Jumat, 11 Januari 2013

Ar-Rahn (Agunan) & Ihtikar (Penimbunan)



TUGAS

FIQIH MUAMALAH

Tentang
Ar-Rahn (Agunan) & Ihtikar (Penimbunan)





Oleh :
HANDAYANI
310.006



Dosen Pembimbing:
Drs. BURHANUDDIN. MA


PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM (PMH)
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
1433 H / 2012 M
PEMBAHASAN

A.    Ar-Rahn (Agunan)
Ar-Rahn merupakan mashdar dari rahana–yarhanu–rahnan; bentuk pluralnya rihân[un], ruhûn[un] dan ruhun[un]. Secara bahasa artinya adalah ats-tsubût wa ad-dawâm (tetap dan langgeng); juga berarti al-habs (penahanan).[1]
Secara syar‘i, ar-rahn (agunan) adalah harta yang dijadikan jaminan utang (pinjaman) agar bisa dibayar dengan harganya oleh pihak yang wajib membayarnya, jika dia gagal (berhalangan) menunaikannya.
Ar-Rahn disyariatkan dalam Islam. Allah Swt. berfirman:
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ
Artinya:
Jika kalian dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sementara kalian tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). (TQS al-Baqarah [2]: 283).
Aisyah ra. menuturkan:
«أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ»
Artinya:
Rasulullah saw. pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo (kredit) dan beliau mengagunkan baju besinya. (HR Bukhari dan Muslim).


Anas ra. juga pernah menuturkan:
«وَلَقَدْ رَهَنَ النَّبِيُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِرْعًا لَهُ بِالْمَدِيْنَةِ عِنْذَ يَهُوْدِيٍّ وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيْرًا ِلأَهْلِهِ»
Sesungguhnya Nabi saw. pernah mengagunkan baju besinya di Madinah kepada orang Yahudi, sementara Beliau mengambil gandum dari orang tersebut untuk memenuhi kebutuhan keluarga Beliau. (HR al-Bukhari).
Ar-Rahn boleh dilakukan baik ketika safar maupun mukim. Firman Allah, in kuntum ‘alâ safarin (jika kalian dalam keadaan safar), bukanlah pembatas, tetapi sekadar penjelasan tentang kondisi. Riwayat Aisyah dan Anas di atas jelas menunjukkan bahwa Nabi saw. melakukan ar-rahn di Madinah dan beliau tidak dalam kondisi safar, tetapi sedang mukim.[2]

1. Beberapa Ketentuan Ar-Rahn (Agunan)
Ar-rahn mempunyai tiga rukun (ketentuan pokok), yaitu: (1) shighat (ijab dan qabul), (2) al-‘aqidan (dua orang yang melakukan akad ar-rahn), yaitu pihak yang mengagunkan (ar-râhin) dan yang menerima agunan (al-murtahin), dan (3) al-ma’qud ‘alaih (yang menjadi obyek akad), yaitu barang yang diagunkan (al-marhun) dan utang (al-marhun bih). Selain ketiga ketentuan dasar tersebut, ada ketentuan tambahan yang disebut syarat, yaitu harus ada qabdh (serah terima).
Jika semua ketentuan tadi terpenuhi, sesuai dengan ketentuan syariah, dan dilakukan oleh orang yang layak melakukan tasharruf, maka akad ar-rahn tersebut sah.
Harta yang diagunkan disebut al-marhûn (yang diagunkan). Harta agunan itu harus diserahterimakan oleh ar-râhin kepada al-murtahin pada saat dilangsungkan akad rahn tersebut. Dengan serah terima itu, agunan akan berada di bawah kekuasaan al-murtahin. Jika harta agunan itu termasuk harta yang bisa dipindah-pindah seperti TV dan barang elektronik, perhiasan, dan semisalnya, maka serah terimanya adalah dengan melepaskan barang agunan tersebut kepada penerima agunan (al-murtahin). Bisa juga yang diserahterimakan adalah sesuatu dari harta itu, yang menandakan berpindahnya kekuasaan atas harta itu ke tangan al-murtahin, jika harta tersebut merupakan barang tak bergerak, seperti rumah, tanah dan lain-lain.
Harta agunan itu haruslah harta yang secara syar‘i boleh dan sah dijual. Karenanya tidak boleh mengagunkan khamr, patung, babi, dan sebagainya. Harta hasil curian dan gasab juga tidak boleh dijadikan agunan. Begitu pula harta yang bukan atau belum menjadi milik ar-râhin karena Rasul saw. telah melarang untuk menjual sesuatu yang bukan atau belum menjadi milik kita.[3]
Dalam akad jual-beli kredit, barang yang dibeli dengan kredit tersebut tidak boleh dijadikan agunan. Tetapi, yang harus dijadikan agunan adalah barang lain, selain barang yang dibeli (al-mabî’) tadi.
            Akad ar-rahn (agunan) merupakan tawtsîq bi ad-dayn, yaitu agar al-murtahin percaya untuk memberikan utang (pinjaman) atau bermuamalah secara tidak tunai dengan ar-râhin. Tentu saja itu dilakukan pada saat akad utang (pinjaman) atau muamalah kredit. Jika utang sudah diberikan dan muamalah kredit sudah dilakukan, baru dilakukan ar-rahn, maka tidak lagi memenuhi makna tawtsîq itu. Dengan demikian, ar-rahn dalam kondisi ini secara syar‘i tidak ada maknanya lagi.
Pada masa Jahiliah, jika ar-râhin tidak bisa membayar utang (pinjaman) atau harga barang yang dikredit pada waktunya, maka barang agunan langsung menjadi milik al-murtahin. Lalu praktik Jahiliah itu dibatalkan oleh Islam.

Rasul saw. bersabda:
«لاَ يُغْلَقُ الرَّهُنُ مِنْ صَاحِبِهِ الَّذِيْ رَهَنَهُ، لَهُ غَنَمُهُ وَعَلَيْهِ غَرَمُهُ»
Artinya:
Agunan itu tidak boleh dihalangi dari pemiliknya yang telah mengagunkannya. Ia berhak atas kelebihan (manfaat)-nya dan wajib menanggung kerugian (penyusutan)-nya. (HR as-Syafii, al-Baihaqi, al-Hakim, Ibn Hibban dan ad-Daraquthni)
Karena itu, syariat Islam menetapkan, al-murtahin boleh menjual barang agunan dan mengambil haknya (utang atau harga kredit yang belum dibayar oleh ar-râhin) dari hasil penjualan tersebut. Lalu kelebihannya harus dikembalikan kepada pemiliknya, yakni ar-râhin. Sebaliknya, jika masih kurang, kekurangan itu menjadi kewajiban ar-râhin. Hanya saja, Imam al-Ghazali, menegaskan bahwa hak al-murtahin untuk menjual tersebut harus dikembalikan kepada hakim, atau izin ar-râhin, tidak serta-merta boleh langsung menjualnya, begitu ar-râhin gagal membayar utang pada saat jatuh temponya.[4]
Atas dasar ini, muamalah kredit motor, mobil, rumah, barang elektronik, dsb saat ini—yang jika pembeli (debitor) tidak bisa melunasinya, lalu motor, mobil, rumah atau barang itu diambil begitu saja oleh pemberi kredit (biasanya perusahaan pembiayaan, bank atau yang lain), jelas menyalahi syariah. Muamalah yang demikian adalah batil, karenanya tidak boleh dilakukan.

2. Pemanfaatan al-marhun oleh al-Murtahin
Setelah serah terima, agunan berada di bawah kekuasaan al-murtahin. Namun, itu bukan berarti al-murtahin boleh memanfaatkan harta agunan itu. Sebab, agunan hanyalah tawtsîq, sedangkan manfaatnya, sesuai dengan hadis di atas, tetap menjadi hak pemiliknya, yakni ar-râhin. Karena itu, ar-râhin berhak memanfaatkan tanah yang dia agunkan; ia juga berhak menyewakan barang agunan, misal menyewakan rumah atau kendaraan yang dia agunkan, baik kepada orang lain atau kepada al-murtahin, tentu dengan catatan tidak mengurangi manfaat barang yang diagunkan (al-marhun). Ia juga boleh menghibahkan manfaat barang itu, atau mengizinkan orang lain untuk memanfaatkannya, baik orang tersebut adalah al-murtahin (yang mendapatkan agunan) maupun bukan.[5]
Hanya saja, pemanfaatan barang oleh al-murtahin tersebut hukumnya berbeda dengan orang lain. Jika akad ar-rahn itu untuk utang dalam bentuk al-qardh, yaitu utang yang harus dibayar dengan jenis dan sifat yang sama, bukan nilainya. Misalnya, pinjaman uang sebesar 50 juta rupiah, atau beras 1 ton (dengan jenis tertentu), atau kain 3 meter (dengan jenis tertentu). Pengembaliannya harus sama, yaitu 50 juta rupiah, atau 1 ton beras dan 3 meter kain dengan jenis yang sama.6 Dalam kasus utang jenis qardh ini, al-murtahin tidak boleh mamanfaatkan barang agunan sedikitpun, karena itu merupakan tambahan manfaat atas qardh. Tambahan itu termasuk riba dan hukumnya haram.[6]
Jika ar-rahn itu untuk akad utang dalam bentuk dayn, yaitu utang barang yang tidak mempunyai padanan dan tidak bisa dicarikan padanannya, seperti hewan, kayu bakar, properti dan barang sejenis yang hanya bisa dihitung berdasarkan nilainya,8 maka al-murtahin boleh memanfaatkan barang agunan itu dengan izin dari ar-râhin. Sebab, manfaat barang agunan itu tetap menjadi milik ar-râhin. Tidak terdapat nash yang melarang hal itu karena tidak ada nash yang mengecualikan al-murtahin dari kebolehan itu.
Ketentuan di atas berlaku, jika pemanfaatan barang agunan itu tidak disertai dengan kompensasi. Namun, jika disertai kompensasi, seperti ar-râhin menyewakan agunan itu kepada al-murtahin, maka al-murtahin boleh memanfaatkannya baik dalam akad al-qardh maupun dayn. Karena dia memanfaatkannya bukan karena statusnya sebagai agunan al-qardhu tetapi karena dia menyewanya dari ar-rahin. Dengan ketentuan, sewanya tersebut tidak dihadiahkan oleh ar-râhin kepada al-murtahin. Namun, jika sewanya tersebut dihadiahkan, maka statusnya sama dengan pemanfaatan tanpa disertai kompensasi, sehingga tetap tidak boleh dalam kasus al-qardh, dan sebaliknya boleh dalam kasus dayn.
3. Syarat Syah Gadai
Menurut Sayyid  Sabiq, bahwa gadai itu baru dianggap sah apabila memenuhi empat syarat Yaitu:
a.       Orangnya sudah dewasa
b.      Berfikiran sehat
c.       Barang yang digadaikan sudah ada saat terjadi aqad gadai
d.      Barang gadaian dapat diserahkan atau dipegang oleh penggadai
barang atau benda yang dijadikan jaminan itu dapat berupa emas, berlian dan benda bergerak lainya dan dapat pula berupa surat-surat berharga(surat tanah, Rumah)

4. Pemanfaatan Barang Gadai
       Ada cara lain, bahwa sawah atau kebun yang dijadikan jaminan itu diolah oleh pemilik sawah atau kebun itu. Tetapi hasilnya dibagi antara pemilik dan penggadai selama piutangnya belum selesai dikembalikan.
Pada dasarnya pemilik sawah atau kebun dapat mengambil manfaatnya.
B. IHTIKAR
Ihtikar artinya zalim (aniaya) dan merusak pergaulan. Upaya penimbunan barang gangan untuk menunggu melonjaknya harga.  Para ulama mengemukakan definisi ihtikar yakni:

a. Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani (ahli Fiqih Madzhab Zaidiyah) mendefinisikan “penimbunan/penahanan barang dagangan dari peedarannya.”
b. Imam Al-Ghazali (Madzhab Syafi’i) mendefinisikannya “penyimpanan barang dagangan oleh penjual makanan untuk menunggu melonjaknya harga dan penjualannya ketika harga elonjaknya.”
c. Ulama Madzhab Maliki mendefinisikannya dengan “penyimpanan barang oleh produsen baik makanan, pakaian dan segala barang yang meusak pasar.”
Ketiga definisi tesebut, bleh dikatakan mempunyai pengertian yang sama, yaitu ada upaya dari seseorang orang menimbun barang pada saat barang itu langka atau diperkirakan harga akan naik, seperti kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM).
1.      Dasar Hukum Ihtikar
Dasar hukum yang digunakan para ulama fikih yang tidak membolehkan Ihtikar adalah kandungan nilai-nilai universal al-Qur’an yang menyatakan, bahwa setiap perbuatan aniaya, termasuk di dalamnya ihtikaar diharamkan oleh agama Islam.
Di antara ayat-ayat tersebut adalah firman Allah dalam surat Al-Maidah:2
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#q=ÏtéB uŽÈµ¯»yèx© «!$# Ÿwur tök¤9$# tP#tptø:$# Ÿwur yôolù;$# Ÿwur yÍ´¯»n=s)ø9$# Iwur tûüÏiB!#uä |MøŠt7ø9$# tP#tptø:$# tbqäótGö6tƒ WxôÒsù `ÏiB öNÍkÍh5§ $ZRºuqôÊÍur 4 #sŒÎ)ur ÷Läêù=n=ym (#rߊ$sÜô¹$$sù 4 Ÿwur öNä3¨ZtB̍øgs ãb$t«oYx© BQöqs% br& öNà2r|¹ Ç`tã ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tptø:$# br& (#rßtG÷ès? ¢ (#qçRur$yès?ur n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3uqø)­G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߃Ïx© É>$s)Ïèø9$# ÇËÈ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-Nya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum Karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.
Sabda Rasulullah SAW:
“Siapa yang merusak harga pasar hingga harga itu melonjak tajam, maka Allah akan menempatkannya di dalam neraka pada hari kiamat.” (HR. Thabrani)
2.       Hukum Ihtikar
Berdasarkan ayat Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah diatas, para ulama sepakat mengatakan, bahwa Ihtikar tergolong dalam perbuatan yang dilarang (haram). Seluruh ulama sepakat menyatakan ihtikar itu hukumnya haram, walaupun terjadi perbedaan pendapat tentang cara penetapan hokum tersebut, sesuai dengan system pemahaman hokum yang dimiliki oleh madzhab masing-masing.
Ulama madzhab Syafi’I, Hanbali, Maliki, Zaidiyah dan Az-Zahiri berpendapat bahwa melakukan ihtikar hukumnya haram, berdasarkan ayat dan hadits yang telah disebutkan diatas.
Menurut kalangan Madzhab Maliki, ihtikar itu hukumnya haram dan harus dicegah oleh pemerintah dengan segala cara karena perbuatan itu membawa mudharat yang besar terhadap kehidupan masyarakat dan Negara. Oleh karena itu, pihak penguasa harus segera campur tangan untuk mengatasinya sesuai dengan kaidah fiqih yang mengatakan :
 “Hak orang lain terpelihara menurut syara’”.
Dalam masalah ini ihtikar yang paling utama yang harus diperhatikan adalah hak konsumen, karena menyangkut orang banyak. Sedangkan hak orang lain yang melakukan ihtikar (penimbunan) hanya merupakan hak pribadi. Sekiranya hak pribadi bertentangan dengan hak orang banyak, maka hak orang banyaklah yang harus diutamakan dan didahulukan.
Madzhab Syafi’I berpendapat, bahwa hadits yang menyatakan ihtikar merupakan suatu pekerjaan yang salah, mengertian yang dalam. Sebab orang yang melakukan kesalahan dengan sengaja, berarti telah berbuat suatu pengingkaran terhadap ajaran agama (syara’), merupakan perbuatan yang diharamkan. Apalagi ancaman dalam hadits itu adalah jadi penghuni neraka.
Ulama Madzhab Hambali juga mengatakan , bahwa ihtikar merupakan perbuatan yang diharamkan syara’, karena membawa mudharat yang besar terhadap masyarakat dan Negara.
3.       Campur Tangan Pemerintah
Apabila telah terjadi penimbunan barang, maka pemerintah berhak memaksa para pedgang untuk menjual barang tersebut dengan harga standar yang berlaku dipasar. Bahkan, menurut para ulama, barang yang ditimbun oleh para pedagang dijual dengan harga modalnya dan pedagang tersebut tidak dibenarkan mengambil keuntungan sebagai hukuman terhadap mereka. Sekiranya para pedagang itu enggan menjual barangnya dengan harga pasir, maka pihak penegak hokum (halim) dapat menyita barang itu dan kemudian membagikannya kepada masyrakat yang memerlukannya. Pihak pemerintah seharusnya setiap saat memantau dan mengantisipasi, agar tidak terjadi ihtikar dalam setiap komoditas, manfaat dan jasa yang dapat diperlukan masyarakat. Harga standar yang tidak memberatkan masyarakat dan merugikan pedagang harus dipadukan, dan tidak sampai menguntungkan sepihak, masyarakat atau pedagang.
Menurut Fathi a-Duraini, bahwa pemerintah tidak dibenarkan mengeksport bahan kebutuhan warganya sampai tidak ada lagi yang dikonsumsikan oleh masyarakat, sehingga membawa kemudharatan.
Pengeksporan barang-barang yang diperlukan masyarakat pada dasarnya sama dengan ihtikar dari segi akibat yang dirasakan oleh masyarakat. Lebih para lagi, apabila barang-barang itu diselundupkan ke luar negeri (tidak legal) seperti minyak tanah (BBM), padahal masyarakat betul-betul sangat memerlukannya.












PENUTUP
KESIMPULAN

‘ariyah yaitu perbuatan seseorang yang membolehkan atau mengizinkan orang lain untuk mengambil manfaat barang miliknya tanpa ganti rugi
Hiwalah (ﺍﻟﺤﻭﻟﻪ) berarti pengalihan, pemindahan, berubah kulit dan memikul sesuatu diat Ulama mazhab Hanafi (Ibnu Abidin) mendefinisikan Hiwalah ialah pemindahan membayar hutang dari orang yang berhutang(al-muhiil=   ﺍﻟﻣﺤﻴﻞKepada yang berhutang lainya(muhaal alaih= ﺍﻟﻣﺤﺎﻝ ﻋﻠﻴﻪ)
Ulama mazhab Hanafi lainya (Kamal bin Humman)mendefinisikanya dengan : ”Pengalihan kewajiban membayarkan hutang dari pihak pertama kepada pihak lainya yang berhutang kepadanya atas dasar saling mempercayai”.
Ihtikar artinya zalim (aniaya) dan merusak pergaulan. Upaya penimbunan barang gangan untuk menunggu melonjaknya harga.  Para ulama mengemukakan definisi ihtikar yakni:

a. Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani (ahli Fiqih Madzhab Zaidiyah) mendefinisikan “penimbunan/penahanan barang dagangan dari peedarannya.”
b. Imam Al-Ghazali (Madzhab Syafi’i) mendefinisikannya “penyimpanan barang dagangan oleh penjual makanan untuk menunggu melonjaknya harga dan penjualannya ketika harga elonjaknya.”
c. Ulama Madzhab Maliki mendefinisikannya dengan “penyimpanan barang oleh produsen baik makanan, pakaian dan segala barang yang meusak pasar.”



DAFTAR PUSTAKA

Lihat: Ibn Muflih al-Hanbali, al-Mubdi’, IV/213, al-Maktab al-Islami, Beirut. 1400 ; Muhammad
bin Ahmad ar-Ramli al-Anshari, Ghâyah al-Bayân Syarh Zabidi ibn Ruslân, I/193, Dar
al-Ma’rifah, Beirut. tt; Abu Abdillah al-Maghribi, Mawâhib al-Jalîl, V/2, Dar al-Fikr,
Beirut, cet. ii. 1398
QS al-Baqarah ayat 283 menjelaskan bahwa dalam muamalah tidak secara tunai ketika safar dan
tidak terdapat penulis untuk menuliskan transaksi itu maka ar-rahn dalam kondisi itu
hukumnya sunnah. Dalam kondisi mukim hukumnya mubah. Lihat: Atha’ bin Khalil Abu
ar-Rasytah, Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr ( Sûrah al-Baqarah), hlm. 437-438, Dar al-Ummah,
Beirut, cet. ii (mudaqqiqah). 2006
Rasul bersabda, “Lâ tabi’ mâ laysa ‘indaka (Jangan engkau jual apa yang bukan milikmu)
 (HR Abu Dawud, an-Nasai, Ibn Majah, at-Tirmidzi, Ahmad dan al-Baihaqi)
Abu Hamid al-Ghazali, al-Wasith, III/520, Dar as-Salam, Kairo. H. 471
Lihat: an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, II/340-343, min mansyurat Hizb at-Tahrir,
Dar al-Ummah li ath-Thaba’ah wa an-Nasyr wa at-Tawzi’, Beirut, cet. v (mu’tamadah).
2003.
Samih ‘Athif az-Zain, al-Mu’amalat, Dar al-Kitab al-Lubnani, Lebanon, cetakan I, 1995, 285
dan 303-304.




[1]Lihat: Ibn Muflih al-Hanbali, al-Mubdi’, IV/213, al-Maktab al-Islami, Beirut. 1400 ; Muhammad bin Ahmad ar-Ramli al-Anshari, Ghâyah al-Bayân Syarh Zabidi ibn Ruslân, I/193, Dar al-Ma’rifah, Beirut. tt; Abu Abdillah al-Maghribi, Mawâhib al-Jalîl, V/2, Dar al-Fikr, Beirut, cet. ii. 1398.
[2]QS al-Baqarah ayat 283 menjelaskan bahwa dalam muamalah tidak secara tunai ketika safar dan tidak terdapat penulis untuk menuliskan transaksi itu maka ar-rahn dalam kondisi itu hukumnya sunnah. Dalam kondisi mukim hukumnya mubah. Lihat: Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr ( Sûrah al-Baqarah), hlm. 437-438, Dar al-Ummah, Beirut, cet. ii (mudaqqiqah). 2006.

[3]Rasul bersabda, “Lâ tabi’ mâ laysa ‘indaka (Jangan engkau jual apa yang bukan milikmu) (HR Abu Dawud, an-Nasai, Ibn Majah, at-Tirmidzi, Ahmad dan al-Baihaqi).

[4] Abu Hamid al-Ghazali, al-Wasith, III/520, Dar as-Salam, Kairo. H. 471
[5]Lihat: an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, II/340-343, min mansyurat Hizb at-Tahrir, Dar al-Ummah li ath-Thaba’ah wa an-Nasyr wa at-Tawzi’, Beirut, cet. v (mu’tamadah). 2003.
[6]Samih ‘Athif az-Zain, al-Mu’amalat, Dar al-Kitab al-Lubnani, Lebanon, cetakan I, 1995, 285 dan 303-304.

0 komentar:

Posting Komentar