Jumat, 11 Januari 2013




MAKALAH


SEJARAH PERADILAN ISLAM


Tentang


Hubungan Peradilan Islam dengan Pranata Hukum; Ijtihad, Iftha’ dan Tahkim





Oleh:


Handayani


310.006


Dosen pembimbing:


Prof. H. Asasriwarni


Arlis, SH.I, MH








JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM


FAKULTAS SYARI’AH


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI


IAIN IMAM BONJOL PADANG


1432 H / 2011 M





BAB I


PENDAHULUAN


Peradilan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia dan suatu tugas suci yang diakui oleh semua kalangan, baik kalangan bangsawan ataupun kalangan religius. Peradian dapat menyahuti kebutuhan terhadap keadilan dan kebenaran, yang pada gilirannya membawa manusia kepadaa ketenangan hati dan ketentraman jiwa, mempererat hubungan silaturrahmi, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kepada yang munkar.


Keadilan baru dapat diwujudkan,bila setiap pencari keadilan menerima perlakuan seadil-adilnya. Hal itu bisa terlaksana ketika hukum yang ditetapka sesuai dengan apa yang telah disinyalir Allah dalam Al Qur’an dan Sunnah. Sedangkan wujud keadilan itu tidak akan dapat terealisasi kalau hanya terikat dengan peraturan-paraturan yang ada saja malainkan juga harus dibarengi dengan sarana dan prasarananya, dalam hal ini adalah Lembaga Peradilan. Sehingga perlindungan terhadap jiwa, harta dan kehormatan bagi pencari keadilan akan tercapai secara konkrit.














BAB II


PEMBAHASAN


Hubungan Peradilan Islam dengan Pranata Hukum; Ijtihad, Iftha’ dan Tahkim


Pengertian Hukum


Hukum pada umumnya diartikan sebagai keseluruhan peraturan atau kaedah dalam kehidupan bersama; keseluruhan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Namun demikian, hingga sekarang belum diperoleh suatu pengertian hukum yang memadai dengan kenyataan.


Hal ini dikarenakan hukum memiliki banyak segi dan bentuk, sebagaimana diungkapkan oleh Lemaire, bahwa hukum itu banyak seginya serta meliputi segala lapangan kehidupan manusia menyebabkan orang tidak mungkin membuat suatu definisi hukum yang memadai dan komperhensif. Demikian pula Mr. Dr. Kisch mengatakan bahwa oleh karena hukum itu tidak dapat dilihat/ditangkap oleh panca indera, maka sukarlah untuk membuat suatu definisi tentang hukum yang memuaskan umum.[1]


Lembaga atau pranata hukum


Apa yang menjadi pembeda antara aturan hukum dengan aturan-aturan lain? Untuk memahami hal ini diperlukan pengertian akan konsep pranata atau lembaga. Malinowski mendefenisikan pranata sebagai berikut:


“Sekelompok orang-orang yang bersatu dan terorganisir untuk tujuan tertentu yng memiliki sarana kebendaan dan teknis untuk mencapai tujuan tersebut atau paling tidak melakukan usaha yang masuk akal yang diarahkan untuk mencapai tujuan tadi; yang mendukung sistem nilai tertentu, etika dan kepercayaan-kepercayaan yang memberikan pembenaran kepada tujuan tadi”


Berdasarkan hal ini kita dapat melihat apakah semua kegiatan manusia terpola acau bersifat acak .Jadi lembaga atau pranata hukum dibentuk masyarakat tujuannya adalah untuk melegalkan peraturan dan peraturan ini akan digunakan untuk menindak pelanggaran yang terjadi. Lembaga hukum mempunyai kekuatan untuk campur tangan dalam penyelesaian sengketa didalam lembaga sosial lainnya.


Kaitan antara hukum dan ilmu-ilmu sosial


Untuk mengerti realitas sosial di dalam masyarakat yang tidak cuma berada di tataran teoritis ahli hukum memerlukan analisis dari berbagai disiplin ilmu sosial. Salah satu realitas yang terjadi di masyarakat termasuk gejala hukum. Bagaimana hukum diterapkan dan berlaku dimasyarakatt akan sesuai dengan konteks sosial budaya masyarakat setempat, bagaimana hukum negara diapresiasi oleh suatu kelompok masyarakat tidak akan sama dengan cara kelompok lain mengapresiasi karena yang merupakan elemen kehidupan masyarakat tidak dapat dipisahkan dalam menganalisa dan mempelajarinya dari elemen lain. Budaya yang ada pada suatu kelompok masyarakat tertentu harus dilihat secara holistik dan keseluruhan karena unsur-unsur budaya ini akan berkaitan satu sama lain, demikian juga dalam memahami hukum.[2]


Hubungan Peradilan Islam dengan Ijtihad


Ijtihad telah dimulai sejak masa Rasul kemudian berkembang pada masa sahabat, tabi’in dan generasi selanjutnya sampai sekarang, sesuai dengan pasang surut dan ciri-ciri khas ijtihad pada masing-masing masa. Perkembangan yang ada sesuai dengan pula dengan polarisasi ijtihad dan dianmika sosial yang ada pada masing-masingnya.


Berkenaan dengan kehujjahan ijtihad, jumhur Ulama sepakat bahwa seorang mujtahid boleh melakukan ijtihad sesuai dengan metode yang disepakati bersama terhadap suatu kasus yang tidak ditemui hukumnya.hasil ijtihad itu wajib diterapkan, tapi tidak wajib diiikuti oleh mujtahid yang lain.


Hubungan kausalitas ijtihad dengan peradilan merupakan sebagai metode istinbat hukum yang digunakan oleh para hakim di Peradilan Islam dalam mewujudkan suatu produk hukum baik yang berkenaan dengan ketentuan-ketentuan Undang-Undang atau dengan jalan menyimpulkan dari hukum yang wajib diterapkan ketika tidak ditemui nash yang Sharih untuk itu.


Ijtihad sangat diperlukan dalam peradilan, karena sering ditemui suatu yang tidak ada ketentuan-ketentuan hukumnya secara Qath’i tapi hanya ada tanda-tanda atau cara-cara untuk membimbing mujtahid dalam berijtihad. Maka untuk melahirkan bentuk hukum yang belum jelas atau hanya semacam isyarat yang diberikan nash maka satu-satunya jalan yang dipakai adalah ijtihad.


Bila seorang hakim berijtihad tentang suatu perkara yang ditanganinya. Kemudian dia sampai pada suatu pendapat tentang kedudukan hukumnya, lalu muncul lagi pendapat yang baru sebelum dijatuhkan putusan maka dalam hal ini dia harus memutuskan perkara tersebut dengan pendapatnya yang baru karena pendapatnya yang pertama secara lansung telah dibatalkan.[3]





Hubungan peradilan dengan Iftha’


Dalam sejarah hukum Islam, fatwa memegang peranan penting dalam kehidupan umat, mulai dari zaman klasik, pertengahan dan zaman modern. Pada awalnya fatwa-fatwa yang diberikan oleh mufti tidak terdokumentasi dengan baik karena kebiasaan membukukan fatwa belum tersosialisasi di kalangan umat islam.


Fatwa ini sifatnya tidak mengikat karena itu tidak harus diikuti oleh orang yang meminta fatwa. Karena itu fatwa berbeda dengan putusan hakim, bila dilihat dari segi kekuatan hukumnya. Fatwa seorang mufti sifatnya tidak mengikat, artinya orang yang meminta fatwa tersebut boleh menerima fatwa kemudian mengamalkannya, dan boleh pula tidak menerima dan menolaknya. Dalam hal fatwa ini kekuasaan negara tidak mempunyai wewenang untuk terlaksananya fatwa. Sedangkan putusan hakim sifatnya mengikat dan harus dilaksanakan oleh pihak yang dihukum. Alat-alat negarapun berusaha untuk melaksanakan putusan tersebut.


Dengan demikian dapat dipahami bahwa fatwa yang dikeluarkan oleh mufti sekalipun tidak merupakan putusan hakim dan bersifat tidak mengikat namun dia petunjuk bagi hakim dan merupakan majlis pertimbangan, jadi jelaslah bahwa fatwa-fatwa itu tidak merupakan aturan yang mengikatselama belum diakui oleh pengadilan.[4]





Hubungan Peradilan Islam dengan Tahkim


Tahkim berarti menyerahkan putusan pada seseorang dan menerima putusan itu. Sedangkan menurut istilah tahkim diartikan dua orang atau lebih mentahkimkan pada seseorang diantara merekan untuk diselesaikan sengketa dan diterapkan hukum syara’ atas sengketa itu.


Lembaga tahkim ini telah dilakukan oleh orang Arab, bahkan sebelum datangnya islam. Ketika itu perenovasian Ka’bah, terjadi perselisihan antara masyarakat Arab tentang siapa yang akan meletakkan kembali Hajar Aswad ke tempat semula. Pada awalnya mereka sepakat siapa yang dulu bangun pagi, dialah yang lebih berhak. Ternyata mereka bangun serentak, karena itu mereka bertahkim pada Muhammad, yang ketika itu belum diangkat menjadi Rasul, maka Muhammad membentangkan salendang dan meletakkan Hajar Aswad di tengahnya, kemudian meminta masing-masing wakil dari suku-suku untuk memegang pinggir salendang tersebut. Kebijaksanaan Muhammad ketika itu disambut baik oleh setiap orang yang berselisih ketika itu.


Yang menjadi dasar hukum tahkim adalah Qur’an Surat An Nisa’ 35, dan dari hadis yang diriwayatkan An Nasa’iy bahwa Abu Syuraih menerangkan kepada Rasulullah bahwa kaumnya berselisih dalam suatu perkara dan dia pun memutuskan perkara mereka. Putusan itu diterima oleh kedua belah pihak. Mendengar itu Nabipun berkata: “itu merupakan cara yang baik”.


Lembaga tahkim ini merupakan bahagian dari lembaga peradilan, namun orang-orang yang menjadi hakam[5] bukanlah orang yang berkompeten mengadili (hakim). Oleh karena itu, ada beberapa hal perbedaan antara hakam dengan tahkim, yaitu:


1.      Hakim harus memeriksa dan meneliti dengan cara perkara yang diajukan kepadanya sesuai dengan bukti-bukti yang ada, sedangkan hakam tidak harus demikian.


2.      Wilayah dan wewenang hakim ditentukan oleh akad pengangkatannya dan tidak tergantung kepada kerelaan dan persetujuan pihak yang berperkara. Sedangkan hakam mempunyai wewenang terbatas, yaitu pada kerelaan dan persetujuan pihak yang bertahkim.


3.      Pada peradilan tergugat harus dihadirkan, sedangkan dalam tahkim masing-masing pihak tidak dapat memaksa lawan perkaranya untuk hadir di majlis tahkim, tetapi masing-masing pihak berdasarkan kemauan dan kerelaan.


4.      Putusan hakim mengikat dan dapat dipaksakan kepada kedua belah pihak yang yang berperkara, sedangkan putusan hakam akan dilaksanakan berdasarkan kerelaan masing-masing pihak.[6]








BAB III


PENUTUP


A.    Kesimpulan


Hukum itu merupakan seperangkat aturan yang mengatur kehidupan bermasyarakat yang dipaksakan pelaksanaannya dan diberikan sanksi bagi pelanggarnya. Dengan adanya pranata hukum yang merupakan lembaga yang melegalkan hukum tersebut serta menjatuhkan hukuman bagi pelanggarnya.


Hubungan peradilan Islam dengan Ijtihad, Iftha’ dan tahkim mempunyai keterkaitan, dengan ijtihad dapat mewujudkan suatu produk hukum baik yang berkenaan dengan ketentuan Undang-Undang, dengan iftha’ bisa dijadikan bahan pertimbangan bagi hakim dalam memutuskan suatu perkara yang ditangani, dan tahkim juga termasuk dalam bahagian Lembaga Peradilan yang gunanya memutuskan suatu perkara.





B.     Saran


Makalah ini masih banyak kekurangan dari segi pembahasan dan kekhilafan dari segi penulisan, oleh sebab itu kami mengaharapkan kritikan dan saran terhadap makalah ini. Agar kesempurnaan makalah ini dapat terwujudkan.









































DAFTAR PUSTAKA





Asasriwarni, Sejarah Peradilan Islam, cet. 1, (Padang, IAIN-IB Press, 2000)



http://www.lbh-makassar.org/?p=3065







[1] http://www.lbh-makassar.org/?p=3065




[2] http://kerabatciwa.blogspot.com/2008/10/hukum-dan-pranata-hukum.html




[3] Asasriwarni, Sejarah Peradilan Islam, cet. 1, (Padang, IAIN-IB Press, 2000), hlm. 21-22




[4] Ibid, hlm. 24




[5] Hakam yang dimaksud adalah perwakilan pihak-pihak yang  bersangkutan  sebagai penengah  suatu  masalah.




[6] Asasriwarni, Op. Cit., hlm. 25-27



0 komentar:

Posting Komentar