Jumat, 25 Mei 2012


MAKALAH
ULUMUL HADITS
tentang
Pengenalan Metode Penelitian Hadits dan Penegenalan Metodologi Pemahamam Hadits
“Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah ulumul hadits”









Oleh :
HANDAYANI
: 310.006
                      
Dosen Pembimbing :
YUSRIL AMIR, M, Ag


JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM ( PMH )
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN )
IMAM BONJOL PADANG
2010/2011
Bismilah
BAB I
PENDAHULUAN
           
          Melakukan studi hadits adalah untuk meneliti kualitas hadits, kualitas hadits sangat perlu diketahui dalam hubungannya dengan kehujjahan (argumentasi) hadits hadits yang bersangkutan. hadits yang kualitasnya tidak memenuhi syarat tidak dapat digunakan sebagai hujjah.
            Hadits yang diteliti adalah hadits yang berstatus ahad. untuk hadits yang berstatus mutawatir ulama tidak menganggap perlu diteliti lebih lanjut sebab hadits yang bersangkutan berasal dari nabi .
            Dalam makalah ini, penulis akan mencoba menguraikan tentang pengenalan metode penelitian hadits dan pengenalan metodologi pemahaman hadits. semoga makalah ini menenbah wawasan dan membari manfaat bagi kita semuanya dan dipergunakan dengan mana semestinya.











Bismilah
BAB II
ISI
Pengenalan Metode Penelitian Hadits


A.  Pengenalan Metode Penelitian Hadits
Melakukan studi hadits adalah untuk meneliti kualitas hadits. kualitas hadits sangat perlu diketahui dalam hubangannya dengan kahujjahan (argumentasi) hadits yang bersangkutan.hadits yang kualitasnya tidak memenuhui syarat tidak dapat diganakan sebagai hujjah. Pemenuhan syarat itu diperlukan karena hadits merupakan salah satu sumber ajaran Islam.
Hadits yang diteliti adalah hadits yang berstatus Ahad. Untuk hadits yang berstatus mutawatir ulama tidak menganggap perlu diteliti lebih lanjut sebab hadits hadits yang bersangkutan berasaldari Nabi. Menurut Syuhudi  Ismail bagian-bagian hadits yang menjadi objek penelitian ada dua yaitu Sanad dan Matan. Sanad adalah rangkaian para periwayat yang menyampaikan riwayat Hadits. Sedangkan Matan adalah materi atau isi hadits itu sendiri.[1]
Sanad hadits mengandung dua bagian peneliti yaitu:
· Nama-nama periwayat yang terlibat dalam periwayatan hadits yang bersangkutan
· Lambang-lambang periwayatan hadits yang telah diinginkan oleh masing-masing periwayatn dalam meriwayatan hadits yang bersangkutan.[2]
Untuk meneliti matan hadits dari segi kandunganya diperlukan penggunaan pendekatan bahasa Arab yang digunakan oleh Nabi dalam menayampaikan hadits dengan selalu dalam susunan yang baik dan benar. disampingi itu pendekatan lain juga dibutuhkan seperti rasio,  dan sejarah.
Para peneliti hadits dalam melakukan penelitian berbekal metodologi yang  baku dan ketat. Mereka menggolngkan hadits kedalam empat golongan utama, yaitu shahih (asli), hasan (baik), dha’if (lemah), maudu’ (palsu). Apabila kita meneliti sebuah hadits maka ia harus melucuti hadits tersebut satu persatu mulai dari sanadnya, matanya, rawinya, caranya dengan metode yang disebut takhijul-hadits.[3]
1.    Pengenalan Jenis Kitab-Kitab Hadits Standar

a.         IMAM BUKHARI (194-256 H/810-870M)
Baliau adalah amirul mukmini dalam hadits. Dia bernama Abu Abdullah Muhammad ibnu Ismail ibnu Ibrahim ibnu Al-mugirah ibnu Bardizbah. Kakenya yang bernama Bardizbah ini beragama majusi, Putra yang bernama mugirah memeluk agama Islam dibawah bimbingan Yaman al-ju’fi gubernur bukhara. “sehingga dia dipanggil mugirah al-ji’fi”.[4]
Imam bukhari wafat pada malam idul fitri tahun (256 H) 31 Agustus 870 M dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. baliau dikebumikan di desa kecil yang terletak enam Mil dari Kota Samarkand.
·  Guru Imam Bukhari
Dalam perjalanan ke berbagai negeri. Imam Bukhari bertemu dengan guru-guru terkemuka yang dapat depercaya. Beliau mengetakan “Aku menulis hadits dari 1.080 guru.yang semuanya adalah ahli hadits dan berpendirian bahwa iman itu adalah ucapan dan perbatan”. Diantara guru-guru itu adalah: Ali Bin Al-Madini, Ahmadd bin habal, Yahya bin Ma’ai, Muhammad bin yusuf al-firyabi, dan lain-lain. Jumlah guru yang haditsnya diriwayatkan dalam kitab sahihnya sebanyak 289 guru.
·  Murid-muridnya
Orang yang meriwayatkan  hadits dari Imam Bukhari yang tidak terhitung jumlahnya, sehingga ada yang berpendapat, ada sekitar 90.000 orang yang mendengar langsung dari Imam Bukhari. Di antara sekian banyak muridnya yang paling menonjol  adalah Muslim  bin al-hajjaj, Tirmizi, Nasa’I dan lain-lain.[5]
·  Karya-karya Imam Bukhari
Ø  Al-jami’us Sahih
Ø  Adabul Mufrad
Ø  At-tarikh as-Sagir
Ø  At-tarikh as-Awsat
Ø  At-tarikh al-kabir
Ø  At-sir al-kabir
Ø  Al-Musnad al-kabir
Ø  Kitabul’lal
Ø  Raf’ul Yadain fis-salah
Ø  Birrul Walidain
Ø  Kitabbul Asyribah
Ø  Al-kira’ah  khalfal imam
Ø  Kitab ad-duafa
Ø  Asami as-Sahabah
Ø  Kitab al-kuna

v  Al-jami’us Sahih
Para ulama sebelum Bukhari tidak hanya mengumpulkan hadits-hadits sahih saja. tetapi mereka menghimpun  hadits Sahih, Hasan, dan Da’if. untuk membedakan ketiga hadits tersebut, mereka menyerahkan kepada pembaca dan pelajar untuk mengkritik dan meneliti. membedakan hadits yang maqbul (diterima), dengan mardud (ditolak), setelah itu Bukhari menyusun kitab khusus yang berisi hadits-hadits sahih dengan nama  Al-jami’ul Sahih al-musnad as-Sahih al-mukhtasar min umuri Rasulullah wa sunihi wa ayyamihi.[6]

Syarat-syarat hadits sahih menurut Bukhari
syarat hadits sahih yang telah disepakati oleh para ulam adalah sebagai berikut:
o   Perawi hadits harus muslim, berakal, jujur, tidak mudalis, dan tidak mukhtalit, adil, kuat ingatan, dan selalu memelihara apa yang diriwayatkan, sehat pikirannya, pancainderanya dipakai untuk mendengar dan hafal, sedikit salahnya, dan baik aqidahnya.
o   Sanadnya bersambung, tidak mursal, tidak munqati, tidak mu’dal.
o   Matan hadits tidak janggal dan tidak cacat.
§  Jumlah kitab jami’us Sahih
            Ibnu salah dalam muqadimahnya menyebutkan, jumlah hadits sahih Bukhari sebanyak 7.275 buah, termasuk hadits yang terulang, atau sebanyak 4.000 hadits tenpa pengulangan. Perhitungan itu diikuti oleh syikh muhyidin an-nawawi dalam  kitabnya at-Taqrib.
b.   IMAM MUSLIM (206 H-261 M)
Nama lengkap baliau ialah Imam Abdul Hasain bin al-hajjaj bin muslim bin kausyaz al-Qusyairi an-Naisaburi. Dia dilahirkan di Naisabur tahun 206 H. sebagaimana dikatakan oleh al-hakim abu abdullah dalam kitab sahih dan kitab ilmu hadits dia adalah ulama terkemuka yang namanya tetap dikenal sampai kini.
wafatnya Imam Muslim setelah mengurangi kehidupan yang penuh berkah. Muslim wafat pada hari Ahad sore, dan di makamkan dikampung Nas abad daerah Naisabur pada hari senen, 25 Rajab 261H. Dalam  usia 55 tahun. Selama hidupnya, muslim menulis kitab yang bermanfaat.
·         Guru-guru Imam Muslim
Imam muslim mempunyai guru hadits sangat banyak sekali, di antaranya adalah: Usman bin Abi Syaibah, Syaiban bin farukh, Abu khamil al-juri, Zuhair bin Harab, Amar an-Naqid, muhammad bin Musanna, Muhammad bin Yasar, Harun bin sa’id al-Aili, Qutaibah bin sa’id dan lain sebagainya.

·         Murid-murid Imam Muslim
Banyak para ulama yang meriwayat hadits dari muslim, bahkan di antaranya terdapat ulama besar yang sebaya dengan dia. di antaranya, Abu Hatim ar-Razi, musa bin harun, Ibrahim bin Muhammad  bin syufyan al-faqih az-zahid. Nama terakhir ini adalah perawi ulama bagi sahih muslim. dan masih banyak lagi muridnya yang lain.
·         Kitab tulisan Imam Muslim
Ø  Al-jami’us Sahih
Ø  Al-musnadul kabir alar rijal
Ø  Kitab al-asma’wal kuna
Ø  Kitab al-llal
Ø  Kitab Al-Aqran
Ø  Kitab sualatihi ahmad bin hambal
Ø  Kitab al-intifa’ bin uhubis siba’
Ø  Kitab al-muhadramain
Ø  Kitab Man Laisa Lahu illa Rawin Wahidin
Ø  Kitab Auladus Sahabah
Ø  Kitab Auhamul muhaditsin
kitab yang terkenal sampai saat sekarang ini adalah Al-jami’us sahih atau sahih muslim[7].
v  Kitab Sahih Muslim
Kitab ini adalah salah satu dari dua kitab yang paling sahih setelah al-quran. kedua kitab sahih ini diterima umat islam dengan baik .
Imam Muslim sangat teliti dalam mempelajari para rawi, menyeleksi yang dirwayatkan, dan membandingkan antara riwayat yang satu dengan yang lainnya, meneliti susunan lafaznya dan memberikan petunjuk bila terdapat perbedaan pada lafaz-lafaz itu. Dari usaha ini menghasilkan kitab sahih yang menjadi  rujukan bagi para ulama.
Muslim menyaring hadits yang dimasukan dalam kitabnya itu dari ribuan yang telah didengarkannya. Dia pernah berkata “Aku menyusun  kitab sahih ini hasil saringan dari 300.000 hadits”.[8]
Kitab sahih ini adalah hasil dari kehidupan yang penuh berkah, yang ditulis dimana saja ia berada, baik dalam waktu sempit maupun dalam waktu lapang. Dia mengumpulkan, menghfal, menyaring, dan menulis sehingga menjadi sebuah kitab sahih yang baik dan teratur. Dan beberapa muridnya menyelesaikan penyusunan kitab sahih itu dalam dalam waktu 15 (lima belas tahun).
Ahmad bin Salamah mengatakan “Aku menulis bersama muslim untuk menyusun kitab sahih itu selama lima belas tahun. Kitab itu berisi 12.000 hadits.
Orang yang mengutamakan sahih Muslim ini disebabkan:
a.       Karena kebagusan dan susunan yang teratur.
b.      Hadits yang meriwayatkanya sejalan dan dalam satu tema dikumpulkan di satu tempat, tanpa memotong hadits untuk dimasukan ke bab lain.
c.       disamping itu, dia hanya meriwayatkan hadits marfu’ dan tidak meriwayatkan hadits mauquf dan muallaq.
Kitab syarah sahih Muslim yang termasyhur adalah:
·         Al-Mu’allimu bi fawa’idi kitabi muslim. Disusun oleh Abu Abdillah muhammad bin Ali al-Maziri. Beliau wafat tahun 536 H. kitab ini tersimpan dari Darul Kutubul Misriyah.
·         Ikmalul mu’allimi fi syarhi sahih Muslim. Karya imam Qadi Iyad bin Musa al-Yahsabi al-Maliki, wafat tahun 544 H. kitab ini masih belum dicetak.
·         Al-Minhaj fi syarhi Sahih Muslim bin Hajjaj. disusun oleh imam al-Hafiz Abu Zakaria Muhyidin bin Syaraf an-nawawi as-syafi’i.


c.  Imam abu Dawud (202-275 H/817-889 M)
Nama lengkap Abu Dawud adalah sulaiman bin al-asy’as bin Ishak  bin basyir bin syidad bin Amar al-azdi as-sijjistani. dia adalah Imam dan tokoh ahli hadits, serta pengarang kitab sunan. Dia dilahitkan tahun 202 H. di Sijistan.
wafatnya abu dawud di basrah, tempat tinggal atas permintaan Amir sebagaimana telah diceritakan, dia wafat tanggal 16 syawal 275 H. [9]
·         Guru-guru imam Abu Dawud
Jumlah guru imam Abu Dawud sangat banyak. di antara gurunya yang paling menonjol antara lain. Ahmad bin Hambal, al-Qan’abi, Abu Amar ad-Darir, Muslim bin Ibrahim, abdullah bin raja dan lain-lain.
·         Murid-murid Imam Abu Dawud
Ulama yang pernah menjadi muridnya dan yang meriwayatkan haditsnya antara lain Abu Isa at-tirmizi, Abu Abdur Rahman an-nisa’I, putranya sendiri Abu bakar bin abu Dawud, abu awana, dan lain-lain.
v  Kitab karangan Abu Dawud
Ø  Kitab as-sunan
Ø  Kitab al-masiril
Ø  kitab al-Qadar
Ø  An-Nasikh wal Mansukh
Ø  Fada’ilul A’mal
Ø  Kitab az-Zuhud
Ø  Dalailun Nubuwah
Ø  ibtadu’ul wahyu
Ø  Ahbarul khawarij
Di antara yang tersebut di atas yang paling populer adalah kitab as-Sunan yang biasa dikenal adalah sunah Abu Dawud.
v  Kitab Abu Dawud
Penyusunan kitab hadits baik berupa Jami’ ataupun Musnad dan sebagainya disamping memuat hadits hukum, juga mencantumkan hadits mengenai amalan yang terpuji (fada’ilul amal), kisah-kisah, nasihat-nasihat, adab dan tafsir. Cara seperti masih berlangsung sampai periode Abu Dawud. maka Abu Daud menyusun kitab khusus memuat sunnah dan hadits hukum. Ketika selesai menyusunya, Abu Daud mempelihara kitab itu kepada Imam Ahmad bin Hambal. Imam Ahmad bin Hambal mengatakan bahwa kitab itu bagus dan baik.
Abu Dawud tidak hanya memuat hadits sahih saja sebagaiman bukhari dan muslim tetapi dia juga memasukan hadits hasan dan da’if yang tidak ditinggalkan (dibuang) oleh ulama hadits. Apabila dia mencantumkan hadits da’if  maka menjelaskan kelemahan hadits itu. Dalam  kitab sunan Abu Dawud memuat Rasulullah sebanyak 500.000  hadits.
d.      Imam Tirmizi (209-279 H/824-892 M)
Nama lengkap Tirmizi adalah Abu isa muhammad bin musa bin ad-dahhak as-Sulama at-tirmizi.[10]Beliau adalah ulama hadits ternama dan penulis beberapa kitab terkenal. Dia dilahirkan di kota Timiz.
wafatnya Imam Tirmizi setelah melakukan perjalanan panjang dan berdiskusi, serta mengarang, pada akhirnya dia hidup sebagi tuna netra. beberapa tahun kemudian dia meninggal dunia. Dia wafat di Timiz pada malam senen 13 rajab tahun 279 H. Dalam usia 70 tahun
·    Guru-gurunya
Ia belajar dan meriwayatkan hadits dari beberapa ulama besar. Di antaranya adalah Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan lain-lain.
·         Murid-murid Imam Tirmizi
Murid  yang mempelajari dan meriwayatkan hadits dari Tirmizi antara lain: Makhul bin al-fadlal, muhammad bin Mahmud Anbar, Ahmad bin Syakir dan lain-lain.
v  Karya-karya imam Tirmizi
Ø  Kitab al-jami’  terkenel dengan sebutan sunan Tirmizi
Ø  Kitab al-illat, ktab ini terdapat di akhir kitab al-jami’
Ø  Kitab at-tarikh
Ø  Kitab as-syama’il an-Nabawiyah
Ø  Kitab  az-zuhud
Ø  Kitab al-Asma wal Kuna

v  Jami’ At-Tirmizi
Kitab ini adalah salah satu hasil karya imam Tirmizi terbesar dan paling berharga. Ia termasuk salah satu dari Kutubus Sittah (enam hadits pokok) dan kitab hadits yang ternama. al-jami’ ini terkenal dengan nama Sunan Tirmizi. Namun nama pertamalah  yang termasyhur. Sebagaian ulama tidak keberatan menyebutkan kitab itu sebagai Sahih Tirmizi.
e.       Imam Nasa’I (215-303 H/839-915 M)
Dia adalah ulama terkemuka melebihi ulama lain di masanya. Sebagaimana  yang diungkapkan oleh az-Zahabi dalam kitabnya yang berjudul Tazkirah, nama lengkap imam Nasa’I adalah Abu Abdur Rahman Ahmad bin Ali bin Syu’ab bin Ali bin Sinan bin bahar al-khurasani al-Qadi. Dilahirkan di daerah Nasa pada tahun 215 H. ada yang berpendapat, dia dilahirkan tahun 214 H.
Wafatnya imam Nasa’i  di Makah dan kemudian dimakamkan di suatu tempat  antara safa dengan marwa tahun 303 H.
·         Karya-karya imam Nasa’i
Ø  As-sunanul kubra
Ø  As-sunanus sugra, terkenal dengan nama al-mujtaba
Ø  Al-khasa’is
Ø  fada’ilus sahabah
Ø  Al-manasik
Di antara karya tersebut, yang paling besar dan terkenal adalah kitab as-sunan.
f.       Imam Ibnu Majah (209-273 H/824-887 M)
Nama  lengkapnya Abu Abdullah bin Yazid bin Majah ar-rabi’I al-Qazwini, dilahirkan di Qazwin tahun 209 H. dan wafat tanggal 22 ramadhan 273 H. Jenazahnya di sholatkan oleh saudaranya
·         Guru-guru imam Ibnu Majah
Ibnu Majah belajar dan meriwayatkan hadits dari Abu Bakar  bin Abi Syaibah, muhammad bin Abdulah bin Namir, Hisyam bin Ammar dan ulama lainya.
·         Karya-karya imam Ibnu  Majah
Ø  Kitab as-sunan, salah satu dari kuttubus sittah (enam kitab hadits)
Ø  Tafsir al-quran
Ø  kitab tarikh, berisi sejarah sejak masa sahabat sampai masa Ibnu Majah
v  Sunan ibnu Majah
Kitab ini adalah salah satu karya Ibnu Majah yang terbesar dan masih beredar sampai sekarang. beliau menyusun sunan menjadi bebrapa kitab. Sunan ini terdiri dari 32 kitab dan 1.500 bab. Jumlah haditsnya sebanyak 4.000 buah. Kitab sunan ini disusun secara baik dan indah. beliau memulai sunan ini dengan bab mengikuti sunah Rasulullah saw. Dalam bab ini dia membahas hadits yang menunjukan kekuatan sunah, kewajiban untuk mengikuti dan mengamalkannya.
Kedudukan  sunan Ibnu Majah  di antara kitab hadits.
Sebagian  ulama sudah sepakat, bahwa kitab hadits yang pokok ada yaitu:
§  Sahih Bukhari
§  sahih Muslim
§  Sunan Abu Dawud
§  Sunan  Nasa’i
§  Sunan  Tirmizi


2.         Cara Praktis Mencari Hadits
Al-takhrij merupakan masdar dari akar kata kharraja, yakharriju, takhrijan. secata etimologi  Al-takhrij  berarti perhimpunan dua hal yang salingberlawanan dalam satu hal, seperti tanah gersang dengan tanah subur.[11]
Menurut  Abuddin Nata sebagimana halnya Al-quran, Al-haditspun telah banyak diteliti oleh para ahli, bahkan dapat dikatakan penelitian terhadap Al-hadits lebih banyak kemungkinanya dibandingkan penelitian terhadap Al-quran, dari segi datang  (Al-wurud)nya hadits tidak seluruhnya diyakini berasal dari Nabi.
secara terminologi takhrij menunjukan letak hadits dalam sumber-sumber yang asli (sumber primer) dimana diterangkan rangkaian sanadnya.[12]



Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan takhrij hadits:
·         Memperhatikan sahabat yang meriwayatkanya, jika disebutkan.
·         memperhatikan lafaz-lafaz pertama dari matan hadits.
·         memperhatikan salah satu lafaz hadits.
·         memperhatikan tema hadits.
·         memperhatikan sifat khusus sanad/matan hadits.[13]

Dengan  demikian, untuk melakukan takhrij hadits hadits al-hadits dapat ditempuh salah satu metode dari beberapa metode berikut:
a.       metode takhrij melalui pengetahuan tentang nama sahabat perawi  hadits.
Metode ini hanya di pergunakan bila nama sahabat itu tercantum pada hadits yang akan ditakhrij. Apa bila nama sahabat tercantum pada hadits tersebut, atau tidak tercantum tetapi dapat diketahui dengan cara tertentu, kemudian ditentukan pula metode takhrij  yang didasarkan pada pengetahuan nama sahabat, perawi hadits, maka digunakan 3 macam kitab yaitu:
·         Kitab Musnad adalah kitab-kitab yang disusun berdasarkan urutan nama sahabat.
·         Kitab Mu’jam adalah kitab yang disusun menurut nama-nama sahabat, guru, negeri atau lainya.
b.      Metode  takhrij melalui lafaz awal dari matan hadits.
Metode ini dipakai  apabila permulaan lafaz-lafaz hadits itu dapat diketahui dengan tepat.
Jenis-jenis kitab yang dipakai dalam metode ini antara lain:
·         Kitab-kitab hadits yang disusun untuk hadits-hsdits yang populer dalam msyarakat.
·         Kitab-kitab hadits yang disusun secara al-fabetis
c.       Metode takhrij melalui pengetahuan tema hadits
Metode ini hanya menggunakan satu kitab petunjuk saja, yaitu: al-mu’jam al-murfarhas Li al-faizhi al-hadits al-Nabawi, kitab sumber yang dijadikan rujukan oleh kitab ini ada sembilan  yaitu:
·         Sahih bukhari
·         Sahih muslim
·         Sunan Tirmizi
·         Sunan abu dawud
·         Sunan nasa’i
·         Sunan ibnu majah
·         Muwathah malik
·         Musnad ahmad
·         Al-darimi
d.      Metode tekhrij melalui  pengetahuan tema hadits.
Metode ini akan mudah digunakan oleh orang yang sudah terbiasa dan ahli dalam hadits. Yang dituntut dalam metode ini adalah kemampuan menentukan tema atau salah satu tema dati suatu hadits yanmg hendak ditakhrijkan. Misalnya: hadits mengenai mandi kita cari di bab thaharah.
e.       Metode takhrij melalui pengetahuan tentang sifat khusu atau sanad hadits itu.
Yang dimaksud dengan metode takhrij ini adalah memperhatikan keadaan-keadaan dan sifat hadits yang baik pada matan atau sanadnya, kemudian mencari asal-asal hadits itu dalam kitab-kitab yang khusus mengumpulkan hadits-hadits yang mempunyai keadaan atau sifat-sifat tersebut, baik dalam matan maupun dalam sanadnya.

B.     Pengenalan metodologi pemahaman hadits

a.       Al-Tafsir al-Tahlily (metode Analisis)
Al-Tafsir al-Tahlily adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Di dalam tafsirnya, penafsir mengikuti urutan ayat-ayat sebagai mana yang telah tersusun dalam mushaf ( Penjelas tentang mushaf Silahkan Rujuk M. M. Al-A’Zami. The History The Qur’anic Text)
Para penafsir tahliliy ini ada yang terlalu bertele-tele dengan uraian yang panjang lebar, ada pula yang terlalu sederhana dan ringkas. Biasanya mufasir mempunyai kecenderungan (corak penafsiran) yang beraneka ragam, seperti:
·         Al-Tafsir bi al-Ma’tsur
Al-Tafsir bi al-Ma’tsur adalah penafsiran ayat dengan ayat; penafsiran ayat dengan hadits Rasulullah SAW. Yang menjelaskan makna sebagian ayat yang dirasa sulit dipahami oleh para sahabat; atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para sahabat; atau penafsiran hasil ijtihad para tabi’in.
Diantara kitab-kitab yang memuat tafsir bi al-Ma’tsur adalah
- Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, karya Ibn Katsir (w. 774 H)
- Al-Dar al-Mansuri fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur, karya al-Suyuthy (w. 991 H)
- Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an al-Karim, karya Ibn Jarir al-Tabary (W. 310 H)
·         Al-Tafsir bi al-Ra’yi (bercorak Rasional)
Al-Tafsir bi al-Ra’iy adalah penafsiran al-Qur’an dengan ijtihad, terutama setelah mufasir itu sudah sangat mengerti dengan perihal bahasa Arab, asbab al-nuzul, nasikh wa mansukh, dan hal-hal lain yang diperlukan oleh lazimnya seorang penaf
Diantara kitab tafsir “ bi al-Ra’yi” ini adalah
- Mafatih al-Gha’ib, oleh al-fakhr al-Razi (w. 606 H)
- Libabi al-Takwili fi ma’aniy al-Tanzil, karya al-Khazin (w. 741 H)
·         Al-Tafsir al-Shufi (bercorak Tasauf)
Al-Tafsir al-Shufi terbagi kepada dua bentuk:
- Tasauf teoritis yaitu para penganut aliran ini mencoba meneliti dan mengkaji al-Qur’an berdasarkan teori-teori mazhab dan sesuai dengan ajaran mereka. penafsir ini tampak berlebih-lebihan dalam menafsirkan ayat al-Qur’an, dan tafsirannya sering keluar dari arti zahir yang dimaksud syara’ yang didukung oleh kajian bahasa.
Al-Zahabi mengatakan kitab tafsir yang bercorak tasauf teoritis hanyalah penafsiran ayat-ayat al-Qur’an secara acak dan parsial yang dinisbatkan kepada Ibn Arabi dan yang terdapat di dalam kedua kitabnya, al-Futuhat al-Makkiyyah dan al-Fushush, serta di dalam kitab tafsir yang bercorak beraneka ragam.


b.      Maudhu’iy
Tafsir Mudhu’i disebut juga dengan tafsir tawhidi yakni, usaha untuk mengkaji dan mempelajari ayat-ayat Alquran dengan menampilkan suatu topik diantara topik-topik yang ada yang menyangkut kehidupan akidah, kemasyarakatan, kauniyyah, sejarah dan sebagainya.
Sungguh banyak cara untuk ditempuh oleh para pakar Alquran untuk menyajikan kandungan dan pesan-pesan firman Allah itu. Ada yang menyajikannya sesuai urutan ayat-ayat sebagaimana termaktub dalam Mushaf (tahliliy), misalnya dari ayat pertama surat al-Fatihah hingga ayat terakhir, kemudian berlanjut ke ayat pertama surat kedua (Al-Baqarah) hingga berakhir pula, dan seterusnya. Ada juga yang memilih topik (tematik) tertentu kemudian menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan topik tersebut, dimana pun ayat itu ditemukan. Selanjutnya dalam menyajikan kandungan dan pesan-pesan yang berkaitan dengan topik yang dipilihnya itu tanpa terikat dengan urutan ayat dan surat sebagaimana terlihat dalam Mushaf, dan tanpa menjelaskan hal-hal yang tidak berkaitandengan topik walaupun hal yang tidak berkaitan itu secara tegas dikemukakan oleh ayat yang dibahasnya. 
 Apa yang dinamai metode tahliliy atau tajzi’I adalah bagaikan hidangan prasmanan, sedangkan menyodorkan kepada para tamu sebuah kotak makanan adalah ilustrasi dari yang dinamai oleh pakar dengan metode Mudhu’i (tematik) atau tauhidi (kesatuan). Apabila anda sibuk dan ingin cepat, maka tentu saja anda mengambil kotak berisi makanan yang telah tersedia. Sebaliknya, apabila anda santai dan ingin lebih puas maka pilihlah prasmanan. 

c.       Tekstual

Pemahamanhadits secara tekstual dilakukan bila hadits yang bersangkutan, setelahdihubungkan dengan segi-segi yang berkaitan dengannya, misalnya latar belakangterjadinya, tetap menuntut pemahaman sesuai dengan apa yang tertulis dalam tekshadits yang bersangkutan sehingga pemahamannya secara kontekstual dilakukanbila dibalik teks suatu hadits, ada petunjuk kuat yang mengharuskan untukdipahami tidak sebagaimana maknanya yang tersurat (tekstual). Contoh,berdasarkan hadits Nabi tentang usus orang mukmin yang kafir. Yang artinya:“orang yang beriman itu makan dengan satu usus (perut), sedangkan orang kafirmakan dengan tujuh usus.” Secaratekstual hadits tersebut menjelaskan bahwa usus orang beriman berbeda denganorang kafir. Padahal dalam kenyatannya yang lazim perbedaan anatomi tubuhmanusia tidak disebabkan oleh perbedaan iman seseorang. Dengan demikianpernyataan hadits itu merupakan ungkapan simbolik. Itu berarti hadits di atasharus dipahami secara kontekstual. Ada pula hadits Nabi yang pemahamannya hanya bisa dipahami secara kontekstual,sedangkan kalau dipahami secara tekstual dirasa kurang tepat dalampemaknaannya.


d.      Kontekstual

Kata “kontekstual” berasal dari “konteks” yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung dua arti:
1)      bagian sesuatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna;
2)      situasi yang ada hubungan dengan suatu kejadian. Kedua arti ini dapat digunakan karena tidak terlepas istilah dalam kajian pemahaman Hadits.
Dari sini pemahaman kontekstual atas hadits menurut Edi Safri, adalah memahami hadits-hadits Rasulullah dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa atau situasi yang melatarbelakangi munculnya hadits-hadits tersebut, atau dengan kata lain, dengan memperhatikan dan mengkaji konteksnya.
Dengan demikian asbab al-wurud dalam kajian kontekstual dimaksud merupakan bagian yang paling penting. Tetapi kajian yang lebih luas tentang pemahaman kontekstual tidak hanya terbatas pada asbab al-wurud dalam arti khusus seperti yang biasa dipahami, tetapi lebih luas dari itu meliputi: konteks historis-sosiologis, di mana asbab al-wurud merupakan bagian darinya.
Pemahaman kontekstual atas hadits Nabi berarti memahami hadits berdasarkan kaitannya dengan peristiwa-peristiwa dan situasi ketika hadis diucapkan, dan kepada siapa pula hadis itu ditujukan. Salam artinya, hadits habi saw hendaknya tidak ditangkap makna dan maksudnya hanya melalui redaksi lahiriah tanpa mengkaitkannya dengan aspek-aspek kontekstualnya. Meskipun di sini kelihatannya konteks historis merupakan aspek yang paling penting dalam sebuah pendekatan kontekstual, namun konteks redaksional juga tak dapat diabaikan. Yang terakhir ini tak kalah pentingnya dalam rangka membatasi dan mengangkap makna yang lebih luas (makna filosofis) sehingga hadits tetap menjadi komunikatif.
Dari sini maka dalam pendekatan kontekstual, seperti apa yang dikatakan Qamaruddin Hidayat, seorang penafsir atau pembaca lalu memposisikan sebuah teks (baca: hadits) ke dalam sebuah jaringan wacana. Ibarat sebuah gunung es, sebuah teks adalah fenomen kecil dari puncak gunung yang tanpak di permukaan. Oleh karena itu tanpa mengetahui latar belakang sosial budaya dari mana dan dalam situasi apa sebuah teks muncul, maka sulit mengangkap makna pesan dari sebuah teks.


e.      Pemahaman hadits: Historis, Sosiologis, Antropologis, dan Psikologis


Hadits sebagai sebuah ucapan dan teks sesungguhnya memiliki sekian banyak variabel serta gagasan yang tersembunyi yang harus dipertimbangkan agar kita lebih bisa mendekati kebenaran mengenai gagasan yang hendak disampaikan oleh Rasul. Tanpa memahami motiv di balik penyampain sebuah hadits, suasana psikologis, dan sasaran ucapan Nabi, maka mungkin sekali kita akan salah paham dalam membacanya. Menyadari bahwa ucapan dan pengucapnya, suasana-psikologis dan sasaran ucapan saling bertautan, maka dalam setiap pemahaman dan penafsiran yang dilakukan, ketiga hal ini sangat berperan sekali.
Tiba di sini, maka kajian mendalam terhadap sirah Nabawiyah menjadi bagian yang sangat penting. Sebab, pemahaman terhadap sirah Nabawiyah akan memberikan perspektif yang lebih luas tetang ruang dan waktu munculnya sebuah hadits. Kalau pendapat ini diterima maka mereka yang mendalami sejarah Rasulullah Muhammad sudah tentu akan memiliki pemahaman berbeda dari yang tidak mempelajarinya ketika sama-sama memahami sebuah hadits.
Dalam Islam dan kehidupan kaum muslim, Nabi memiliki banyak fungsi, antara lain sebagai rasul, panglima perang, suami, sahabat dan lain-lain. Dengan demikian, hadits-hadits tersebut tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan fungsi-fungsi itu. Hal ini juga dikatakan oleh Mahmud Syaltut, “mengetahui hal-hal yang dilakukan Nabi dengan mengkaitkannya pada fungsi beliau tatkala melakukan hal-hal itu sangat besar manfaatnya”.
Sebagai contoh, Nabi melarang salah seorang Anshar mengawini pohon kurma. Maka orang Anshar tersebut mematuhinya karena menganggapnya sebagai wahyu atau masalah keagamaan. Ternyata hasilnya kurang memuaskan dibanding dengan mengawinkannya, karena para rasul diutus tidak lebih dari sekedar untuk perbaikan moral keagamaan. Rasul pun bersabda: “Saya melarang dengan rakyu saya. Oleh karena itu, kamu jangan mencelanya…” sampai akhirnya beliau bersabda: “انتم اعلم بامر الدنياكم”.
Realitas sosial budaya juga menjadi pertimbangan yang penting. Sebab, hadits pada umumnya adalah respons terhadap situasi yang dihadapi oleh Rasul dalam ruang dan waktu tertentu, baik itu situasi yang bersifat umum (sosial budaya) maupun situasi khusus (terhadap seorang atau beberapa orang sahabat). Memahami situasi-situasi tersebut atau asbab al-wurud akan mengantarkan penafsir atau pembaca berada dalam ruang dan waktu di mana hadits itu diucapkan sehingga memberikan wawasan yang lebih luas mengapa (illat) dan siapa yang menjadi sasaran (objek) hadits. Dari sini maka akan dapat ditangkap maksud sebenarnya yang dituju oleh hadits tersebut dengan baik serta akan memberikan jalan keluar bagi hadits-hadits yang secara lahir tanpak bertentangan.
Rasul tentu saja sangat memperhatikan situasi dan kondisi sosial budaya serta alam lingkungan. Itu sebabnya kita menemukan dalam ruang dan waktu tertentu Rasul melarang suatu perbuatan, tapi pada ruang dan waktu yang lain, Rasul malah menganjurkan perbuatan tersebut, atau memberikan respon yang berbeda terhadap persoalan yang sama dari dua sahabat yang berbeda. Ketika akidah umat dipandang belum begitu kuat, Nabi saw misalnya melakukan pelarangan atas ziarah kubur. Tetapi, ketika akidah mereka sudah kuat, larangan itu kemudian beliau cabut. Demikian pula tentang etika buang hajat, ketika berada di lapangan terbuka Rasul melarang orang membuang hajat menghadap atau membelakangi kiblat karena dikhatirkan akan terlihat oleh orang yang sedang shalat. Tetapi ketika di dalam ruangan yang relatif tertutup Rasul sendiri terlihat membuang hajat, menghadap atau membelangi kiblat.
Di sini, jelas sekali terlihat bahwa Rasulullah SAW, sangat mempertimbangkan situasi sosial budaya masyarakat dan alam lingkungan. Sikap Nabi saw, yang seperti itu mengisyaratkan kepada kita akan adanya pendekatan kontekstual atas hadits beliau. Namun, ketika yang digunakan adalah pendekatan tekstual, maka hasilnya adalah bahwa di situ terdapat nasikh dan mansukh. Tetapi, dengan memperhatikan suasana psikologis, siapa saja yang akidahnya masih lemah, dan dapat musyrik karena ziarah kubur, hadis pertama tetap berlaku baginya. Atau dengan memperhatikan alam lingkungan, maka menghadap atau membelakangi kiblat bagi orang yang buang hajat di tempat terbuka tetap dilarang. Berbeda dengan orang yang buang hajat di dalam ruang tertutup.
Ketika melakukan pertimbangan sosial budaya, maka illat sebagai sifat rasional yang menjadi dasar ketetapan Nabi menjadi sangat penting. Illat ini harus dipahami dalam suasana sosial-budaya dalam ruang dan waktu hadits diucapkan Rasul, lalu setelah itu ditarik dan diletakkan ke dalam realitas sosial budaya di mana seorang penafsir dan pembaca hidup, sehingga ‘illat dapat menjadi sebuah jembatan atau tambatan antara dua realitas sosial-budaya yang berbeda.
Para ulama mengatakan “الحكم يدور مع العلة”. Maksudnya ketika illat itu masih terdapat dalam realitas sosial budaya penafsir atau pembaca, hadits tersebut tetap dipahami dalam ruang dan waktu di mana ia diucapkan. Tetapi, bila ‘illat itu tidak ada lagi dalam realitas sosial budaya penafsir atau pembaca hadis, maka hadits tersebut tidak lagi dipahami seperti pada waktu dan ruang hadits itu diucapkan.
Sebagai contoh, Rasul melarang seorang perempuan bepergian kecuali bersama mahram: “Tidaklah seorang perempuan bepergian kecuali bersama Mahram”. ‘Illat larangan hadis ini adalah kekhawatiran akan terjadi sesuatu atasnya atau menimbulkan fitnah, karena bepergian pada waktu itu adalah dengan onta atau keledai, menempuh gurun dan belantara atau jalan yang sepi. Tetapi jika kekhawatiran diletakkan dalam realitas sosial budaya kekinian, di mana perjalanan dapat dilakukan dengan pesawat yang memuat 100 orang atau lebih penumpang, atau naik kereta yang berisi ratusan penumpang dalam suasana yang ramai, maka kekhawatiran itu dalam beberapa kondisi tidak signifikan lagi. Maka itu sebabnya ada beberapa ulama yang membolehkan seorang perempuan tanpa suami atau mahram pergi haji bersama rombongan perempuan lain yang terpercaya atau bersama perempuan lain yang aman.
Realitas sosial budaya yang disebutkan di atas, adalah konteks historis yang bersifat umum. Di samping itu juga ada konteks historis yang bersifat lebih khusus, yakni sasaran ucapan Nabi. Ini dianggap penting karena mengandung illat untuk pengecualian. Yakni membatasi ketentuan atau makna hadis sebatas keadaan sahabat atau orang yang semisal dengan sahabat, bukan untuk semua orang. Ketika seorang sahabat meminta izin kepada Rasul untuk berjihad (berperang), rasul menanyakan apakah orang tuanya masih hidup. Mendengar penjelasan sahabat, maka rasul menyatakan bahwa melayani orang tuanya sama nilainya dengan jihad. Sebagian besar ulama mengasumsikan bahwa sahabat yang meminta izin tersebut belum cukup umur, atau tidak layak untuk berperang. Karena itu untuk sahabat tersebut, rasul menganjurkan lebih baik ia melayani orang tuanya, karena itu juga sama nilainya dengan jihad.
Akan tetapi, untuk mendapatkan pemahaman konteks-konteks hadits dengan tepat, maka tak pelak lagi upaya penghimpunan sebanyak mungkin hadits yang berada dalam satu pembicaraan. Ini dimaksudkan untuk mendapatkan kesimpulan yang tepat dari konteks-konteks hadis itu.
Karena hadis-hadis pada dasarnya saling terkait satu sama lain, bahkan seperti al-Quran “يفسروا بعضها بعضا” (satu sama lain saling menafsirkan). Teknik ini tidaklah sulit utuk dilakukan, sebab kitab-kitab hadits telah memilik sistematika yang baik.
Menyangkut dengan asbab al-wurud ini Imam Syafi’ie Bin Muhammad mengingatkan, bahwa adakalanya hadits-hadits Rasul merupakan jawaban sebatas pertanyaan yang diajukan sahabat. Tetapi dalam periwayatannya tidak disebutkan secara sempurna oleh si-periwayat (tidak menyebutkan pertanyaan yang melahirkan jawaban Rasul), atau orang lain yang meriwatkan hadis itu hanya mengetahui dan mendengar jawaban rasul, namun tidak mengetahui masalah atau pertanyaan yang melatar belakangi jawaban Rasulullah tersebut.















BAB III
PENUTUP


        I.            Kesimpulan
Hadits yang diteliti adalah hadits yang berstatus Ahad. Untuk hadits yang berstatus mutawatir ulama tidak menganggap perlu diteliti lebih lanjut sebab hadits hadits yang bersangkutan berasaldari Nabi. Menurut Syuhudi  Ismail bagian-bagian hadits yang menjadi objek penelitian ada dua yaitu Sanad dan Matan. Sanad adalah rangkaian para periwayat yang menyampaikan riwayat Hadits. Sedangkan Matan adalah materi atau isi hadits itu sendiri.
Al-takhrij merupakan masdar dari akar kata kharraja, yakharriju, takhrijan. secata etimologi  Al-takhrij  berarti perhimpunan dua hal yang salingberlawanan dalam satu hal, seperti tanah gersang dengan tanah subur.
      II.            saran
Kami dari penulis, menyadari sepenuhnya bahwa makalah kami ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu  kami berharap kepada pembaca, terutama dosen pembimbing mata kuliah ini berupa kritik dan sarannya terhadap makalah ini yang bersifat membangun.








DAFTAR PUSTAKA


Zainimal, ulumul hadits, padang, IAIN IB padang, 2002
Hakim, rosniati, metodologi studi islam, padang, hayfa press, 2009
Syubah abu, kuttubus sittah, surabaya: pustaka progressif, 1993


[1]Hakim rosniati, metodologi studi islam, (padang: hayfa press, 2009), hal. 69
[2]ibid, hal. 69-70
[3]ibid, hal.70
[4]syubah abu, kuttubus sittah, (surabaya: pustaka progressif, 1993), hal. 37
[5]ibid, hal. 44
[6]ibi,  hal. 46
[7]ibid, hal.61-62
[8]ibid, hal. 62
[9]ibid, hal. 73
[10]ibid, hal.83
[11]zainimal, ulumul hadits, (padang, IAIN IB padang, 2002), hal. 182
[12]hakim, rosniati, metodologi studi islam, (padang, hayfa press, 2009), hal.71
[13]ibid, hal 71

0 komentar:

Posting Komentar