Jumat, 11 Januari 2013

AS SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM


MAKALAH


USHUL FIQH


Tentang


AS SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM





Oleh :


Handayani


310.006





Dosen pembimbing :


AL FADHLI, M.Ag








JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM


FAKULTAS SYARI’AH


INSITUT AGAMA ISLAM NEGERI


IAIN IMAM BONJOL PADANG


2011 M / 1432 H








BAB I


PENDAHULUAN


Kekuatan sunnah sebagai sumber hukum ditentukan oleh dua segi: pertama dari segi kebenaran materinya dan kedua dari segi kekuatan penunjukannya terhadap hukum. Dari segi kebenaran materinya, kekuatan sunnah mengikuti kebenaran pemberitaannya yang terdiri dari tiga tingkat, yaitu: mutawatir, masyhur dan ahad.


Sunnah yang mempunyai martabat tertinggi dalam kedudukan sebagai sumber hukum adalah Sunnah yang qath’i dari segi sanad-nya, yaitu kebenaran materinya datang dari Nabi dan Qath’i dari segi dilalah atau penunjukannya terhadap hukum. Namun jumlah sunnah yang qath’i ini sangat terbatas. Adapun yang banyak jumlahnya adalah Sunnah yang zhanni dari segi materinya atau dari segi dilalahnya (penunjukan) atau dari segi keduanya.








BAB II


PEMBAHASAN


1.      Pengertian Sunnah


Kata sunnah (          ) berasal dari bahasa arab (     ) secara etimologi berarti: cara yang biasa dilakukan, apakah cara itu sesuatu yang baik, atau buruk. Penggunaan kata sunnah dalam arti ini terlihat dalam sabda Nabi:

















Dalam Al Qur-an terdapat kata “Sunnah” dalam 16 tempat yang tersebar dalam beberapa surat dengan arti “kebiasaan yang berlaku” dan “jalan yang diikuti”. Umpamanya dalam firman Allah dalam surat Ali ‘Imran: 137











Sesungguhnya telah berlaku sebelum kamu sunnah-sunnah Allah. Karena itu berjalanlah kamu di muka bumi.......”


Kemudian dalam surat Al Isra’:77











“(Kami menetapkan yang demikian) sebagai suatu sunnah terhadap rasul-rasul Kami yang kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu dapati perubahan bagi ketetapan Kami.”[1]


Para ulama Islam mengutip kata sunnah dari Al Qur-an dan bahasa Arab yang mereka gunakan dalam artian khusus yaitu: “cara yang biasa dilakukan dalam pengamalan agama”. Kata sunnah dalam periode awal Islam dikenal dalam artian seperti ini.


Sunnah dalam istilah ulama ushul adalah: “apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun pengakuan dan sifat Nabi”. Sedangkan Sunnah dalam istilah Ulama Fiqh adalah: “sifat hukum bagi suatu perbuatan yang dituntut melakukannya dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti” dengan pengertian diberi pahala orang melakukannya dan tidak diberi bagi orang yang tidak melakukannya.


Perbedaan ahli Ushul dengan ahli Fiqh dalam memberikan arti pada sunnah sebagaimana disebutkan di atas adalah karena mereka berbeda dalam segi peninjauan. Ulama Ushul menempatkan sunnah sebagai salah satu sumber atau dalil hukum fiqh. Untuk maksud itu ia mengatakan, “Hukum ini ditetapkan berdasarkan Sunnah”. Sedangkan Ulama Fiqh menempatkan Sunnah sebagai salah satu dari hukum syara’ yang lima yang mungkin berlaku terhadap satu perbuatan. Untuk maksud itu ia berkata, “perbuatan hukumnya adalah sunnah”. Dalam pengertian ini Sunnah adalah “hukum”, bukan “sumber hukum”.


Kata “sunnah” sering diidentikkan dengan kata “hadis”. Kata “hadis” ini sering digunakan oleh ahli Hadis dengan maksud yang sama dengan kata “sunnah” menurut pengertian yang digunakan kalangan Ulama Ushul.


Dikalangan ulama ada yang membedakan sunnah dari hadis, terutama karena dari segi etimologi kedua kata itu memang berbeda. Kata hadis lebih banyak mengarah kepada ucapan-ucapan Nabi, sedangkan sunnah lebih banyak mengarah kepada perbuatan dan tindakan Nabi yang sudah menjadi tradisi yang hidup dalam pengamalan agama.[2]


Semua Ulama Ahl As Sunnah baik dalam kelompok ahli fiqh, Ulama Ushul fiqh maupun dalam Ulama Hadis sepakat mengatakan bahwa kata Sunnah atau Hadis itu hanya merujuk kepada Nabi dan berlaku pada Nabi dan tidak digunakan untuk selain dari Nabi.





2.      Macam-macam Sunnah


Sunnah menurut pengertian ahli Ushul sebagaimana disebutkan di atas terbagi kepada tiga macam:


Pertama, Sunnah qauliyah (                      ), yaitu ucapan Nabi yang didengar oleh sahabat beliau dan disampaikan kepada orang lain. Misalnya, sabda Rasulullah yang diriwayatkan Abu Hurairah:








“tidak sah sholatnya seseorang jika tidak membaca surat Al Fatihah”(HR. Bukhari dan Muslim).


Kedua, Sunnah Fi’liyyah (                         ), yaitu perbuatan yang dilakukan oleh  Nabi Muhammad SAW yang dilihat atau diketahui oleh sahabat, kemudian disampaikan pada orang lain dengan ucapannya. Misalnya, tata cara sholat yang ditunjukkan Rasulullah kemudian disampaikan sahabat yang melihat atau mengetahuinya kepada orang lain.[3]


Ketiga, Sunnah Taqririyah (                           ), yaitu perbuatan seorang sahabat atau ucapannya yang diketahui oleh Nabi, tetapi tidak dicegah atau tidak ditanggapi oleh Nabi. Umpamanya seorang sahabat memakan daging dhab di hadapan Rasulullah, nabi mengeahui apa yan dimakan sahabat itu, tetapi nabi tidak melarang atau menyatakan keberatan atas hal itu. Kisah tersebut disampaikan oleh sahabat yang mengetahuinya: “saya melihat seseorang memakan daging dhab di dekat Nabi, Nabi mengetahui tapi Nabi tidak melarang melakukan perbuatan itu.”[4]





3.      Kehujjahan Sunnah


a.       Dalil Al qur’an


Tentang kewajiban mempercayai segala yang disampaikan oleh Rasulullah kepada umatnya, QS. ‘Ali imron: 179











“....maka berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu beriman dan bertaqwa maka bagimu pahala yang besar.”


b.      Dalil Hadis


Dalam hadis dikatakan:











“aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh kepada keduanya yaitu Kitab Allah (Al Qur’an) dan Sunnah Rasul-Nya”


c.       Ijma’


Umat islam telah sepakat menjadikan AsSunnah sebagai salah satu hukum beramal, karena sesuai dengan yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Mereka menerima As Sunnah seperti halnya menerima Al Qur’an, keduanya dijadikan sumber hukum.[5]





a.      Fungsi Sunnah


Al qur-an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka sunnah disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani dalam hubungan dengan Al Qur-an, ia menjalankan fungsi sebagai berikut:


a.      Bayan At Tafsir


Adalah menerangkan ayat-ayat yang sangat umum atau mujmal. Fungsi hadis dalam hal ini adalah memberikan perincian dan penafsiran terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang masih mujmal, memberikan taqyid ayat-ayat yang masih muthlaq, dan memberikan takhsish ­ayat-ayat yang masih umum.


Contohnya, kita diperintahkan sholat, namun Al Qur’an tidak menjelaskan bagaimana tata cara sholat, tidak menerangkan rukun-rukunnya dan waktu pelaksanaannya, maka dalam hadis dijelaskan oleh Nabi, dengan sabdanya:











“sholatlah sebagaimana kalian melihat aku sholat”


Contoh lain dalam masalah zakat misalnya, umat islam wajib membayar zakat, dalam Al Qur’an kita diperintahkan, tapi berapa ukurannya dijelaskan dalam hadis Nabi:








“Berikanlah dua setengah persen dari harta-hartamu”(zakat emas dan perak)


b.      Bayan At Taqrir


Sering juga disebut dengan bayan At Ta’kid adalah hadis yang berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al Qur’an. Dalam hal ini hadis hanya memperkokoh isi kandungan Al Qur’an. Contohnya:


Surat Al Baqoroh ayat 185:








“......karena itu barang siapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, herndaklah berpuasa.....”


Ayat di atas di taqrir oleh hadis Nabi, yaitu:








“......apabila kalian melihat bulan, berpuasalah, begitu pula apabila melihat bulan itu, berbukalah.....”[6]


c.       Itsbat atau Insya’


Yaitu menetapkan hukum yang secara jelas tidak tidak terdapt dalam Al Qur’an. Dengan demikian kelihatan bahwa sunnah menetapkan sendiri hukum yang tidak ditetapkan dalam Al Qur’an.[7] Sebenarnya bila diperhatikan dengan teliti akan jelas bahwa apa yang ditetapkan sunnah itu pada hakikatnya adalah penjelasan terrhadap apa yang disinggung Al Qur’an atau memperluas apa yang disebut dalam Al Qur’an secara terbatas.


Contoh hukum baru yang ditetapkan Rasulullah adalah tidak boleh mengawini seorang wanita sekaligus dengan bibi (HR. Bukhari dan Muslim), tidak boleh memakan daging himar kampung (tunggangan atau pembawa beban) dan binatang buas (HR. Ahmad bin Hanbal dan Abu Daud).[8]










































































BAB III


PENUTUP


1.      Kesimpulan


As Sunnah berarti kebiasaan yang baik ataupun buruk. Jika dikaitkan dengan sumber hukum yang dimaksud dengan Sunnah ialah segala sesuatu yang diperhatikan, dilarang atau dianjurkan oleh Rasullah baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan. Dengan pengertian seperti ini maka sunnah dibagi menjadi tiga, yaitu: sunnah qauliyah, sunnah fi’liyyah, sunnah taqririyah.


Kedudukan sunnah sebagai sumber hukum dijadikan hujjah karena banyak dalil Al Qur’an, dalil Hadis, dan Ijma’ Ulama. Dengan dijadikannya hujjah dalam sumber hukum maka sunnah mempunyai hubungan kuat dengan Al Qur’an yaitu sebagai penjelas (bayani).





2.      Saran


Makalah ini masih banyak kekurangan dan kekhilafan, oleh karena itu pemakalah mengaharapkan adanya kritikan dan saran demi kesempurnaan makalah ini.












































DAFTAR PUSTAKA





Haroen, Nasroen, Ushul Fiqh 1, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997


Sholahudin, M., Agus Suyadi, Ulumul Hadis, Pustaka Setia, Bandung, 2009


Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh jilid 1, Kencana, Jakarta, 2008







[1]               Syarifuddin, Amir, Ushul fiqh jilid 1, (Jakarta, Kencana, 2008),  hal. 80-81




[2]               Ibid., hal. 82




[3]               Haroen, Nasroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 39




[4]               Syarifuddin, Amir, Op. Cit., hal. 83




[5]               Sholahudin, Agus, & Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung, Pustaka Setia, 2009), hal. 75-77




[6]               Ibid., hal. 79 & 82




[7]               Syarifuddin, Amir, Op. Cit., hal. 95




[8]               Haroen, Nasroen, Op. Cit., hal. 52



0 komentar:

Posting Komentar