Rabu, 24 November 2021


BAB I
PENDAHULUAN

Gabungan melakukan tindak pidana sering diistilahkan dengan concursus atau samenloop  yang berarti perbarengan melakukan tindak pidana yang dilakukan oleh satu orang. Dalam KUHP gabungan melakukan tindak pidana sering diistilahkan dengan Samenloop van Strafbare Feiten yaitu satu orang yang melakukan beberapa peristiwa pidana,  sementara itu Mas’ad Ma’shum memberikan definisi gabungan melakukan tindak pidana ini dengan beberapa perbuatan yang dilakukan oleh seseorang. Mr. Karni lain lagi, beliau lebih suka memakai istilah “delik yang tertindih tepat” oleh karena pada concursus tersebut nampak beberapa delik yang tertindih tepat yang ditimbulkan oleh perbuatan si pembuat.
Pada delik penyertaan (delneming) terlibat beberapa orang dalam satu perbuatan yang dapat dihukum, sedangkan pada gabungan beberapa perbuatan atau concursus terdapat beberapa perbuatan yang dapat dihukum yang dilakukan oleh satu orang, sebagaimana dalam recidive. Akan tetapi dalam recividive, beberapa perbuatan pidana yang telah dilakukan diselingi oleh suatu putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan tetap, sehingga karenanya terhukum dinyatakan telah mengulang kembali melakukan kejahatan. Sementara itu dalam gabungan melakukan tindak pidana, pelaku telah berturut-turut melakukan beberapa perbuatan pidana tanpa memberi kesempatan pada pengadilan untuk mengadili dan menjatuhkan hukuman atas salah satu perbuatan tersebut. Gabungan melakukan tindak pidana juga sering dipersamakan dengan perbarengan melakukan tindak pidana yaitu seseorang yang melakukan satu perbuatan yang melanggar beberapa ketentuan hukum atau melakukan beberapa perbuatan pidana yang masing-masing perbuatan itu berdiri sendiri yang akan diadili sekaligus, dimana salah satu dari perbuatan itu belum mendapatkan keputusan tetap.
Gabungan melakukan tindak pidana (concursus) diatur dalam KUHP mulai pasal 63 sampai 71 buku I Bab VI. Dari pasal-pasal tersebut nantinya dapat menghapus kesan yang selama ini ada dalam masyarakat bahwa seseorang yang melakukan gabungan beberapa perbuatan pidana, ia akan mendapatkan hukuman yang berlipat ganda sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Gabungan (Perbarengan) Tindak Pidana
Yang dimaksud dengan perbarengan atau gabungan ialah terjadinya dua atau lebih tindak pidana oleh satu orang dimana tindak pidana yang dilakukan pertama kali belum dijatuhi pidana, atau antara tindak pidana yang awal dengan tindak pidana berikutnya belum dibatasi oleh suatu keputusan hakim.[1] Pada pengulangan juga terdapat lebih dari satu tindak pidana yang dilakukan oleh satu orang. Perbedaan pokoknya adalah bahwa pada pengulangan tindak pidana yang dilakukan pertama atau lebih awal telah diputus oleh hakim dengan mempidana pada si pembuat, bahkan telah dijalaninya baik sebagian atau seluruhnya. Sedangkan pada perbarengan syarat seperti pada pengulangan tidaklah diperlukan.
Perbarengan tersebut dapat dikatakan apakah merupakan dasar pemberat pidana atau peringan pidana, tergantug pada hal yang menjadi dasar pandangannya terhadap peristiwa konkrit tertentu, tidak bersifat general untuk segala kejadian. Bila semata-mata dilihat dari pandangan bahwa hanya dijatuhkan satu pidana kemudian dapat diperberat, tanpa melihat disana ada beberapa tindak pidana, maka disini perbarengan dapat dianggap sebagai pemberatan pidana. Akan tetapi apabila dilihat semata-mata ada beberapa tindak pidana, tetapi hanya dijatuhkan satu pidana saja yakni terhadap aturan pidana yang terberat ancaman pidananya, walaupun dengan dapat ditambah sepertiga yang terberat (seperti pasal 65) maka tampaknya pada perbarengan tidak ada pemberatan pidana. Seperti orang yang dua kali melakukan pembunuhan yang masing-masing diancam 15 tahun, yang artinya untuk dua kali pembunuhan itu dapat dijatuhi pidana berjumlah 30 tahun. Namun karena ketentuan perbarengan dia tidak dijatuhi pidana penjara dua kali, akan tetapi ditambah sepertiganya yaitu 20 tahun.
Berbeda dengan pengulangan yang tidak mengatur mengenai ketentuan umumnya, hal perbarengan dimuat ketentuan umumnya dalam bab VI (pasal 63-71) KUHP. Peraturan mengenai perbarengan pada dasarnya ialah suatu ketentuan mengenai bagaiamana cara menyelesaikan perkara dan menjatuhkan pidana ( system penjatuhan pidana) dalam hal apabila satu orang telah melakukan lebih dari satu tindak pidana dimana semua tindak pidana itu belum diperiksa dan diputus oleh pengadilan. Konkritnya ketentuan perbarengan itu mengatur dan menentukan mengenai; cara menyidangkan atau memeriksa (meyelesaikan) perkara dan cara atau system penjatuhan pidananya terhadap satu orang orang pembuat yang telah melakukan tindak pidana lebih dari satu yang semuanya belum diperiksa dan diputuskan oleh pengadilan.
Mengenai cara menyelesaikan perkara demikian, undang-undang menghendaki ialah dengan memberkas beberapa tindak pidana itu dalamm satu berkas perkara dan menyidangkannya dalam satu perkara oleh satu Majlis Hakim, dan tidak dipecah-pecah menjadi beberapa perkara dengan menyidangkannya sendiri-sendiri oleh beberapa majlis hakim. Perwujudan dari kehendak undang-undang ini juga terdapat dalam pasal 141 KUHP atau dulu pasal 250 ayat (14) HIR.
Ada dua alasan Pembentuk Undang-undang dalam hal menghendaki agar beberapa tindak pidana ini diadili secara serentak dan diputus dalam satu putusan pidana dan tidak dijatuhkan sendiri-sendiri dengan memperhitungkan sepenuhnya ancaman pidana pada masing-masing tindak pidana yang dilakukan, artinya agar tindak pidana – tindak pidana dalam perbarengan itu tidak dipidana sepenuhnya sesuai tindak pidananya masing-masing:
a.       Pertimbangan psychology, maksudnya ialah bahwa menjalani pidana satu kali dalam waktu yang lama dirasakan lebih berat dari pada menjalani pidana dua kali dalam jumlah yang sama.
b.      Pertimbangan dari segi kesalahan si pembuat, maksudnya ialah kesalahan si pembuat dalam melakukan tindak pidana berikutnya dipandang lebih ringan daripada kesalahan dalam hal melakukan tindak pidana yang pertama. Pertimbagan ini dikemukakan beerhubung dengan adanya anggapan bahwa penjatuhan pidana pada dasarnya adalah suatu peringatan oleh Negara kepada si pembuat tentang kesalahannya karena melakukan suatu tindak pidana. Dalam hal perbarengan, melakukan tindak pidana yang pertama tidak/belum adanya peringatan semacam itu, maka karenanya jika si pembuat tadi melakukan tidak pidana lagi sebelum ia dipidana atas tindak pidana yang pertama, maka kesalahan dalam hal melakukan tindak pidana kedua itu juga ada pada Negara, tidak pada si pembuat semata-mata.


B.    Bentuk-bentuk Perbarengan
Undang-undang membedakan menjadi tiga bentuk perbarengan: perbarengan peraturan (pasal 63) dengan menggunakan sistem hisapan atau absorbsi, perbuatan berlanjut (pasal 64), perbarengan perbuatan (pasal 65-71)
a.       Perbarengan Peraturan (Concursus Idialis / Eendaadse Samenloop)
Perbarengan peraturan (concursus idealis) yaitu suatu perbuatan yang masuk kedalam lebih dari satu aturan pidana. System pemberian pidana yang dipakai adalah system absorbsi.[2] Jadi misalnya terjadi pemerkosaan di jalan umum, maka pelaku dapat diancam dengan pidana penjara 12 tahun menurut pasal 285, dan pidana penjara 2 tahun 8 bulan menurut pasal 281. dengan system absorbsi, maka diambil yang terberat, yaitu 12 tahun penjara. Terwujudnya apa yang disebut dengan perbarengan peraturan pada dasarnya apabila satu wujud perbuatan (een feit) melanggar lebih dari satu aturan pidana. Pengertian dasar ini sesuai dengan apa yang dirumuskan oleh pasal 63 ayat (1), yang menyatakan “Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu; dan jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pokok yang paling berat”.
Dalam hal perbarengan peraturan dengan rumusannya diatas, yang menjadikan persoalan besar ialah bukan system penjatuhan pidananya sebagaimana pada kalimat selebihnya dari rumusan ayat (1) dan rumusan ayat (2) dari pasal 63 itu, tetapi ialah persoalan mengenai suatu perbuatan (een feit). Hal ini juga terdapat dan sejalan dengan arti perbuatan pada pasal 76 ayat (1) mengenai asas neb is I idem dalam hukum pidana.
Penjatuhan pidana pada bentuk perbarengan peraturan dengan menggunakan system hisapan, artinya hanya dipidana terhadap salah satu dari atura pidana itu, dan jika diantara aturan-aturan pidana itu berbeda-beda ancaman pidananya, maka yang dikenakan adalah terhadap aturan pidana terberat ancaman pidana pokoknya, dan apabila satu perbuatan itu masuk dalam aturan pidana umum yang sekaligus masuk dalam aturan pidana khusus, maka yang dikenakan adalah terhadap aturan pidana khusus itu saja.[3]
Jadi berdasarkan ketentuan pasal 63 mengenai system hisapan pada perbarengan peraturan ini, dapat dikenakan pada tiga kemungkinan, yaitu:
a)      Pada perbarengan peraturan dari tindak pidana dengan ancaman pidana pokok yang sama berat.
b)      Pada perbarengan peraturan dari beberapa tindak pidana dengan ancaman pidana pokoknya tidak sama berat.
c)      Pada perbarengan peraturan di mana satu perbuatan masuk atau diatur dalam suatu aturan pidana umum yang sekaligus masuk aturan pidana yag khusus.
b.      Perbuatan Berlanjut (Voortgezette Handeling)
Mengenai perbuatan berlanjut ini diatur dalam pasal 64 yang rumusannya adalah sebagai berikut:
(1)   Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut (voortegezette handeling), maka hanya dikeakan satu aturan pidana; jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang berat.
(2)   Begitu juga hanya dikenakan satu aturan pidana, jika orang dinyatakan salah melakukan pemalsuan atau perusakan mata uang, dan menggunakan barang yang dipalsu atau yang dirusak itu.
(3)   Akan tetapi, jika orang melakukan kejahatan-kejahatan tersebut dalam pasal 364, 373, 379 dan 407 ayat 1, sebagai perbuatan berlanjut dan nilai kerugian yang ditimbulkan jumlahnya lebih dari Rp.25,- maka ia dikenai aturan pidana tersebut dalam pasal 362, 372, 378, da 406.[4]
Berdasarkan rumusan ayat 1 tadi, dapat ditarik unsur-unsur dari perbuatan berlanjut, yaitu:
a)      Adanya beberapa perbuatan, meskipun berupa pelanggaran ataupun kejahatan;
b)      Antara perbuatan yang satu dengan yang lain terdapat hubungan yang sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai perbuatan yang berlanjut;

Perbuatan berlanjut itu sendiri terdiri dari perbuatan pidana-perbuatan pidana yang masing-masing adalah berdiri sendiri, akan tetapi mempunyai pertalian satu sama lain. Jadi masing-masing perbuatan pidana itu mempunyai tempat, waktu dan daluarsanya sendiri-sendiri.[5]
Para ahli dan demikian juga dalam praktik oleh berbagai putusan Hoge Raad menarik kesimpulan tentang 3 syarat tentang syarat adanya voortgezette handeling yang harus dipenuhi, yang sekaligus menggambarkan tentang “ada hubungan” sebagai ciri pokok dari perbuatan berlanjut itu, ialah:
a)      Harus ada satu keputusan kehendak (wilsbesluit) si pembuat;
b)      Perbuatan-perbuatan itu harus sama atau sejenis;
c)      Jangka waktu antara melakukan tindak pidana yang satu dengan yang berikutnya tidak boleh berlangsung terlalu lama;
Pasal 64 ayat (2) merupakan ketentuan khusus dalam hal pemalsuan dan perusakan mata uang, sedangkan pasal 64 ayat (3) merupakan ketentuan khusus dalam hal kejahatan-kejahata ringan yang terdapat dalam pasal 364 (pencurian ringan), pasal 373 (penggelapan rigan), pasal 407 ayat (1) (perusakan barang ringan), yang dilakuka sebagai perbuatan berlanjut.

c.       Perbarengan Perbuatan (Concursus Realis / Meerdaadse Samenloop)
Yang dimaksud dengan gabungan beberapa beberapa perbuatan ialah apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, perbuatan-perbuatan mana berdiri sendiri dan masing-masing merupakan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana yang berupa kejahatan atau pelanggaran yang mana belum ada yang dijatuhkan hukuman oleh pengadilan dan akan diadili sekaligus oleh pengadilan.
KUHP menyinggung concursus realis itu dalam pasal 65 dan 66: ,,gabungan dari beberapa perbuatan, yang masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan tersendiri-sendiri dan yang masing-masing menjadi kejahatan”. Berdasarkan apa yang ditentukan dalam kedua pasal ini, maka VOS (hal. 312) membuat definisi sebagai berikut: concursus realis terjadi dalam hal beberapa fakta-fakta, yang harus dipandang sebagai perbuatan tersendiri-sendiri dan yang masing-masing merupakan peristiwa pidana, dilakukan oleh satu orang dan diantara waktu terjadinya masing-masing fakta itu tidak diputuskan hukuman terhadap salah satu fakta-fakta tersebut.[6]  Berdasarkan rumusa ayat 1 pasal 65 dan 66, maka dapat disimpulkan bahwa masing-masing tindak pidana-tindak pidana dalam perbarengan perbuatan itu satu sama lain adalah terpisah dan berdiri sendiri. Inilah cirri pokok dari perbarengan perbuatan.

C.   Sistem Pemberian Pidana / Stelsel Pemidanaan
1.      Concursus Idealis (pasal 63).
a.       Menurut ayat 1 digunakan system absorbsi, yaitu hanya dikenakan satu pidana pokok yang terberat. Misal : perkosaan dijalan umum, melanggar pasal 285 (12 th penjara) dan pasal 281 (2 tahun 8 bulan penjara). Maksimum pidana penjara yang dapat dikenakan ialah 12 tahun.
b.      Apabila Hakim menghadapi pilihan antara dua pidana poko sejenis yang maksimumnya sama, maka menurut VOS ditetapkan pidana pokok dengan tambahan yang paling berat.
c.       Apabila menghadapi dua pilihan antara dua pidana pokok yang tidak sejenis, maka penetuan pidana yang terberat didasarkan pada urut-urutan jenis pidana seperti tersebut dalam pasal 10 (lihat pasal 69 ayat (1) jo pasal 10), jadi misalnya memilih antara 1 minggu penjara, 1 tahun kurungan dan denda 5 juta rupiah, maka pidana yang terberat adalah 1 minggu penjara.
d.      Dalam pasal 63 ayat (2) diatur ketentuan khusus yang menyimpang dari prinsip umum dalam ayat (1), dalam hal ini berlaku adagium “lex specialis derogate legi generali”Contoh : seorang ibu membunuh anaknya sendiri pada saat anaknya dilahirkan. Perbuatan ibu ini dapat masuk dalam pasal 338 (15 tahun penjara dan pasal 341 (7 tahun penjara). Maksimum pidana penjara yang dikenakan ialah yang terdapat dalam pasal 341 (lex specialis) yaitu 7 tahun penjara.

2.    Perbuatan berlanjut (pasal 64).
a). Menurut pasal 64 ayat (1), pada prinsipnya berlaku system absorbsi yaitu hanya dikenakan satu aturan pidana, dan jika berbeda-beda dikenakan satu aturan pidana, dan jika berbeda-beda dikenakan ketentuan yang memuat ancaman pidana pokok yang terberat.
b).Pasal 64 ayat (2) merupakan ketentuan khusus dalam hal pemalsuan dan perusakan mata uang. Misal A setelah memalsu mata uang (pasal 244 dengan ancaman pidana penjara 15 tahun) kemudian menggunakan / mengedarkan mata uang yang palsu itu (pasal 245 dengan ancaman pidana penjara 15 tahun). Dalam hal ini perbuatan A tidak dipandang sebagai concursus Realis, tetapi tetap dipandang sebagai perbuatan berlanjut sehingga ancaman maksimum pidananya dapat dikenakan 15 tahun penjara
c). Pasal 64 ayat (3) merupakan ketentuan khusus dalam hal kejahatan-kejahatn ringan yang terdapat dalam pasal 364 (pencurian ringan), 373 (penggelapan ringan), 379 (penipuan ringan) dan 407 (1) (perusakan barang ringan) yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut.

Apabila nilai kerugian yang timbul dari kejahatan-kejahatn ringan yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut itu lebih dari Rp. 250,- maka menurut pasal 64 ayat (3) dikenakan aturan pidana yang berlaku untuk kejahatan biasa. Berarti yang dikenakan adalah pasal 362 (pencurian), 372 (penggelapan), 378 (penipuan) atau 406 (perusakan barang).
3.  Concursus Realis (pasal 65 s/d 71).
a) Untuk concursus realis berupa kejahatan yang diancam pidana pokok sejenis, berlaku pasal 65 yaitu hanya dikenakan satu pidana dengan ketentuan bahwa jumlah maksimum pidana tidak boleh lebih dari maksimum terberat ditambah sepertiga.
Misal :

 A melakukan 3 jenis kejahatan yang masing-masing diancam pidana 4 tahun, 5 tahun dan 9 tahun. Dalam hal ini yang dapat digunakan ialah 9 tahun + (1/3 x 9) tahun = 12 tahun penjara. Jadi disini berlaku system absorbsi yang dipertajam.
 A melakukan 2 jenis kejahatan yang masing- masing diancam pidana penjara 1 tahun dan 9 tahun. Dalam hal ini, maksimum pidana yang dapat dijatuhkan ialah jumlah ancaman pidananya yaitu 10 tahun penjara, karena melebihi jumlah maksimum pidana untuk masing-masing kejahatan tersebut.
b). Untuk concursus realis berupa kejahatan yang diancam pidana pokok tidak sejenis berlaku pasal 66 yaitu semua jenis ancaman pidana untuk tiap-tiap kejahatan dijatuhkan, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum piudana yang terberat ditambah sepertiga, system ini disebut system Kumulasi yang diperlunak.

 Misalnya: si A melakukan 2 jenis kejahatan  yang masing-masing diancam pidana 9 bulan kurungan dan dua tahun penjara. Dalam hal ini semua jenis pidana (penjara dan kurungan) harus dijatuhkan. Adapun maksimumnya adalah 2 tahun ditambah (1/3 x 2) tahun = 2 tahun 9 bulan atau 33 bulan. Dengan demikian pidana yang dijatuhkan misalnya terdiri dari 2 tahun penjara dan 8 bulan kurungan. Bagaimanakah dalam hal A melakukan 2 jenis kejahatan yang masing-masing diancam 6 bulan penjara dan denda Rp. 1.000,- ? mengenai hal ini ada dua pendapat :
Menurut Noyon semuanya harus dijatuhkan yaitu 6 bulan penjara dan denda Rp. 1.000,-;
Menurut blok perhitungannya sbb : pidana denda dijadikan dulu pidana kurungan pengganti yaitu maksimum 6 bulan (lihat pasal 30 KUHP). Dengan demikian maksimumnya ialah 6 + (1/3 x 6) bulan = 8 bulan. Karena semua jenis pidana harus dijatuhkan maka 6 bulan ini dipecah menjadi 6 bulan penjara dan 2 bulan kurungan pengganti atau sama dengan 1/3 x Rp. 1.000,- = Rp. 333,30,- (atau dibulatkan menjadi Rp. 334,-_
Perhitungan blok mengenai jumlah pidana kurungan pengganti di atas masih didasarkan pada perhitungan lama sebelum adanya perubahan pidana denda 15 kali menurut UU No. 18 tahun 1960. Menurut perhitungan lama, tiap denda 50 sen atau kurang dihitung sama dengan satu hari kurungan pengganti, tetapi karena menurut pasal 30 (3) maksimum kurungan pengganti 6 bulan, maka untuk denda Rp. 1.000,- maksimumnya kurungan penggantinya 6 bulan. Dengan telah adanya perubahan pidana denda, maka 1 hari kurungan pengganti dihitung sama dengan Rp. 7,50,- (yaitu 50 sen dikalikan 15) jadi untuk denda Rp. 1.000,- kurungan penggantinya sama dengan 134 hari (dibulatkan).
Dengan demikian apabila diikuti perhitungan menurut Blok di atas maka jumlah maksimum 8 bulan dapat dipecah misalnya menjadi 6 bulan penjara dan 2 bulan kurungan pengganti atau sama dengan denda 60/134 x Rp. 1.000,- = Rp.447,76. Bagaimanakah dalam hal A melakukan dua jenis kejahatan yang terdapat dalam pasal 351 (diancam pidana 2 tahun 8 bulan penjara atau denda Rp. 4.500,-) dalam pasal 360 (diancam pidana 5 tahun penjara atau 1 tahun kurungan). Dalam hal ini hakim harus mengadakan “pilihan hukum” terlebih dahulu. Kalau dipilih ancaman pidana yang sejenis, maka digunakan system absornsi yang dipertajam / diperberat (pasal 65).
c). Untuk Concursus Realis berupa pelanggaran, berlaku pasal 70 yang menggunakan system kumulasi.
Misal A melakukan dua pelanggaran yang masing-masing diancam piadan kurungan 6 bulan dan 9 bulan, maka maksimumnya adalah (6+9) bulan = 15 bulan. Namun menurut pasal 70 ayat 2, system kumulasi itu dibatasi sampai maksimum 1 tahun 4 bulan kurungan. Jadi misal A melakukan dua pelanggaran yang masing-masing diancam pidana kurungan 9 bulan, maka maksimum pidana kurungan yang dapat dijatuhkan bukanlah (9+9) bulan = 18 bulan, tetapi maksimumnya adalah 1 tahun 4 bulan atau hanya 16 bulan.
d) Untuk Concursus Realis berupa kejahatan ringan, khusus untuk pasal 302 (1), 352, 364, 373, 379 dan 482 berlaku pasal 70 bis yang menggunakan system kumulasi tetapi dengan pembatan maksimum untuk penjara 8 bulan.
Misal :
A melakukan pencurian ringan (pasal 364) dan penggelapan ringan (pasal 373) yang masing-masing diancam pidana 3 bulan penjara. Maksimum pidana yang dapat dijatuhkan adalah 6 bulan penjara (system kumulasi).
Tetapi apabila A misalnya melakukan 3 kejahatan ringan yang masing-masing diancam pidana penjara 3 bulan, maka maksimumnya bukan 9 bulan penjara (kumulasi) tetapi 8 bulan penjara.[7]
e). Untuk Concursus Realis, baik kejahatan maupun pelanggaran untuk diadili pada saat berlainan, berlaku pasal 71 yang berbunyi sbb:
“Jika seseorang setelah dijatuhi pidana kemudian dinyatakan salah lagi karena melakukan kejahatan atau pelanggaran lain sebelum ada putusan pidana itu, maka pidana yang dahulu diperhitungkan pada pidana yang akan dijatuhkan dengan menggunakan aturan-aturan dalam bab ini mengenai hal perkara-perkara diadili pada saat yang sama”
Misal :
A melakukan kejahatan-kejahatan sbb :
Tgl. 1/1 : pencurian (pasal 362, ancaman pidana 5 tahun penjara);
Tgl. 5/1 : penganiayaan biasa (pasal 351 diancam 2 tahun 8 bulan);
Tgl. 10/1 : penadahan (pasal 480, diancam 4 tahun penjara);
Tgl. 20/1 : penipuan (pasal 378, diancam 4 tahun penjara).

Kemudian A ditangkap dan diadili dalam satu keputusan. Maksimum pidana yang dapat dijatuhkan ialah 5 tahun + (1/3 x 5 tahun) = 6 tahun 8 bulan. Andaikata untuk keempat tindak pidana itu, hakim menjatuhkan pidana 6 tahun penjara, maka jika kemudian ternyata bahwa A pada tanggal 14/1 (jadi sebelum ada keputusan) melakukan penggelapan (pasal 372 yang diancam pidana penjara 4 tahun), maka keputusan yang kedua kalinya ini untuk penggelapan itu paling banyak hanya dijatuhi pidana penjara selama 6 tahun 8 bulan (putusan sekaligus) dikurangi 6 tahu (putusanI) yaitu 8 bulan penjara.[8]



















BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Perbarengan atau gabungan ialah terjadinya dua atau lebih tindak pidana oleh satu orang dimana tindak pidana yang dilakukan pertama kali belum dijatuhi pidana.
Menurut ilmu hukum, dalam hukum positif terdapat tiga bentuk gabungan melakukan tindak pidana, yaitu:
1. Gabungan satu perbuatan / concursus idealis / Eendaadse Samenloop ialah gabungan suatu perbuatan apabila seseorang melakukan suatu perbuatan dan dengan melakukan perbuatan itu ia melakukan pelanggaran atas beberapa peraturan pidana atau suatu perbuatan yang masuk kedalam lebih dari satu aturan pidana
2. Perbuatan berlanjut / Voorgezette Handeling ialah Perbuatan yang terdiri dari perbuatan pidana-perbuatan pidana yang masing-masing berdiri sendiri, akan tetapi mempunyai pertalian yang erat antara satu sama lainnya.
3. Gabungan beberapa perbuatan / concursus realis / Meerdaadse Samenloop ialah apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, perbuatan-perbuatan mana berdiri sendiri dan masing-masing merupakan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana yang berupa kejahatan atau pelanggaran yang mana belum ada yang dijatuhkan hukuman oleh pengadilan dan akan diadili sekaligus oleh pengadilan.
Adapun sistem pemberian pidananya adalah sebagai berikut :
1. Concursus Idealis (pasal 63).
Menurut ayat 1 digunakan system absorbsi, yaitu hanya dikenakan satu pidana pokok yang terberat.
2. Perbuatan berlanjut (pasal 64).
Menurut pasal 64 ayat (1), pada prinsipnya berlaku system absorbsi yaitu hanya dikenakan satu aturan pidana, dan jika berbeda-beda dikenakan ketentuan yang memuat ancaman pidana pokok yang terberat.
3. Concursus Realis (pasal 65 s/d 71).
Untuk concursus realis berupa kejahatan yang diancam pidana pokok sejenis, berlaku pasal 65 yaitu hanya dikenakan satu pidana dengan ketentuan bahwa jumlah maksimum pidana tidak boleh lebih dari maksimum terberat ditambah sepertiga.

B.     KRITIKAN DAN SARAN
Kami dari penulis, menyadari sepenuhnya bahwa makalah kami ini jauh dari kesempurnaan, dan keterbatasan referensi untuk itu  kami berharap kepada pembaca, terutama dosen pembimbing mata kuliah ini berupa kritik dan sarannya terhadap makalah ini yang bersifat membangun.

DAFTAR PUSTAKA

Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana II,  Jakarta: Rajawali Pers, 2002
Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Jakarta: Bumi Aksara, 2011
Prasetyo, Teguh, Hukum Pidana. Jakarta: Rajawali Pers, 2011
Saleh, Roeslan,  Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan Penjelasan, Jakarta: Aksara Baru, 1981
Utrecht, E,  Hukum Pidana II,  Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1987




1Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, (Jakarta: Rajawali Pers, 2002), hal. 109
2Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), cet. ke-2, hal. 179
3 Adami chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, (Jakarta: Rajawali Pers. 2002), hal. 122
4 Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), cet. ke-29. hal. 28

5 Roeslan Saleh, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1981), hal. 111
6 E Utrecht, Hukum Pidana II, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1987), hal.182

8 http://www.hukumhindu.com/2011/02/gabungan-tindak-pidana-samenloop-concursus