Jumat, 11 Januari 2013

MAKALAH FIQH IBADAH Tentang ZAKAT




MAKALAH
FIQH IBADAH
Tentang
ZAKAT




 

Oleh :
HANDAYANI
310.006

Dosen pembimbing :
SALMA, M.Ag


JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
IAIN IMAM BONJOL PADANG
1432 H / 2011 M





BAB I
PENDAHULUAN

Zakat adalah rukun Islam yang ketiga. Secara harfiah Zakat berarti “Tumbuh”, “Berkembang”, “Menyucikan” atau “Membersihkan”. Zakat artinya memberikan sebagian kekayaan untuk orang yang berhak menerimanya (mustahiq) jika sudah mencapai nisab (jumlah kekayaan minimal) dan haul (batas waktu) zakat. Mencapai haul artinya harta tersebut sudah dimiliki selama setahun. Berlaku bagi ternak, harta simpanan dan perniagaan. Sedangkan hasil pertanian, buah-buahan dan rikaz (barang temuan) tidak ada syarat haul. Begitu dapat langsung dizakati.
Zakat merupakan kewajiban yang tercantum dalam Al Qur’an. Artinya jika kita mengerjakannya, kita dapat pahala. Jika tidak, akan mendapat dosa.
”Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat…” [Al Baqarah:110]
“Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.” [Al Baqarah:43]
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” [Al Bayyinah:5]




BAB II
PEMBAHASAN

MATERI YANG DIZAKATKAN, HAUL, NISHAB, QADAR WAJIB DAN MUSTAHIQ
Materi yang dizakatkan
1.      Binatang ternak
Jenis binatang yang wajib dikeluarkan zakatnya hanya unta, sapi, kerbau, dan kambing. Keterangannya yaitu ijma’.[1]
Kuda tidak wajib zakat menurut pendapat Imam Malik, Asy Syafi’i, dan Ahmad Bin Hanbal, kecuali kuda tersebut merupakan harta niaga, dalam hal ini mereka sepakat wajib zakat sesuai dengan ketentuan zakat niaga.
Imam Abu hanifah berbeda pendapat dalam hal ini. Beliau mewajibkan zakat pada kuda jika perempuan, atau laki-laki dan perempuan dengan syarat ia diternakkan di padang rumput yang mubah dan dipelihara untuk berkembang biak. Jika tidak untuk berkembang biak, seperti untuk kendaraan, angkutan barang, atau jihad, maka tidak wajib zakat. Demikian pula, tidak wajib zakat jika kuda tersebut hanya laki-laki.[2]
Syarat-syarat bagi pemilik binatang yang wajib zakat tersebut adalah:
a.       Islam, orang non islam, walaupun mempunyai binatang tersebut ia tidak wajib berzakat.




“Abu Bakar As Shiddiq berkata dalam surat beliau kepada penduduk bahrain, inilah sedekah yang diwajibkan Rasulullah SAW atas orang-orang muslim.”(riwayat Bukhari dan anas)
b.      Merdeka
c.       Milik yang sempurna
d.      Cukup satu nishab
e.       Sampai satu tahun lamanya dipunyai



“Dari Ibnu Umar, Rasulullah telah berkata, tidak ada zakat pada harta seseorang sebelum sampai satu tahun dimilikinya.”(Riwayat Daruqhutni)
f.       Digembalakan di rumput yang mubah.

2.      Emas dan perak
Barang tambang yang lain tidak wajib dizakati.
Ketetapan ini diperkuat dengan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya dan Baihaqi dalam As sunan Al Kubra pada Bab Zakat, Dari Ali dari Nabi, beliau bersabda: jika kamu memiliki 200 dirham dan telah mencapai satu tahun, maka keluarkan lima dirham sebagai zakatnya. Dan kamu tidak berkewajiban(zakat) apa-apa dalam kepemilikan emas hingga kamu miliki 20 dinar, jika kamu sudah miliki 20 dinar dan telah mencapai satu tahun, maka keluarkan setengan dinar sebagai zakatnya.[3]
Syarat bagi pemilik emas dan perak yang wajib dizakati:
a.       Islam
b.      Merdeka
c.       Milik yang sempurna
d.      Sampai satu nishab
e.       Sampai satu tahun disimpan.
Firman Allah :



“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak , dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksaan yang pedih.”(At taubah : 34)
Sabda Rasulullah:





“Dari Ali Bin Abi Thalib, ia berkata, bahwa Rasulullah telah bersabda, Sesungguhnya saya telah memaafkan kamu dari sedekah kuda dan sahaya, maka bayarlah zakat perak, tiap tiap empat puluh dirham satu dirham, 190 dirham belum wajib zakatnya, dan apabila sampai dua ratus dirham zakatnya lima dirham.”(Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi)[4]

3.      Biji makanan yang mengenyangkan
Seperti beras, jagung, gandum, dan sebagainya. Adapun biji makanan yang tidak mengenyangkan seperti kacang tanah, kacang panjang, buncis, dan sebagainya tidak wajib dizakati
Firman Allah:

“Dan tunaikanlah haknya dihari memetik hasilnya(dengan dikeluarkan zakatnya).”(Al An’am: 141)
Syarat-syarat bagi pemilik biji-biji makanan yang wajib dizakati tersebut yaitu:
a.       Islam
b.      Merdeka
c.       Milik yang sempurna
d.      Sampai nishabnya
e.       Biji makan itu ditanam oleh manusia
f.       Biji makanan itu mengenyangkan dan tahan disimpan lama.

4.      Buah buahan
Yang dimaksud dengan buah buahan yang wajib dizakati hanya kurma dan anggur saja, sedangkan buah buahan yang lainnya tidak.
Kurma dan anggur wajib dikeluarkan zakatnya karena keduanya dapat menggantikan fungsi makanan pokok. Keduanya merupakan jenis buah-buahan yang paling utama, dan buah kurma lebih utama dari anggur. Di dalam Alqur’an, kurma selalu didahulukan daripada anggur jika keduanya terhimpun dalam satu ayat dan tidak ada pemisah antara keduanya.
Rasulullah juga mempersamakan kurma dengan seorang mukmin karena semua bagiannya bermanfaat. Ia adalah pohon kebaikan yang disebut dalam Al qur’an, contoh: Surat Maryam 25-26
Menurut pendapat Abu Hanifah, setiap yang dihasilkan dari bumi yang sengaja ditanam wajib dikeluarkan zakatnya. Ia berpegang kepada keumuman nash Alqur’an dan sunnah. Allah berfirman: dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Q.S Al baqoroh: 267. Disini Allah tidak membedakan antar hasil bumi satu dengan yang lainnya.
Sabda Rasulullah:



“Rasulullah telah menyuruh supaya menaksir buah anggur itu berapa banyak buahnya, seperti menaksir buah kurma, dan beliau juga menyuruh supaya memungut zakat anggur sesudah kering, seperti mengambil zakat buah kurma, juga sesudah kering.”(Riwayat tirmidzi)
Syarat-syarat bagi pemilik buah buahan yang wajib dizakati itu adalah:
a.       Islam
b.      Merdeka
c.       Milik yang sempurna
d.      Nishab (sampai satu nishab)[5]

5.      Harta perniagaan
Harta perniagaan yang wajib dizakati dengan syarat syarat seperti yang telah disebutkan pada emas dan perak.
Sabda Rasulullah:


“kain kain yang disediakan untuk dijual, wajib dikeluarkan zakatnya.”(riwayat Hakim)



“Dari Samurah, Rasulullah bersabda, memerintahkan kepada kami mengeluarkan zakat barang yang disediakan untuk dijual.”(Riwayat Daruqutni dan Abu Dawud).

6.      Harta rikaz (terpendam) dan barang tambang
Rikaz adalah harta terpendam pada zaman jahiliyah yang ditemukan pada masa islam dan tidak diketahui siapa pemiliknya. Bagi yang menemukan harta rikaz itu berupa emas dan perak harus dikeluarkan zakatnya sebesar 1/5 atau 20 % dan zakat barang tambang adalah sebesar 2,5%, jika kedua jenis harta itu telah mencapai nishab emas emas dan perak. Zakat harta rikaz berbeda dengan zakat barang tambang, yang mana zakat harta rikaz sebesar 20% dan zakat barang tambang sebesar 2,5% sebab dalam mendapatkan harta rikaz tidak seberat atau sesukar mendapatkan barang tambang.
Zakat kedua jenis harta ini tidak disyaratkan mencapai satu tahun penuh(haul) melainkan disyaratkan harta itu merupaka harta berkembang. Harta rikaz disyaratkan berupa emas dan perak dan telah mencapai nishab 20 mitsqal untuk emas dan 200 dirham untuk perak. Apabila tidak mencapai nishab maka tidak wajib zakat.
Disyaratkan pula bahwa harta rikaz itu merupakan harta terpendam sejak zaman jahiliyah sebelum nabi Muhammad diangkat sebagai Nabi dan Rasul. Selanjutnya disyaratkan pula harta tersebut telah ditemukan oleh orang-orang yang wajib zakat baik dalam wilayah islam ataupun wilayah perang, baik ditemukan dengan menggali, pengairan karena tanah longsor atau sebab lainnya.[6]


Haul dan nishab zakat
Dari Anas bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq ra menulis surat kepadanya: Ini adalah kewajiban zakat yang diwajibkan oleh Rasulullah SAW atas kaum muslimin. Yang diperintahkan Allah atas rasul-Nya ialah setiap 24 ekor unta ke bawah wajib mengeluarkan kambing, yaitu setiap kelipatan lima ekor unta zakatnya seekor kambing. Jika mencapai 25 hingga 35 ekor unta, zakatnya seekor anak unta betina yang umurnya telah menginjak tahun kedua, jika tidak ada zakatnya seekor anak unta jantan yang umurnya telah menginjak tahun ketiga. Jika mencapai 36 hingga 45 ekor unta, zakatnya seekor anak unta betina yang umurnya telah menginjak tahun ketiga. Jika mencapai 46 hingga 60 ekor unta, zakatnya seekor anak unta betina yang umurnya telah masuk tahun keempat dan bisa dikawini unta jantan. Jika mencapai 61 hingga 75 ekor unta, zakatnya seekor unta betina yang umurnya telah masuk tahun kelima. Jika mencapai 79 hingga 90 ekor unta, zakatnya dua ekor anak unta betina yang umurnya telah menginjak tahun kedua. Jika mencapai 91 hingga 120 ekor unta, maka setiap 40 ekor zakatnya seekor anak unta betina yang umurnya masuk tahun ketiga dan setiap 50 ekor zakatnya seekor unta betina yang umurnya masuk tahun keempat. Bagi yang hanya memiliki 4 ekor unta, tidak wajib atasnya zakat kecuali bila pemiliknya menginginkan.
Mengenai zakat kambing yang dilepas mencari makan sendiri, jika mencapai 40 hingga 120 ekor kambing, zakatnya seekor kambing. Jika lebih dari 120 hingga 200 ekor kambing, zakatnya dua ekor kambing. Jika lebih dari 200 hingga 300 kambing, zakatnya tiga ekor kambing. Jika lebih dari 300 ekor kambing, maka setiap 100 ekor zakatnya seekor kambing. Apabila jumlah kambing yang dilepas mencari makan sendiri kurang dari 40 ekor, maka tidak wajib atasnya zakat kecuali jika pemiliknya menginginkan. Tidak boleh dikumpulkan antara hewan-hewan ternak terpisah dan tidak boleh dipisahkan antara hewan-hewan ternak yang terkumpul karena takut mengeluarkan zakat. Hewan ternak kumpulan dari dua orang, pada waktu zakat harus kembali dibagi rata antara keduanya. Tidak boleh dikeluarkan untuk zakat hewan yang tua dan yang cacat, dan tidak boleh dikeluarkan yang jantan kecuali jika pemiliknya menghendaki. Tentang zakat perak, setiap 200 dirham zakatnya seperempat-puluhnya (2,5%).
Jika hanya 190 dirham, tidak wajib atasnya zakat kecuali bila pemiliknya menghendaki. Barangsiapa yang jumlah untanya telah wajib mengeluarkan seekor unta betina yang seumurnya masuk tahun kelima, padahal ia tidak memilikinya dan ia memiliki unta betina yang umurnya masuk tahun keempat, maka ia boleh mengeluarkannya ditambah dua ekor kambing jika tidak keberatan, atau 20 dirham. Barangsiapa yang sudah wajib mengeluarkan seekor anak unta betina yang umurnya masuk tahun keempat, padahal ia tidak memilikinya dan ia memiliki unta betina yang umurnya masuk tahun kelima, maka ia boleh mengeluarkannya ditambah 20 dirham atau dua ekor kambing. (Riwayat Bukhari).[7]
Dari Mu’adz Ibnu Jabal ra bahwa Nabi SAW pernah mengutusnya ke negeri Yaman. Beliau memerintahkan untuk mengambil (zakat) dari 30 ekor sapi, seekor anak sapi berumur setahun lebih yang jantan atau betina, dan setiap 40 ekor sapi, seekor sapi betina berumur dua tahun lebih, dan dari setiap orang yang telah baligh diambil satu dinar atau yang sebanding dengan nilai itu pada kaum Mu’afiry.(Riwayat Imam Lima dan lafadznya menurut riwayat Ahmad).[8]


zakat
Dari Bahz Ibnu Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Pada setiap 40 ekor unta yang dilepas mencari makan sendiri, zakatnya seekor anak unta betina yang umurnya memasuki tahun ketiga. Tidak boleh dipisahkan anak unta itu untuk mengurangi perhitungan zakat. Barangsiapa memberinya karena mengharap pahala, ia akan mendapat pahala. Barangsiapa menolak untuk mengeluarkannya, kami akan mengambilnya beserta setengah hartanya karena ia merupakan perintah keras dari Tuhan kami. Keluarga Muhammad tidak halal mengambil zakat sedikit pun.” [Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa'i]
Dari Ali ra bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Apabila engkau memiliki 200 dirham dan telah melewati satu tahun, maka zakatnya 5 dirham. Tidak wajib atasmu zakat kecuali engkau memiliki 20 dinar dan telah melewati setahun, maka zakatnya 1/2 dinar. Jika lebih dari itu, maka zakatnya menurut perhitungannya. Harta tidak wajib dikeluarkan zakat kecuali telah melewati setahun.” Hadits hasan diriwayatkan oleh Abu Dawud.[9]
Qadar wajib zakat
Nishab emas adalah 20 dinar (85 gram emas murni) dan perak adalah 200 dirham (setara 672 gram perak). Artinya bila seseorang telah memiliki emas sebesar 20 dinar atau perak 200 dirham dan sudah setahun, maka ia telah terkena wajib zakat, yakni sebesar 2,5 %.
Dari Jabir bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tak ada zakat pada perak yang kurang dari 5 auqiyah (600 gram), unta yang jumlahnya kurang dari 5 ekor, dan kurma yang kurang dari 5 ausaq (1050 liter).” [Muslim]
Menurut riwayatnya dari hadits Abu Said r.a: “Tidak ada zakat pada kurma dan biji-bijian yang kurang dari 5 ausaq (1050 liter).” Asal hadits dari Abu Said itu Muttafaq Alaihi.
Dari Salim Ibnu Abdullah, dari ayahnya r.a, bahwa Nabi SAW bersabda: “Tanaman yang disiram dengan air hujan atau dengan sumber air atau dengan pengisapan air dari tanah, zakatnya sepersepuluh, dan tanaman yang disiram dengan tenaga manusia, zakatnya seperduapuluh.” [Bukhari].
Nishab hasil pertanian adalah 5 wasq atau setara dengan 750 kg. Apabila hasil pertanian termasuk makanan pokok, seperti beras, jagung, gandum, kurma, dll, maka nishabnya adalah 750 kg dari hasil pertanian tersebut.
Tetapi jika hasil pertanian itu selain makanan pokok, seperti buah-buahan, sayur-sayuran, daun, bunga, dll, maka nishabnya disetarakan dengan harga nishab dari makanan pokok yang paling umum di daerah (negeri) tersebut (di negeri kita = beras).
Kadar zakat untuk hasil pertanian, apabila diairi dengan air hujan, atau sungai/mata/air, maka 10%, apabila diairi dengan cara disiram / irigasi (ada biaya tambahan) maka zakatnya 5%.
Dari Abu Musa al-Asy’ary dan Mu’adz ra bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada keduanya: “Jangan mengambil zakat kecuali dari keempat jenis ini, yakni: sya’ir, gandum, anggur kering, dan kurma.” [Thabrani dan Hakim]
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Zakat rikaz (harta peninggalan purbakala) adalah seperlima.” [Muttafaq Alaihi]
Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah sebesar satu sho’ (3,5 liter) kurma atau satu sho’ sya’ir atas seorang hamba, orang merdeka, laki-laki dan perempuan, besar kecil dari orang-orang islam; dan beliau memerintahkan agar dikeluarkan sebelum orang-orang keluar menunaikan sholat. Muttafaq Alaihi.[10]
Dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perkataan yang tidak berguna dan kotor, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Maka barangsiapa yang mengeluarkannya sebelum sholat, ia menjadi zakat yang diterima dan barangsiapa mengeluarkannya setelah sholat, ia menjadi sedekah biasa. [Abu Dawud dan Ibnu Majah][11]
MUSTAHIQ
Golongan yang berhak menerima zakat adalah 8 golongan yang telah ditegaskan dalam Al Qur’an Al Karim pada ayat berikut,
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk [1] orang-orang fakir, [2] orang-orang miskin, [3] amil zakat, [4] para mu'allaf yang dibujuk hatinya, [5] untuk (memerdekakan) budak, [6] orang-orang yang terlilit utang, [7] untuk jalan Allah dan [8] untuk mereka yang sedang dalam perjalanan.” (Qs. At Taubah: 60)
Ayat ini dengan jelas menggunakan kata “innama”, ini menunjukkan bahwa zakat hanya diberikan untuk delapan golongan tersebut, tidak untuk yang lainnya.
Golongan pertama dan kedua: fakir dan miskin.
Fakir dan miskin adalah golongan yang tidak mendapati sesuatu yang mencukupi kebutuhan mereka.
Para ulama berselisih pendapat manakah yang kondisinya lebih susah antara fakir dan miskin. Ulama Syafi’iyah dan Hambali berpendapat bahwa fakir itu lebih susah dari miskin. Alasan mereka karena dalam ayat ini, Allah menyebut fakir lebih dulu baru miskin. Ulama lainnya berpendapat miskin lebih parah dari fakir.
Adapun batasan dikatakan fakir menurut ulama Syafi’iyah dan Malikiyah adalah orang yang tidak punya harta dan usaha yang dapat memenuhi kebutuhannya. Seperti kebutuhannya, misal sepuluh ribu rupiah tiap harinya, namun ia sama sekali tidak bisa memenuhi kebutuhan tersebut atau ia hanya dapat memenuhi kebutuhannya kurang dari separuh. Sedangkan miskin adalah orang yang hanya dapat mencukupi separuh atau lebih dari separuh kebutuhannya, namun tidak bisa memenuhi seluruhnya.[12]


Orang yang berkecukupan tidak boleh diberi zakat
Orang yang berkecukupan sama sekali tidak boleh diberi zakat, inilah yang disepakati oleh para ulama. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ حَظَّ فِيهَا لَغَنِىٍّ
Tidak ada satu pun bagian zakat untuk orang yang berkecukupan.[4]
Apa standarnya orang kaya yang tidak boleh mengambil zakat?
Standarnya, ia memiliki kecukupan ataukah tidak. Jika ia memiliki harta yang mencukupi diri dan orang-orang yang ia tanggung, maka tidak halal zakat untuk dirinya. Namun jika tidak memiliki kecukupan walaupun hartanya mencapai nishob, maka  ia halal untuk mendapati zakat. Oleh karena itu, boleh jadi orang yang wajib zakat karena hartanya telah mencapai nishob, ia sekaligus berhak menerima zakat. Demikian pendapat mayoritas ulama yaitu ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad.
Apa standar kecukupan?
Kecukupan yang dimaksud adalah kecukupan pada makan, minum, tempat tinggal, juga segala yang mesti ia penuhi tanpa bersifat boros atau tanpa keterbatasan. Kebutuhan yang dimaksud di sini adalah baik kebutuhan dirinya sendiri atau orang-orang yang ia tanggung nafkahnya. Inilah pendapat mayoritas ulama.
Bolehkah memberi zakat kepada fakir miskin yang mampu mencari nafkah?
Jika fakir dan miskin mampu bekerja dan mampu memenuhi kebutuhannya serta orang-orang yang ia tanggung atau memenuhi kebutuhannya secara sempurna, maka ia sama sekali tidak boleh mengambil zakat. Alasannya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ حَظَّ فِيهَا لَغَنِىٍّ وَلاَ لِذِى مِرَّةٍ مُكْتَسِبٍ
““Tidak ada satu pun bagian zakat untuk orang yang berkecukupan dan tidak pula bagi orang yang kuat untuk bekerja.
Dalam hadits yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِىٍّ وَلاَ لِذِى مِرَّةٍ سَوِىٍّ
Tidak halal zakat bagi orang yang berkecukupan, tidak pula bagi orang yang kuat lagi fisiknya sempurna (artinya: mampu untuk bekerja, pen)
Berapa kadar zakat yang diberikan kepada fakir dan miskin?
Besar zakat yang diberikan kepada fakir dan miskin adalah sebesar kebutuhan yang mencukupi kebutuhan mereka dan orang yang mereka tanggung dalam setahun dan tidak boleh ditambah lebih daripada itu. Yang jadi patokan di sini adalah satu tahun karena umumnya zakat dikeluarkan setiap tahun. Alasan lainnya adalah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menyimpan kebutuhan makanan keluarga beliau untuk setahun. Barangkali pula jumlah yang diberikan bisa mencapai ukuran nishob zakat.
Jika fakir dan miskin memiliki harta yang mencukupi sebagian kebutuhannya namun belum seluruhnya terpenuhi, maka ia bisa mendapat jatah zakat untuk memenuhi kebutuhannya yang kurang dalam setahun.[13]
Golongan kedua: amil zakat.
Untuk amil zakat, tidak disyaratkan termasuk miskin. Karena amil zakat mendapat bagian zakat disebabkan pekerjaannya. Dalam sebuah hadits disebutkan,
لاَ تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِىٍّ إِلاَّ لِخَمْسَةٍ لِغَازٍ فِى سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ لِعَامِلٍ عَلَيْهَا أَوْ لِغَارِمٍ أَوْ لِرَجُلٍ اشْتَرَاهَا بِمَالِهِ أَوْ لِرَجُلٍ كَانَ لَهُ جَارٌ مِسْكِينٌ فَتُصُدِّقَ عَلَى الْمِسْكِينِ فَأَهْدَاهَا الْمِسْكِينُ لِلْغَنِىِّ
“Tidak halal zakat bagi orang kaya kecuali bagi lima orang, yaitu orang yang berperang di jalan Allah, atau amil zakat, atau orang yang terlilit hutang, atau seseorang yang membelinya dengan hartanya, atau orang yang memiliki tetangga miskin kemudian orang miskin tersebut diberi zakat, lalu ia memberikannya kepada orang yang kaya.”
            Para Imam Mazhab yang empat, sepakat bahwa amil zakat tersebut adalah orang yang mengurus zakat.
Ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah mengatakan bahwa imam (penguasa) akan memberikan  pada amil zakat upah yang jelas, boleh jadi dilihat dari lamanya ia bekerja atau dilihat dari pekerjaan yang ia lakukan.[14]
Siapakah Amil Zakat?
Sayid Sabiq mengatakan, “Amil zakat adalah orang-orang yang diangkat oleh penguasa atau wakil penguasa untuk bekerja mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya. Termasuk amil zakat adalah orang yang bertugas menjaga harta zakat, penggembala hewan ternak zakat dan juru tulis yang bekerja di kantor amil zakat.”
‘Adil bin Yusuf al ‘Azazi berkata, “Yang dimaksud dengan amil zakat adalah para petugas yang dikirim oleh penguasa untuk mengunpulkan zakat dari orang-orang yang berkewajiban membayar zakat. Demikian pula termasuk amil adalah orang-orang yang menjaga harta zakat serta orang-orang yang membagi dan mendistribusikan zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Mereka itulah yang berhak diberi zakat meski sebenarnya mereka adalah orang-orang yang kaya.”
Syeikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin mengatakan, “Golongan ketiga yang berhak mendapatkan zakat adalah amil zakat. Amil zakat adalah orang-orang yang diangkat oleh penguasa untuk mengambil zakat dari orang-orang yang berkewajiban untuk menunaikannya lalu menjaga dan mendistribusikannya. Mereka diberi zakat sesuai dengan kadar kerja mereka meski mereka sebenarnya adalah orang-orang yang kaya. Sedangkan orang biasa yang menjadi wakil orang yang berzakat untuk mendistribusikan zakatnya bukanlah termasuk amil zakat. Sehingga mereka tidak berhak mendapatkan harta zakat sedikitpun disebabkan status mereka sebagai wakil. Akan tetapi jika mereka dengan penuh kerelaan hati mendistribusikan zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya dengan penuh amanah dan kesungguhan maka mereka turut mendapatkan pahala. Namun jika mereka meminta upah karena telah mendistribusikan zakat maka orang yang berzakat berkewajiban memberinya upah dari hartanya yang lain bukan dari zakat.”
Berdasarkan paparan di atas jelaslah bahwa syarat agar bisa disebut sebagai amil zakat adalah diangkat dan diberi otoritas oleh penguasa muslim untuk mengambil zakat dan mendistribusikannya sehingga panitia-panitia zakat yang ada di berbagai masjid serta orang-orang yang mengangkat dirinya sebagai amil bukanlah amil secara syar’i. Hal ini sesuai dengan istilah amil karena yang disebut amil adalah pekerja yang dipekerjakan oleh pihak tertentu.
Memiliki otoritas untuk mengambil dan mengumpulkan zakat adalah sebuah keniscayaan bagi amil karena amil memiliki kewajiban untuk mengambil zakat secara paksa dari orang-orang yang menolak untuk membayar zakat.
Golongan ketiga: orang yang ingin dilembutkan hatinya.
Orang yang ingin dilembutkan hatinya. Bisa jadi golongan ini adalah muslim dan kafir.[15]
Contoh dari kalangan muslim:
  1. Orang yang lemah imannya namun ditaati kaumnya. Ia diberi zakat untuk menguatkan imannya.
  2. Pemimpin di kaumnya, lantas masuk Islam. Ia diberi zakat untuk mendorong orang kafir semisalnya agar tertarik pula untuk masuk Islam.
Contoh dari kalangan kafir:
  1. Orang kafir yang sedang tertarik pada Islam. Ia diberi zakat supaya condong untuk masuk Islam.
  2. Orang kafir yang ditakutkan akan bahayanya. Ia diberikan zakat agar menahan diri dari mengganggu kaum muslimin.
Menurut Imam Asy Syafi’i, muallaf itu ada empat macam:
a.       Orang yang baru masuk islam, sedangkan imannya belum teguh
b.      Orang islam yang berpengaruh dalam kaumnya, dan kita berpengharapan kalau dia diberi zakat, maka orang lain dari kaumnya akan masuk islam
c.       Orang islam yang berpengaruh terhadap kafir, kalau dia diberi zakat, kita akan terpelihara dari kejahatan kafir yang dibawah pengaruhnya.
d.      Orang yang menolak kejahatan, orang yang anti zakat.[16]
Golongan kelima: pembebasan budak.
Pembebasan budak yang termasuk di sini adalah: (1) pembebasan budak mukatab, yaitu yang berjanji pada tuannya ingin merdeka dengan melunasi pembayaran tertentu, (2) pembebasan budak muslim, (3) pembebasan tawanan muslim yang ada di tangan orang kafir.
Golongan keenam: orang yang terlilit utang.
Yang termasuk dalam golongan ini adalah:
Pertama: Orang yang terlilit utang demi kemaslahatan dirinya.
Namun ada beberapa syarat yang harus dipenuhi:
  1. Yang berutang adalah seorang muslim.
  2. Bukan termasuk ahlu bait (keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).
  3. Bukan orang yang bersengaja berutang untuk mendapatkan zakat.
  4. Utang tersebut membuat ia dipenjara.
  5. Utang tersebut mesti dilunasi saat itu juga, bukan utang yang masih tertunda untuk dilunasi beberapa tahun lagi kecuali jika utang tersebut mesti dilunasi di tahun itu, maka ia diberikan zakat.
  6. Bukan orang yang masih memiliki harta simpanan (seperti rumah) untuk melunasi utangnya.
Kedua: Orang yang terlilit utang karena untuk memperbaiki hubungan orang lain. Artinya, ia berutang bukan untuk kepentingan dirinya, namun untuk kepentingan orang lain. Dalil dari hal ini sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِثَلَاثَةٍ رَجُلٍ تَحَمَّلَ بِحَمَالَةٍ بَيْنَ قَوْمٍ فَسَأَلَ فِيهَا حَتَّى يُؤَدِّيَهَا ثُمَّ يُمْسِكَ
Sesungguhnya permintaan itu tidak halal kecuali bagi tiga orang; yaitu orang laki-laki yang mempunyai tanggungan bagi kaumnya, lalu ia meminta-minta hingga ia dapat menyelesaikan tanggungannya, setelah itu ia berhenti (untuk meminta-minta).
Ketiga: Orang yang berutang karena sebab dhoman (menanggung sebagai jaminan utang orang lain). Namun di sini disyaratkan orang yang menjamin utang dan yang dijamin utang sama-sama orang yang sulit dalam melunasi utang.
Golongan ketujuh: di jalan Allah.
Yang termasuk di sini adalah:
Pertama: Berperang di jalan Allah.
Menurut mayoritas ulama, tidak disyaratkan miskin. Orang kaya pun bisa diberi zakat dalam hal ini. Karena orang yang berperang di jalan Allah tidak berjuang untuk kemaslahatan dirinya saja, namun juga untuk kemaslahatan seluruh kaum muslimin. Sehingga tidak perlu disyaratkan fakir atau miskin.
Kedua: Untuk kemaslahatan perang.
Seperti untuk pembangunan benteng pertahanan, penyediaan kendaraan perang, penyediaan persenjataan, pemberian upah pada mata-mata baik muslim atau kafir yang bertugas untuk memata-matai musuh.
Kata Ibnu katsir, makna sabilillah adalah semua amal kebaikan yang dimaksudkan mendekatkan diri kepada Allah, bukan hanya pada peperangan saja.
            Ulama’ Muhammad Rasyid Ridha berkata: sesungguhnya yang dimaksud dengan sabilillah ini ialah beberapa kemaslahatan muslimin umumnya yang menambah kekuatan agama islam dan negaranya, bukan untuk perseorangan, yang paling penting di masa sekarang ini ialah persediaan untuk propaganda penyiaran islam dengan jalan mengirimkan mubaligh-mubaligh ke negeri-negeri yang bukan negeri islam, sebagai organisasi-organisasi yang teratur, seperti yang dilakukan oleh pemeluk agama lain di negeri kita untuk menyiarkan agama mereka.[17]
Golongan kedelapan: ibnu sabil, yaitu orang yang kehabisan bekal di perjalanan.
Yang dimaksud di sini adalah orang asing yang tidak dapat kembali ke negerinya. Ia diberi zakat agar ia dapat melanjutkan perjalanan ke negerinya. Namun ibnu sabil tidaklah diberi zakat kecuali bila memenuhi syarat: (1) muslim dan bukan termasuk ahlul bait (keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), (2) tidak memiliki harta pada saat itu sebagai biaya untuk kembali ke negerinya walaupun di negerinya dia adalah orang yang berkecukupan, (3) safar yang dilakukan bukanlah safar maksiat











BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Zakat merupakan kewajiban yang sudah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Mulai dari benda yang dizakatkan, qadar wajib yang harus dikeluarkan, bagaimana haul dan nishabnya, dan juga sudah ditentukan siapa orang yang berhak menerima zakat tersebut, sebagaimana terdapat dalam Surat At Taubah ayat 60.
Diantara benda yang dizakatkan tersebut berupa emas dan perak, harta terpendam yang ditemukan, barang tambang, buah-buahan juga termasuk, dan juga hasil dari pertanian jaga dizakatkan.
Di dalam Surat At Taubah tersebut disebutkan golongan yang berhak menerima zakat, yaitu: fakir, miskin, amil, muallaf, gharimin, sabilillah, ibnu sabil, dan hamba sahaya.

Saran
Makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu, kami dari pemakalah mengharapkan adanya tanggapan, kritikan dan lain-lainnya untuk kesempurnaan makalah ini.













DAFTAR PUSTAKA

Hassan, A., tarjamah Bulughul Maram Ibnu Hajr Al Asqalani, cet.27,2006 DIPONEGORO, Bandung
Azzam, Abdul Aziz Muhammad dan Hawwas, Abdul wahhab Sayyed, fiqh ibadah(thaharah, sholat, zakat, puasa dan haji), penerj. Kamran As’at Al Irsyadi, Ahsan Taqwim,dan  Al Hakam Faishol,cet. Pertama,2009, AMZAH, Jakarta
Rasyid, sulaiman, fiqh islam, cet. 27,1994, Bandung, Sinar Baru Algesindo
http: // id.wikipedia.org/wiki/zakat


[1] Rasyid, sulaiman, fiqh islam, cet. 27, Bandung, Sinar Baru Algesindo, 1994, hal193
[2] Azzam, Abdul Aziz Muhammad dan Hawwas, Abdul wahhab Sayyed, fiqh ibadah(thaharah, sholat, zakat, puasa dan haji), penerj. Kamran As’at Al Irsyadi, Ahsan Taqwim,dan  Al Hakam Faishol,cet. Pertama, AMZAH, Jakarta, 2009, hal. 351
[3] Ibid, hal 358
[4] Rasyid, Sulaiman, opcit., hal 194-196
[5] ibid, hal 196-197
[6] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, opcit., hal. 363
[7] Bulughul Maram, kitab Zakat, hadis no. 622
[8] Ibid, hadis no. 623
[9] Ibid, hadis no. 626 dan 627
[10] Ibid, hadis no. 646
[11] Ibid, hadis no. 649
[12] http: // id.wikipedia.org/wiki/zakat
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Rasyid, Sulaiman, opcit., hal. 213
[17] Rasyid, Sulaiman, opcit., hal. 214

0 komentar:

Posting Komentar