Minggu, 06 Januari 2013

hadis ahkam-Kajian Kitab Hadis - Mustadrak al Hakim


MAKALAH

HADIS AHKAM

Tentang
Kajian Kitab Hadis - Mustadrak al Hakim


“Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Hadis Ahkam”






Oleh :
HANDAYANI
BP: 310. 006



Dosen Pembimbing :
KHOLIDA. MA


JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM (PMH)
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IAIN IMAM BONJOL PADANG
1432 H / 2011 M

BAB I
PENDAHULUAN

Kodifikasi hadis telah dimulai pada akhir abad pertama hijrah terutama oleh Ibnu syihab al-Zhuhri (w, 124 H/742 M), Namun usaha kodifikasi hadis baru sangat gencar dilakukan oleh ulama hadis pada abad ke-2 dan ke-3 Hijrah, Pada abad kedua kitab hadis paling populer adalah kitab al-Muwaththa` susunan Imam Malik ibn Anas (w, 179 H/795 M), Kemudian pada abad ke-3 H, kodifikasi hadis mengalami masa puncaknya, Pada masa ini bermunculan sejumlah ulama hadis terkenal sebagai penyusun kitab hadis,[1] Walaupun abad ke-3 ini merupakan puncak penyusunan kitab hadis, namun ternyata kitab-kitab hadis itu terutama kutub al-sittah belum dapat menampung, merangkum dan menampilkan semua hadis Nabi baik kuantitas maupun kualitasnya, [2]
Salah seorang pakar hadis yang menarik pada abad ke-4 H ini adalah al-Hakim al-Naysaburi dengan karya monumentalnya al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain, karena kontroversi sekitar dirinya baik pada sosok pribadinya[3], metodenya maupun pada kitab hadis yang disusunnya, al-Mustadrak,
Pertanyaan yang cukup serius adalah pada kitab al-Mustadrak-nya, kalau ia menggunakan kriteria shahihain dalam al-Mustadrak, maka kitab tersebut dapat dinilai setara bahkan melebihi shahihain(shahihBukhari dan Muslim), namun mengapa al-Mustadrak justru dinilai jauh tingkatnya dibanding shahihain padahal ia menggunakan syarat shahihain? Makalah ini akan mencoba sedikit menguraikan tentang Al Hakim dan kitabnya tersebut.


















BAB II
PEMBAHASAN
Kajian Kitab Hadis - Mustadrak al Hakim

A. Sekilas Biografi Al-Hakim
Nama lengkap al Hakim adalah al-Hafizh Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Hamdun bin Hakam bin Nu'aim bin al-Bayyi' al-Dabi al–Tahmani al-Naisaburi. Beliau dilahirkan di Naisabur pada hari senin 12 Rabiul awal 321 H, dan wafat pada tahun 405 H, Beliau sering disebut dengan Abu Abdullah al-Hakim al-Naisaburi atau Ibn al-Bayyi' atau al-Hakim Abu Abdullah,[4]Ayah al-Hakim, Abdullah bin Hammad bin Hamdun adalah seorang pejuang yang dermawan dan ahli ibadah yang sangat loyal terhadap penguasa bani Saman yang menguasai daerah Samaniyyah.
Dalam catatan sejarah daerah Samaniyah pada abad ke 3 telah melahirkan ahli hadits ternama diantaranya Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Abu Daud, al-Tirmidzi, al-Nasa'I, dan ibn Majah, Di tempat inilah al-Hakim dilahirkan dan dibesarkan, Kondisi sosiokultural ini yang mempengaruhi al-Hakim sebagai seorang pakar hadits abad 4 H, Pada usia 13 tahun (334 H), ia berguru pada ahli hadits Abu Hatim Ibn Hibban dan ulama-ulama yang lainnya, Al Hakim melakukan pengembaraan ilmiah ke berbagai wilayah, seperti Iraq, Khurasan, Transosiana, dan hijaz, Rihlah ilmiah yang dilakukannya untuk mendapat sanad yang bernilai 'ali (tinggi), nampakknya al-Hakim ingin menerapkan pandangan al-Bukhari, Al-Hakim telah mensyaratkan tatap muka dengan guru dalam penerimaan riwayat hadits, meski hanya sekali,[5] Dalam perjalanan hidupnya yang berlangsung selama 84 tahun, al Hakim telah melakukan banyak kontribusi dalam bidang hadis melalui karya fonumentalnya al Mustadrak ala Sahihain namun sebelum menuntaskan kajiannya, beliau yelah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa pada tanggal 3 bulan Safar tahun 405 H,
Guru dan Muridnya: Diperkirakan jumlah guru al-Hakim mencapai kurang lebih 1000 orang, diantaranya selain ayahnya sendiri al-Mudzakkir, al-A’sham, al-Syaibani, ar-Razi, al-Masarjisi, al-Hirri, Ibnu Hibban, al-Daruquthni dan Abu Ali al-Naisaburi, dll, Murid di sini bisa diartikan sekaligus sebagai pengagum dan atau mitra dialognya, seperti al-Daraquthni, al-Fawari, al-Wasithi, al-Hiwari, Abu Ya’la al-Khalili, Abu Bakr al-Baihaqi dan al-Atsram, Al-Hakim tidak secara transparan mencontoh al-Daruquthni (mitra diskusinya) dan Ibnu Hibban (gurunya), justru shahihain (Bukhari dan Muslim-yang hidup tidak sezaman dengannya) yang secara tegas dinyatakan sebagai contoh[6].
Karya-karya Al Hakim diantaranya: Al Arba’in, Al Asma` Wa Al Kuna, Al Iklil fi Dalail An-Nubuwwah, Amali Al ’Asyiyyat, Al Amali,Tarikh Naisabur,Ad-Du’a, Su`alat Al Hakim li Ad-Daraquthni fi Al Jarh wa At-Ta’dil, Su`alat Mas’ud As-Sajzi li Al Hakim, Adh-Dhu’afa’, Ilal Al Hadits, Fadhail Fathimah, Fawa`id Asy-Syuyukh, Ma Tafarrada bihi Kullun min Al Imamain, Al Madkhal ila ’Ilmi Ash-Shahih, Al Madkhal ila Ma’rifati Al Mustadrak, Muzakki Al Akhbar, Mu’jam Asy-Syuyukh, Al Mustadrak ala Ash-Shahihain (kitab Ini), Ma’rifah Ulum Al Hadits, Al Ma’rifah fi Dzikri Al Mukhadhramin, Maqtal Al Husain, Manaqib Asy-Syafi'i.[7]
B. Situasi Politik Pada Zaman al Hakim
Al-Hakim hidup pada masa dunia Islam diliputi oleh ketidakpastian karena ketidakstabilan politik dan ekonomi yang sering mengganggu kehidupan masyarakat, bahkan sering mengganggu bidak intelektual. Negara Islam yang membentang luas dari Andalus disebelah barat Baghdad sampai Transoxiana di sebelah timurnya, berkeping-keping menjadi berbagai kekhalifahan dan kesultanan. Terdapat sisa-sisa kejayaan kekhalifahan bani Umayah di Andalus, kekhalifahan Fatimiyah di Mesir dan kekhalifahan Bani Abbas di Baghdad merupakan bukti konkret dari pecahnya dunia Islam waktu itu.[8] Ketika al-Hakim hidup di dua kekhalifahan yaitu Mesir dan Baghdad yang penduduk mayoritas Sunni, para penguasa temporalnya bermadzhab Syi’ah. Mesir dikuasai oleh Syi’ah Sab’iyah dan Baghdad dikuasai oleh Syi’ah Itsna ‘Asyariyah.
Penguasa spiritual Baghdad yang Sunni, hanyalah simbol dan tidak memiliki kekuasaan apapun untuk melaksanakan kebijakan-kebijakannya.Walaupun masyarakat di kedua kekuasaan tersebut mayoritas Sunni, tetapi karena penguasanya Syi’ah, mau tidak mau para penguasa Syi’ah tersebut akan melaksanakan kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan kehendaknya. Pada masa ini, al-Hakim pernah diangkat menjadi pegawai pemerintah, namun ketika ia diangkat sebagai Hakim di Jurjan, al-Hakim menolaknya. Kekuasaan Bani Saman, karena pertikaian internal, akhirnya dijatuhkan oleh Ghaznawi. Disebutkan bahwa penulisan al-Mustadrak berlangsung pada masa transisi; peralihan kekuasaan dari Dinasti Saman ke Dinasti Ghaznawi yang penguasanya beraliran Syiah Ismailiyyah.[9]Menurut beberapa ulama al Hakim pernah tertuduh mengikuti aliran syi’ah, namun ada beberapa ulama’ yang membantah tuduhan tersebut.[10]
Banyak ulama yang memuji Abu Abdillah Al Hakim. Inilah komentar sebagian ulama tentang Al Hakim: Al Khathib berkata, “Dia termasuk orang yang terhormat, berilmu, berwawasan luas, dan ahli hadits. Dia banyak mengarang buku-buku tentang hadits.” Abdul Ghafir bin Ismail berkata, “Dia pemimpin ahli hadits pada masanya, dan benar-benar pakar di dalamnya.” Dia melanjutkan, “Rumahnya adalah rumah kebaikan, wara’,dan ilmu dalam Islam.” Dia juga berkata, “Aku pernah mendengar guru-guru kami menyebut-nyebut saat-saat hidupnya. Mereka menuturkan bahwa para seniornya yang semasa dengannya, seperti Abu Sahal Ash-Sha'luki, Imam Ibnu Faurak, dan Imam-Imam lainnya telah mengutamakannya atas diri mereka. Mereka benar-benar mengakui kelebihannya dan menghormatinya."
Muhammad bin Thahir Al Hafizh berkata, "Aku pernah bertanya kepada Mas’ad Az-Zanjani Al Hafizh di Makkah, 'Ada empat ahli hadits yang hidup sezaman, lalu siapakah di antara mereka yang paling ahli'?” Ia balik bertanya, 'Siapa saja mereka?' Aku menjawab, 'Ad-Daraquthni di Baghdad, Abdul Ghani di Mesir, Abu Abdillah bin Mandah di Asfahan, dan Abu Abdillah Al Hakim di Naisabur'. Dia pun terdiam, lalu berkata, Ad-Daraquthni adalah orang yang paling mengetahui ilal, Abdul Ghani adalah orang yang paling mengetahui nasab, Ibnu Mandah adalah orang yang paling banyak haditsnya dengan pengetahuan yang sempurna, sementara Al Hakim adalah orang yang paling bagus karyanya'.” [11]

C. Kitab Al Mustadrak ala Shahihain
1. Latar Belakang Penulisan Kitab
Al Hakim tidak secara eksplisit menyebutkan tentang latar belakang penulisan kitab al Mustadrak ala Shahihain, yang mulai disusun pada tahun 373 H (ketika beliau berusia 52 tahun). Namun secara implisit bisa terekam nahwa inisiatif penulisan tersebut berangkat dari dua faktor, yaitu internal dan eksternal. Faktor internalnya adalah ketika al Hakim berasumsi bahwa masih banyak hadis shahih yang berserakan, baik yang belum dicatat oleh para ulama maupun yang sudah tercantum dalam beberapa kitab hadis yang sudah ada. Disamping penegasan dari pengarang kitabShahihain yaitu Bukhari dan Muslim bahwa tidak semua hadis shahih telah terangkum dalam kitab Shahih-nya. Dua hal tersebut yang mendorong al Hakim menyusun kitabnya berdasarkan kaedah ilmu dalam menentukan keabsahan sanad dan matan.
Sementara faktor eksternalnya adalah, kitab al Mustadrak disusun karena kondisi politik, intelektual dan ekonomi yang terjadi pada saat itu. Dari segi politik, pada abad 4 H (disebut masa-masa disintegrasi), wilayah Islam terpecah ke dalam 3 kekuasaan besar yakni Bani Fatimiyah di Mesir, Bani Umayah di Cordiva, dan Bani Abasiyah di Baghdad, ketiganya saling bermusuhan. Keadaan seperti tidak ini menyebabkan para intelektual lelah untuk menghasilkan karya. Pada saat kitab al Mustadrak ditulis, pada saat itu al Hakim berada dalam masa transisi Sinasti Samani (yang bermadzhab Syiah) ke dinasti Ghaznawi (yang bermadzhab Sunni). Walaupun secara garis besar pada abad ke 4 H ini dunia intelektual Islam mengalami kemerosotan dibanding pada abad ke 3 H, namun hal ini membuat al Hakim justru terpacu semangatnya untuk menghasilkan karya.[12]
2. Penamaan Kitab
Kitab karya al Hakim dinamakan al mustadrak yang artinya ditambahkan atau disusulkan atas al Shahihain[13]Al Hakim menamakan demikian kerena berpendapat bahwa hadis-hadis yang terdapat dalam kitabnya memenuhi kriteria yang terdapat dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim, sedangkan hadis tersebut belum tercantum dalam kitab Shahih Bukhari maupun Muslim. Dengan demikian kandungan kitab al Mustadrak dapat kita klasifikasikan menjadi 4 kemungkinan: (a). Hadis-hadis yang tercantum dalam al-Mustadrak tidak ada dalam shahihain, baik lafal maupun makna, tetapi terdapat pada kitab lain. (b). Hadis-hadis yang terdapat dalam al-Mustadrak lafalnya berbeda dengan hadis yang ada dalam shahihain tetapi maknanya sama. (c). Hadis-hadis dalam al-Mustadrak melengkapi lafal hadis yang ada dalamshahihain. (d). Hadis-hadis yang tercantum dalam al-Mustadrakmenggunakan sanad yang tidak digunakan dalam shahihain.[14]
3. Isi Kitab
Kitab al-Mustadrak‘ ala al-Shahihain (disingkat al-Mustadrak) dalam versi terbaru yang diterbitkan oleh Maktabah Nizar Mushthafaal-Baz Makkah al Mukarramah (Riyadh) pada tahun 2000 (cetakan pertama) sebanyak 10 jilid (4051 halaman) yang terdiri dari 8 jilid kandungan hadis-hadis al-Mustadrak (3160 halaman) dan 2 jilid (halaman 3161-4051) yang berisi fihris -fihris(al-Faharis al-Fanniyyah li al-Kitab).[15]
Bagian 2 jilid al-Faharis ini terdiri 4 bagian yaitu: (a). Fihris awa`il al-ahadits, bagian ini berisi indeks matan hadis yang pendek yang lafal pertamanya atau huruf awal hadisnya berdasarkan urutan huruf hija`iyyah. Setiap hadis disertai dengan nama rawi awal (sahabat) dan nomor hadis sera nomor jilid. (b).Fihris al-a’lam li al-shahabah wa al-tabi’in, bagian ini berisi indeks nama-nama sahabat dan tabi’in yang terdapat dalam rangkaiansanad hadis-hadis al-Mustadrak. (c). Fihris al-rijal al-ladzina takallama fihim al-Imam al-Dzahabi fi al-Talkhish Jarh wa ta’dil, bagian ini berisi indeks para rawi dalam al-Mustadrak yang dinilai oleh al-Dzahabi baik cacat (jarh) maupun ‘adil-nya. (d). Al-mu’jam al-lafzhi murattab hija`iyya. Bagian ini berisi panduan mencari (mentakhrij) hadis-hadis al-Mustadrak yang disusun berdasarkan kata dasar. Urutan kata dasar disusun berdasarkan urutan huruf hija`iyyah, kemudian disebutkan pula nomor hadis dan nomor jilid.
Kandungan hadis Kitab al-Mustadrak menurut versi terbaru ini berjumlah 8803 hadis yang tersebar dalam 8 jilid dengan 51 topik bahasan (kitab). Sistematika isi al-Mustadrakadalah sebagai berikut:
No.
Nama Topik (kitab)
No.
Nama Topik (kitab)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
Kitab al-iman (
Kitab al-‘ilm
Kitab al-thaharah
Kitab al-shalah
Kitab al-jum’ah
Kitab shalat al-‘aydayn
Kitab al-witr
Min kitab al-tathawwu’
Kitab al-sahwi
Kitab al-istisqa`
Kitab al-kusuf
Kitab shalat al-khawf
Kitab al-Jana`iz
Kitab al-zakah
Kitab al-shawm
Awwal kitab al-manasik
Kitab al-du’a` wa al-takbir
Kitab fadha`il al-Qur`an
Kitab al-buyu’
Kitab al-jihad
Kitab qism al-fay`
Kitab qatl ahl al-baghy
Kitab al-nikah
Kitab al-thalaq
Kitab al-‘itq
Kitab al-makatib
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
Kitab al-tafsir
Kitab tawarikh al-mutaqaddimin
Kitabal-hijrah
Kitab al-maghazi wa al-saraya
Kitab ma’rifah al-shahabah
Kitab al-ahkam
Kitab al-ath’imah
Kitab al-asyribah
Kitab al-birr wa al-shilah
Kitab al-libas
Kitab al-thibb
Kitab al-adhaha
Kitab al-dzaba`ih
Kitab al-tawbat wa al-inabah
Kitab al-adab
Kitab al-ayman wa al-nudzur
Kitab al-nudzur
Kitab al-riqaq
Kitab al-fara`idh
Kitab al-hudud
Kitab ta’bir al-ru`ya
Kitab al-thibb
Kitab al-ruqy wa al-tama`im
Kitab al-fitan wa alm,alahim
Kitab al-ahwal
Perbedaan kitab ini dengan para penyusun kitab sunan danmusnad terletak pada ungkapan yang tegas bahwa hadis yang tercantum dalam al-Mustadrak memenuhi syarat Shahihain,[16]tetapi Shahihain (Bukhari dan Muslim) tidak men-takhrij-nya atau dengan ungkapan hadis ini shahih al-isnadMeskipun demikian, tidak selamanya al-Hakim menyatakan hadis yang tercantum di dalam kitabnya secara eksplisit memenuhi syarat Shahihain.
Tertib susunan bab al-Mustadrak, mengikuti pola susunan Bukhari dan Muslim dalamshahih mereka, karena itu kitab al-Mustadrak termasuk kitab hadis al-jami’, yaitu kitab hadis yang memuat berbagai studi Islam yang meliputi bidang akidah, syari’ah dan akhlak. Selain itu di dalamnya terdapat berbagai hal yang berkaitan dengan tarikh, tafsir, sirah Nabi, sahabat, maghazi, peristiwa masa silam dan lain-lain. Jumlah hadis dalam al-Mustadrakdiperkirakan sebanyak 8690 hadis (berbeda dengan jumlah hadis pada al-Mustadrak versi terbaru di atas) dan 7248 hadis di dalam talkhis-nya.
Jika hadis-hadis dalam al-Mustadrak itu diklasifikasi berdasarkan tema-temanya maka jumlahnya dapat dirinci sebagai berikut: akidah 251 hadis, ibadah 1277 hadis, hukum halal-haram 2519 hadis, tarikh para rasul 141 hadis, biografi sahabat Nabi 1218 hadis, takwil mimpi 32 hadis, pengobatan dan jampi-jampi 73 hadis, huru-hara dan peperangan 347 hadis, hari kiamat 111 hadis, peperangan Nabi 233 hadis, berkaitan dengan tafsir 974 hadis danfadha`il al-Qur`an 70 hadis.[17]
Syarat hadis shahih menurut al Hakim, tidak berbeda dengan para ulama hadis, yaitu sanad-nya muttashilrawi-nya ‘adildhabitdan tidak syadz serta tidak ada‘illah. Perbedaannya hanya pada masalah tasyaddud dan tasahul serta kriteria minornya seperti tentang konsep ‘adalah dimana al-Hakim menetapkan syarat ‘adilitu ada tiga yaitu beragama Islam, tidak berbuat bid’ah dan tidak berbuat maksiat.[18]
D. Metode dan Kriteria al-Hakim
Seorang ulama mesti mempunyai metode atau tersendiri dalam menentukan kesahihan hadis, termasuk al-Hakim dalam kitabnya al Mustadrak. Diantara metode dan kriteria beliau disebut dengan ijtihad artinya dalam menentukan kesahihan hadis diperlukan suatu ijtihad. Prinsip seperti ini bukanlah yang terbaru, karena al Ramahurmuzy dan beberapa ulama hadis lain pernah memakai konsep ini sebelumnya.
Secara tegas al Hakim membagi konsep ijtihadnya ke dalam 4 poin, yakni: (a). Rawi yang tsiqah. Perkataan tsiqah dapat diartikan sebagai kemampuan hafalan yang sempurna atau dapat diartikan juga sebagai gabungan antara ‘adalah rawi dandhabith-nya.Jadi al-Hakim termasuk orang yang tidak menyukai rawi yang tidak ‘adildan dhabith. (b). Bi mitslihaIni bermakna al-Hakim menggunakanrijal al-Shahihain atau orang-orang yang benar-benar mengacu pada orang-orang yang menjadi persyaratan shahihainAda juga yang menyebutkan bahwa ungkapan itu bukan saja bermakna rijal shahihain tetapi juga bisa bermakna sifat-sifat yang sama denganrijal yang digunakan olehshahihain (rijal keduanya atau sendiri-sendiri) walaupun bukan rijal shahihain seperti kemasyhuran, keteguhan, keadilan rawi dan lain-lain. (c). Kriteria fuqaha`.Dalam Ijtihadnya al-Hakim menentukan kriteria bahwa hadis yang dihimpunnya, jika sudah diriwayatkan oleh orang yang tsiqah dan sudah memenuhi kriteria Bukhari dan Muslim atau salah seorang daripadanya berarti memenuhi kriteria fuqaha`Islam. Namun masalahnya adalah apakah al-Hakim menggunakan standar ganda dalam hal ini, karena menurut sebagian ulama ada perbedaan antara ahli fiqih dan ahli hadis dalam menetapkan suatu hadis. Ahli hadis cenderung lebih ketat dalam menentukan status hadis sementara ahli fiqih lebih longgar. (d). Ziyadah al-tsiqah. Hadis yang diterima para rawi seringkali melalui berbagai jalan periwayatan atau sanad, namun bila ada seorang rawi yang sendirian dengan disertai suatu “ungkapan atau perkataan” tambahan yang tidak terdapat pada hadis yang diriwayatkan rawiyang lain padahal masih diambil dari guru yang sama, maka hadis itu dinamakan ziyadah al-tsiqahAl-Hakim juga kalangan ahli fiqih menerima konsep ini sementara ahli hadis lain menolaknya.
Al Hakim membagi hadis menjadi 2 bagian saja, yaitu shahih dan dhaif (hadis hasan tidak termasuk). Hadis shahih itupun bertingkat-tingkat, ada yang disepakati ke-shahih-annya dan ada pula yang tidak disepakati. Dari ungkapan hadis yang tidak disepakati ke-shahih-annya itulah antara lain hadis hasantermasuk dalam kategori hadis shahih. Konsep hadis shahih danhasan menurut al-Hakim tidak sama dan tidak sebanding dengan konsep shahih dan dha’if menurut ulama lainnya. Artinya shahihdan dha’if menurut al-Hakim berbeda dengan ulama lain meskipun istilah teknis yang dipakai sama. Hadis yang dianggap hasan oleh ulama lain dimasukkan ke dalam kategori hadis shahih atau dalam ungkapan al-Hakim disebut shahih al-isnad. Sementara hadisdha’if yang palsu atau mawdhu’ dalam tingkatan hadis al-Hakim ada yang termasuk hadis mawdhu’ yang dapat dipergunakan. [19]
E. Status Hadis dalam kitab Al Mustadrak
1. Klasifikasi Berdasarkan Syarat Rawi
Hadis yang diakui ke-sahih-annya secara mutlak oleh al-Dzahabi dalam al-Mustadrak berjumlah 1930 hadis. Semua hadis itu ada yang eksplisit memenuhi kriteria shahihain, memenuhi al-Bukhari saja, memenuhi kriteria Muslim saja, ada yang secara eksplisit tidak disebutkan tetapi memenuhi kriteria (shahih al-isnad), dan ada juga yang tidak dinilai sama sekali oleh al-Hakim.
Klasifikasihadis al-Mustadrak berdasarkan rawidapatdikelompokkan dalam lima bagian sebagaimana terurai di bawah ini[20] :
a. Pertama, Hadis yang sesuai dengan syarat shahihain. Hadis yang memenuhi kriteria al-Bukhari dan Muslim dinyatakan oleh al-Hakim sebagai: صحيح على شرط الشيخين ولم يخرجاه هـذا حديث (hadis ini memenuhi persyaratan shahihain tetapi mereka tidak meriwayatkannya). Hadis yang memenuhi kriteria ini berjumlah 985 hadis. Al-Hakim sering menyebut hadis dalam klasifikasi ini dengan “’ala syarthihima” (sesuai dengan syarat keduanya).[21]
b. Kedua, hadis yang sesuai dengan syarat al-Bukhari saja. Hadis yang memenuhi kriteria al-Bukhari dinyatakan oleh al-Hakim dengan ungkapan: هـذا حـديـث عـلى شرط البخارى ولم يخرجاه (hadis ini berdasarkan syarat al-Bukhari namun mereka tidak meriwayatkannya).[22]
c. Ketiga, hadis yang sesuai dengan syarat Muslim saja. Hadis yang sesuai dengan syarat Muslim dinyatakan oleh al-Hakim dengan ungkapan, حـديـث عـلى شرط مسلم ولم يخرجاه هـذا (hadis ini shahih berdasarkan syarat Muslim tetapi mreka tidak meriwayatkannya).[23]
d. Keempat, hadis yang sesuai dengan syarat al-Hakim. Hadis yang sesuai dengan syarat al-Hakim sendiri dinyatakan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak dengan ungkapan, هـذا حـديـث صحيح الاسـناد ولم يخرجاه(hadis ini shahih sanad-nyadan al-Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya). Berdasarkan penilaian ulama, hadis yang dinilai shahih sanad-nya ini dibiarkan oleh al-Hakim untuk sementara, ia sendiri bermaksud menelitinya kembali namun ia wafat sebelum melaksanakan maksudnya. [24]
e. Kelima, hadis yang tidak dinilai oleh al-Hakim. Terdapat Sejumlah hadis dalam al-Mustadrak yang tidak dinilai oleh al-Hakim. Hadis-hadis yang tidak dinilai oleh al-Hakim ini jumlahnya banyak sekali. Pada jilid empat (versi lama) al-Mustadrak saja terdapat 280 hadis yang tidak dinilai oleh al-Hakim. Nampaknya, al-Hakim ingin melakukan evaluasi ulang terhadap hadis-hadis ini namun kematiannya menghentikan proses dan upayanya ini. Sejumlah hadis yang tidak dinilai oleh al-Hakim ini ada yang shahih dan ada yang tidak shahihmenurut penilaian ulama hadis selanjutnya.[25]
2. Klasifikasi Hadis Berdasarkan Kualitas Rawi
Al-Dzahabi menggunakan 63 istilah jarh (cacat) terhadap hadis yang terdapat dalam al-Mustadrak. Ini menunjukkan bahwa hadis yang tecantum di dalamnya banyak yang rusak. Rawi yang berstatus jarh sampai ke tingkat mawdhu’terdapat pada setiap jilid al-Mustadrak.
Pada jilid I, dari 1805 hadis terdapat 45 hadis yang diduga lemah dengan menggunakansighat mawdhu’ (palsu), munkar(ditolak), matruk(rawi tertuduhdusa) dan laysa tsabit (tidak konsisten). Pada jilid II ada 66 hadis yang tidak layak digunakan.Shigat yang dipakai untuk menunjukkan kelemahan hadisnya adalah mawdhu’, matrukkadzdzab (pendusta), kana yadha’u al-hadits (dia pemalsu hadis), la ‘arifu jayyidan (aku tidak mengenalnya dengan baik), la yu’raf (tidak dikenal), bathil (hadis batil) dan lam yashihhu (dia tidak men-shahih-kannya). Pada jilid III terdapat 47 hadis yang tidak layak digunakan. Ungkapan yang digunakan adalah mawdhu’, qabbaha Allahu Rafidhiyyan iftarau’, ahsibu mawdhu’an (aku menduga palsu), wa azhunnu mawdhu’an(aku kira palsu), syibhu mawdhu’ (sepertinya palsu), ayna shihhah wa haramun fihi, munkar dan matruk.
Pada jilid IV terdapat 109 hadis yang dinilai lemah, lafal yang digunakan untuk menunjukan kelemahan itu adalah la ashla lahu(tidak ada dasarnya), halik(rusak), la ihtajja bihi ahadun (tak ada yang berhujjah dengannya), la hujjata (tidak bisa dijadikan hujjah), matruk, mawdhu’, munkar, muttaham talif (tertuduh dusta lagi rusak) dannazharun (dipertimbangkan lagi). Secara keseluruhan hadis yang dianggap tidak layak dan memiliki kelemahan fatal ada 267 hadis dari 8690 hadis dalam al-Mustadrak (atau kalau dalam prosentase sekitar 3,072%).[26]
Dari jumlah itu hadis shahih pada al-Mustadraksebenarnya masih jauh lebih banyak dari jumlah hadis yang dinilai lemah dan tidak layak. Secara ringkas penilaian Al-Dzahabi terhadap hadis-hadis al-Mustadrak adalah ada 87 hadismawdhu’munkar 101 hadis, matruk 60 hadis dan dha’if mencapai 930 hadis. Namun ada 359 hadis yang tidak dinilai sama sekali oleh al-Dzahabi.[27]Di atas telah disebutkan bahwa terdapat 87 hadis yang dianggapmawdhu’ dalam al-Mustadrak. Dari 51 topik dalam 4 jilid al-Mustadrak, topik yang mengandung hadis mawdhu’adalah sebagai berikut: (a).Sejarah rasul, sahabat, hijrah dan peperangan berisi 41 hadis mawdhu dari 1637 hadis. (b). Tafsir berisi 10 hadismawdhu’ dari jumlah 1063 hadis. (c). Sejarah Nabi pada masa lalu memiliki 6 hadismawdhu` dari 252 hadis. (d). Riqaq memiliki 5 hadis mawdhu’ dari 334 hadis. (e). Al-fitan wa al-malahimmemiliki 5 hadis mawdhu’ dari 334 hadis (f). Salat ada 4 hadis dari 305 hadis. (g). Pengobatan Nabi ada 3 hadis dari 130 hadis.(h). Makanan ada 2 hadis dari 114 hadis. Selain itu ada 11 topik yang masing-masing memiliki satu hadis mawdhu’ (jadi ada 11 hadismawdhu’), 11 topik tersebut adalah: ‘idayn (dari 28 hadis),tathawwu’ (dari 47 hadis), doa-doa (dari 207 hadis), fara`id (dari 67 hadis), hudud (dari 130 hadis), buyu’ (dari 215 hadis), nikah (dari 105 hadis), jihad (dari 193 hadis), memerangi pemberontak (dari 26 hadis), fadha`il al-Qur`an (dari 67 hadis) dan ahwal (114 hadis).[28]
F. Penilaian Para Ulama’ Terhadap kitab al Mustadrak Al Hakim
Al Mustadrak yang dipandang sebagai karya monumental tidak lepas dari kritik yang menyanggung dan kritik yang menghujat. Pujian yang ditujukan kepada al-Hakim, terbukti dari gelar yang dinisbahkan kepadanya oleh para muridnya dan oleh para ahli hadithsemasa dan sesudahnya, yakni dengan menyebut al-Hakim sebagai al-Hafidz al Kabir, al-Naqid, al-Shaikh al-Muhadditsin, dan sebagainya. Sedangkan di antara ulama yang menghujat adalah:
a. Al-Baihaqi yang merupakan murid al-Hakim,tidak sepakat sepenuhnya bahwa al-Mustadrak merangkum hadis yang memenuhi syarat shahihahin (Bukahri Muslim).
b. Abu Sa’id al-Malini (w.412 H) mengatakan bahwa dalam al-Mustadrak tidak ada hadith shahih yang memnuhi syaratshahihahinSebagaimana pernyataannya: “Aku telah meneliti al-Mustadrak dari awal sampai akhir, dan ternyata tidak ada satupun hadith yang memenuhi persyaratan shahihahin.
c. Al-Dzahabi, meski juga mengkritik al-Hakim, tetapi menganggap hujatan al-Malini terlalu berlebihan. Berdasar penelitian al-Dzahabi, kursng lebih setengahnya yang memenuhi persyaratan Bukhari Muslim, Bukhari atau Muslim saja.
d. Muhammad bin Tahir menilai al-Hakim rafidi khabith(Pengikut Syi’ah Rafidah yang jahat), pura-pura Sunni, padahal pengikut Ali yang fanatik dan tidak menyukai Muawiyah.
e. Abdullah Ismail bin Muhammad al-Anshari menilai al-Hakim adalah rawi yang tsiqqahfaqih, hafdizhujjah,rafidih khabith.
Secara global pada umumnya para ulama’ hadith semasa dan pasca al-Hakim banyak mengkritik kelonggaran al-Hakim dalam menilai keshahihan suatu hadith. Juga berdasarkan penelitian al-Z{ahabi yang melihat al-Hakim seringkali melakukan kekeliruan, semisal dinyatakan sesuai syarat shahihahin, padahal setelah diteliti sesuai syarat Bukharsaja.[29]







BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Uraian di atas menunjukkan bahwa al-Mustadrak masih jauh dibanding dengan shahihain ,walaupunal-Hakimmengaplikasikan syarat syaykhayn dalam al-Mustadrak. Hal ini disebabkan karena standar ganda yang digunakan secara konsisten oleh al-Hakim dalam menilai hadis. Ia bersikap tasyaddud pada bidang akidah dan ibadah, tetapi tasahul pada bidang tarikh, biografi sahabat,fadha`il al-‘amal dan lainnya, akibatnya apa yang dinilai shahih oleh al-Hakim bisa dinilaidha’if bahkan palsu oleh ulama lain.
2. Selain itu, dalam beberapa kasus, al-Hakim dinilai tidak tepat dalam mengaplikasikan syarat syaykhayn. Alasan lainnya adalah sebagian hadis hanya dinilai berdasarkan syarat al-Hakim sendiri (bukan berdasarkan syarat syaykhayn) dan ada pula hadis yang belum dinilai sama sekali. Yang lebih parah adalah dalam al-Mustadrakterdapat hadis-hadis yang tidak layak karena sangat lemah dan palsu. Fakta ini menunjukkan bahwa kualitas al-Mustadrak tidak dapat disejajarkan dengan al-shahihain, karena al-shahihain hanya berisi hadis yang berkualitas shahih. Walaupun beberapa sisi lemah ini mempengaruhi kualitas dan peringkat al-Mustadrak, namun jumlah hadis shahih dalam al-Mustadrak masih jauh lebih banyak dibanding hadis yang tidak layak. Karena itu, kitab hadis ini tetap menjadi referensi hadis yang penting sebagaimana kitab-kitab hadis lainnya.
B. Kritik dan Saran
Pembahasan kitab hadis Mustadrak memang sangat menarik untuk dikaji terutama bagi yang ingin menelusuri kandungan hadis yang ada di dalamnya, sekaligus untuk mengetahui kehujjahan hadisnya. Selanjutnya dalam pengerjaan makalah ini penulis telah berusaha maksimal, tetapi karena keterbatasan waktu dan kemampuan, kami sadar bahwa makalah ini sangat jauh dari kata sempurna. Untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan demi tersempurnanya makalah ini di kemudian hari.






DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman , Pergeseran Pemikiran Hadis Ijtihad Hakim dalam Menentukan suatu Hadis (Jakarta: Paramadina, 2000)
Al Hakim dan Al Mustadrak artikel dalamwww.kembalikefitrah.blogspot.com)
Nurun Najwah Al Mustadrak ala Shahihain al Hakim (dalam buku Studi Kitab Hadis, Yogakarta: TERAS, 2009


[1] Seperti Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H/855 M), al-Bukhari (w. 256 H/870 M), Muslim (w. 261 H/875 M), Abu Dawud (w. 316 H/888 M), al-Tirmidzi (w. 279 H/892 M), al-Nasa`i (w. 302 H/916 M), Ibnu Majah (w. 273/886 M), al-Darimi (w. 280 H/869 M), Ibnu Khuzaymah (w. 311 H/883 M) dan lain-lain. Pada masa inilah kutub al-sittah menjadi kitab hadis yang paling populer.
[2] Karena itu pada abad ke-4 gerakan penyusunan kitab hadis terus berlanjut. Pada masa ini muncul sejumlah ulama hadis seperti al-Daruquthni (w. 385 H/995 M), al-Hakim (w. 405 H/1014 M), al-Bayhaqi (w. 458 H/1066 M), al-Khathib al-Baghdadi (w. 463 H/1071 M), Abu Nu’aym al-Isfahani (w. 430 H/1039 M) dan lain-lain.
[3] Kontroversi pada pribadinya terkait dengan misteri apakah ia seorang sunni atau syi’i; pada metodenya apakah ia menerapkan standar ganda dalam menilai hadis; dan pada status hadis dalam al-Mustadrak-nya, yang ia klaim menggunakan syarat Bukhari dan Muslim yang menurut ulama lainnya tidak sepenuhnya ia aplikasikan dengan tepat, bahkan ia dinilai banyak melakukan kekeliruan.
[4] Hal ini untuk menghindari kekeliruan nama al Hakim lain yang sama seperti Abu Ahmad al Hakim, abu ali al Hakim al Kabir atau khlifah Fatimiyah di Mesir Al Hakim bin Amrullah.
[5] M. Abdurrahman , Pergeseran Pemikiran Hadis Ijtihad Hakim dalam Menentukan suatu Hadis (Jakarta: Paramadina, 2000) h.29
[6] Ibid, h.33
[7] Ibid, h.54
[8] Kekhalifahan tersebut terbagi menjadi kesultanan-kesultanan kecil yang masing-masing mempunyai pemerintahan yang ‘otonom’. Hubungan mereka seringkali hanya hubungan spiritual belaka dari pada hubungan structural yang secara penuh ada di bawah kekuasaan pusat.
[9] Dikutip dari sebuah artikel dengan judul Al Hakim dan Al Mustadrak dalam www.kembalikefitrah.blogspot.com). Lebih lengkap lihat M. Abdurrahman , Pergeseran Pemikiran Hadis Ijtihad Hakim dalam Menentukan suatu Hadis (Jakarta: Paramadina, 2000)
[10] Imam At-Taj As-Subki berkata secara ringkasnya adalah sebagai berikut, “Abu Abdillah Al-hakim tealah di tuduh mengikuti aliran syiah.tuduhan itu berdasarkan pada suatu pendapat bahwa Abu Abdillah Al-hakim telah mendahulukan kedudukan Ali bin abi Thalib biarpun dia tidak mencela salah satu sahabat.setelah kami koreksi peryataan tersebut, teryata kami jumpai bahwa Abu Abdillah Al-hakim adalah seorang ulama ahli hadits yang para ulama tidak mengalami perbedaan pendapat tentangnya. Sesungguhnya jarang sekali kita jumapai ulama ahli hadits yang mengikuti aliran syiah.kalau pun ada, maka itu hanya segelintir orang saja pada suatu komunitas.Dan, dari segekintir orang yang mengikuti aqidah syi’ah ini, ketika kami pelajari gurunya yang memiliki hubungan lebih khusus kepada mereka, teryata guru tersebut adalah ulama ahli hadits terkemuka yang mengikuti Ahlus Sunnah wal Jamaah.
[11] M. Abdurrahman , Pergeseran... h.57-62
[12] Nurun Najwah Al Mustadrak ala Shahihain al Hakim (dalam buku Studi Kitab Hadis, Yogakarta: TERAS, 2009) h. 244-245. Lihat juga Ibn Katsir al Bidayah (Beirut: Dar al Fikr, 1977) Jilid 11 h. 2-3
[13] Mustadrak (jamak: mustadrakat) adalah salah satu bentuk metode pembukuan hadis, yang menurut Shubhî Shalih berarti menyusulkan hadis-hadis yang terlewatkan oleh seorang penulis hadis dalam kitabnya berdasarkan syarat yang digunakan penulis kitab hadis itu. Sementara menurut Ali Mustafa Ya’qub, metode mustadrak berarti menyusulkan hadis-hadis yang tidak tercantum dalam suatu kitab hadis yang lain. Namun dalam menuliskan hadis-hadis susulan itu penulis kitab pertama mengikuti persyaratan hadis yang dipakai oleh kitab yang lain itu. Jenis-jenis kitab hadis selain mustadrak adalah kutub al-shihhahal-Jawami’ (al-jami’)dan al-masanîd (al-musnad), al-ma’ajim (al-mu’jam), al-mustakhrajat (al-mustakhraj) dan al-ajza` (juz`). Lihat pengertian istilah-istilah ini pada: Shubhî al-Shalih, ‘Ulûm al-Hadîts wa Mushthalahuhu,(Beyrut: Dar al-‘Ilm li al-Malayîn, 1988), h. 117-125. Lihat juga pengertian istilah-istilah jenis kitab hadis ini pada: Ali Mustafa Ya’qub,Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 76-80. Namun pada Ali Mustafa Ya’qub terdapat beberapa istilah yang tidak ada pada Shubhî al-Shalih, yaitu metode Muwaththa`, mushannafsunan, majma’ dan zawa`id.
[14] M. Abdurrahman , Pergeseran... h.57-62
[15] Kitab al-Mustadrak versi ini sebagaimana yang dinyatakan oleh pen-tahqiq-nya, Hamdi al-Damardasy, berbeda dengan kitab al-Mustadrakterbitan lama. al-Mustadrak terbitan lama hanya terdiri dari 4 jilid besar dan menempatkan catatan (ta’liq) al-Dzahabi pada bagian pinggir (hamisy) kitabal-Mustadrak, sementara pada versi baru catatan al-Dzahabi (termasuk juga catatan al-Iraqi dan al-Manawaserta ulama besar lainnya) ditempatkan pada akhir setiap hadis setelah komentar al-Hakim. Dengan demikian catatan para ulama hadis yang pada asalnya berada pada bagian tepi kitab, pada versi ini telah menjadi satu bagian dengan hadis-hadis al-Mustadrak dan komentar al-Hakim.
[16] Kriteria-kriteria al-Bukhari dan Muslim berdasarkan penelitian ulama adalah: (1) rangkaian perawi dalam sanad harus bersambung mulai perawi pertama sampai perawi terakhir; (2) para perawinya harus dikenal sebagai orang-orang yang tsiqah, dalam arti ‘adildan dhabith; (3) hadisnya terhindar dari ‘illat (cacat) dan syadz (janggal); dan (4) para perawinya yang terdekat dalam sanad harus harus sezaman. Hanya saja terjadi perbedaan pendapat antara keduanya mengenai persambungan sanad. Menurut al-Bukhari, sanad hadis dikatakan bersambung apabila antara perawi yang terdekat itu pernah bertemu, sekalipun hanya satu kali. Jadi tidak cukup hanya sezaman (al-mu’asharah). Sedangkan menurut Muslim, apabila antara perawi yang terdekat hidup sezaman sudah dikategorikan bersambung. Di samping persyaratan yang telah disepakati di atas, ada sebagian ulama yang menyatakan bahwa al-Bukhari juga menetapkan syarat terjadinya periwayatan harus dengan cara al-sama’. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa persyaratan hadis shahih yang ditetapkan oleh al-Bukhari lebih ketat dari persyaratan yang ditetapkan oleh Muslim. Lihat Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 128.
[17] M. Abdurrahman , Pergeseran... h. 213-214
[18] Dengan cukup hanya tiga syarat ‘adil ini Syuhudi Ismail menilai al-Hakim termasuk ulama hadis yang paling sedikit memberikan syarat-syarat‘adil pada seorang rawi. Penilaian al-Hakim terhadap suatu hadis, walaupun menggunakan syarat ke- shahih-an yang sama dengan ulama lain, tergantung pada konteks hadis itu terkait masalah apa. Al-Hakim menerapkan standar yang berbeda (standar ganda) antara hadis yang berkaitan dengan ajaran pokok dan yang bukan pokok. Al-Hakim bersikap tasyaddud pada hadis yang berkaitan dengan masalah pokok (akidah dan ibadah) dan bersikap tasahulpada hadis yang tidak berkaitan dengan masalah pokok dalam agama (seperti sejarah, fadha`il al-‘amal dan biografi sahabat).
[19] M. Abdurrahman , Pergeseran... h. 259-260
[20] Uraian ini dikutip dari bukunya M. Abdurrahman Pergeseran Pemikiran Hadis Ijtihad Hakim dalam Menentukan suatu Hadis (Jakarta: Paramadina, 2000). Sementara Mahmûd al-Tahhan dalam kitabnya secara sederhana mengklasifikasikan hadis al-Mustadrak pada tiga kelompok yaitu: a. Hadis-hadis shahih berdasarkan syarat shahihain atau syarat salah seorang diantara keduanya dan mereka tidak meriwayatkannya. b. Hadis-hadis shahihberdasarkan syarat al-Hakim sendiri walaupun tidak merupakan syarat shahihain atau salah seorang diantara keduanya. Inilah yang dinyatakan oleh al-Hakim dengan istilah “shahih al-isnad”. c. Hadis-hadis yang tidak shahihmenurut al-Hakim, tetapi ia memberitahukan tentang hadis itu.
[21] Namun menurut al-Dzahabi, al-Hakim tidak selalu tepat mengaplikasikan kriteria ini. Misalnya menggunakan rawi yang dinilai cacat oleh al-Bukhari atau mengatakan bahwa ia memakai rijal Muslim, padahal Muslim tidak menggunakannya
[22] Akan tetapi dalam mengaplikasikan syarat ini al-Hakim seringkali keliru. Misalnya, ia menggunakan seorangrawi yang bernama Syaybah al-Hadhari yang menurut al-Hakim adalah seorang rawi yang digunakan oleh al-Bukhari seperti disebut dalam kitab Tarikh al-Bukhari. Tapi al-Dzahabi menolak klaim ini karena al-Bukhari tidak menggunakannya sebagai rawi, nama al-Syaybah al-Hadhari juga tidak disebut dalam Tarikh al-Bukhari, menurut al-Dzahabi rawi ini adalahmajhul (tidak dikenal) dan hanya digunakan oleh al-Nasa`i.
[23] Dalam mengaplikasikan syarat ini, al-Hakim juga masih melakukan kekeliruan menurut ulama lain. Misalnya, al-Dzahabi membantah klaim al-Hakim bahwa salah seorangrijal al-hadits yang bernama Mu’awiyah ibn Shalih hanya digunakan oleh Muslim sementara al-Bukhari tidak menggunakannya. Walaupun Mu’awiyah tidak disebutkan dalam Tarikh al-Bukhari namun namanya tercantum dalam kitab al-Tahdzib.
[24] Menurut telaah al-Dzahabi, hadis jenis ini ada yangshahih dan ada pula yang tidak shahih. Sementara menurut al-‘Asqalani syarat yang diberlakukan oleh al-Hakim hanya sebagian saja rawi yang digunakan olehshahihain.
[25] M. Abdurrahman , Pergeseran... h.216-223
[26] M. Abdurrahman , Pergeseran... h.224-227
[27] Ibid, h.228
[28] Ibid, h. 230-231
[29] Nurun Najwah Al Mustadrak ala Shahihain al Hakim (dalam buku Studi Kitab Hadis, Yogakarta: TERAS, 2009) h. 255-256 yang dikutip dari Al Hakim Muqaddimah Ma’rifah, shw

0 komentar:

Posting Komentar