Jumat, 11 Januari 2013


BAB I 
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Syari'at Islam selama ini telah berjalan dari masa ke masa. Ia cocok untuk setiap generasi yang ada dan mampu berdialek dengan realitas kehidupan yang kompleks. Prinsip–prinsip hukumnya telah rnempengaruhi hukum dan perundang-¬undengan yang hidup dan berkembang. Lebih dari itu ia juga berfungsi untuk menjamin keadilan, ketenangan, keharmonisan dan kemaslahalan hidup manusia dalam berbagai sikon, kapan dan dimana saja berada.
Syari'at Islam dalam kenyataannya telah menunjukkan bukti dan dalil kebaikan serta kemampuannya bila diberi ruang dan kesempatan untuk berinteraksi dalam dunia rill. Secara objektif bangsa-bangsa lain yang bergerak dengan aturan-aturan non muslim, telah menyaksikan keluhuran dan kesempurnaan syari'at Islam. Syari'at Islam bersifat sangat fleksibel terhadap problenia kehidupan manusia kontempoter sekalipun, yaitu untuk mengatur masalah-masalah kemanusiaan dan memenuhi segala kebutuhannya meski adat istiadatnya berbeda-beda.
Keadaan tasyri' pada masa AL-Khulafa'u al- Rasyiduun sangat hidup dan semarak. Beberapa perbedaan pendapat (ikhtilaf) mulai muncul. Para sahabat Khulafa' ar Rasyidin tidak rnenyikapi hukum-hukum Islam secara ideal-normatif. lepas dari konteks sosio-kulturalnya. Aspek-aspek sosial telah menyadarkan, mereka untuk menjadi pertimbangan atas jawaban-jawaban yang tepat dan ideal terhadap berbagai problemmatika yang bermunculan. Interpretasi dan implementasi terhadap nash – semisal penggunaan teori Illah yang dilakukan Usman, adalah contoh nyata betapa khulafa' ar Rasyidin telah dengan serius berusaha memahami proses tasyri' dari suatu penerapan hukum.
Permasalahan-permasalahan yang muncul ketika itu juga berada pada sumber-sumber tasyri' serta pemahaman atas sumber tasyri' itu sendiri. Termasuk sebab-sebab timbulnya perbedaan dikalangan para sahabat itu sendiri antara, lain juga disebabkan oleh faktor pemahaman dari para sahabat itu sendiri tentang seberapa dalam ilmu yang diperoleh dan dipaharni dari Rasulullah.
Atas dasar itulah, studi tentang tasyri' pada masa Kliulafau al-Rasyidiin ini, akan difokuskan pada beberapa pertanyaan berikut: Bagaimana keadaan Tarikh Tasyri' Khulafaur Rasyidun, Faktor apa saja yang menyebabkan perkembangan Tarikh Tasyri', sumber-sumber Tasyri' pada masa khulafa' ar Rasyidin, sebab-sebab timbulnya perbedaan pendapat dikalangan para sahabat dan contoh-contoh ijtihad sahabat dalam menghadapi permasalahan hukum.
BAB II
PEMBAHASAN


A. Keadaan Tasyri' Pada Masa al – Khulafau al – Raasyidun

Sahabat-sahabat besar dalam periode ini menafsirkan nash-nash Hukum baik dari alqur'an maupun al-hadits yang kemudian menjadi pegangan untuk menafsirkan dan menjelaskan nash-nash itu. Selain itu Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, juga termasuk sahabat-sahabat besar lainnya, memberikan pula fatwa¬nya dalam berbagai masalah terhadap kejadian-kejadian yang tidak ada nashnya yang jelas mengenai hal itu, yang kemudian menjadi dasar ijtihad.
Para sahabat juga dapat dikatakan sebagai musyari' menerangkan hal tidak ketinggalan memberikan fatwa dalam urusan-urusan yang tercantum secara tersurat dalam nash. Jika ini semua dihadapkan pada kita, aka tidak sepatutnya kita merasakan keheranan, sebab mereka dalam kehariannya selalu bergaul dengan Nabi, sehingga mereka menyaksikan dan mengetahui asbabun nuzul serta asbabul wurud suatu hadits melebihi pengetahuan ulama-ulama' sesudahnya. Bahkan khulafa' ar Rasyidin bergabung dalam kelompok yang biasa diajak bermusyawarah oleh Rasulullah Saw . Karena inilah maka muncullah kepercayaan umat kepada mereka Yang perlu disimak, pada periode ini fatwa-fatwa dan masail fiqhhiyah masih dicampur dengan dalil-dalil dan kaidah-kaidah istidlal. Memang hal seperti ini perlu diacungi jempol, tetapi bukan berarti bahwa khulafa' ar Rasyidin memiliki wewenang mutlak untuk ,nengganti syari'at yang telah diajarkan oleh nabi. Penetapan-penetapan syari'at pada waktu itu sebagian besar hanya bersifat melanjutkan apa yang pernah diperbuat oleh Nabi, kecuali mengenai beberapa peristiwa yang pada zaman nabi belum ada.
Pada masa ini perkembangan Islam semakin luas ke segala arah, sehingga banyak ditemukan kasus-kasus baru yang memerulukan pemecahan atau penyelesaian. Pada kesempatan inilah para sahabat utama tampil sebagai muffti (konsultan) dalam masalah hukum dengan memberikan fatwa-fatwa kepada, masyarakat, karena merekalah yang banyak berinteraksi dengan Rasulullah Saw. Merekalah yang paling Sering mengikuti kegiatan rasul Serta paling sering menyaksikan sebab-sebab turunnya suatu ayat (asbabun nuzul) dan keluarnya hadits. Diantara mereka ada yang menjadi peserta sidang dalam musvawaral musyawarah yang diselenggarakan Rasulullah SAW. Diantara para sahabat yang bertindak sebagai mufti antara lain
1. Di Madinah : Zaid bin Tsabit, Ubai bin Kaab, Abdullah bin Umar dan Siti Aisyah.
2. Di Makkah : Abdullah bin Abbas
3. Di Kuffah : Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Masud.
4. Di Syam : Muadz bin Jabbal dan Ubadan bin Shamir
5. Di Mesir : Abdullah bin Ammar
Pada mulanya para mufti berdomisili di Madinah, dengan berkembangnya syiar Islam, maka mereka berpencar ke daerah-daerah maupun ke kota-kota.

B. Faktor – Faktor Penyebab Perkembangan Tasyri'

Al-Khulafa'u al-Rasyidun memainkan pesan yang sangat penting dalam membela dan mempertahankan agama. Mereka tidak cukup melaksanakan dan melestarikan syari'at yang dibawa Nabi Saw, tetapi juga membentangkan sayap dakwah Islam hingga kemancanegara. Ini untuk kali pertama syari'at Islam khususnya fiqh berhadapan dengan berbagai persoalan baru. Misalnya masalah seputar moral, etika, kultur, dan kemanusiaan dalam suatu masyarakat yang sangat majemuk.
Fase ini adalah adalah fase yang paling dominan, dalam mempengaruhi perkembangan syari'at. Wilayah-wilayah yang dibuka dan dibebaskan saat itu memiliki perbedaan masalah kultural, tradisi situasi dan kondisi yang menghadang para fuqaha’ dari kalangan sahabat, khususnya Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali untuk memberikan suatu fatwa.
Para Khulafa'ur Rasyiduun dengan tingkat pemahaman yang tinggi terhadap Al Qur'an dan Sunnah, menyikapi terhadap persoalan-persoalan yang datang dengan langsung merujuk kepada al-qur'an dan As-Sunnah. Adakalannya mereka menemukan nash dalam al-Qur'an dan hadits secara tersurat, tetapi juga tidak jarang mereka tidak menemukan dalam dua sumber pokok syari'at Islam tersebut. Kondisi yang demikian ini mendorong mereka secara paksa untuk berjuang menggali kaidah-kaidah dasar dan tujuan moral dari berbagai tema-tema dalam Al Qur'an untuk diaplikasikan terhadap persoalan-persoalan baru.
Konsekuensi lain dari perluasan wilayah Islam adalah bercampurnya orang-orang Arab dengan yang lainnya. Sebagian dari mereka banyak yang memeluk Islam, tetapi sebagian tetap pada agama dan kepercayaan masing¬-masing. Dari sini muncul suatu tuntutan untuk menetapkan hukum baru yang mengatur hubungan orang-orang Islam dengan orang-orang non Muslim. Para fuqaha' untuk yang kesekian kalinnya berusalia merumuskan bagaimana Islam mengatur pluralitas hidup seperti ini. Termasuk disini adalah persoalan baru yang belum pernah terjadi pada era kenabian disamping belum ada sumber hukum yang secara jelas-jelas merinci hukum masalah ini.

C. Sumber – sumber Tasyri' Pemakaian dan Permasalahannya

Sumber Tasyri' pada masa ini adalah Al Qur'an, As-sunnah dan ljtihad (termasuk didalamnya ijma' dan qiyas). Sebab pada hakekatnya keduanya dihasilkan dari jerih payah mujtahiddin. Al qur'an pada masa ini sudah dibukukan, yaitu pada Utsman bin Afan, setelah dipertimbangkan akan kemaslahatannya yang lebih besar. Adapun sumber hukum Islam yang kedua adalah Hadits, yang ketika itu belum dibukukan, sebab dikhawatirkan akan bercampur dengan al-Qur' an. Meski demikian upaya untuk pemeliharaan tetap dilakukan.
Sehingga kebenaran riwayatnya dapat dijamin. Abu Bakar Misalnya, beliau tidak mau menerima hadits dari seseorang kecuali mendapat pengakuan dan pengetahuan dari orang lain yang terpercaya. Umar bin Khattab menuntut adanya bukti-bukti bahwa hadits tersebut datang dari Rasulullah. Demikian juga Ali bin Abi Thalib, beliau senantiasa menyumpah perawinya.
Kemudian sumber hukum yang ketiga, adalah ijtihad. Para shahabat dalam tidak selalu sama, artinya pendapat mereka kadang-kadang berbeda. Misalnya, Ali dan ibnu Abbas berbeda pendapat dengan Umar bin Khattab dalam masalah 'iddah. Dalam surat Al-Baqarah ayat 234 disebutkan, bahwa wanita yang ditinggal mati oleh suaminya 'iddah-nya 4 bulan 10 hari, Kemudian, dalam surat at-Thalaq: 4 dijelaskan bahwa wanita yang hamil, 'iddah-nya sampai dia melahirkan.
Lalu persoalannya, bagaimana kalau ada wanita hamil dan ditinggal mati oleh suaminya menurut Ali dan Ibn Abbas 'iddah-nya diambil yang lebih panjang diantara dua masalah tersebut. (4 bulan 10 hari dan sampai melahirkan) sementara menurut umar, iddahnya sampai melahirkan. Juga mengenai masalah perampok Yang betaubat. Menurut sebagian besar sahabat, bahwa perampok yang sudah bertaubat tidak lagi dikenai sanksi hukum, sementara menurut Urwah Bin Jubair, mereka tetap dikenai sanksi hukum dengan alasan untuk menjaga stabilitas sosial. Dan masih banyak lagi perbedaan pendapat sahabat lainnya dalam masalah hukum ini, Persoalan ini mudah dipahami sebab, sesuai dengan perluasan Islam. Mereka banyak terpencar di berbagai daerah, misalnya di Kufah, Bashrah, Syam, Mesir dan seterusnya.
Berkenaan dengan ini Ibnu Qoyyim pernah berkata bila seseorang sahabat mengemukakan pendapat atau mengemukakan suatu hukum atau memberikan fatwa, tentu ia telah mempunyai pengetahuan, baik yang dimiliki oleh para sahabat maupun pengetahuan yang kita miliki. Adapun pengetahuan yang hanya dimiliki oleh sahabat, mungkin didengar langsung dari Nabi melalui sahabat yang lain. Pengetahuan yang hanya diketahui oleh masing-masing sahabat banyak sekali, sehingga para sahabat tidak semua dapat meriwayatkan semua hadits¬hadits yang didergar dari Khulafa' ar Rasyidin dan sahabat-sahabat lainnya.
Walaupun Abu bakar Assiddiq selalu mendampingi Nabi, hingga nabi tidak pernah lepas dari pantauan Abu Bakar dan ia digolongkan sebagai orang yang mengetahui tentang Rasulullah SAW, tetapi hadits-hadits yang ia riwayatkan tidak lebih dari seratus hadits. Anggapan orang bahwa seorang sahabat selalu meriwayatkan suatu Hadits atau menyatakan suatu kejadian yang ia ketahui, adalah anggapan yang keliru, bahwa orang tersebut tidak mengetahui sikap dan tingkah laku para sahabat pada khulafa' ar Rasyidun. Sebab mereka sangat takut untuk meriwayatkan suatu hadits, lantaran khawatir akan menambah atau mengurangi hadits tersebut. Karena itu mereka sedikit sekali meriwayatkan dan hanya menceritakan apa yang mereka dengar dari Rasulullah, atau sabda beliau. Dengan demikian fatwa-fatwa sahabat tersebut tidak keluar dari enam kemungkinan berikut ini:
a. Fatwa tersebut mereka dengar langsung dari rasuluilah SAW
b. Fatwa tersebut mereka dengar dari sahabat yang mendengarkan fatwa Rasulullah SAW.
c. Fatwa tersebut mereka pahami dari ayat-ayat suci Al Quran yang tidak jelas
d. Fetwa tersebut telah mereka sepakati, akan tetapi hanya disampaikan oleh seorang mufti
e. Fatwa tersebut merupakan pendapat sahabat secara pribadi, lantaran mereka menguasai bahasa arab secara pribadi, sehingga mereka mengetahui dilalah lafadz terhadap sesuatu yang tidak kita ketahui. Atau mereka mengetahui latar belakang kitab al-Qur'an dan Hadits atau mereka lebih menguasai permasalahan-permasalahan yang berkembang pada diri Rasulullah dan menyaksikan turunnya wahyu serta takwilnya secara kongkrit. Dengan demikian, mereka mempunyai pemahaman terhadap al-Quran dan Hadits lebih mendalam dibanding yang kita pahami.
f. Mungkin fatwa tersebut berasal dari pemahaman dari para sahabat yang tidak berasal dari hadits Nabi, dan ternyata pemahaman tersebut adalah salah. oleh karena itu fatwa sahabat memiliki kedudukan dzonni yang lebih mendekati kebenaran yang dituntut dalam fatwa sahabat pada periode ini, hanyalah pada tingkat dzonni yang kuat dan harus diamalkan.

D. Sebab-Sebab Timbulnya Perbedaan Pendapat di Kalangan Sahabat

Menurut Para ahli, timbulnya perbedaan pendapat di kalangan sahabat disebabkan adanya beberapa faktor, setidaknya kita perlu mengatakan lima persoalan mendasar yang menyebabkan beberapa ikhtilaf pada periode ini.
Pertama, perbedaan. dalam memahami nash al-Qur'an dan Hadits. Perbedaan seperti ini biasanya disebabkan karena tidak jelasnya batasan pengertian nash dan perbedaan persepsi dikalangan sahabat seperti persoalan quru', Adanya aya-ayat ahkam yang musytarak, atau belum pasti pengertiannya (dzanni). Dalam Surat Al baqarah : 228 memiliki dua pengertian. Menurut Zaid bin Tsabit, quru' berarti suci, sementara Umar bin Khattab memahaminya sebagai Haidh
Kedua, munculnya dua persoalan yang merujuk pada dua nash saling berlawanan kesepakatan akhir dari para sahabat bahwa masalah seperti ini harus melewati tiga tahapan, caranya mencari titik temu antara dua nash tersebut, baru kemudian mencari dalil-dalil yang rnenguatkan salah satu dari nash (at-Tarjih), dan jika kedua cara tersebut tidak memungkinkan maka diterapkan teori nash.
Ketiga, sebagian fuqaha dari kalangan sahabat mengatakan bahwa suatu peristiwa berdasarkan pengetahuan dari sunnah, sementara yang lain belum mendapatkannya atau menganggapnya tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai hadits shahih. Pada masa ini terjadi seleksi yang sangat ketat terhadap periwayatan hadits. Beberapa hadits yang dijadikan sebagai sumber hukum oleh Sebagian fuqaha’ ditolak oleh fuqaha' lain sebab berbagai alasan. Selektifnya penerimaan periwayatan hadits ini diatur pihak dan kecenderungan untuk mengamalkan hadits dilain pihak, terutama dikalangan ulama' Madinah .
Kempat, perbedaan kaidah dan metode ijtihad dari para sahabat. Dari perbedaan penggunaan kaidah dan metode ini muncul beberapa perbedaan pendapat dalam suatu persoalan yang sama dan ini sangat memperkaya perbendaharaan fiqh Islam,
Kelima, ini mungkin yang terpenting, kebebasan dan kesungguhan para sahabat periode Khulafa' Ar Rasyidin dalam melakukan ijtihad terhadap berbagai masalah yang mereka hadapi. Kebebasan dan kesungguhan inilah yang menjadi sumber konseptualisasi dan redinamisasi syariat periode ini.
Keenam, perbedaan mereka dalam menerima hadits dari Rasulullah. Sebagian sahabat ada yang menerima hadits dengan jelas dan cukup banyak, sementara yang lain hanya menerima sebagian saja. Hal ini disebabkan karena kondisi tempat tinggal mereka Bagi yang dekat dengan Rasulullah, praktis mereka banyak menerima hadits, demikian sebaliknya.
Jadi dengan adanya faktor tersebut, maka munculah beberapa fatwa diantara mereka, yang masing-masing mempunyai dalih dan argumentasi yang berbeda. Akan tetapi, fatwa-fatwa pada waktu itu hanya terbatas pada persoalan-¬persoalan tertentu yang mendesak saja. Perbedaan pendapat belum begitu meluas, sebab problem hukum yang muncul saat itu masih relatif sedikit ketimbang sesudahnya. Disamping konsensus mereka (ijma') yang masih sangat dimungkinkan. Diantara sahabat besar yang sangat menghindari ijtihad/ra'yu adalah Ibnu Abbas Zubair, dan Abdulah bin Umar, Dan yang terkenal besar Ijtihad adalah Umar Bin Khattab dan Abdullah bin Masud.
Diantara. para sahabat yang memegang peran penting dalam hukum pada masa ini adalah: Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Dzaid bin Tsabit, Ubay Bin Ka'ab Abdulah bin Umar, Aisyah, isteri nabi. Mereka semua tinggal di Madinah, termasuk beberapa sahabat yang lain. Menurut lbnu Qayim, diantara para sahabat tersebut yang menduduki rangking paling awal dalam memberi fatwa adalah Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Aisyah, Abdulah bin Abbas, Abdullah bin Mas'ud dan Abdullah bin Umar.

E. Contoh – Contoh Ijtihad Sahabat

Para sahabat dalam mencarl istimbat hukum pasti merujuk pada Al-Qur'an dan Hadits. Akan tetapi permasalahan terjadi ketika dalam dua sumber hukum ,tersebut tidak ada rujukan, sehingga para sahabat harus menggunakan penalarannya, untuk memecahkan masalah yang sedang terjadi. Contoh masalah-masalah itu diantarannya adalah:
1. Tentang iddah wanita yang sedang ditalak oleh suaminya
Kapan Iddah (waktu menunggu, dimana seorang wanita tidak boleh menikah) wanita yang ditalak suaminnya akan berakhir? Menurut Ibnu Mas'ud dan Umar bin Khattab, iddahnya berakhir ketika mandi dari haid yang ketiga sesudah talak.
Pendapat Zaid bin Tsabit yang lain, wanita itu boleh menikah setelah memasuki haid ketiga. Apabila ditelusuri, ternyata istilah yang merujuk pada pengertlan quru’ dalam Firman.Allah yang artinnya "perempuan-perempuan yang ditalak menunggu tiga kali quru” (Q.S 2:228) Ibnu Mas’ud dan Umar bependapat bahwa, quru’ Itu berarti haid. Karenanya iddah wanita berakhir ketika haid yang ketiga. Zaid menafsirkan quru’ dengan bersih yang berarti bahwa iddahnya akan berakhir ketika memasuki haid yang ketiga. Ikhtilaf ini lebih jauh dapat dipahami sebab dalam bahasa arab quru’ berarti bersih dan Haid,
2. Tentang unta yang berkeliaran
Perbedaan pendapat terjadi tentang masalah unta yang berkeliaran dan tidak diketahui pemiliknya, apakah boleh diamankan seperti barang temuan lainnya, atau tidak. Ikhtilaf itu terjadi karena ada hadits yang menyebutkan bahwa unta-unta itu harus dibiarkan hingga ditemukan sendiri. ketika kondisi pemerintahan mulai goncang dan keamanan mulai tidak terjamin, Utsman berpendapat bahwa unta-unta sebaiknya diamankan, Tetapi Rasulullah melarang untuk mengamankan. Kata Utsman, karena tidak mungkin ada yang mencurinya. Namun sekarang dalam suasana melemahnya gairah keagamaan ini unta-unta harus diamankan untuk kemaslahalan, Kalau tidak ia akan dicuri orang".
Sikap Utsman ini bertentangan dengan kebijaksannan Umar yang mengamalkan hadits Nabi tadi, Disini tampaknya Utsman menerapkan 'Illat Umar melaksarakan nash dari hadits karena adanya illat yaitu" suasana Aman". Ketika llat itu tidak ada maka nash tidak cukup syaratnya untuk diterapkan. Jika diamalkan maka pengamalan nash itu tidak akan mewujudkan kemaslahalan yang merupakan tujuan utama Nash tadi.
3. Tentang Wanita yang ditinggal mati suaminya
Para fuqaha' berbeda pendapat tentang wanita yang ditinggal mati oleh suaminnya sebelum melakukan hubungan suami Istri, padahal belum juga ditentukan kadar mas kawinnya (maharnya)? Menurut lbnu Mas'ud, bahwa wanita itu berhak mengambil maskawin seperti biasa dari harta peninggalan harta suaminya seperti yang pernah terjadi pada Marwa' binti Wasyik al islamiyah di zaman Rasulullah SAW.
Ali bin abi Thalib berendapat bahwa, ketentuan seperti itu merugikan satu pihak. Oleh karenanya, menurut Ali, Wanita itu tidak berhak mengambil dari harta peninggalan suaminya yang belum terjadi hubungan suami istri. "Kami tidak akan meninggalkan al-qur'an hanya karena pernyataan orang", atau Ali. Dari sini tampak bahwa Ali telah sampai pada penggunaan kiyas. Sebab dalam al-Qur'an tidak ada ketentuan dalam masalah ini, yang ada adalah wanita yang ditalak suaminya yang belum melakukan hubungan suami Istri. Rupanya Ali mengkiyaskan wanita yang ditinggal mati oleh suaminya sebelum melakukan hubungan tadi dengan wanita yang ditalak oleh suaminya dalam, keadaan yang sama.

F. Kondisi Politik Umat Islam

Pada masa shahabat terjadi pergolakan politik yang hebat di sekitar masalah kekhalifahan. Pergolakan politik tersebut bermuara menjadi sengketa agama yang berimplikasi besar terhadap ketetapan hukum Islam. Terbunuhnya Utsman dan tampilnya Ali dalam pemerintahan, menyulut api peperangan di antara umat Islam. Dan kasus tahkim Shiffin antara pihak Ali dan Mu'awiyah membuahkan polarisasi ummat Islam : Khawarij, Syi'ah, dar. Ahlu Al-Sunnah wa al-Jama'ah (Jumhur umat Islam).
Khawarij adalah kelompok ummat Islam yang membenci sikap Utsman selama menjadi Khalifah dan membenci Ali karena ia bersedia menerima keputusan tahkim Shiffin.demikian pula mereka Mu'awiyah karena dianggap berpolitik licik dan menegakkan pemerintahan dengan kekerasan, sehingga kelompok tersebut mengadakan aksi pemberontakan dan keluar dari kelompok kholifah. Sikap inilah yang kemudian menjadikan namanya sebagai kelompok khawarij.
Sementara Syi’ah adalah kelompok ummat Islam yang sangat berlebihan dalam mencintai Ali beserta keturunannya dan mereka beranggapan bahwa Ali lah yang berhak menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah karena menerima wasiatnya. Kemudian Ahlus Sunnah Wal Jama'ah adalah mayoritas umat Islam yang tidak memihak khawarij dan Syi'ah, tetapi mereka justru menjadi penengah diantara kedua kelompok tersebut, sehingga pahamnya dianggap sebagai sintesa dari keduanya.
Persengketaan antar umat Islam -Syi'ah dan Khawarij- tersebut sangat berpengaruh dalam ketetapan hukum Islam. Khawarij misalnya tidak mau menerima hadits yang diriwayatkan oleh Utsman, Ali, Mu'awiyah atau shahabat lain yang mendukung mereka. Demikian pula, fatwa dan ijtihad mereka ditolak, Sebaliknya, kelompok Syi'ah juga menolak hadits-hadits dan fatwa-fatwa yang disampaikan kebanyakan sahabat rasul, mereka memakai fatwa kelompoknya sendiri. Demikianlah diantara dua kelompok umat Islam itu tidak pernah bertemu pendapatnya sehingga, muncullah ketetapan-ketetapan hukum, yang berdiri sendiri. Adapun Ahlu Al-Sunnah Wa Al-Jama'ah menerima setiap hadits shahih dari manapun datangnya, asal perawinya jujur dan terpercaya (dlabith) tanpa membedakan antara seorang sahabat yang satu dengan yang lain. Juga mereka mau menerima fatwa-fatwa mereka. Kelompk inilah yang mempunyai pengikut terbesar sekarang.


BAB III
KESIMPULAN


Perkembangan tasyri' pada masa Khulafa' Ar Rosyidiin sangat hidup dan semarak. Beberapa ikhtilaf mulai muncul meskipun lebih kecil dibanding masa-¬masa berikutnya. Para sahabat Khulafa' Ar Rosyidiin tidak menyikapi hukum-¬hukum Islam secara ideal yang lepas dari konteks sosial, tetapi dimensi sosial itu telah menyadarkan mereka untuk mencari jawaban-jawaban yang tepat dan ideal terhadap berbagai problematika yang bermunculan.
Interpretasi dan implementasi terhadap nash semisal penggunaan teori illah yang dilakukan Usman, adalah contoh rill betapa Khulafa' Ar Rosidiin secara serius berusaha memaharni tipuan-tipuan syari'at dari suatu penerapan hukum. Sumber-sumber tasyri' pada masa sahabat besar atau Khulafau Al¬ Rasyidiin adalah Al Qur'an, As-Sunnah dan ijtihad termasuk di dalamnya ijma' dan qiyas. Sebab pada hakikatnya keduanya dihasilkan dari jerih payah mujtahidin. Pada khalifah Usman bin Affan Al-Qur'an sudah dibukukan, setelah dipertimbangkan adanya beberapa kemaslahalan yang lebih besar. Adapun sumber hukum Islam yang kedua, yaitu hadits belum dibukukan, sebab dikhawatirkan akan bercampur dengan Al-Qur'an, namun upaya pemeliharaannya tetap dilakukan.
Timbulnya perbedaan pendapat di kalangan para sahabat disebabkan beberapa faktor :
a. Adanya ayat-ayat A]-Qur'an yang masih musytarak atau belum pasti pengertiannya (zhanni).
b. Perbedaan mereka dalam menerima hadits dari Rasulullah.
Pada masa Khulafau Al-Rosyidiin, terjadi pergolakan politik yang hebat disekitar masalah kekhalifahan, yaitu dengan munculnya 3 golongan besar, yang mencakup khawarij, syi'ah dan Ahlussunnah wal Jama'ah. Pergolakan politik tersebut kemudian berubah menjadi sengketa agama yang berimplikasi besar terhadap hukum islam









DAFTAR PUSTAKA

A-Sirry, Mun'im, 1995. Sejarah Fiqh Islam Surabaya : Risalah Gusti
Abu zahroh, Muhammad, 1999. Ushul fiqh Jakarta: pustaka Firdaus
Harjono, Anwar. 1963. Hukum Islam Keluasan dan keadilannya Jakarta: Bulan Bintang
Qordhowi, Yusuf. 1996. Hukum Zakat. Bandung: Mizan
Ali Azhar Basyir MA. Refleksi atas penyoalan Keislaman , seputar Filsafat, hukum
politk. 1993. Mizan Jakarta Alfa Fathurrahman. 1994. Ikhlishar Tarikh Tasyri' , Fakultas Tarbiyah UNISMA
As-Saayis, Syekh Muhammad Ali. 1995. Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh,
PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Hasbi Ashidiqi. 1993. Pengantor Ilmu Fiqh, Bulan Bintang, Jakarta
M, Zuhri.1996. Hukum Islam Dalam Litas Sejarah. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

0 komentar:

Posting Komentar