Jumat, 11 Januari 2013

HAK DAN PERMASALAHANNYA




MAKALAH


FIQH MU’AMALAH


Tentang


HAK DAN PERMASALAHANNYA













 

















Oleh:


Handayani


310.006


Dosen Pembimbing:


Drs. BURHANUDDIN, MA














JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM


FAKULTAS SYARI’AH


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI


IAIN IMAM  BONJOL PADANG


1432 H / 2011 M











BAB I


PENDAHULUAN


Sebelum manusia memulai penghidupannya secara bermasyarakat dan belum tumbuh hubungan antara seorang dengan  yang lain, maka belum ada pula yang kita namakan hak. Setiap manusia hidup bermasyarakat, bertolong-tolongan dalam menghadapi berbagai macam kebutuhan. Untuk memenuhi kebutuhan itu, seseorang perlu mencari apa yang dibutuhkannya, dari alam atau milik orang lain.


Dari sini timbullah pertentangan dari alam atau dari milik orang lain. Maka untuk memelihara kepentingan masing-masing perlu ada aturan-aturan yang mengatur kebutuhan manusia, agar manusia-manusia itu tidak melanggar hak orang lain. Tata aturan yang diperlukan itu adalah tata aturan yang mengatur hak manusia., agar kebutuhan-kebutuhan manusia tidak sampai dilanggar oleh orang lain, dan agar manusia tidak melanggar hak-hak orang lain.





















































BAB II


PEMBAHASAN


HAK DAN PERMASALAHANNYA


A.    Asal Usul Hak


Setiap manusia hidup bermasyarakat, bertolong-tolongan dalam menghadapi berbagai macam kebutuhan. Untuk memenuhi kebutuhan itu, seseorang perlu mencari apa yang dibutuhkannya, dari alam atau milik orang lain. Dari sini timbullah pertentangan dari alam atau dari milik orang lain. Maka untuk memelihara kepentingan masing-masing perlu ada aturan-aturan yang mengatur kebutuhan manusia, agar manusia-manusia itu tidak melanggar hak orang lain. Tata aturan yang diperlukan itu adalah tata aturan yang mengatur hak manusia., agar kebutuhan-kebutuhan manusia tidak sampai dilanggar oleh orang lain, dan agar manusia tidak melanggar hak-hak orang lain.


Hak adalah tata aturan yang mengatur penghidupan manusia. Segenap Syari’at masa yang telah lalu kemudian diakhiri oleh Syari’at Islam mengadakan aturan-aturan untuk menentukan hak tersebut. Fiqh Islam telah menetapkan beberapa aturan, beberapa hukum, baik yang merupakan cabang dengan cara yang sangat sempurna yang belum pernah dikenal oleh tasyri’-tasyri’ lain.[1]


Landasan QS: 43 ayat 13





B.     Pengertian Hak


Kata hak berasal dari bahasa arab al haqq, yang secara etimologi mempunyai beberapa pengertian yang berbeda, di antaranya berarti: milik, ketetapan dan kepastian, menetapkan dan menjelaskan, bagian (kewajiban), dan kebenaran.


Contoh Al haqq diartikan dengan ketetapan dan kepastian terdapat dalam surat Yasin: 7








“Sesungguhnya telah pasti berlaku perkataan (ketentuan Allah) terhadap kebanyakan mereka, karena tidak beriman”.


Contoh Al Haqq diartikan dengan menetapkan dan menjelaskan tercantum dalam surat Al Anfal: 8:











“Agar Allah menetapkan yang hak dan membatalkan yang bathil”





Contoh Al Haqq diartikan dengan bagian (kewajiban) yang terbatas tercantum pada surat Al Baqoroh: 241








“kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan mut’ah oleh suaminya) menurut yang ma’ruf sebagai kewajiban bagi orang-orang yang bertaqwa”





Contoh Al Haqq diartikan dengan kebenaran sebagai lawan dari kebatilan tercantum dalam surat Yunus: 35








“Katakanlah: apakah diantara sekutu-sekutumu ada yang menunjuki pada kebenaran?”





Dalam terminologi fiqh terdapat beberapa pengertian Al Haqq yang dikemukakan oleh para Ulama Fiqhi, diantaranya menurut:


1.      Wahbah Al Zuhaily:








“Suatu hukum yang telah ditetapkan secara Syara”





2.      Syaikh Ali Al Kalif:








“kemashlahatan yang diperoleh secara Syara’ “


3.      Mustafa Ahmad Al Zarqa:








“kekhususan yang ditetapkan Syara’ atas suatu kekuasaan”


4.      Ibnu Nujaim:








“suatu kekhususan yang terlindung”.[2]





Menurut Hasbi Ash Shiddiqy, hak mempunyai dua makna yang asasi:


1.       














Sekumpulan kaidah dan nash yang mengatur atas dasar harus ditaati hubungan manusia sesama manusia, baik mengenai orang maupun harta”





2.       








“kekuasaan mengenai sesuatu atau sesuatu yang wajib atas seseorang bagi selainnya”.[3]


Defenisi hak secara umum mencakup hak-hak keagamaan seperti hak allah atas hambanya berupa sholat, puasa, dan sejenisnya, hak-hak keduniawian seperti hak kepemilikan, hak-hak adabiyah seperti hak seorang anak terhadap orang tua, serta kebendaan seperti hak nafkah.[4]


Menurut Wahbah Al Zuhaily, yang dikutip oleh Nasrun Haroen, depinisi yang komprehensif ialah yang dikemukakan Ibnu Nujaim dan Mustafa ahmad al Zarqa di atas, karena kedua definisi itu mencakup berbagai macam hak, seperti hak Allah terhadap Hambanya (sholat, puasa, zakat), hak-hak yang menyangkut perkawinan, hak-hak umum, seperti hak-hak negara, kehartabendaan, dan nonmateri seperti hak perwalian atas seseorang.[5]


Hak yang dijelaskan di atas adakalanya merupakan sulthah (kekuasaan) adakalanya berupa taklif (tanggung jawab).


1.      Sulthah terbagi dua, yaitu sulthah ‘ala nafsi dan ‘ala syaiin mu’ayyanin


Sulthah ‘ala nafsi ialah hak seseorang terhadap jiwa, seperti hak hadhanah (pemeliharaan anak).


Sulthah ‘ala syaiin mu’ayyin ialah hak manusia untuk memiliki sesuatu, seperti seseorang berhak memiliki sebuah mobil.


2.      Taklif adalah orang yang bertanggung jawab. Taklif adakalanya tanggungan pribadi (‘ahdah syakhsiyyah), seperti seorang buruh melaksanakan tugasnya, adakalanya tanggungan harta (‘ahdah maliyah), seperti membayar utang.


Para Fukaha berpendapat bahwa hak merupakan imbangan dari benda (a’yan), sedangkan Ulama Hanfiyah berpendapat bahwa hak bukanlah harta.[6]





C.    Macam-Macam Hak


1.      Dipandang dari segi pemilik hak, ada tiga macam:


a.      Hak Allah, yaitu hak yang ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah, mengagungkan dan melaksanakan syari’at-Nya, seperti ibadah, diantaranya sholat, puasa.


b.      Hak Manusia, yaitu hak yang bertujuan menjadi kemashlahatan perorangan, seperti menjaga kesehatan, memelihara anak dan harta, mewujudkan rasa aman.


c.       Hak Berserikat, yaitu hak yang berkumpul dua hak di dalamnya yaitu Hak Allah dan Hak Manusia. Dalam hak ini adakalanya hak Allah yang lebih dominan seperti iddah Thalaq, pada hak ini Allah menjaga percampuran keturunan dan hak yaitu untuk menjaga nasab anak-anak.[7]


2.      Dipandang dari segi objek hak, terbagi kepada:


a.      Hak al Maliyah (kebendaan) dan Hak ghairu al Maliyah (bukan kebendaan)


Hak kebendaan yaitu hak yang berkaitan dengan benda dan manfaatnya seperti hak penjual terhadap uang, hak pembeli terhadap barang. Hak bukan kebendaan yaitu hak yang berkaitan dengan selain benda seperti hak qisash.


b.      Hak Syakhsi dan Hak ‘aini


Hak Syakhsi yaitu suatu tuntutan yang ditetapkan syara’ untuk seseorang terhadap orang lain berupa tanggung jawab seperti tanggung jawab penjual untuk menyerahkan barang kepada pembeli dan tanggung jawab pembeli menyerahkan untuk menyerahkan barang.


Hak ‘Aini yaitu hak yang ditetapkan syara’ untuk seseorag terhadap suatu benda dengan zatnya sekaligus seperti hak kepemilikan.


Karakteristik Hak Syakhsi dan hak ‘Aini adalah:


·         Hak ‘aini mengikut pada pemiliknya, hak ‘aini merupakan hak yang terkait lansung dengan materi. Misalnya, harta seseorang dicuri kemudian pencuri ini menjual barang curiannya kepada orang lain, maka pemilik harta berhak meminta kembali haratanya walaupun sudah berada di tangan orang lain. Sedangkan hak syakhsi berkaitan dengan tanggung jawab. Misalnya, hak terhadap utang, walaupun materi utang pindah ke tangan orang lain, karena tanggung jawab bersifat tetap, kecuali dengan kehendak pemilik hak Syakhsi dengan akad kafalah dan akad hiwalah.


·         Hak ‘aini gugur dengan hancur atau binasanya materi, akad-akad yang terkait dengan hak ‘aini pun menjadi batal dengan sendirinya. Misalnya barang yang dijual hancur di tangan penjual sebelum serah terima dengan pembeli maka akad jual beli ini batal. Sedangkan hak syakhsi tidak akan gugur dengan hancurnya materi.


Pembagian Hak ‘Aini:


1.      Hak milkiyah, yaitu hak yang memberikan kepada pemiliknya hak kewenangan.


2.      Hak intifa’, yaitu hak memiliki manfaat sesuatu.


3.      Hak irtifaq, yaitu hak yang ditetapkan untuk memanfaatkan sebidang tanah.


4.      Hak irtihan, hak yang diperoleh dari harta yang digadai.


5.      Hak ihtibas, hak menahan suatu benda.


6.      Hak qarar, yaitu hak menetap di tanah wakaf.


Dari pembagian hak ‘aini di atas hak milkiyah dan hak irtifaq, termasuk kepada hak asli. Yaitu hak yang berdiri sendiri yang berwujud dengan adanya pemilikan harta terhadap benda. Pada hak asli pemilik hak boleh menggunakan hak, memproduktifkan hak, mentransaksikan benda tersebut.


Sedangkan yang termasuk kepada hak thabi’i yaitu hak yang tidak berdiri sendiri seperti hak irtihan. Pada hak thabi’i ini pemilik tidak boleh bertindak sesuka hatinya terhadap benda karena kekuasaannya terbatas, seperti hak irtihan penerima gadai hanya berhak menjual barang jaminan apabila penggadai tidak sanggup melunasi hutangnya.


c.       Hak murni (hak Mujarrad) dan Hak tidak murni (ghairu Mujarrad)


Hak mujarad adalah hak yang tidak meninggalkan bekas implikasi hukum apabila digugurkan melalui perdamaian dan pemaafan.


Hak ghairu mujarad adalah hak yang meniggalkan bekas implikasi hukum dengan menggugurkannya.[8]








D.    Berakhirnya Hak


Hak berakhir dan berpindah karena sebab yang telah ditetapkan syari’at yang dibedakan menurut ukuran dan jenis hak diantaranya adalah:


1.      Akad, seperti jual beli, maka hak akan berakhir dan pindah secara timbal balik dari penjual kepada pembeli.


2.      Wafat, akan berakhir  dengan kematiannya dan akan berpindah kepada ahli warisnya, begitu juga dengan utang piutang akan pindah kepada ahli warisnya.


3.      Hiwalah, tanggung jawab melunasi utang berpindah dari tanggungan orang yang berhutang dan berpiutang menjadi tanggung jawab orang yang menanggung.


4.      Hak anak berupa nafkah dari bapaknya berakhir karena kemampuan anaknya untuk berusaha.


5.      Hak manfaat berakhir  karena akad batal atau habis waktunya. Seperti hak sewa akan berakhir dengan hancurnya rumah sewaan atau habis waktu akadnya.


6.      Hak utang-piutang berakhir karena pelunasan utang atau pemaafan (pemilik piutang menggugurkan haknya dari orang yang berhutang.[9]






































BAB III


PENUTUP


A.    Kesimpulan


Hak yaitu, kekuasaan seseorang untuk menguasai sesuatu berupa benda dangan istilah lain kaedah yang mengatur tentang ornag dan benda yang harus ditaati orang lain. Ada juga yang menamakannya dengan taklif yang artinya tanggung jawab atas seseorang.


Dalam pembagian hak, ada yang dilihat dari segi pemilik hak yaitu ada Hak Allah, Hak manusia, hak berserikat. Ada yang dilihat dari segi objek hak yaitu hak maliyah, dan ghairu maliyah, hak syakhsi dan ‘aini dan hak mujarad dan ghairu mujarad.


Hak berakhir karena batalnya akad, kematian, hiwalah, sudah ada kemampuan untuk berusaha dan karena ada pemaafan.





B.     Saran


Makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan, oleh karena itu kami dari pemakalah mengaharapkan adanya kritikan dan saran demi kesempurnaan makalah ini.









































DAFTAR PUSTAKA


Ash shiddiqy, T.M Hasbi, Pengantar Fiqh Mu’amalah, cet. 2, (Jakarta, Bulan     Bintang, 1984)


Ghazaly, Abdul Rahman, Ghufron Ihsan, Sapiuddin Shidiq, Fiqh Mu’amalat, (Jakarta, Kencana, 2010)


Rozalinda, Fiqh Mu’amalah dan Aplikasinya Pada Perbankan Syari’ah, (Padang, Hayfa Press, 2005)







[1]               Ash shiddiqy, T.M Hasbi, Pengantar Fiqh Mu’amalah, cet. 2, (Jakarta, Bulan Bintang, 1984), hlm. 107




[2]               Ghazaly, Abdul Rahman, Ghufron Ihsan, Sapiuddin Shidiq, Fiqh Mu’amalat, (Jakarta, Kencana, 2010), hlm. 45-46




[3]               Ash Shiddiqy, T.M. Hasbi, Op. Cit, hlm. 108




[4]               Rozalinda, Fiqh Mu’amalah dan Aplikasinya Pada Perbankan Syari’ah, (Padang, Hayfa Press, 2005), hlm. 10




[5]               Ghazaly, Abdul Rahman, Ghufron Ihsan, Sapiuddin Shidiq, Op. Cit., hlm. 46




[6] Ibid., hlm. 48




[7] Rozalinda, Op. Cit., hlm. 15




[8] Ibid, hlm. 14-16






0 komentar:

Posting Komentar