Jumat, 11 Januari 2013



BAB I
PENDAHULUAN
a.latar belakang
            Ketika kita berbicara tentang fenomena, maka akan terlintas dalam pikiran kita bahwa pengertian fenomena sendiri adalah kejadian yang melatarbelakanginya sebuah masalah. Ketika kita mengatakan fenomena tasyri’, maka dapat dipahami pengertiannya adalah kejadian terbentuknya tasyri’(Undang-undang).
Tasyri’ secara istilah adalah pembentukan undang-undang untuk mengetahui hukum-hukum bagi perbuatan orang dewasa dan ketentuan-ketentuan hukum serta peristiwa yang terjadi dikalangan mereka.[1] melihat dari makna tasyri’ tersebut maka mucul sebuah persmasaalahan yang sangat perlu diperhatikan, yaitu keberadaan sebuah agama (Islam) yang berada dalam lingkungan orang-orang yang berwatak keras (Badui) dan masyarakat yang hidup penuh dengan kebiadaban dan pelecehan serta belum memiliki sebuah aturan baku untuk dijalani oleh pemeluk-pemeluknya, dalam hal ini adalah tasyri’.
Tentunya melihat kondisi tersebut, maka Allah mengutus Rasulullah sebagai wasilah pertama untuk menegakkan syariat Islam yang benar. Penegakan syariat Islam (tasyri’) ini tidak berhenti setelah Rasulullah wafat, akan tetapi hal ini berlangsung sampai beberapa periode, mulai dari periode Rasulullah, khulafaurrasyidin, tabiin dan sterusnya. Akan tetapi dalam makalah ini penulis hanya memaparkan tentang penegakan syariat Islam(tasyri’) pada periode Rasulullah saja.
Tidak terlepas bahwa berbagai faktor social juga menjadi latar belakang turunnya al-quran. Banyak hal-hal yang menjadi asbabun nuzulnya al-quran sebagai sumber tasyri’ periode Rasulullah ini. Akan tetapi bukan keseluruhan ayat-ayat al-quran ini diturunkan karena adanya Asbabun Nuzul. Kesesuaian tradisi dan al-quran juga terlihat disana, akan tetapi bukan berarti al-quran dapat dikatakan sebagai tradisi orang Arab, karena diturunkannya al-quran adalah untuk seluruh umatnya.

Adapun pada periode Rasulullah ini memiliki dua fase, yaitu fase Mekkah dan fase Madinah. Secara sosio cultural kedua fase ini berbeda dalam penerimaan tasyri’ yang dibawa oleh Rasulullah ini. Karena corak kehidupan Mekkah dan Madinah sangatlah jauh berbeda. Keadaan Mekkah yang saat itu penuh dengan hal-hal yang menyimpang dari aturan atau hukum Islam, tentunya bagi masyarakat tersebut sulit untuk menerima hal-hal yang baru dibawa oleh Rasulullah. Sehingga yang pertama kali ditanamkan dalam hati mereka adalah hal-hal yang menyangkut dengan ketauhidan.
Berbeda halnya dengan keadaan masyarakat Madinah yang sangat mudah menerima Islam, bahkan mereka menerima kedatangan Rasulullah dengan senang hati. Sehingga pembentukan tasyri’ pada masa ini dirasa jauh lebih mudah dibanding dengan fase Mekkah, dan pada masa inilah hal-hal yang berkaitan dengan Ibadah, tauhid dan sebagainya menjadi tasyri’.
Al-quran dan hadist pada periode ini menjadi sebagai sumber penetapan tasyri’, kemudian permasaalahan yang muncul adalah keterkaitan dengan ijtihad pada masa ini, apakah ijtihad juga menjadi sumber tasyri’ saat itu. Maka untuk lebih lengkapnya akan kita bahas pada bab selanjutnya.
Melihat berbagai latar belakang diatas, maka penulis dapat merangkaikan rumusan masalah sebagai berikut:
b.Rumusan masalah
1. Bagaimana Arab sebelum Islam?
2. Bagaimana Tasyri’ periode Mekkah?
3.Bagaimana Tasyri’ periode Madinah?
4.Apa saja Sumber Tasyri’ periode Rasulullah?
5.Bagaimana ijtihad pada Masa Rasulullah?

c.Tujuan Masalah
1. Mengetahui Keadaan Arab sebelum Islam
2. Mengetahui tasyri’ periode Mekkah
3. Mengetahui tasyri’ periode Madinah
4. Mengetahui Sumber tasyri’ periode Rasulullah
5. Mengetahui tentang ijtihad masa Rasulullah
BAB II
PEMBAHASAN
a.bangsa Arab Pra Islam
            Bangsa Arab sebelum diutus seorang Nabi SAW adalah umat yang tidak mempunyai aturan, kebiadaban yang mengendalikan mereka, gelapnya kebodohan yang menaungi mereka dan tidak ada agama yang mengikat mereka, serta tidak ada undang-undang yang dapat mereka patuhi.[2]akibat dari itu semua jiwa mereka dipenuhi dengan akidah yang batil. Tuhan dihayalkan pada patung yang mereka Pahat. Dengan tangannya sendiri, terkadang pada binatang-binatang yang tampak dan hilang didepan mata mereka.
Mekkah adalah sebuah kota yang sangat penting di negeri Arab, baik karena tradisinya maupun karena letaknya. Kota ini ini dilalui jalur perdagangan yang ramai menghubungkan Yaman di selatan dan Syiria di Utara. Dengan adanya ka’bah ditengah kota, Mekkah menjadi pusat keagamaan Arab. ka’bah adalah tempat mereka berziarah. Di dalamnya terdapat 360 berhala, mengelilingi berhala utama, atau hubal. Mekkah kelihatan makmur dan kuat. Agama dan masyarakat Arab ketika itu mencerminkan realitas kesukuan masyarakat jazirah Arab dengan luas satu juta mil persegi.[3]
            Bila dilihat dari asal-usul keturunan, penduduk jazirah Arab dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu Qathaniyun (keturunan Catan), dan Adnaniyun (keturunan Ismail ibn Ibrahim). Pada mulanya wilayah utara diduduki oleh golongan Adnaniyun, dan wilayah selatan diduduki oleh golongan qahthan. Akan tetapi lama-kelamaan kedua golongan tersebut membaur karena perpindahan-perpindahan dari utara ke selatan atau sebaliknya.
            Masyarakat, baik nomadik ataupun yang menetap, hidup dalam budaya kesukuan Badui. Mereka sangat menekankan hubungan kesukuan sehingga kesetiaan atau solidaritas kelompok menjadi sumber kekuatan bagi suatu kabilah atau suku. Mereka sangat suka berperang, sehingga peperangan antar suku sering terjadi. Sikap ini nampaknya sudah menjadi tabiat yang mendarah daging dalam diri orang Arab.
            Dalam masyarakat yang suka berperang tersebut, nilai seorang wanita sangatlah rendah. Situasi ini terus berlangsung sampai agama Islam lahir. Dunia Arab ketika itu merupakan kancah peperangan terus menerus. Pada sisi lain, meskipun masyarakat badui mempunyai pemimpin, namun mereka hanya tunduk kepada syekh atau amir (ketua kabilah) itu dalam hal yang berkaitan dengan peperangan, pembagian harta rampasan dan pertempuran tertentu. Diluar itu, syekh atau amir tidak memiliki wewenang apa-apa.
            Pada saat itu penganut agama yahudi juga banyak mendirikan koloni di jazirah Arab, yang terpenting diantaranya adalah Yastrib. Penduduk koloni ini terdiri dari orang-orang Arab yang menganut agama Yahudi. Walaupun agama Yahudi dan Kristen sudah masuk ke jazirah Arab, akan tetapi bangsa Arab masih menganut agama asli mereka, yaitu percaya kepada banyak dewa yang diwujudkan dalam bentuk berhala dan patung. Setiap kabilah mempunyai berhala sendiri. Berhala-berhala itu mereka jadikan tempat menanyakan dan mengetahui nasib baik dan buruk. Demikianlah keadaan bangsa Arab menjelang kebangkitan islam.

b. tasyri’ pada periode Mekkah
            Selama 13 tahun masa kenabian Muhammad SAW di Mekkah sedikit demi sedikit turun hukum. Periode ini lebih terfokus pada roses penamaan (ghars) tata nilai tauhid, seperti iman kepada Allah, Rasulnya, hari kiamat, dan perintah untuk berakhlak mulia seperti keadilan, kebersamaan, menepati janji dan menjauhi kerusakan akhlak seperti zina, pembunuhan dan penipuan..,[4]
            Pada awalnya Islam berorientasi memperbaiki akidah , karena akidah merupakan fundamen yang akan berdiri diatasnya, apapun bentuknya.[5]sehingga bila telah selesai tujuan yang pertama ini, maka Nabi melanjutkan dengan meletakkan aturan kehidupan (tasyri’). Bila kita perhatikan ayat-ayat al-quran yang Turun di Mekkah, maka terlihat disana penolakan terhadap syirik dan mengajak mereka menuju tauhid, memuaskan mereka dengan kebenaran risalah yang disampaikan oleh para Nabi. Mengiringi mereka agar mengambil pelajaran dari kisah-kisah umat terdahulu, menganjurkan mereka agar membuang taklid pada nenek moyangnya, dan memalingkan mereka dari pengaruh kebodohan yang ditinggalkan oleh leluhurnya seperti pembunuhan, zina dan mengubur anak perempuan hidup-hidup.
            Kebanyakan ayat-ayat al-quran itu meminta mereka agar menggunakan akal pikiran, Allah mengistimewakan mereka dengan akal, yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya agar mereka mendapat petunjuk kebenaran dari dirinya sendiri (rasionalitas). Mengingatkan mereka agar tidak berpaling dengan ajaran para Nabi, agar tidak tertimpa azab seperti apa yang ditimpakan pada Amat-umat terdahulu yang mendustakan Rasul-rasul mereka dan mendurhakai perintah tuhannya.
            Pada masa ini al-quran hanya sedikit memaparkan tujuan yang kedua, sehingga mayoritas masalah Ibadah belum disyariatkan kecuali setelah hijrah. Ibadah yang disyariatkan sebelum hijrah erat kaitannya dengan pemeliharaan akidah, sepertti pengharaman bangkai, darah dan sembelihan yang tidak disebut nama Allah. Dengan kata lain, periode Mekkah merupakan periode revolusi akidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah semata. Statu revolusi yang menghadirkan perubahan fundamental, rekonstruksi social dan moral pada seluruh dimensi kehidupan masyarakat.
            Namun ada beberapa hal yang menyebabkan ajaran Nabi Muhammad SAW tidak diterima oleh masyarakat Mekkah, terutama dalam aspek ekonomi, faktor diantaranya yatu :
  1. Ajaran tauhid menyalahkan kepercayaan dan praktek menyembah berhala. Bila menyembah berhala dihapuskan maka berhala yang ada tidak laku lagi. Hal ini mengancam sisi ekonomi mereka (produsen berhala). Karena itu ajaran tauhid juga banya ditolak oleh masyarakat Mekkah.
  2. Ajaran Islam mengecam perilaku ekonomi masyarakat Mekkah yang mempunyai ciri pokok penumpuk harta dan mengabaikan fakir miskin serta anak yatim.
Seperti yang kita ketahui bahwa Mekkah terletak dijalur perdagangan yang penting[6]. Mekkah makmur karena letaknya yang berada dijalur penting dari Arabia selatan sampai utara dan mediteranian, teluk Persia, laut merah melalui jiddah dan afrika. Dan Mekkah adalah salah satu pusat perdagangan yang ramai. Maka faktor tersebut sangat mempengaruhi penolakan dakwah Nabi.
c. Tasyri’ pada periode Madinah
            Pada fase atau periode ini Islam sudah kuat dan berkembang dengan pesatnya, jumlah umat Islam pun sudah betambah banyak dan mereka sudah memiliki suatu pemerintahan yang gilang gemilang.[7]keadaan inilah yang mendorong perlunya mengadakan tasyri’ dan pembentukan undang-undang untuk mengatur perhubungan antara individu dari suatu bangsa dengan bangsa lainnya, dan untuk mengatur pula perhubungan mereka dengan bangsa yang bukan Islam baik di waktu damai maupun perang.
Adapun periode madinah ini dikenal dengan periode penataan dan pemapanan masyarakat sebagai masyarakat percontohan.[8]oleh karena itu di periode madinah inilah ayat-ayat yang memuat hukum-hukum untuk keperluan tersebut (ayat-ayat ahkam) Turun, baik yang berbicara tentang ritual maupun social. Meskipun pada periode ini Nabi Muhammad SAW baru melakukan legislasi, Namun ketentuan yang bersifat legalitas sudah ada Sejak periode Mekkah, bahkan justru dasar-dasarnya telah diletakkan dengan kukuh dalam periode Mekkah tersebut. Dasar-dasar itu memang tidak langsung bersifat legalistik karena selalu dikaitkan dengan ajaran moral dan etik.
Pada periode ini tasyri’ Islam sudah berorientasi pada tujuan yang kedua yaitu disyariatkan bagi mereka hukum-hukum yang meliputi semua situasi dan kondisi, dan yang berhubungan dengan segala aspek kehidupan, baik individu maupun kelompok pada setiap daerah, baik dalam Ibadah, muamalah, jihad, pidana, mawaris, wasiat, perkawinan, thalak, sumpah, peradilan dan segala hal yang menjadi cakupan ilmu fiqih.
Proses pembentukan hukum pada masa kenabian tidak dipaparkan peristiwa-peristiwa, menggambarkan kejadiannya, mencari sebab-sebab pencabangannya dan kodifikasi huku-hukum, sebagaimana masa-masa akhir yang telah dimaklumi. Tetapi pembentukan hukum pada masa ini berjalan bersama kenyataan dan pembinaan bahwa kaum muslimin, apabila menghadapi suatu masalah yang harus dijelaskan hukumnya, maka mereka langsung bertanya kepada Rasulullah SAW. Terkadang Rasulullah SAW memberikan fatwa kepada mereka dengan satu atau beberapa ayat (wahyu) yang diturunkan Allah kepadanya, terkadang dengan hadis dan terkadang dengan memberi penjelasan hukum dengan pengalamannya. Atau sebagian mereka melakukan suatu perbuatan lalu Nabi SAW menetapkan (takrir) hal itu, jika hal tersebut benar menurut Nabi SAW.
Ada tiga aspek yang perlu dijelaskan dari proses perkembangan syariat pada periode ini.[9] Pertama adalah : metode Nabi dalam menerangkan hukum. Dalam banyak hal syariat Islam Turun secara global nabi sendiri tidak menjelaskan apakah perbuatannya itu wajib atau sunnah, bagaimana syarat dan rukunnya dan lain sebagainya. Seperti ketika nabi salat para sahabat melihat salat nabi dan mereka mengikutinya tanpa menanyakan syarat dan rukunnya.
Kedua adalah: kerangka hukum syariat. Ada hukum yang disyariatkan untuk suatu persoalan yang dihadapi oleh masyarakat, seperti bolehkah menggauli istri ketika mereka sedang haid, bolehkah berperang pada bulan haji. Dan ada pula yang disyariatkan tanpa didahului oleh pertanyaan dari sahabat atau tidak ada kaitannya dengan persoalan yang mereka hadapi, termasuk didalamnya adalah masalah ibadah dan beberapa hal yang berkaitan dengan muamalat.
Ketiga adalah: turunnya syariat secara bertahap (periodik). Maksudnya pembentukan kondisi masyarakat yang layak dan Siap dan menerima Islam harus menjadi prioritas yang diutamakan.
d.Sumber perundang-undangan(tasyri’ pada periode Rasulullah SAW
            Penentuan hukum pada periode Rasulullah SAW mempunyai dua sumber[10], yaitu :
1.Wahyu Ilahi (Al-Quran)
            Al-quran adalah kitab suci yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW yang mengandung petunjuk kebenaran bagi kebahagiaan ummat manusia. Dalam bahasa “Fazlurrahman,[11] alquran adalah dokumen keagamaan dan etika yang bertujuan praktis menciptakan masyarakat yang bermoral baik dan adil, yang terdiri dari manusia-manusia saleh dan religius dengan keadaan yang peka dan nyata akan adanya satu tuhan yng memerintahkan kebaikan dan melarang kejahatan.
Ketika terjadi sesuatu yang menghendaki adanya pembentukan hukum dikarenakan suatu peristiwa, perselisihan, pertanyaan, permintaan fatwa, maka Allah menurunkan wahyu kepada Rasulullah SAW satu atau beberapa ayat al-quran yang menjelaskan hukum yang hendak diketahuinya. Kemudian Rasulullah menyampaikan kepada umat Islam apa-apa yang sudah diwahyukan kepada beliau itu, dan wahyu itu menjadi undang-undang yang wajib diikuti.
Ada karakteristik yang sangat menonjol dari al-quran yaitu, bahwa meskipun al-quran diturunkan dalam ruang waktu tertentu, sebab tertentu, tetapi esensi kalam tuhan tersebut adalah universal, sehingga mengatasi ruang dan waktu. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa sasaran alquran dan juga sebab turunnya adalah “kemanusiaan(problematika kehidupan manusia), baik pada masa Nabi, masa kini dan masa seterusnya.
2.Ijtihad Rasulullah (Sunnah)
Sunnah adalah sumber fiqih kedua setelah al-quran. Dalam terminologi muhaddisin, fuqaha dan ushuliyyin, sunnah berarti setiap sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad, baik perkatan, perbuatan dan ketentuan. Sebagaimana al-quran, sunnah juga tidak muncul dalam satu waktu, tetapi secara bertahap(periodik) mengikuti fenomena umum dalam masyarakat, atau lebih tepat disebut mengikuti perkembangan turunnya syariat. Oleh karena itu dalam banyak hal, kita akan melihat bahwa sunnah bertujuan menerangkan, merinci, membatasi dan menafsirkan al-quran.
Ketika muncul sesuatu yang menghendaki peraturan, sedang Allah tidak mewahyukan kepada Rasulullah ayat al-quran yang menunjukkan hukum yang dikehendakinya, maka Rasulullah berijtihad untuk mengetahui ketentuan hukumnya.
Dan dengan hasil ijtihad itulah yang dipergunakan beliau untuk memutusi hukum sesuatu masalah, atau memberi fatwa hukum atau menjawab pertanyaan atau menjawab permintaan fatwa hukum. Dan hukum yang terbit dari hasil ijtihad beliau itu juga menjdai undang-undang yang wajib diikuti. Setiap hukum yang disyareatkan pada periode Rasulullah SAW itu sumbernya adalah dari wahyu ilahi (al-quran) dan ijtihad Nabi (Sunnah).
e.Ijtihad pada periode Rasulullah SAW
Permasaalahan ijtihad pada masa Rasulullah ini terjadi perbedaan pendapat, akan tetapi ijtihad yang menyangkut dengan kemaslahatan dunia dan pengaturan strategi perang jelas dilakukan oleh Nabi.[12] Mungkin kita masih ingat ketika Rasulullah saw bermusyawarah dengan para sahabatnya soal tawanan perang Badar. Di antara para sahabat yang mengutarakan pendapatnya dalam musyawarah itu adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Abdullah bin Rawahah dan Sa'd bin Mu'adz.
Saat itu Rasulullah saw lebih condong kepada pendapat Abu Bakar yang berpendapat untuk mengambil fidyah dari para tawanan tersebut. Namun setelah itu turun firman Allah swt yang mendukung pendapat Umar untuk membunuh mereka "Tidak patut bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana" (QS. Al-Anfal [8]: 67) 
Dalam Fiqh us-Sirot in-Nabawiah-nya, Prof. DR. M. Said Ramadhan al-Bhuti menjelaskan bahwa kejadian itu menunjukkan terjadinya ijtihad dari pribadi Rasulullah saw. Kemudian beliau melanjutkan penjelasannya dengan menyatakan bahwa ijtihad Rasulullah saw bisa salah namun tidak kontinyu, karena akan datang wahyu Allah swt yang membenarkannya. Kesalahan itu menurut beliau tidak bertentangan dengan sifat Ishmah (terjaga dari kesalahan) yang dimiliki Rasulullah saw. Sebab kesalahan itu bukan sebuah keburukan, namun hanya sebuah kekurangsempurnaan dalam versi ilmu Allah swt.[13]

           
           



BAB III
PENUTUP
a.kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat kita tarik beberapa kesimpulan secara global, yaitu sebagai berikut:
1.Tasyri’ adalah manifestasi dari lahirnya Islam sebagai agama yang benar dan diridhai oleh Allah SWT.
2. Bangsa Arab para Islam adalah bangsa yang sangat tidak bermoral, sehingga Rasulullah saat itu berdakwah tentang-tentang akidah (periode mekkah)
3.Periode Mekkah adalah periode dimana nabi hanya menjelaskan tentang tauhid dan akidah. Sehingga periode ini dikenal dengan periode penataan akidah.
4.Periode Madinah adalah periode dimana kesempurnaan tasyri’ mulai terlihat, ayat-ayat yang Turín tidak lagi berkaitan dengan tauhid ataupun akidah akan tetapi sudah beralih kepada hal-hal yang mengandung tentang Ibadan.
5.Yang menjadi sumber tasyri’ pada periode ini adalah wahyu ilahi(al-quran) daan ijtihad Nabi (sunnah).
6.Keberadaan ijtihad pada masa Rasulullah masih diperselisihkan, akan tetapi beberapa ijtihad tentang kemaslahatan dunia dan strategi perang terlihat wujudnya pada periode ini.
`          
b.saran
            Setelah membaca dan menganalisis lebih jauh, maka penulis hanya dapat memberikan saran kepada pembaca agar lebih memberikan perhatiannya untuk mempelajari tarikh tasyri’ dari periode satu ke periode berikutnya. Karena mempelajari periode-periode tasyri’  akan memudahkan kita dalam mengetahui hukum.



DAFTAR PUSTAKA
Asghar  ali engineer, asal-usul dan perkembangan Islam, 1999. Yogyakarta: INSIST dan IKAPI
Yatim, Badri sejarah peradaban Islam, 2003. Jakarta: PT. Raja Grafindo persada
Zuhri, Muhammad hukum Islam dalam lintasan sejarah, 1996. Jakarta: PT. Raja Grafindo persada
Sirri, Mun’in sejarah fiqih Islam sebuah pengantar, 1995. Risalah Gusti
Khallaf, Wahab terjemahan khulasah tarikh tasyri’ islam, 1974. Solo: CV.Ramadhani.
Ali As-sayis, Muhammad sejarah fiqih Islam, 2003. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
http://jurnalislam.net/id/images/favicon.ico diakses pada tanggal 28 maret 2009
http://alilmu.wordpress.com,  diakses pada tanggal 25 april 2009



[1] Khallaf, wahab khulasah tarikh tasyri’ islami, hal: 4
[2] Ali As-sayis, Muhammad sejarah fiqih Islam, hal: 17
[3] Yatim, Badri sejarah peradaban islam, hal: 9
[4] A.sirri, Mun’in, sejarah fiqih Islam sebuah pengantar, hal: 22
[5] Op.cit, hal: 18 
[6] Asghar ali engineer, asal-usul dan perkembangan Islam, hal: 59
[7] Khallaf, Wahhab terjemahan khulasah tarikh tasyri’ islam, hal: 10
[8] Zuhri, Muhammad hukum Islam dalam lintasan sejarah, hal: 13
[9] Ibid. sejarah fiqih Islam sebuah pengantar, hal: 24
[10] Ibid terjemahan khulasah tarikh tasyri’ islam, hal: 13
[11] Ibid. sejarah fiqih Islam sebuah pengantar hal:28
[12] Ibid. hal: 28
[13] http://jurnalislam.net/id/images/favicon.ico diakses pada tanggal 28 maret 2009

0 komentar:

Posting Komentar