah fiqh, mulai dari pengertian, sejarah, perkembangan dan beberapa urgensi dari kaidah-kaidah fiqh.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politin, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.

B.     TUJUAN PEMBUATAN MAKALAH
Makalah ini penulis buat dengan tujuan untuk mengembangkan diri, menembah ilmu pengetahuan dan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah “ al-Qawa’id Al-Fiqiyah”  yang dibimbim oleh Bapak AIDIL NOVIA, MA
C.    BATASAN MASALAH
Makalah ini penulis pembahasan “ Qawa’id Al-Fiqiyah”   adalah
1.      Pengertian dharûrah
2.      Penjelasan kaedah ad-dharûrah yuzalu
3.      Dasar-dasar  nash yang berkaitan dengan kaedah Ad-Dhararu Yuzalu
4.      Perbedaan antara Masyaqqot (kesulitan) dengan darurat
5.      furu’

BAB II
PEMBAHASAN
KAIDAH ASASI IV
ا لضر ر يزا ل
“Kemudharatan itu harus dihilangkan”
A.   Maksud kata dharûrah
Darurat secara bahasa adalah berasal dari kalimat "adh dharar" yang berarti sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat menahannya.
Darurat secara istilah menurut para ulama ada beberapa pengertian di antaranya adalah:
  1. Abu Bakar Al Jashas, "Makna darurat di sini adalah ketakutan seseorang pada bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota badannya karena ia tidak  makan.
  2. Menurut Ad Dardiri, "Darurat ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan yang teramat sangat.
  3. Menurut sebagian ulama dari Madzhab Maliki, "Darurat ialah mengkhawatirkan diri dari dari kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan.
  4. Menurut Asy Suyuti, "Darurat adalah posisi seseorang pada sebuah batas dimana kalau ia tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau nyaris binasa.
Darurat adalah menjaga jiwa dari kehancuran atau posisi yang sangat darurat sekali, maka dalam keadaan seperti ini kemudaratan itu membolehkan sesuatu yang dilarang.[1]
Berdasarkan pendapat para ulama di atas penulis mengambil kesimpulan bahwa Dharurah adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia.[2] Konsepsi kaidah memberikan pengertian bahwa manusia harus dijauhkan dari idhrar (tidak menyakiti), baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain, dan tidak semestinya ia menimbulkan bahaya (menyakiti) pada orang lain.[3]
B.    Penjelasan kaedah ad-dharûrah yuzalu
Islam tidak menghendaki adanya kemudaratan bagi pemeluknya, maka harus dihilangkan jika ada. Kaedah ini sering diungkapakan melalui hadis rasulullah:
لاَضَرَر وَلاَ ضِرَارَ
 “Tidak boleh memberi memudaratkan dan membalas kemudaratan”

Para ulama berbeda pendapat tentang perkataan dharar dan dhirar yaitu:
1.      Al-Husaini mengartikan al-dharar dengan bagimu ada manfaat tapi bagi tetanggamu ada mudarat”. Sedangkan al-dhirar diartikan dengan  bagimu tidak ada manfaatnya dan bagi orang lain memudaratkan.
2.      Ulama lain mengartikan al-dharar dengan “membuat kemudaratan” dan al-dhirar diartikan membawa kemudaratan di luar ketentuan syari’ah.

Contoh, jika seseorang tetangga membuat saluran air untuk rumahnya yang menyebabkan kerapuhan tembok (dinding) rumah tetangganya sehingga dapat membuatnya roboh, maka pembuatan saluran air ini tidak diperbolehkan karena alasan ini dan mengingat bahaya yang begitu jelas di dalamnya.
Dari sini para ahli hukum dalam menetapkan asas hukum umum dalam perhubungan bertetangga rumah, bahwa kebebasan tetangga dalam menjalankan hak kepemilikannya dibatasi dengan keharusan tidak mendatangkan bahaya dan kerusakan yang nyata pada hak tetangganya. 
Dalam segala kondisi, seseorang tidak dapat dipaksa untuk menghilangkan haknya yang berpotensi menyebabkan kemudaratan bagi orang lain (tetangganya) jika memang ia lebih dahulu ada sebelum sitetangga. Misalnya, jika seseorang menempati atau membangun rumah disamping pabrik roti yang telah berdiri sebelum ia menempati atau membangun rumah tersebut, maka ia tidak berhak menuntut penutupan pabrik tersebut dengan alasan efek negatif yang diterima dirinya. Hal itu dikarenakan ia sendiri yang memasuki wilayah bahaya dengan keinginan dan pilihannya sendiri.
Diambil mudarat yang lebih ringan diantara dua mudara” artinya, apabila suatu perkara atau tindakan menyebabkan suatu bahaya yang tidak dapat dihilangkan kecuali dengan satu tindakan bahaya lainnya yang salah satu dari kedua bahaya tersebut lebih besar dari pada yang lainnya, maka bahaya yang lebih besar dihilangkan dengan yang lebih kecil. Namun, apabila tindakakn tersebut mendatangkan akibat yang lebih besar, maka tidak boleh dilakukan.
Jika terkait dengan kemudartan umum (bahaya sosial), maka tidak lagi dilihat apakah penyebab bahaya tersebut terlebih dahulu ada atau baru, tetapi dalam keadaan apapun bahaya ini harus dihilangkan. Contohnya barang siapa yang membangun tenda besar ditengah jalan umum atau membangun jembatan yang mempesulit arus lalu lintas, maka ia dapat diperintahkan untuk menghancurkannya, meskipun memakan waktu yang lama.[4]
Ada juga contoh lainnya mengenai kaedah ad-dharûrah yuzalu  antara lain:
1.      Larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat karena perbuatan tersebut mengakibatkan kemudaratan bagi rakyat.
2.      Larangan menghancurkan pahon-pahon, membunuh anak kecil, orang tua, wanita, dan orang-orang yang tidak terlibat perperangan dan pendeta agama lain adalah untuk menghilangkan kemudaratan.
3.      Kewajiban berobat dan larangan membunuh diri juga untuk menghilangkan kemudaratan.
4.       Larangan murtad dari agama islam dan larangan mabuk-mabukan juga untuk menghilangkan kemudaratan.[5]




C.   Dasar-dasar  nash yang berkaitan dengan kaedah Ad-Dhararu Yuzalu, antara lain:
1. Firman Allah SWT Q.S al-Baqarah: 173
..........( Ç`yJsù §äÜôÊ$# uŽöxî 8ø$t Ÿwur 7Š$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmøn=tã .............
Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya.
2. Firman Allah Q.S al-Qoshosh: 77
.............( ¨bÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä tûïÏÅ¡øÿßJø9$# ÇÐÐÈ  
sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang membuat kerusakan.”
3. Fiman Allah QS al-Baqarah: 231
4....... Ÿwur £`èdqä3Å¡÷IäC #Y#uŽÅÑ (#rßtF÷ètGÏj9 4 .............
Janganlah kamu merujuk mereka untuk memberi kemudaratan karena dengan demikian kamu menganiaya mereka”
4. Firman Allah QS ath-Thalaaq: 6
............Ÿwur £`èdr!$ŸÒè? (#qà)ÍhŠŸÒçGÏ9 £`ÍköŽn=tã ..................
“ Dan janganlah kamu memudaratkan mereka (istri) untuk menyempitkan hati mereka” 
5.      Sabda Rasulullah SAW
لاَضَرَر وَلاَ ضِرَارَ
Tidak boleh membuat kerusakan pada diri sendiri serta membuat kerusakan pada orang lain.” (HR. Ahamad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas).[6]

D.   Perbedaan antara Masyaqqot (kesulitan) dengan darurat
Masyaqqot adalah suatu kesulitan yang menghendaki adanya kebutuhan (hajat) tentang sesuatu, bila tidak dipenuhi tidak akan membahayakan eksistensi manusai. Sedangkan, Darurat adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia. Dengan adanya masyaqqot akan mendatangkan kemudahan atau keringanan. Sedang dengan adanya darurat akan adanya penghapusan hukum. Yang jelas, dengan keringanan masyaqqot dan penghapusan madarat akan mendatangkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia, dan dalam konteks ini keduanya tidak mempunyai perbedaan.[7]
E. furu’
        1.      الضَّرُ وْرَاتُ تُبِيحُ المَخْظُوْرَاتِ
Kemudaratan itu membolehkan hal-hal yang dilarang”
Dasar nash kaedah di atas adalah firman Allah QS al-An’am: 119
.....ôs%ur Ÿ@¢Ásù Nä3s9 $¨B tP§ym öNä3øn=tæ žwÎ) $tB óOè?ö̍äÜôÊ$# Ïmøs9Î) 3 ......
“ Dan sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang diharamkan-Nya atasmu kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya”.
..... ( Ç`yJsù §äÜôÊ$# uŽöxî 8ø$t Ÿwur 7Š$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmøn=tã 4 .....  

“ Maka barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya serta tidak melampaui batas maka tiada dosa baginya.”( Q.S.al-Baqara: 173)
Tidak semua keterpaksaan itu membolehkan yang haram, namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan yang benar-benar tiada jalan lain kecuali hanya melakukan itu, dalam kondisi ini maka semua yang haram dapat diperbolehkan memakainya. Misalkan seorang di hutan tiada makanan sama sekali jika ia tidak makan maka dapat mengancam dirinya atau ia bisa mati, namun yang ada disana hanya babi hutan maka babi hutan itu boleh dimakan sebatas keprluannya.
Di kalangan ushul fiqih yang dimaksud dengan keadaan darurat yang membolehkan seseorang melakukan hal-hal yang dilarang adalah keadaan yang memenuhi syarat sebagai berikut:
a.       Kondisi darurat itu mengancam jiwa dan anggota badan.
b.      Keadaan darurat hanya dilakukan sekedarnya dalam arti tidak melampaui batas.
c.       Tidak ada jalan lain yang halal kecuali dengan melakukan yang dilarang.
  
        2.      مَااُبِحَ لِلضَّرُورَةِ يُقَدَّ رُ بِقَدَ رِهَا
“Apa yang diizinkan karena adanaya udzur, maka keizinan itu hilang mana kala udzurnya hilang”
Misalnya : seseorang yang ingin berwudhu ia tidak bisa menemukan air untuk menjalankan shalat. Maka orang ini diperbolehkan untuk tayamum. Tetapi sebelum masuk shalat ia diberi tahu oleh temannya bahwa ditempat tertentu ada air, maka dalam keadaan seperti ini tayamum orang tersebut dianggap batal, lantaran diketemukan air sebelum masuk waktu sholat.
        3.      الْضَرَرُ لاَيُزَالُ بِا لضَرَرِ
“ Kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan lagi”
Kaedah ini semakna dengan kaedah:
الْضَرَرُ لاَيُزَالُ بَمِثْلِهِ
“ Kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan yang sebanding”
Maksud kaedah itu adalah kemudharatan tidak boleh tidak boleh dihilangkan dengan cara melakukan kemudharatan lain yang sebanding keadaannya. Misalnya, seseorang debitor tidak mau membayar utangnya padahal waktu pembayaran sudah habis. Maka dalam hal ini tidak boleh kreditor mencuri barang debitor sebagai pelunasan terhadap hutangnya.

        4.      يُحْتَمَلُ الضَّرَرُالخَاصِ لِأَجَلِ الضَّرَرِالْعاَمِ
“ Kemudharatan yang khusus boleh dilakukan demi menolak kemudharatan yang bersifat umum”
Contohnya: boleh melarang tindakan hukum seseorang yang membahayakan kepentingan umum. Misalnya, menjual barang-barang debitor yang sudah ditahan demi menyelamatkan para nasabah.
        5.       الضَّرَرُلاَيَكُوْنُ قَدِيْمَاَ
“ Kemudharatan itu tidak dapat dibiarkan karena dianggap telah lama terjadi”
Maksudnya adalah kemudharatan itu harus dihilangkan dan tidak boleh dibiarkan terus berlangsung dengan alasan kemudharatan tersebut telah ada sejak dahulu. Contohnya: boleh melarang dosen yang punya penyakit darah tinggi yang parah untuk mengajar. Larangan ini tidak bisa dibantah dengan alasan penyakitnya sudah lama.










BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Darurat secara bahasa adalah berasal dari kalimat "adh dharar" yang berarti sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat menahannya.
Darurat secara istilah menurut para ulama ada beberapa pengertian di antaranya adalah:
1.      Abu Bakar Al Jashas, "Makna darurat di sini adalah ketakutan seseorang pada bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota badannya karena ia tidak  makan.
2.      Menurut Ad Dardiri, "Darurat ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan yang teramat sangat.
3.      Menurut sebagian ulama dari Madzhab Maliki, "Darurat ialah mengkhawatirkan diri dari dari kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan.
4.      Menurut Asy Suyuti, "Darurat adalah posisi seseorang pada sebuah batas dimana kalau ia tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau nyaris binasa.

Islam tidak menghendaki adanya kemudaratan bagi pemeluknya, maka harus dihilangkan jika ada. Kaedah ini sering diungkapakan melalui hadis rasulullah:
لاَضَرَر وَلاَ ضِرَارَ
 “Tidak boleh memberi memudaratkan dan membalas kemudaratan”
B.     KRITIK DAN SARAN

Kami dari pemakalah menyadari sepenuhnya bahwa makalah kami ini jauh dari kesempurnaan, karena terebatasan referisensi, dan keterbatsan ilmu yang kami miliki.
Untuk itu kami dari penulis menerima kritik dan saran dari peserta diskusi maupun dosen pembimbing untuk demi baiknyaya tulisan kami di masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

Pondok Pasantren Islam Nirul Iman, Dhorurat dalam Perspektif Islam,
9/12, 2012, 10.05 Wib
kemudharatan-itu.html, diakses, 9/12, 2012, 10.05 Wib
Washil, Nashr Farid Muhammad, dkk, Qawa’id Fiqiyyah, Jakarta: Amzah, 2009
Djuzuli, Kaidah-Kaidah Fikih, Jakarta: Kencana, Cet ke-2, 2007

Muchlis, Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2002



[1]Pondok Pasantren Islam Nirul Iman, Dhorurat dalam Perspektif Islam, http://ppnuruliman.com/artikel/fikih/228-dhorurat-dalam-perspektif-islam.html, (diakses, 9/12, 2012, 10.05 Wib)
[2]Nur Alim, Ad-Dhararu Yuzalu, http://noeraliem.blogspot.com/2010/10/ad-dhararu-yuzalu-kemudharatan-itu.html, (diakses, 9/12, 2012, 10.05 Wib)

[3]Nashr Farid Muhammad Washil, dkk, Qawa’id Fiqiyyah, (Jakarta: Amzah, 2009), Hal.17  
[4]Ibid, Hal. 18
[5]Djuzuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Kencana, Cet ke-2, 2007), h. 68
[6]Muchlis, Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hal.132
[7]Nur Alim, Op.Cit

0 komentar:

Posting Komentar